Mobil tua kami akhirnya berhenti di ujung jalan berbatu, asap tipis mengepul dari kap mesin. Mirna mengumpat pelan, memukul setir dengan frustrasi. “Sial, mobil ini sudah tidak bisa jalan lagi,” gumamnya, matanya menatap nanar ke depan.
Kami turun dari mobil, kaki-kaki kami terasa lemah setelah perjalanan panjang tanpa istirahat. Di kejauhan, bayangan bangunan kecil muncul di balik kabut pagi. Aku merasakan kelegaan sekaligus ketegangan yang aneh. Apakah ini pemukiman? Apakah mereka akan menerima kami? “Aku harap mereka tidak seperti Hunters,” bisik Ayu, suaranya penuh kecemasan. Dika memegang busur Gatra dengan erat, waspada terhadap setiap suara. “Kita tidak punya pilihan lain,” katanya singkat. Saat kami mendekati gerbang kayu yang tinggi, dua pria bersenjata muncul dari balik barikade. Wajah mereka penuh bekas luka, dan tatapan mereka tajam. “Berhenti di situ!” seru salah satu dari mereka. Senapannya diarahkan tepat ke dadaku. Aku mengangkat tangan perlahan, menunjukkan bahwa kami tidak berniat melawan. “Kami hanya mencari tempat aman,” kataku dengan suara setenang mungkin. “Tidak ada tempat aman di dunia ini,” jawab pria itu dingin. “Tolong,” Mirna maju selangkah, tangan di dadanya. “Kami sudah kehilangan banyak hal. Kami hanya ingin... Istirahat saja.” Pria itu memandang kami sejenak sebelum memberi isyarat kepada rekannya. Gerbang kayu itu berderit terbuka, memperlihatkan pemukiman kecil dengan rumah-rumah yang dibangun dari sisa-sisa puing. Penduduknya, kebanyakan wanita dan anak-anak, menatap kami dengan rasa curiga. “Kalian boleh masuk, tapi jangan macam-macam,” katanya. “Kita semua sudah cukup menderita tanpa menambah masalah baru.” Begitu kami melangkah masuk, aroma asap kayu dan makanan basi menyeruak di udara. Anak-anak kurus dengan mata cekung bersembunyi di balik kaki ibu mereka, sementara pria-pria dewasa memandang kami seperti ancaman. Rumah-rumah di sini tampak seadanya—dinding dari seng berkarat dan kayu lapuk. Bisik-bisik terdengar di antara penduduk, sebagian menyiratkan rasa curiga, sementara yang lain memandang kami dengan tatapan mengiba. Seorang laki-laki, yang tampaknya pemimpin mereka, mendekati kami. Wajahnya penuh dengan tekad, tapi matanya menyiratkan bahwa aku harus berhati-hati terhadapnya. “Siapa kalian?” tanyanya tegas. Aku menjawab dengan jujur. “Kami para penyintas dari Jakarta. Kami sedang menuju Utara mencari tempat yang memang bisa membantu kami hidup lebih lama.” Laki-laki itu mengangguk pelan, meskipun wajahnya tetap tanpa ekspresi. “Aku Bima pemimpin dari pemukiman ini. Kalian boleh tinggal sementara, tapi ingat ini: setiap orang di sini bekerja untuk bertahan hidup. Tidak ada yang cuma-cuma.” “Terima kasih,” kataku. Dia menunjuk ke arah salah satu bangunan kecil. “Kalian bisa tinggal di sana. Tapi pagi ini, kalian akan membantu kami mengumpulkan makanan di luar perbatasan. Anggap saja sebagai ujian.” Malam itu, saat duduk di sebuah ruangan sempit, kami akhirnya berbicara tentang apa yang telah kami dengar. Beberapa penduduk menyebut tentang “Sanctuary,” sebuah tempat yang dianggap aman dari Voidborn. “Kalau benar ada Sanctuary, kita harus ke sana,” kata Ayu penuh harap. “Tapi bagaimana kita tahu tempat itu benar-benar ada?” balas Dika, nada suaranya skeptis. “Bagaimana kalau itu cuma rumor untuk membuat orang tetap berharap?” Mirna mengangguk. “Dika ada benarnya. Kita tidak bisa mengambil risiko besar hanya berdasarkan desas-desus.” Aku mencoba menengahi. “Kita lihat dulu. Jika memang ada informasi lebih jelas, kita bisa membuat keputusan.” Dika memandangku tajam. “Kenapa harus keputusanmu, Ardi? Kau bukan pemimpin kami.” Kata-katanya membuat suasana ruangan terasa lebih panas. Ayu menatap Dika dengan kesal. “Kalau bukan kak Ardi, siapa lagi? Dia yang menjaga kita sampai sejauh ini!” “Menjaga?” Dika berdiri, wajahnya penuh amarah. “Gatra dan Pak Rusdi mati karena kita terus saja mengikuti rencana tanpa persiapan! Aku sudah memperingatkanmu waktu itu, tapi kau bilang ‘kita tidak punya waktu.’ Dan lihat apa yang terjadi! Aku muak terus-menerus diperlakukan seperti pion dalam rencana yang bahkan kau sendiri tidak yakin berhasil!” Aku berdiri, mencoba menjaga ketenangan. “Aku tidak pernah mengklaim diriku sebagai pemimpin. Aku hanya mencoba membuat kita tetap bertahan hidup.” “Dan kita kehilangan Gatra dan juga Oak Rusdi,” balas Dika, nadanya tajam. Mirna akhirnya berdiri di antara kami, memisahkan sebelum semuanya semakin buruk. “Cukup. Kita semua lelah, dan berdebat seperti ini tidak akan membantu.” Dika menghela napas kasar sebelum akhirnya keluar dari ruangan, meninggalkan kami dalam keheningan yang menyakitkan. Esok paginya, kami bergabung dengan penduduk pemukiman untuk mencari makanan. Di luar perbatasan, ketegangan di antara kami masih terasa, tapi aku tahu bahwa kita tidak punya waktu untuk masalah seperti ini. Saat menjelajahi reruntuhan, aku berbicara dengan Mirna secara pribadi. “Dika tidak salah. Aku... aku memang gagal sebagai pemimpin.” “Semua orang gagal, Ardi,” jawabnya lembut. “Tapi yang membedakan adalah apa yang kau lakukan setelah kegagalan itu.” Aku menatap ke arah pemukiman di kejauhan. Pemukiman ini mungkin terlihat damai di permukaan, tapi dinamika di dalamnya terasa seperti bom waktu yang siap meledak. Aku menyadari ini setelah pertemuan pertamaku dengan Bima, pemimpin mereka. Bima adalah pria berusia awal 40-an dengan postur tegap dan suara yang selalu terdengar tenang namun penuh otoritas. Wajahnya dihiasi janggut tipis yang rapi, memberi kesan seorang pemimpin bijak. Tapi ada sesuatu dalam tatapannya—sesuatu yang membuatku waspada. “Kau pasti Ardi,” katanya sambil mengulurkan tangan saat kami pertama kali bertemu di balai pertemuan kecil pemukiman. “Mendengar dari ceritamu kemarin kau dan kelompokmu baru saja datang dari Jakarta. Perjalanan yang panjang dan berbahaya, aku yakin.” Aku menjabat tangannya, merasakan genggamannya yang kuat. “Ya, kami hanya ingin bertahan hidup.” Bima tersenyum, tapi senyumnya tidak sampai ke matanya. “Itu yang kita semua inginkan, bukan? Bertahan hidup. Tapi di sini, kami sudah menemukan tempat yang cukup aman. Tidak sempurna, tapi setidaknya kami punya rumah.” Malam itu, kelompok kami diundang ke pertemuan pemukim. Balai pertemuan dipenuhi oleh orang-orang yang mendengarkan Bima dengan penuh perhatian. Dia berdiri di depan, berbicara dengan nada yang tenang tapi penuh keyakinan. “Kita sudah bertahan sejauh ini,” katanya, matanya menyapu ruangan. “Pemukiman ini adalah hasil kerja keras kita semua. Tidak ada yang bisa menjamin bahwa tempat seperti Sanctuary itu nyata. Dan bahkan jika nyata, apa jaminannya kita akan diterima di sana?” Mirna, yang duduk di sampingku, menggeleng pelan. “Dia pintar bermain kata,” bisiknya. Aku mengangguk. Bima tidak hanya karismatik; dia juga tahu bagaimana memanfaatkan ketakutan dan keputusasaan orang-orang untuk mempertahankan kontrolnya. Setelah pertemuan, aku memberanikan diri mendekatinya. “Bima, kau pemimpin yang sangat bijaksana, kau mementingkan keselamatan kelompokmu daripada mencoba sesuatu hal yang tidak teruji adanya, tetapi jika Sanctuary benar-benar ada, bukankah itu layak dicoba?” Dia memandangku lama sebelum menjawab. “Ardi, aku mengerti kau ingin melindungi kelompokmu, tapi pemukiman ini sudah cukup. Pergi ke Sanctuary adalah perjudian, dan kita tidak punya sumber daya untuk bertaruh.” “Bagaimana jika itu satu-satunya harapan kita?” Bima tersenyum tipis, tapi tatapannya tajam. “Harapan adalah pedang bermata dua, Ardi. Jangan sampai membunuh dirimu sendiri karenanya.” Di tempat kami tinggal sementara, diskusi memanas di antara kelompok kami. Ayu dan Mirna mendukung gagasan mencari Sanctuary, sementara Dika dan beberapa penduduk merasa lebih baik tetap di pemukiman. “Apa kau tidak melihat? Bima hanya peduli pada kekuasaannya di sini,” kata Mirna dengan nada keras. “Dan apa jaminannya Sanctuary itu nyata?” balas Dika. “Aku tidak mau mati sia-sia di tengah perjalanan.” “Kita juga tidak aman di sini,” potong Mirna. “Kalian lihat sendiri. Mereka punya senjata, tapi persediaan makanan dan obat-obatan minim. Berapa lama ini bisa bertahan?” Aku berdiri di tengah mereka, merasa semua mata tertuju padaku. “Cukup!” kataku tegas. “Kita akan mencari tahu lebih banyak tentang Sanctuary sebelum membuat keputusan. Kita tidak bisa bertindak gegabah.” Meski terlihat tidak puas, semua akhirnya setuju. Tapi aku tahu ini hanya sementara. Malam itu, ketika suara-suara pemukiman mulai mereda dan hanya gemerisik angin yang terdengar, jeritan melengking memecah keheningan. Aku terbangun dengan tubuh berkeringat, mataku langsung mencari sumber suara. Di luar, kobaran api terlihat dari arah gerbang kayu. Bayangan besar dengan mata merah menyala melintas di antara cahaya.Jeritan melengking memecah keheningan malam, menggema di udara dingin pemukiman. Membangunkan semua orang, jantung berdebar kencang setelah suara itu jeritan itu menggema. Tanpa pikir panjang, aku meraih parang yang tergeletak di sudut ruangan. “Voidborn,” bisik Mirna dengan suara gemetar, tangannya menggenggam lengan Ayu erat. Aku melangkah keluar dan langsung disambut pemandangan yang mengerikan. Salah satu barikade kayu di sisi timur telah hancur, dan sosok makhluk itu berdiri di tengah reruntuhan. Tubuhnya besar, hampir setinggi dua manusia dewasa, dengan kulit hitam kelam yang berkilauan di bawah cahaya api. Mata merahnya bersinar, menatap tajam ke arah para penyintas yang panik. Cakar tajamnya, sebesar belati, meneteskan cairan hitam pekat yang menguap saat menyentuh tanah. “Ke barat! Lindungi anak-anak!” teriak Bima, suaranya tegas meskipun wajahnya terlihat tegang. Dia berdiri di depan, memegang senapan, mencoba menenangkan kek
Malam itu menusuk dengan dinginnya, membuat setiap nafas kami terasa berat di udara yang lembab. Kabut tipis menyelimuti jalan berbatu yang kami pijak, seperti tabir rahasia yang melindungi dunia dari mata manusia. Aku menggenggam parang di tanganku, jari-jariku merasakan dingin logamnya—sebuah pengingat bahwa ini adalah satu-satunya pertahanan yang bisa diandalkan. Di belakangku, suara langkah kaki yang terseret menandai kelelahan yang kami semua rasakan."Sanctuary..." pikirku, memandang peta lusuh yang tergenggam di tangan kiriku. Garis-garis kabur di peta itu adalah satu-satunya petunjuk menuju apa yang dikatakan orang-orang sebagai tempat terakhir yang aman. Namun, harapan itu terasa seperti fatamorgana di tengah lautan kehancuran. Aku tidak yakin apa yang lebih berbahaya—percaya bahwa tempat itu nyata atau mengetahui bahwa itu hanyalah ilusi.Di belakang, Mirna dan Ayu berjalan dalam diam. Raut wajah mereka adalah cermin dari apa yang kurasakan—takut, lelah, tapi tidak punya pil
Perjalanan berlanjut di bawah naungan pepohonan yang rapat. Sinar matahari pagi menerobos melalui celah-celah dedaunan, menciptakan pola cahaya dan bayangan yang menari di atas tanah lembab. Udara pagi yang sejuk membawa aroma tanah basah dan dedaunan busuk, bercampur dengan sisa-sisa asap hitam dari Hunter yang telah musnah.Langkah kakiku terasa berat, bukan hanya karena kelelahan fisik, tetapi juga karena beban emosional yang kupikul. Kejadian semalam masih segar dalam ingatan, meninggalkan luka yang tak terlihat. Aku menggenggam parang di tanganku, merasakan dingin logamnya menusuk kulitku—sebuah pengingat bahwa ini adalah satu-satunya pertahanan yang bisa kuandalkan.Aku berjalan di depan, memimpin kelompok kecil ini dengan peta lusuh di tanganku. Sesekali, aku berhenti untuk memeriksa kompas dan memastikan kami tetap berada di jalur yang benar, atau setidaknya, jalur yang kupikir benar. Sanctuary... nama itu terus bergema di benakku. Tempat terakhir yang aman, kata orang-orang.
Langit cerah berganti mendung tipis saat kelompok kecil kami melanjutkan perjalanan. Sungai kecil tadi memberikan jeda, namun kelelahan dan ketegangan tetap terasa seperti beban yang tak bisa dilepaskan. Aku berjalan di depan, mengamati peta lusuh yang mulai robek di bagian pinggirnya, ketika suara Mia memecah keheningan. “Paman Ardi, kau yakin kita nggak tersesat?” tanya Mia dengan nada menggoda sambil menepuk bahuku. Senyumnya lebar, seperti tidak peduli pada ketegangan yang melingkupi kelompok. "Atau jangan-jangan kau hanya mengikuti instingmu saja, paman?" Aku menghela napas panjang. "Mia, aku sudah bilang jangan panggil aku paman." “Kenapa? Kan kau memang seperti paman bagi kami!” Mia terkekeh kecil, membuat Mirna yang berjalan di dekatnya ikut tersenyum tipis. “Aku masih muda, aku baru berusia 28 tahun,” balasku dengan datar, berusaha fokus pada kompas di tanganku. “Oh ya? Dengan semua kerutan di dahimu itu?” godanya lagi, melirik ke arahku sambil mengayunkan langkah dengan
Seorang pria muncul dari balik pintu ptia paruh baya dengan janggut yang lebat, wajahnya dipenuhi bekas luka, dan tubuhnya kekar meski terlihat kelelahan. Dia membawa senapan tua yang sudah usang, menggantung di punggungnya. Matanya tajam, tapi tidak ada ancaman di sana. Justru, ada sesuatu yang membuatku merasa dia telah melihat terlalu banyak—dan kehilangan lebih banyak lagi. “Siapa kalian?” tanyanya dengan suara serak, tetapi tidak mengangkat senjatanya. “Kami hanya para penyintas,” jawabku perlahan, tidak menurunkan parangku. “Kami hanya lewat, mencari tempat untuk beristirahat.” Pria itu mengangguk, lalu masuk ke gedung tanpa meminta izin, duduk di salah satu kursi yang masih utuh. Kami saling bertukar pandang, tidak yakin harus berbuat apa. “Namaku Roy,” katanya akhirnya, tanpa melihat kami. “Aku juga penyintas, seperti kalian.” “Apa kau sendirian?” tanya Hendra curiga. Roy tertawa kecil, tetapi tidak ada humor dalam suaranya. “Kalau aku tidak sendirian, aku tidak ak
Aku berdiri mematung di tengah reruntuhan, napas terengah-engah. Pemandangan di depanku seperti mimpi buruk yang menjadi nyata. Voidborn dan Hunter terus berdatangan, mengepung kami dari segala arah. Langkah mereka perlahan namun pasti, seolah menikmati ketakutan yang mereka tanamkan. Aku bisa merasakan tatapan tajam mereka, haus akan darah, menembus tubuhku. Semua ini salahku. Aku membawa mereka ke sini. Aku yang memilih reruntuhan ini sebagai tempat peristirahatan, menganggapnya aman. Aku yang meyakinkan mereka bahwa ini hanya akan menjadi pemberhentian singkat, bahwa kami butuh waktu untuk mengatur ulang tenaga. Dan sekarang, kami semua akan mati. “Ardi, ini semua karenamu!” teriak Dika yang berjalan dari pintu luar gedung dengan penuh amarah. Dia berdiri beberapa langkah dariku, wajahnya merah padam. “Aku sudah bilang, tempat ini tidak aman! Tapi kau… kau terlalu keras kepala, terlalu percaya diri! Lihat apa yang kau lakukan! Lihat apa yang kau bawa pada kami!” Aku tid
Aku menarik napas panjang, berusaha memusatkan pikiranku di tengah kekacauan dan ketakutan. Aku menatap kelompokku yang kelelahan, lalu kembali mengamati reruntuhan yang kini menjadi sarang Voidborn dan Hunter. Dalam keheningan mencekam, pikiranku mulai merangkai rencana. "Baik," ucapku pelan tapi tegas, suaraku menarik perhatian semua orang. "Kita tidak akan bertahan lama jika tetap di sini. Mereka akan segera menemukan kita jika kita hanya bersembunyi. Jadi, kita harus memanfaatkan situasi ini." Hendra menyipitkan mata. "Apa maksudmu?" Aku menatap mereka satu per satu. "Kita tidak hanya melarikan diri. Kita akan membuat kekacauan, mengadu mereka satu sama lain, dan menggunakan itu sebagai peluang untuk kabur." Aku menunjuk bangunan yang lebih tinggi di ujung reruntuhan. "Voidborn dan Hunter mungkin tidak memiliki kecerdasan seperti kita, tapi mereka punya naluri. Jika kita bisa menciptakan kebisingan besar di satu tempat, mereka akan tertarik ke sana. Aku butuh Hendra, Dika,
Aku tidak tahu berapa lama kami bertarung. Waktu kehilangan maknanya di tengah teriakan, darah, dan suara dentuman benda logam yang bertabrakan dengan kulit Voidborn. Setiap detik terasa seperti sebuah keabadian yang menyiksa. Hendra, yang paling gigih bertahan dengan pistolnya, kini terduduk dengan tubuh penuh luka. Pistol di tangannya telah lama kosong, dan ia menggunakannya untuk memukul kepala Voidborn yang terlalu dekat. Namun, satu serangan dari makhluk itu membuat lengannya patah, darah mengucur dari luka terbuka di bahunya. Ia masih mencoba bertahan, meskipun tubuhnya mulai lunglai, suaranya lemah ketika ia berkata, “Aku... aku masih belum menyerah makhluk bajingan…” Drian, yang semula tampak seperti orang yang tidak berguna, bertahan lebih lama dari yang kuduga. Ia menggunakan batang logam untuk menyerang, mengincar mata dan bagian lemah Voidborn seperti dia telah biasa menggunakan senja. Namun, serangan balik salah satu makhluk itu menghantam dadanya. Ia terlempar, menda
Dunia kembali bergerak.Seakan tersedot dari pusaran kehampaan, aku terhempas ke realitas. Nafasku terputus-putus, dadaku naik turun tak terkendali. Keringat dingin mengalir di pelipisku, dan jari-jariku mati rasa saat aku mencoba menggenggam trisulaku lebih erat. Tubuhku seakan dipaksa menerima beban yang bukan milikku—resonansi antara aku dan Chronarkis masih terasa, mengalir seperti arus tak kasat mata yang menghubungkan kami.Brak!Lututku menghantam tanah. Tanah yang dingin dan kasar merambat di sela jari, seakan menegaskan bahwa aku masih ada di sini, masih hidup. Suara napasku bercampur dengan desir angin yang membawa serpihan debu dan abu di udara. Cahaya redup dari langit yang koyak oleh kekuatan yang tak kasat mata perlahan memudar, seolah takut mengungkap rahasia yang baru saja terkuak."Apa kau baik-baik saja?"Suara Revan membelah keheningan. Aku mendongak, melihatnya bergegas ke arahku, ekspresinya dipenuhi kekhawatiran. Ia tak perlu bertanya dua kali. Dengan susah payah
Kegelapan berdenyut di sekeliling Ariel, nyala api hitam berputar liar seperti ular ganas yang hendak memangsa segalanya. Napasnya berat, langkahnya menyeret, tetapi matanya—mata merah menyala yang menjadi simbol kekuasaan Barong—tetap terkunci padaku. Aku bersiap menghindar, otakku bekerja cepat mencari celah dalam serangannya.Tapi tiba-tiba—WUSHH!Sebuah cahaya emas meledak dari tubuh Ariel. Sejenak, seolah-olah waktu tersendat, lalu berhenti total. Angin yang tadinya menggila kini membeku di udara, debu yang beterbangan pun mengapung tanpa arah. Bahkan api yang menari di sekeliling Ariel berhenti, nyaris seperti lukisan yang dipaksa diam dalam satu momen abadi.Aku menegang. Eternal Flow Manipulation-ku? Tidak. Ini bukan aku yang mengaktifkannya.Sebuah tekanan luar biasa membanjiri ruang di sekelilingku, membuat bulu kudukku berdiri. Dari bayanganku sendiri, sesuatu merayap keluar. Aku bisa merasakan keberadaannya bahkan sebelum melihat sosoknya.Kemudian, ia muncul.Sosok itu m
Udara di sekitar kami bergetar, panas yang menyengat merayap di kulit, membuat napas terasa berat. Debu-debu hangus melayang, terbawa oleh angin panas yang entah berasal dari serangan Ariel sebelumnya atau dari dirinya sendiri.Mata Revan menyipit, keringat mengalir di pelipisnya. "Sepertinya dia kehilangan kontrol atas tubuhnya," gumamnya, suaranya nyaris tenggelam dalam deru api yang mengamuk. Dengan cepat, dia mengangkat tangannya. "Zephyr Suppression."Raungan angin terdengar nyaring saat pusaran udara terbentuk di sekitar Ariel, membelit tubuhnya seperti rantai tak kasat mata. Namun sebelum cengkeraman angin bisa menahan gerakannya, Ariel mengangkat pedang reliknya tinggi-tinggi. Mata keemasannya berkilat sesaat sebelum berubah menjadi merah."Divine Reflection."Kilatan cahaya meledak dari tubuhnya, memantulkan energi angin yang seharusnya membelenggunya. Seakan tak tersentuh, ia melangkah maju tanpa kesulitan sedikit pun.Revan terhuyung ke belakang, tangannya masih terangkat de
Kilatan cahaya menyambar cakrawala. Petir menggelegar, suaranya menggema seperti raungan raksasa yang marah. Langit yang tadinya cerah kini berubah kelam, seakan ditelan sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar awan mendung. Udara menjadi berat, seperti ribuan ton besi menekan dada.Aku berdiri di tengah padang yang luas, trisula sudah dalam genggamanku. Angin bertiup liar, merontokkan dedaunan dan menerbangkan debu hingga membentuk pusaran kecil di sekeliling kami. Di sampingku, Revan berdiri dengan tenang, tatapannya tajam seperti pisau yang baru diasah. Di sisi lain, Ariel tampak gelisah, matanya menari-nari di antara kami dan langit yang mulai retak."Sebentar lagi dia akan muncul," ucapku, suaraku tenggelam dalam riuhnya gemuruh yang terus beresonansi.Revan mengangguk pelan. Dia tahu. Sepertinya dia sudah melihat ini sebelumnya. Namun Ariel… Ariel tidak. Tangannya mencengkeram relik pedang yang kuberikan, jemarinya gemetar meski ia berusaha menyembunyikannya."Apa yang akan mu
Udara dingin menerpa kulitku seperti pisau tipis yang menggores perlahan. Di hadapanku, Ariel terkunci dalam pusaran angin yang menderu seperti raungan serigala lapar, seakan mencoba menelan tubuhnya bulat-bulat. Keringat dingin mengalir di pelipisku saat melihat tubuhnya bergetar hebat di dalam lingkaran udara yang melingkupinya."Sial..." gumamku, mengepalkan tangan dengan gelisah. Suara angin yang berputar kencang membuat sekeliling terasa seperti badai yang mengamuk. Aku melirik pria itu, sosok misterius yang baru saja muncul dari reruntuhan. Tangannya terulur, mengendalikan barrier angin yang menekan Ariel.Aku meneguk ludah, lalu melangkah mendekatinya. "Apa dia akan baik-baik saja?" tanyaku, suaraku nyaris tenggelam dalam deru angin.Pria itu tak langsung menjawab. Tatapannya tetap terkunci pada Ariel, dingin dan tajam, seperti burung pemangsa yang mengamati mangsanya. "Entahlah," jawabnya akhirnya, suaranya tenang tapi penuh ketegangan. "Yang bisa aku lakukan hanya menahan kek
Suasana berat mencekam saat kami melangkah meninggalkan reruntuhan yang kini hanya menyisakan puing-puing dan bayangan kematian. Bau anyir darah bercampur dengan aroma karat besi, menguar tajam di udara malam yang dingin. Setiap tarikan napas serasa mencengkram paru-paru, berat, pengap, seakan dunia sendiri mencoba menahan kami untuk tidak pergi.Srek.Butiran pasir bergeser di bawah sepatu kami. Angin menderu, melolong di antara bebatuan, berbisik lirih seperti suara mereka yang telah gugur.Aku melirik ke samping. Ariel berjalan di sebelahku, langkahnya tetap tegas, namun ada sesuatu yang berbeda. Bahunya tegang, napasnya pendek dan tersendat. Biasanya, mata emasnya selalu berkilat penuh keyakinan. Tapi kini, sorot itu meredup—seperti api yang kehilangan bahan bakarnya.Srek.Kami terus berjalan. Tapi lalu—Ariel berhenti.Satu tangannya menekan pelipis, napasnya tertahan. Aku melihatnya menarik napas dalam-dalam, tapi ada getaran halus di jemarinya, begitu samar, nyaris tak terliha
Aku melangkah pelan di atas pasir hitam yang masih terasa hangat. Ombak pecah di kejauhan, gemuruhnya berulang dalam irama yang menghipnotis, membawa aroma garam dan kehancuran yang bercampur menjadi satu.Di sekelilingku, reruntuhan vila-vila mewah berserakan tak berbentuk. Atap-atap ambruk, tembok-tembok retak, dan kayu-kayu yang dulunya menopang bangunan kini hanyut terbawa air pasang. Cahaya bulan memantul di permukaan air laut, menciptakan kilauan yang kontras dengan puing-puing yang terombang-ambing di permukaan.Aku berhenti melangkah dan menatap pedang di tanganku. Bilahnya berpendar samar di bawah sinar bulan yang semakin redup. Pedang relik Mutiara Merah. Aku menggenggamnya erat, merasakan energi dingin menjalar dari gagangnya ke telapak tanganku. Namun, semakin lama aku memegangnya, semakin aku merasa ada sesuatu yang tidak selaras denganku. Pedang ini… bukan untukku."Ada apa?" suara Ariel membuyarkan lamunanku. Aku menoleh, melihatnya berdiri beberapa langkah di depanku,
Udara panas yang masih tersisa dari pertempuran perlahan menghilang, digantikan dengan kesunyian yang berat. Aroma tanah yang terbakar dan abu yang beterbangan membuat napasku terasa sesak. Setiap langkah yang kuambil menuju altar Borobudur terasa seperti berjalan di atas batu bara panas.Ariel berjalan di sampingku, sesekali mencuri pandang ke arahku. "Akhirnya kita berhasil juga," ucapnya dengan suara lega, tetapi napasnya masih tersengal-sengal.Aku hanya diam, membiarkan tatapanku terpaku pada altar di depanku. Mutiara Merah berpendar redup, seolah mengintai dari dalam kegelapan, menunggu keberanian seseorang untuk menyentuhnya. Aku mengangkat tanganku, jari-jariku gemetar saat mendekati permukaannya yang bercahaya.Begitu ujung jariku menyentuhnya, gelombang panas menghantam sekujur tubuhku. Rasa terbakar menjalari telapak tanganku, membuat rahangku mengatup erat, menahan erangan yang hampir lolos. Cahaya merah menyembur, menelan pandanganku dalam ledakan kilau yang menyilaukan.D
Suasana berubah drastis. Udara yang sebelumnya hanya dipenuhi percikan api kini terasa seperti tungku neraka yang siap menelan siapa pun yang mendekat. Api yang berkobar di sekitar tubuh Genta bukan lagi sekadar nyala biasa. Warna merahnya perlahan berubah menjadi biru terang, seakan-akan panasnya telah melampaui batas wajar. Setiap langkahnya membuat udara bergemuruh, seperti ada tekanan tak kasat mata yang menghantam siapa pun di sekelilingnya.Julian menggeram, matanya memicing tajam ke arah Genta yang kini semakin tak terkendali. "Bajingan itu... Dia malah mengamuk sesuka hatinya," gumamnya dengan nada frustrasi.Reina, yang berdiri di sampingnya, mendengus kesal. "Dia sendiri yang bilang jangan terprovokasi, tetapi malah dia yang termakan provokasinya."Sementara itu, aku hanya bisa bertahan di balik Divine Reflection milik Ariel. Lapisan tak kasat mata itu masih mampu menahan panasnya api Genta, tetapi aku tahu, perlindungan ini tak akan bertahan lama. Retakan-retakan halus mula