Share

Para penyintas (5)

last update Last Updated: 2025-01-07 20:40:37

Langit cerah berganti mendung tipis saat kelompok kecil kami melanjutkan perjalanan. Sungai kecil tadi memberikan jeda, namun kelelahan dan ketegangan tetap terasa seperti beban yang tak bisa dilepaskan. Aku berjalan di depan, mengamati peta lusuh yang mulai robek di bagian pinggirnya, ketika suara Mia memecah keheningan.

“Paman Ardi, kau yakin kita nggak tersesat?” tanya Mia dengan nada menggoda sambil menepuk bahuku. Senyumnya lebar, seperti tidak peduli pada ketegangan yang melingkupi kelompok. "Atau jangan-jangan kau hanya mengikuti instingmu saja, paman?"

Aku menghela napas panjang. "Mia, aku sudah bilang jangan panggil aku paman."

“Kenapa? Kan kau memang seperti paman bagi kami!” Mia terkekeh kecil, membuat Mirna yang berjalan di dekatnya ikut tersenyum tipis.

“Aku masih muda, aku baru berusia 28 tahun,” balasku dengan datar, berusaha fokus pada kompas di tanganku.

“Oh ya? Dengan semua kerutan di dahimu itu?” godanya lagi, melirik ke arahku sambil mengayunkan langkah dengan
Locked Chapter
Continue Reading on GoodNovel
Scan code to download App

Related chapters

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Para penyintas (6)

    Seorang pria muncul dari balik pintu ptia paruh baya dengan janggut yang lebat, wajahnya dipenuhi bekas luka, dan tubuhnya kekar meski terlihat kelelahan. Dia membawa senapan tua yang sudah usang, menggantung di punggungnya. Matanya tajam, tapi tidak ada ancaman di sana. Justru, ada sesuatu yang membuatku merasa dia telah melihat terlalu banyak—dan kehilangan lebih banyak lagi. “Siapa kalian?” tanyanya dengan suara serak, tetapi tidak mengangkat senjatanya. “Kami hanya para penyintas,” jawabku perlahan, tidak menurunkan parangku. “Kami hanya lewat, mencari tempat untuk beristirahat.” Pria itu mengangguk, lalu masuk ke gedung tanpa meminta izin, duduk di salah satu kursi yang masih utuh. Kami saling bertukar pandang, tidak yakin harus berbuat apa. “Namaku Roy,” katanya akhirnya, tanpa melihat kami. “Aku juga penyintas, seperti kalian.” “Apa kau sendirian?” tanya Hendra curiga. Roy tertawa kecil, tetapi tidak ada humor dalam suaranya. “Kalau aku tidak sendirian, aku tidak ak

    Last Updated : 2025-01-08
  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Para penyintas (7)

    Aku berdiri mematung di tengah reruntuhan, napas terengah-engah. Pemandangan di depanku seperti mimpi buruk yang menjadi nyata. Voidborn dan Hunter terus berdatangan, mengepung kami dari segala arah. Langkah mereka perlahan namun pasti, seolah menikmati ketakutan yang mereka tanamkan. Aku bisa merasakan tatapan tajam mereka, haus akan darah, menembus tubuhku. Semua ini salahku. Aku membawa mereka ke sini. Aku yang memilih reruntuhan ini sebagai tempat peristirahatan, menganggapnya aman. Aku yang meyakinkan mereka bahwa ini hanya akan menjadi pemberhentian singkat, bahwa kami butuh waktu untuk mengatur ulang tenaga. Dan sekarang, kami semua akan mati. “Ardi, ini semua karenamu!” teriak Dika yang berjalan dari pintu luar gedung dengan penuh amarah. Dia berdiri beberapa langkah dariku, wajahnya merah padam. “Aku sudah bilang, tempat ini tidak aman! Tapi kau… kau terlalu keras kepala, terlalu percaya diri! Lihat apa yang kau lakukan! Lihat apa yang kau bawa pada kami!” Aku tid

    Last Updated : 2025-01-08
  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Para penyintas (8)

    Aku menarik napas panjang, berusaha memusatkan pikiranku di tengah kekacauan dan ketakutan. Aku menatap kelompokku yang kelelahan, lalu kembali mengamati reruntuhan yang kini menjadi sarang Voidborn dan Hunter. Dalam keheningan mencekam, pikiranku mulai merangkai rencana. "Baik," ucapku pelan tapi tegas, suaraku menarik perhatian semua orang. "Kita tidak akan bertahan lama jika tetap di sini. Mereka akan segera menemukan kita jika kita hanya bersembunyi. Jadi, kita harus memanfaatkan situasi ini." Hendra menyipitkan mata. "Apa maksudmu?" Aku menatap mereka satu per satu. "Kita tidak hanya melarikan diri. Kita akan membuat kekacauan, mengadu mereka satu sama lain, dan menggunakan itu sebagai peluang untuk kabur." Aku menunjuk bangunan yang lebih tinggi di ujung reruntuhan. "Voidborn dan Hunter mungkin tidak memiliki kecerdasan seperti kita, tapi mereka punya naluri. Jika kita bisa menciptakan kebisingan besar di satu tempat, mereka akan tertarik ke sana. Aku butuh Hendra, Dika,

    Last Updated : 2025-01-09
  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Para penyintas (9)

    Aku tidak tahu berapa lama kami bertarung. Waktu kehilangan maknanya di tengah teriakan, darah, dan suara dentuman benda logam yang bertabrakan dengan kulit Voidborn. Setiap detik terasa seperti sebuah keabadian yang menyiksa. Hendra, yang paling gigih bertahan dengan pistolnya, kini terduduk dengan tubuh penuh luka. Pistol di tangannya telah lama kosong, dan ia menggunakannya untuk memukul kepala Voidborn yang terlalu dekat. Namun, satu serangan dari makhluk itu membuat lengannya patah, darah mengucur dari luka terbuka di bahunya. Ia masih mencoba bertahan, meskipun tubuhnya mulai lunglai, suaranya lemah ketika ia berkata, “Aku... aku masih belum menyerah makhluk bajingan…” Drian, yang semula tampak seperti orang yang tidak berguna, bertahan lebih lama dari yang kuduga. Ia menggunakan batang logam untuk menyerang, mengincar mata dan bagian lemah Voidborn seperti dia telah biasa menggunakan senja. Namun, serangan balik salah satu makhluk itu menghantam dadanya. Ia terlempar, menda

    Last Updated : 2025-01-09
  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Para penyintas (10)

    Aku memimpin teman-temanku menjauh dari reruntuhan dengan tubuh yang hampir kehabisan tenaga. Roy tetap di belakang, menarik perhatian semua makhluk itu. Namun, langkahku terhenti. Perasaan bersalah yang mencekik dadaku tak bisa lagi kuabaikan. Aku menoleh, menatap kabut tebal yang menyelimuti tempat Roy bertempur. Dentuman senapannya terdengar jelas, namun semakin jarang. Dia bertarung sendirian, demi kami. Tidak. Aku tidak bisa membiarkan ini. “Ardi, kau mau apa?!” teriak Hendra saat aku memutar badan, berlari ke arah pertempuran. “Jangan bodoh!” Dika mencoba bangkit untuk menarikku kembali, tetapi tubuhnya terlalu lemah. “Aku tidak bisa membiarkan dia bertarung sendirian!” jawabku tanpa ragu. Mataku tertuju pada busur yang tergeletak di dekat Dika, busur peninggalan Gatra, seorang pemanah tangguh yang pernah menjadi bagian dari kami sebelum dia gugur. Aku meraihnya tanpa berpikir panjang, meskipun aku tahu aku tidak memiliki kemampuan memanah sepertinya. Aku tiba di m

    Last Updated : 2025-01-10
  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Para penyintas (11)

    Di tengah kekacauan itu, ketika Voidborn dan Hunter semakin mendekat, kami sudah hampir menyerah. Aku dan Roy berdiri berdampingan, tubuh kami terluka parah, napas kami tersengal-sengal, dan tangan kami gemetar memegang senjata yang nyaris tak berguna. Aku menatap ke arah makhluk-makhluk itu. Voidborn dengan tubuh menjulang dan mata menyala penuh kebencian, Hunter yang mengaum liar seperti hewan buas. Kematian terasa begitu dekat, seperti napas dingin yang menyentuh tengkuk. Namun, sebelum makhluk-makhluk itu sempat menyerang, suara gemuruh dari langit tiba-tiba memecah keheningan. Aku mendongak dengan cepat, mataku menangkap sesosok bayangan yang melesat turun dari langit. Cahaya biru menyilaukan menyelimuti sosok itu, seperti bintang jatuh yang meluncur dengan kecepatan luar biasa. Lalu, dia mendarat di antara kami dan para Voidborn. Dentuman keras mengguncang tanah, debu dan serpihan beterbangan ke segala arah. Ketika debu mereda, aku melihatnya berdiri tegak—pria itu. “Kau

    Last Updated : 2025-01-10
  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Para penyintas (12)

    Langit semakin gelap, seolah mengisyaratkan datangnya kehancuran. Makhluk raksasa itu berdiri menjulang, tatapan matanya yang berwarna merah darah seolah menembus ke dalam jiwaku. Raungannya menggema, membuat tanah bergetar hebat. Suara itu membawa ketakutan yang begitu mendalam, seperti menyentuh bagian terdalam dari kegelapan dunia ini.Raka berdiri tegak, pedangnya bersinar lebih terang. Aura biru yang menyelimuti dirinya semakin kuat, melawan kegelapan yang menyelimuti medan pertempuran. Dia melangkah maju tanpa ragu, setiap langkahnya memancarkan keberanian yang tak tergoyahkan. Namun, aku tahu di balik keberanian itu, dia memahami risiko yang dia hadapi.“Ardi, bawa teman-temanmu pergi lebih jauh. Ini bukan pertarungan yang bisa kau hadapi,” kata Raka tanpa menoleh.“Sial pada akhirnya aku tak bisa melakukan apa-apa?” jawabku dengan nada hampir putus asa.Raka berhenti sejenak, lalu menoleh padaku. Tatapannya tajam, tapi ada rasa hormat di dalamnya. “Kau memang lemah, Ardi. Kau

    Last Updated : 2025-01-11
  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Para penyintas (13)

    Langit seolah runtuh di atas kami, retakan gelap seperti pecahan kaca membelah cakrawala, diiringi raungan Guardian of Abyss yang menghancurkan gendang telinga. Makhluk itu berdiri kokoh meski tubuhnya penuh luka, setiap celah daging yang tercabik dengan cepat menyatu kembali. Regenerasinya bukan sekadar cepat, tetapi sempurna. Tidak ada darah yang keluar, hanya energi hitam pekat yang berdenyut seperti jantung kedua.Aku merasakan busur Gandiwa di tanganku bergetar, seolah memberiku peringatan. Lina bilang aku hanya punya lima menit, tapi dengan monster seperti ini, lima menit rasanya seperti sekejap. Namun, aku tahu aku harus membuat setiap detik berarti.“Ardi!” teriak Danis, mengangkat tombaknya untuk menangkis pukulan raksasa dari Makhluk itu. Dentuman keras menggetarkan tanah di bawah kami, membuat retakan menyebar seperti sarang laba-laba. “Kita harus menyerangnya bersamaan! Ini satu-satunya cara!”Raka mengangguk, tubuhnya diselimuti aura biru yang lebih terang dari sebelumnya

    Last Updated : 2025-01-11

Latest chapter

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Sanctum Perennial (13)

    Suara ledakan besar mengguncang seluruh penjara bawah tanah, menggema seperti guntur yang mengoyak langit. Dinding-dinding batu yang kokoh runtuh dalam hitungan detik, debu tebal menyelimuti ruangan, mengaburkan pandangan dan membuat napas terasa berat. Rasa panas dari ledakan masih terasa di kulitku, seperti bara yang baru saja padam. Aku terduduk di lantai, tubuhku terguncang, sementara debu-debu halus mengendap di rambut dan pakaianku.Lalu, langkah kaki bergema di antara reruntuhan, suara beratnya mengguncang lantai yang kini tertutup puing. Ada sesuatu yang aneh dan familiar dari suara itu, sebuah memori yang muncul samar-samar dari masa lalu. Aku memicingkan mata, mencoba melihat melalui kabut debu yang menari di udara. Sesosok pria perlahan muncul dari balik kabut, bayangan tubuhnya kian jelas. Pedang besar tergantung di punggungnya, mengkilap meski dikelilingi debu dan darah. Dia berhenti tepat di depanku, menatapku seolah menilai kerusakan yang telah terjadi.Tanpa berkata ap

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Sanctum Perennial (12)

    Tetesan air bergema dalam ruang gelap, bergabung dengan suara samar gerakan tikus di sudut-sudut. Aroma amis darah bercampur logam menguar tajam, membuat hidung perih dan perut mual. Di lantai berbatu yang licin, jejak-jejak merah menciptakan pola acak, dan di tengahnya, tubuh teman-temanku tergeletak tak bernyawa, wajah mereka membeku dalam ekspresi putus asa yang membuat dadaku terasa sesak. Cahaya redup dari lentera yang hampir mati menambah kesan muram, bayangannya menari di dinding seperti ejekan dari kegelapan.Semua ini salahku. Aku yang mengirim mereka ke neraka ini, dan sekarang tubuh mereka dingin di lantai berbatu. Aku bisa melihat wajah Mia, Mirna, Ayu, dan Dika yang penuh harapan... harapan yang akan segera hancur seperti yang lain. Aku tak berdaya. Apa pun yang kulakukan, aku hanya akan membawa mereka menuju kematian. Andai saja aku memiliki kekuatan untuk melindungi mereka, andai saja aku diberi peran dalam skenario busuk ini. Tapi aku hanya pion tanpa guna, menonton tra

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Sanctum Perennial (11)

    Ketika langkah-langkah Davin dan para prajurit Wardens mulai menjauh, kesunyian kembali menyelimuti ruangan seperti selimut kematian. Aku terduduk lemas, tubuhku bergetar hebat, rantai di pergelangan tanganku terasa seperti bara api yang membakar kulitku. Pandanganku terpaku pada genangan darah yang semakin meluas di lantai. Kepala Rei dan Bu Sri, dua orang yang pernah memberiku harapan dalam neraka ini, kini hanya menjadi simbol kegagalanku.“Ardi...” suara Nina memanggilku lagi, kali ini disertai isakan yang tak tertahankan dengan suara yang lebih jelas karena kain yang ada di mulutnya mulai terlepas. Matanya yang lebar dan kosong terpaku pada kepala Rei dan Bu Sri, tubuhnya mengguncang liar seolah mencoba melepaskan diri dari kenyataan yang mengerikan ini. Dia meronta, berusaha mendekat meski rantai di pergelangan tangannya mencengkeram erat, seperti jebakan kejam yang menolak melepaskannya."Rei... Bu Sri... Hendra..." gumam Nina, suaranya pecah menjadi jeritan memilukan. "Tidak!

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Sanctum Perennial (10)

    Pandanganku terhenti di tengah keheningan yang mencekik, jantungku berdetak seperti genderang perang di kejauhan. Kegelapan ruangan ini terasa menyatu dengan udara, menekan dadaku seperti beban yang tak kasat mata. Bayangan Hendra yang tergeletak di lantai menjelma menjadi mimpi buruk yang enggan hilang. Tapi itu belum seberapa; kegelapan lain mulai menjalari pikiranku, menyelinap seperti racun ke dalam setiap sudut kesadaranku. Sesuatu yang lebih mengerikan, lebih mencekam, perlahan menyerap apa yang tersisa dari keberanianku.“Ardi…,” suara lembut itu mengalun, seperti bisikan angin yang membawa gelombang dingin menyusup ke dalam tulang. Aku mengenalnya. Suara yang sudah lama terkubur dalam ingatan, tetapi kini kembali seperti mimpi buruk yang menolak untuk dilupakan. Tubuhku gemetar tanpa kendali, dan ketika aku perlahan menoleh, bayangannya muncul.Ibuku.Dia berdiri di sana, tubuhnya bagaikan siluet yang muncul dari kegelapan, tapi detail wajahnya begitu nyata hingga menusuk inga

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Sanctum Perennial (9)

    Dingin menjalari kulitku, meski ruangan ini terasa pengap dan penuh udara busuk. Gelap di sekelilingku tidak lagi membuatku takut, karena yang aku takutkan sekarang adalah suara langkah berat yang akan segera mendekat. Tidak perlu menunggu lama, suara itu akhirnya datang. Davin berdiri di balik jeruji dengan tatapan puas. Di belakangnya, dua Wardens menyeret tubuh-tubuh lemah Nina, Drian, dan Hendra.Mereka dibawa ke hadapanku, masing-masing dengan tangan terikat di belakang punggung dan kain kotor membungkam mulut mereka. Mata Nina yang biasanya penuh semangat kini hanya menyiratkan ketakutan. Drian tampak berusaha melawan, tetapi tubuhnya yang penuh luka membuatnya sulit untuk berdiri tegak. Hendra, yang paling pendiam di antara kami, tidak berani mengangkat wajahnya.Davin berdehem pelan, lalu memandangku dengan senyuman miring yang penuh kebencian. "Ardi, kau tahu kenapa mereka di sini, bukan?" tanyanya, suaranya terdengar seperti pisau yang mengiris perlahan.Aku tidak menjawab,

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Sanctum Perennial (8)

    Pagi di Sanctum terasa lebih dingin dari biasanya, tapi bukan hanya suhu udara yang membuat tubuhku merinding—melainkan tatapan tajam Mirna yang menusuk, seakan menyelami pikiranku hingga ke dasar. Ia berdiri hanya beberapa langkah dariku, sikapnya tegap dan penuh kontrol."Ardi," katanya, suaranya datar namun sarat dengan tekanan. "Kemana saja kau setiap malam, apa yang kau lakukan?"Aku membuka mulut, mencoba merangkai jawaban, tapi Mirna memotongku sebelum satu kata pun keluar."Keributan semalam apa ini ulahmu juga." ucapnya tanpa memberiku jeda. "Apa yang kau cari Ardi, tanpa melibatkan kita semua, apa kau tak percaya pada kami?"Dadaku berdegup kencang. Aku melihat ke arah pintu, memastikan tidak ada orang lain yang mendengar. "Mirna, ini bukan saatnya untuk–""Untuk apa?" ia menyelaku dengan nada penuh emosi. "Untuk mempercayaimu begitu saja? Kau menyembunyikan sesuatu, dan aku tidak akan diam melihat kita semua berada dalam bahaya!"Aku terdiam, mencoba merangkai jawaban yang

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Sanctum Perennial (7)

    Lorong-lorong gelap Sanctum berubah menjadi labirin yang terasa semakin sempit seiring suara sirene yang menggema di seluruh penjuru. Alarm yang nyaring itu menggigit telinga, menciptakan ketegangan yang menekan dada kami. Aku memimpin kelompok kami keluar dari laboratorium, mencoba mengingat setiap tikungan dan lorong tersembunyi yang pernah disebutkan Drian. Di belakangku, Nina terengah-engah sambil memegangi luka kecil di lengannya yang didapat saat merunduk dari salah satu rak logam.“Kita tidak bisa kembali ke gudang,” bisik Drian, matanya melirik ke sekeliling, mencari alternatif. “Mereka akan menyisir setiap sudut Sanctum.”“Kalau begitu, ke mana kita harus pergi?” tanya Hendra dengan nada mendesak.Sebelum aku sempat menjawab, langkah-langkah kaki berat terdengar mendekat. Kami semua terpaku sejenak, lalu tanpa berpikir panjang, aku mengisyaratkan agar kami berlindung di balik pintu baja kecil yang sedikit terbuka. Kami masuk satu per satu dengan cepat, menutup pintu itu denga

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Sanctum Perennial (6)

    Keesokan harinya, langit Sanctum masih kelabu, seakan-akan mendung itu enggan pergi. Langkah-langkah para penghuni terdengar tergesa-gesa di lorong-lorong, dan suasana semakin terasa menyesakkan. Aku tak bisa mengenyahkan rasa gelisah yang menyelubungi pikiranku sejak pertemuan tadi malam. Tawaran Davin masih bergema di benakku seperti jerat yang tak kasat mata.Di ruang arsip, aku duduk bersama Drian, Ayu, dan beberapa anggota faksi Archivists lainnya. Suara gemerisik kertas menjadi latar belakang monoton yang biasanya menenangkan, tetapi hari ini terasa lebih menekan. Drian, seperti biasa, sibuk dengan dokumen-dokumennya. Namun, aku tahu pikirannya tidak sepenuhnya terfokus. Pandangannya sering melayang ke arahku, seolah ingin mengatakan sesuatu, tetapi selalu mengurungkan niatnya.Akhirnya, dia tak tahan lagi. "Ardi," bisiknya pelan, memastikan tak ada yang mendengar. "Kau harus berhati-hati dengan Davin. Aku tak tahu apa yang dia rencanakan, tapi aku yakin dia tidak akan menawarka

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Sanctum Perennial (5)

    Keesokan harinya, suasana Sanctum terasa lebih berat dari biasanya. Langit yang biasanya cerah kini tertutup awan kelabu, seolah mencerminkan perasaan gelisah yang mulai meresap di antara kami semua. Para penghuni berjalan lebih cepat dari biasanya, dengan kepala tertunduk dan langkah tergesa-gesa.Saat aku sedang menyusun arsip di ruang Archivists, Drian menghampiriku. Wajahnya tampak serius, lebih dari biasanya. Dia menyodorkan secarik kertas kecil, nyaris tersembunyi di antara tumpukan dokumen yang dia bawa.“Ini yang berhasil kudapatkan,” bisiknya. “Aku belum bisa mengakses keseluruhan dokumen itu, tapi ada satu kalimat yang menarik perhatian.”Aku membuka kertas kecil itu dan membaca tulisan yang ditulis dengan tergesa-gesa:“Penyintas adalah wadah kosong untuk pemeran, dan untuk menciptakan pemeran buatan maka di butuhkan inti kekuatan dari seorang pemeran murni.”Kalimat itu menancap dalam pikiranku. Apa maksudnya? Siapa yang dimaksud dengan pemeran murni? Apakah orang-orang se

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status