Share

Para penyintas

Penulis: Deni A. Arafah
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-05 00:56:35

Mobil tua kami akhirnya berhenti di ujung jalan berbatu, asap tipis mengepul dari kap mesin. Mirna mengumpat pelan, memukul setir dengan frustrasi. “Sial, mobil ini sudah tidak bisa jalan lagi,” gumamnya, matanya menatap nanar ke depan.

Kami turun dari mobil, kaki-kaki kami terasa lemah setelah perjalanan panjang tanpa istirahat. Di kejauhan, bayangan bangunan kecil muncul di balik kabut pagi. Aku merasakan kelegaan sekaligus ketegangan yang aneh. Apakah ini pemukiman? Apakah mereka akan menerima kami?

“Aku harap mereka tidak seperti Hunters,” bisik Ayu, suaranya penuh kecemasan.

Dika memegang busur Gatra dengan erat, waspada terhadap setiap suara. “Kita tidak punya pilihan lain,” katanya singkat.

Saat kami mendekati gerbang kayu yang tinggi, dua pria bersenjata muncul dari balik barikade. Wajah mereka penuh bekas luka, dan tatapan mereka tajam.

“Berhenti di situ!” seru salah satu dari mereka. Senapannya diarahkan tepat ke dadaku.

Aku mengangkat tangan perlahan, menunjukkan bahwa kami tidak berniat melawan. “Kami hanya mencari tempat aman,” kataku dengan suara setenang mungkin.

“Tidak ada tempat aman di dunia ini,” jawab pria itu dingin.

“Tolong,” Mirna maju selangkah, tangan di dadanya. “Kami sudah kehilangan banyak hal. Kami hanya ingin... Istirahat saja.”

Pria itu memandang kami sejenak sebelum memberi isyarat kepada rekannya. Gerbang kayu itu berderit terbuka, memperlihatkan pemukiman kecil dengan rumah-rumah yang dibangun dari sisa-sisa puing. Penduduknya, kebanyakan wanita dan anak-anak, menatap kami dengan rasa curiga.

“Kalian boleh masuk, tapi jangan macam-macam,” katanya. “Kita semua sudah cukup menderita tanpa menambah masalah baru.”

Begitu kami melangkah masuk, aroma asap kayu dan makanan basi menyeruak di udara. Anak-anak kurus dengan mata cekung bersembunyi di balik kaki ibu mereka, sementara pria-pria dewasa memandang kami seperti ancaman. Rumah-rumah di sini tampak seadanya—dinding dari seng berkarat dan kayu lapuk. Bisik-bisik terdengar di antara penduduk, sebagian menyiratkan rasa curiga, sementara yang lain memandang kami dengan tatapan mengiba.

Seorang laki-laki, yang tampaknya pemimpin mereka, mendekati kami. Wajahnya penuh dengan tekad, tapi matanya menyiratkan bahwa aku harus berhati-hati terhadapnya. “Siapa kalian?” tanyanya tegas.

Aku menjawab dengan jujur. “Kami para penyintas dari Jakarta. Kami sedang menuju Utara mencari tempat yang memang bisa membantu kami hidup lebih lama.”

Laki-laki itu mengangguk pelan, meskipun wajahnya tetap tanpa ekspresi. “Aku Bima pemimpin dari pemukiman ini. Kalian boleh tinggal sementara, tapi ingat ini: setiap orang di sini bekerja untuk bertahan hidup. Tidak ada yang cuma-cuma.”

“Terima kasih,” kataku.

Dia menunjuk ke arah salah satu bangunan kecil. “Kalian bisa tinggal di sana. Tapi pagi ini, kalian akan membantu kami mengumpulkan makanan di luar perbatasan. Anggap saja sebagai ujian.”

Malam itu, saat duduk di sebuah ruangan sempit, kami akhirnya berbicara tentang apa yang telah kami dengar. Beberapa penduduk menyebut tentang “Sanctuary,” sebuah tempat yang dianggap aman dari Voidborn.

“Kalau benar ada Sanctuary, kita harus ke sana,” kata Ayu penuh harap.

“Tapi bagaimana kita tahu tempat itu benar-benar ada?” balas Dika, nada suaranya skeptis. “Bagaimana kalau itu cuma rumor untuk membuat orang tetap berharap?”

Mirna mengangguk. “Dika ada benarnya. Kita tidak bisa mengambil risiko besar hanya berdasarkan desas-desus.”

Aku mencoba menengahi. “Kita lihat dulu. Jika memang ada informasi lebih jelas, kita bisa membuat keputusan.”

Dika memandangku tajam. “Kenapa harus keputusanmu, Ardi? Kau bukan pemimpin kami.”

Kata-katanya membuat suasana ruangan terasa lebih panas. Ayu menatap Dika dengan kesal. “Kalau bukan kak Ardi, siapa lagi? Dia yang menjaga kita sampai sejauh ini!”

“Menjaga?” Dika berdiri, wajahnya penuh amarah. “Gatra dan Pak Rusdi mati karena kita terus saja mengikuti rencana tanpa persiapan! Aku sudah memperingatkanmu waktu itu, tapi kau bilang ‘kita tidak punya waktu.’ Dan lihat apa yang terjadi! Aku muak terus-menerus diperlakukan seperti pion dalam rencana yang bahkan kau sendiri tidak yakin berhasil!”

Aku berdiri, mencoba menjaga ketenangan. “Aku tidak pernah mengklaim diriku sebagai pemimpin. Aku hanya mencoba membuat kita tetap bertahan hidup.”

“Dan kita kehilangan Gatra dan juga Oak Rusdi,” balas Dika, nadanya tajam.

Mirna akhirnya berdiri di antara kami, memisahkan sebelum semuanya semakin buruk. “Cukup. Kita semua lelah, dan berdebat seperti ini tidak akan membantu.”

Dika menghela napas kasar sebelum akhirnya keluar dari ruangan, meninggalkan kami dalam keheningan yang menyakitkan.

Esok paginya, kami bergabung dengan penduduk pemukiman untuk mencari makanan. Di luar perbatasan, ketegangan di antara kami masih terasa, tapi aku tahu bahwa kita tidak punya waktu untuk masalah seperti ini.

Saat menjelajahi reruntuhan, aku berbicara dengan Mirna secara pribadi. “Dika tidak salah. Aku... aku memang gagal sebagai pemimpin.”

“Semua orang gagal, Ardi,” jawabnya lembut. “Tapi yang membedakan adalah apa yang kau lakukan setelah kegagalan itu.”

Aku menatap ke arah pemukiman di kejauhan. Pemukiman ini mungkin terlihat damai di permukaan, tapi dinamika di dalamnya terasa seperti bom waktu yang siap meledak. Aku menyadari ini setelah pertemuan pertamaku dengan Bima, pemimpin mereka.

Bima adalah pria berusia awal 40-an dengan postur tegap dan suara yang selalu terdengar tenang namun penuh otoritas. Wajahnya dihiasi janggut tipis yang rapi, memberi kesan seorang pemimpin bijak. Tapi ada sesuatu dalam tatapannya—sesuatu yang membuatku waspada.

“Kau pasti Ardi,” katanya sambil mengulurkan tangan saat kami pertama kali bertemu di balai pertemuan kecil pemukiman. “Mendengar dari ceritamu kemarin kau dan kelompokmu baru saja datang dari Jakarta. Perjalanan yang panjang dan berbahaya, aku yakin.”

Aku menjabat tangannya, merasakan genggamannya yang kuat. “Ya, kami hanya ingin bertahan hidup.”

Bima tersenyum, tapi senyumnya tidak sampai ke matanya. “Itu yang kita semua inginkan, bukan? Bertahan hidup. Tapi di sini, kami sudah menemukan tempat yang cukup aman. Tidak sempurna, tapi setidaknya kami punya rumah.”

Malam itu, kelompok kami diundang ke pertemuan pemukim. Balai pertemuan dipenuhi oleh orang-orang yang mendengarkan Bima dengan penuh perhatian. Dia berdiri di depan, berbicara dengan nada yang tenang tapi penuh keyakinan.

“Kita sudah bertahan sejauh ini,” katanya, matanya menyapu ruangan. “Pemukiman ini adalah hasil kerja keras kita semua. Tidak ada yang bisa menjamin bahwa tempat seperti Sanctuary itu nyata. Dan bahkan jika nyata, apa jaminannya kita akan diterima di sana?”

Mirna, yang duduk di sampingku, menggeleng pelan. “Dia pintar bermain kata,” bisiknya.

Aku mengangguk. Bima tidak hanya karismatik; dia juga tahu bagaimana memanfaatkan ketakutan dan keputusasaan orang-orang untuk mempertahankan kontrolnya.

Setelah pertemuan, aku memberanikan diri mendekatinya. “Bima, kau pemimpin yang sangat bijaksana, kau mementingkan keselamatan kelompokmu daripada mencoba sesuatu hal yang tidak teruji adanya, tetapi jika Sanctuary benar-benar ada, bukankah itu layak dicoba?”

Dia memandangku lama sebelum menjawab. “Ardi, aku mengerti kau ingin melindungi kelompokmu, tapi pemukiman ini sudah cukup. Pergi ke Sanctuary adalah perjudian, dan kita tidak punya sumber daya untuk bertaruh.”

“Bagaimana jika itu satu-satunya harapan kita?”

Bima tersenyum tipis, tapi tatapannya tajam. “Harapan adalah pedang bermata dua, Ardi. Jangan sampai membunuh dirimu sendiri karenanya.”

Di tempat kami tinggal sementara, diskusi memanas di antara kelompok kami. Ayu dan Mirna mendukung gagasan mencari Sanctuary, sementara Dika dan beberapa penduduk merasa lebih baik tetap di pemukiman.

“Apa kau tidak melihat? Bima hanya peduli pada kekuasaannya di sini,” kata Mirna dengan nada keras.

“Dan apa jaminannya Sanctuary itu nyata?” balas Dika. “Aku tidak mau mati sia-sia di tengah perjalanan.”

“Kita juga tidak aman di sini,” potong Mirna. “Kalian lihat sendiri. Mereka punya senjata, tapi persediaan makanan dan obat-obatan minim. Berapa lama ini bisa bertahan?”

Aku berdiri di tengah mereka, merasa semua mata tertuju padaku. “Cukup!” kataku tegas. “Kita akan mencari tahu lebih banyak tentang Sanctuary sebelum membuat keputusan. Kita tidak bisa bertindak gegabah.”

Meski terlihat tidak puas, semua akhirnya setuju. Tapi aku tahu ini hanya sementara.

Malam itu, ketika suara-suara pemukiman mulai mereda dan hanya gemerisik angin yang terdengar, jeritan melengking memecah keheningan. Aku terbangun dengan tubuh berkeringat, mataku langsung mencari sumber suara. Di luar, kobaran api terlihat dari arah gerbang kayu. Bayangan besar dengan mata merah menyala melintas di antara cahaya.

Bab terkait

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Para penyintas (2)

    Jeritan melengking memecah keheningan malam, menggema di udara dingin pemukiman. Membangunkan semua orang, jantung berdebar kencang setelah suara itu jeritan itu menggema. Tanpa pikir panjang, aku meraih parang yang tergeletak di sudut ruangan. “Voidborn,” bisik Mirna dengan suara gemetar, tangannya menggenggam lengan Ayu erat. Aku melangkah keluar dan langsung disambut pemandangan yang mengerikan. Salah satu barikade kayu di sisi timur telah hancur, dan sosok makhluk itu berdiri di tengah reruntuhan. Tubuhnya besar, hampir setinggi dua manusia dewasa, dengan kulit hitam kelam yang berkilauan di bawah cahaya api. Mata merahnya bersinar, menatap tajam ke arah para penyintas yang panik. Cakar tajamnya, sebesar belati, meneteskan cairan hitam pekat yang menguap saat menyentuh tanah. “Ke barat! Lindungi anak-anak!” teriak Bima, suaranya tegas meskipun wajahnya terlihat tegang. Dia berdiri di depan, memegang senapan, mencoba menenangkan kek

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-05
  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Para penyintas (3)

    Malam itu menusuk dengan dinginnya, membuat setiap nafas kami terasa berat di udara yang lembab. Kabut tipis menyelimuti jalan berbatu yang kami pijak, seperti tabir rahasia yang melindungi dunia dari mata manusia. Aku menggenggam parang di tanganku, jari-jariku merasakan dingin logamnya—sebuah pengingat bahwa ini adalah satu-satunya pertahanan yang bisa diandalkan. Di belakangku, suara langkah kaki yang terseret menandai kelelahan yang kami semua rasakan."Sanctuary..." pikirku, memandang peta lusuh yang tergenggam di tangan kiriku. Garis-garis kabur di peta itu adalah satu-satunya petunjuk menuju apa yang dikatakan orang-orang sebagai tempat terakhir yang aman. Namun, harapan itu terasa seperti fatamorgana di tengah lautan kehancuran. Aku tidak yakin apa yang lebih berbahaya—percaya bahwa tempat itu nyata atau mengetahui bahwa itu hanyalah ilusi.Di belakang, Mirna dan Ayu berjalan dalam diam. Raut wajah mereka adalah cermin dari apa yang kurasakan—takut, lelah, tapi tidak punya pil

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-07
  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Para penyintas (4)

    Perjalanan berlanjut di bawah naungan pepohonan yang rapat. Sinar matahari pagi menerobos melalui celah-celah dedaunan, menciptakan pola cahaya dan bayangan yang menari di atas tanah lembab. Udara pagi yang sejuk membawa aroma tanah basah dan dedaunan busuk, bercampur dengan sisa-sisa asap hitam dari Hunter yang telah musnah.Langkah kakiku terasa berat, bukan hanya karena kelelahan fisik, tetapi juga karena beban emosional yang kupikul. Kejadian semalam masih segar dalam ingatan, meninggalkan luka yang tak terlihat. Aku menggenggam parang di tanganku, merasakan dingin logamnya menusuk kulitku—sebuah pengingat bahwa ini adalah satu-satunya pertahanan yang bisa kuandalkan.Aku berjalan di depan, memimpin kelompok kecil ini dengan peta lusuh di tanganku. Sesekali, aku berhenti untuk memeriksa kompas dan memastikan kami tetap berada di jalur yang benar, atau setidaknya, jalur yang kupikir benar. Sanctuary... nama itu terus bergema di benakku. Tempat terakhir yang aman, kata orang-orang.

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-07
  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Para penyintas (5)

    Langit cerah berganti mendung tipis saat kelompok kecil kami melanjutkan perjalanan. Sungai kecil tadi memberikan jeda, namun kelelahan dan ketegangan tetap terasa seperti beban yang tak bisa dilepaskan. Aku berjalan di depan, mengamati peta lusuh yang mulai robek di bagian pinggirnya, ketika suara Mia memecah keheningan. “Paman Ardi, kau yakin kita nggak tersesat?” tanya Mia dengan nada menggoda sambil menepuk bahuku. Senyumnya lebar, seperti tidak peduli pada ketegangan yang melingkupi kelompok. "Atau jangan-jangan kau hanya mengikuti instingmu saja, paman?" Aku menghela napas panjang. "Mia, aku sudah bilang jangan panggil aku paman." “Kenapa? Kan kau memang seperti paman bagi kami!” Mia terkekeh kecil, membuat Mirna yang berjalan di dekatnya ikut tersenyum tipis. “Aku masih muda, aku baru berusia 28 tahun,” balasku dengan datar, berusaha fokus pada kompas di tanganku. “Oh ya? Dengan semua kerutan di dahimu itu?” godanya lagi, melirik ke arahku sambil mengayunkan langkah dengan

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-07
  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Para penyintas (6)

    Seorang pria muncul dari balik pintu ptia paruh baya dengan janggut yang lebat, wajahnya dipenuhi bekas luka, dan tubuhnya kekar meski terlihat kelelahan. Dia membawa senapan tua yang sudah usang, menggantung di punggungnya. Matanya tajam, tapi tidak ada ancaman di sana. Justru, ada sesuatu yang membuatku merasa dia telah melihat terlalu banyak—dan kehilangan lebih banyak lagi. “Siapa kalian?” tanyanya dengan suara serak, tetapi tidak mengangkat senjatanya. “Kami hanya para penyintas,” jawabku perlahan, tidak menurunkan parangku. “Kami hanya lewat, mencari tempat untuk beristirahat.” Pria itu mengangguk, lalu masuk ke gedung tanpa meminta izin, duduk di salah satu kursi yang masih utuh. Kami saling bertukar pandang, tidak yakin harus berbuat apa. “Namaku Roy,” katanya akhirnya, tanpa melihat kami. “Aku juga penyintas, seperti kalian.” “Apa kau sendirian?” tanya Hendra curiga. Roy tertawa kecil, tetapi tidak ada humor dalam suaranya. “Kalau aku tidak sendirian, aku tidak ak

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-08
  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Para penyintas (7)

    Aku berdiri mematung di tengah reruntuhan, napas terengah-engah. Pemandangan di depanku seperti mimpi buruk yang menjadi nyata. Voidborn dan Hunter terus berdatangan, mengepung kami dari segala arah. Langkah mereka perlahan namun pasti, seolah menikmati ketakutan yang mereka tanamkan. Aku bisa merasakan tatapan tajam mereka, haus akan darah, menembus tubuhku. Semua ini salahku. Aku membawa mereka ke sini. Aku yang memilih reruntuhan ini sebagai tempat peristirahatan, menganggapnya aman. Aku yang meyakinkan mereka bahwa ini hanya akan menjadi pemberhentian singkat, bahwa kami butuh waktu untuk mengatur ulang tenaga. Dan sekarang, kami semua akan mati. “Ardi, ini semua karenamu!” teriak Dika yang berjalan dari pintu luar gedung dengan penuh amarah. Dia berdiri beberapa langkah dariku, wajahnya merah padam. “Aku sudah bilang, tempat ini tidak aman! Tapi kau… kau terlalu keras kepala, terlalu percaya diri! Lihat apa yang kau lakukan! Lihat apa yang kau bawa pada kami!” Aku tid

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-08
  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Para penyintas (8)

    Aku menarik napas panjang, berusaha memusatkan pikiranku di tengah kekacauan dan ketakutan. Aku menatap kelompokku yang kelelahan, lalu kembali mengamati reruntuhan yang kini menjadi sarang Voidborn dan Hunter. Dalam keheningan mencekam, pikiranku mulai merangkai rencana. "Baik," ucapku pelan tapi tegas, suaraku menarik perhatian semua orang. "Kita tidak akan bertahan lama jika tetap di sini. Mereka akan segera menemukan kita jika kita hanya bersembunyi. Jadi, kita harus memanfaatkan situasi ini." Hendra menyipitkan mata. "Apa maksudmu?" Aku menatap mereka satu per satu. "Kita tidak hanya melarikan diri. Kita akan membuat kekacauan, mengadu mereka satu sama lain, dan menggunakan itu sebagai peluang untuk kabur." Aku menunjuk bangunan yang lebih tinggi di ujung reruntuhan. "Voidborn dan Hunter mungkin tidak memiliki kecerdasan seperti kita, tapi mereka punya naluri. Jika kita bisa menciptakan kebisingan besar di satu tempat, mereka akan tertarik ke sana. Aku butuh Hendra, Dika,

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-09
  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Para penyintas (9)

    Aku tidak tahu berapa lama kami bertarung. Waktu kehilangan maknanya di tengah teriakan, darah, dan suara dentuman benda logam yang bertabrakan dengan kulit Voidborn. Setiap detik terasa seperti sebuah keabadian yang menyiksa. Hendra, yang paling gigih bertahan dengan pistolnya, kini terduduk dengan tubuh penuh luka. Pistol di tangannya telah lama kosong, dan ia menggunakannya untuk memukul kepala Voidborn yang terlalu dekat. Namun, satu serangan dari makhluk itu membuat lengannya patah, darah mengucur dari luka terbuka di bahunya. Ia masih mencoba bertahan, meskipun tubuhnya mulai lunglai, suaranya lemah ketika ia berkata, “Aku... aku masih belum menyerah makhluk bajingan…” Drian, yang semula tampak seperti orang yang tidak berguna, bertahan lebih lama dari yang kuduga. Ia menggunakan batang logam untuk menyerang, mengincar mata dan bagian lemah Voidborn seperti dia telah biasa menggunakan senja. Namun, serangan balik salah satu makhluk itu menghantam dadanya. Ia terlempar, menda

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-09

Bab terbaru

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Borobudur (13)

    Udara di sekitarku mulai membara, panas yang tak wajar menggantung di atmosfer. Kabut hitam perlahan-lahan menyebar, bergulung seperti makhluk hidup yang merespons sesuatu yang lebih besar. Aku bisa merasakan bulu kudukku berdiri. Sesuatu sedang terjadi.Julian mulai bangkit dari reruntuhan yang ia tabrak, ekspresinya kini dipenuhi kewaspadaan. Mata tajamnya menelusuri sosokku dari ujung kepala hingga ujung kaki. Dia sedang menganalisis, mengukur, mencoba memahami kekuatan yang baru saja aku tunjukkan."Menarik," gumamnya, suara rendahnya hampir tertelan oleh desisan energi yang bergetar di udara. "Jadi kau masih punya kartu truf yang belum kau tunjukkan, huh?"Di sebelahnya, Genta mengibaskan pedangnya yang berlapis api. Percikan berloncatan di udara, menciptakan suara mendesis saat menyentuh reruntuhan di sekitar. Aku bisa merasakan panasnya, meski berdiri cukup jauh. Mata Genta menyipit, penuh dengan ketegangan."Baiklah," katanya, nada suaranya bergetar dengan keyakinan yang tak t

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Borobudur (12)

    Udara di sekitar candi semakin panas, membuat dedaunan kering di tanah mulai berkerut dan terbakar perlahan. Tembok api yang menjulang tinggi mengelilingi mereka, lidah-lidah apinya menari liar, menciptakan suara gemeretak yang mengancam. Genta berdiri di seberang, wajahnya dipenuhi senyum puas saat dia melihat Raka yang terengah-engah di tengah arena yang telah mereka ciptakan. Tidak ada jalan keluar."Lebih baik kau menyerah," suara Reina menggema, terdengar seperti bisikan iblis yang menikmati penderitaan mangsanya. "Biar aku bisa merasakan bagaimana rasanya menumpahkan darah pahlawan terkuat."Raka berdiri dengan susah payah, keringat bercampur darah menetes dari pelipisnya, jatuh ke tanah yang mulai menghitam akibat suhu tinggi. Nafasnya berat, dadanya naik turun tidak beraturan. Aura biru di pedangnya yang sebelumnya bersinar terang kini mulai meredup, seakan merespons kelelahan pemiliknya. Namun, matanya tetap tajam, membara dengan tekad."Berisik," geramnya, sebelum mendorong

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Borobudur (11)

    Bayangan merayap di atas altar, menciptakan ilusi seakan dunia di dalam reruntuhan Borobudur itu sendiri menahan napas. Debu melayang di udara, terbawa gelombang energi yang memancar dari para petarung. Di antara reruntuhan yang bercahaya redup, tujuan mereka hanya satu: mutiara merah di atas altar yang memancarkan cahaya berdenyut seolah memiliki detak jantung sendiri. Reina melesat bagaikan bayangan yang menyatu dengan kegelapan. Tubuhnya bergerak lincah, hampir tak terlihat di antara celah-celah cahaya yang bersinar dari reruntuhan kuil. Cakarnya yang panjang berselimut energi hitam merobek udara, mengincar sosok Lina yang berdiri di tengah dengan tangan terangkat, membentuk barrier bercahaya emas. "Lihat di belakangmu, nona pahlawan." Suara Reina terdengar lirih, hampir seperti bisikan yang menyelinap ke dalam telinga Lina. Bibirnya melengkung dalam seringai tajam. Tepat sebelum cakar Reina menembus punggungnya, Lina mendengar teriakan dari belakang, "Lina, di belakangmu!" Di

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Borobudur (10)

    Hening menyelimuti medan pertempuran setelah ledakan dahsyat yang menghancurkan Banaspati. Hanya suara angin yang menderu pelan di antara reruntuhan yang tersisa. Debu masih melayang di udara, menciptakan siluet samar-samar yang kini berdiri di tengah sisa-sisa pertempuran.Langkah kaki kelompok Raka akhirnya terhenti saat mereka mendekati altar, di mana tiga orang yang tadi menyerang berdiri di hadapan relik mutiara merah. Batu-batu altar memancarkan sinar kemerahan, seperti merespons kehadiran mereka. Cahaya bulan yang tertutup awan memberikan kesan menyeramkan pada sosok-sosok yang berdiri di atasnya."Ho..." Suara lembut namun penuh ejekan terdengar. Reina menatap kelompok Raka dengan senyum miring, seolah menemukan mainan baru. "Ternyata ada yang selamat dari peliharaanku."Raka menatap Julian dengan sorot mata penuh kebencian. Rahangnya mengeras, dan genggaman pedangnya semakin erat. "Kau... Orang yang melawan Ardi Sanctum Perennial!"Julian menoleh santai, matanya yang berwarna

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Borobudur (9)

    Aku dan Ariel bersembunyi di balik salah satu pilar besar candi, napas kami tertahan, hanya bisa mengamati kejadian yang berlangsung di depan mata. Dari sela-sela reruntuhan batuan tua, aku bisa melihat dengan jelas bagaimana api berkobar di sekitar candi, menciptakan suasana neraka yang nyata. Bau hangus dari daging yang terbakar menyusup ke hidung, menyisakan rasa mual yang sulit ditepis."Apa yang harus kita lakukan?" bisik Ariel, suaranya hampir tenggelam oleh suara gemuruh pertempuran di depan.Aku mengangkat tangan kanan, mengisyaratkan agar dia tetap diam. "Tunggu," bisikku pelan. "Situasinya belum menguntungkan untuk kita terjun ke sana. Kita lihat saja dulu."Ariel mengangguk pelan, matanya tak lepas dari medan pertempuran. Aku bisa melihat ketegangan di wajahnya, keringat mengalir di pelipisnya meskipun udara sekitar terasa panas.Di tengah kekacauan, seorang tank dari kelompok itu menjerit marah. "Kau... siapa kau, bajingan?!" Matanya terpaku pada seorang wanita berambut pa

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Borobudur (8)

    Borobudur berdiri megah di hadapan kami, bukan lagi hanya sekadar peninggalan sejarah, melainkan pusat energi yang memancarkan aura mistis. Relief-relief yang terukir di dinding candi bersinar samar, mengeluarkan cahaya keemasan yang berdenyut seirama dengan napas dunia. Dari puncaknya, sinar merah menyala terang, berdenyut seperti jantung yang hidup, menarik perhatian siapa pun yang melihatnya. Itu dia, Relik Mutiara Merah—relik Eyang Api Sakti.Aku melangkah maju, ingin lebih dekat, tetapi tiba-tiba Ariel meraih tanganku. Cengkeramannya erat, dingin, meski udara di sekitar kami terasa panas akibat energi yang memancar dari Borobudur."Tunggu," suaranya bergetar, napasnya tak beraturan.Aku menoleh, melihat wajahnya yang pucat. Keringat dingin menetes di pelipisnya, matanya membelalak seolah baru saja menyaksikan sesuatu yang mengerikan. "Ada apa?" tanyaku."Aku baru saja mendapat penglihatan tentang apa yang akan terjadi di sini." Ia menelan ludah, matanya yang biasanya tenang kini

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Borobudur (7)

    Cahaya matahari pagi merayap masuk melalui celah-celah retakan dinding bangunan yang telah lama ditinggalkan. Debu di udara berkilauan dalam semburat keemasan, melayang-layang seolah menari di antara serpihan kehancuran. Udara pagi yang menusuk membuat napas kami terlihat dalam kepulan uap tipis, sebuah pengingat bahwa kami masih hidup—di dunia yang telah lama ditinggalkan harapan.Dari sudut ruangan, Ariel menggeliat pelan, lengannya terulur malas sementara mulutnya menguap kecil. Sisa kantuk masih membayang di wajahnya, tetapi ada ketenangan dalam sorot matanya—sesuatu yang jarang terlihat dalam dunia seperti ini. Ia mengusap kedua matanya sebelum akhirnya menoleh ke arahku dengan senyum tipis.“Selamat pagi,” gumamnya, suaranya terdengar lebih lembut dari angin yang berbisik di antara reruntuhan.Aku hanya mengangguk singkat, membiarkan keheningan tetap menggantung di antara kami. Pandanganku terus mengawasi setiap sudut ruangan, memastikan bahwa tak ada ancaman yang mengintai dala

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Borobudur (6)

    Dedaunan berbisik lirih di antara angin malam yang menggigil. Nafasku memburu, dada terasa berat seiring langkah kakiku dan Ariel yang menghantam tanah basah di bawah rimbun pepohonan. Kegelapan yang menyelimuti hutan terasa lebih pekat dari biasanya, dan firasat buruk menjalar di tubuhku saat aku menangkap sekilas bayangan besar bergerak di antara pepohonan.Suara ranting patah terdengar di belakang kami, membuat jantungku berdegup lebih kencang. "Cepat!" desakku, menarik tangan Ariel agar ia berlari lebih cepat.Ariel terengah-engah, suaranya putus-putus saat ia berusaha mengatur napas. "Apa kita akan berjalan tanpa arah?" suaranya nyaris tenggelam dalam suara desiran angin dan dedaunan yang berguguran. "Di malam sekelam ini?"Aku berhenti sejenak, menoleh ke arahnya. Wajahnya pucat, keringat dingin mengalir di pelipisnya meski udara begitu dingin. Aku tahu kami butuh istirahat, walau hanya beberapa detik. Tapi aku juga tahu bahwa makhluk itu masih di luar sana, mengintai.Aku menya

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Borobudur (5)

    Langkahku bergema di antara reruntuhan kota yang sunyi, hanya diiringi suara napas yang berhembus pelan. Tangan kananku mencengkeram erat gagang Trisula, merasakan dinginnya logam yang seakan menyatu dengan kulitku. Aku tahu Voidborn sudah dekat. Aroma busuk yang menyengat mulai menusuk hidungku, bercampur dengan debu yang beterbangan di udara.Namun, sebelum aku bisa melangkah lebih jauh, tangan Ariel mencengkram lenganku dengan cepat, menarikku ke balik tembok beton yang setengah runtuh. Aku menoleh tajam padanya, mata kami bertemu dalam kegelapan."Lebih baik kita tidak melawannya," bisiknya, nyaris tanpa suara. Napasnya terdengar sedikit tertahan, menandakan kecemasan yang ia coba redam.Aku menatapnya dingin. "Aku bisa mengalahkannya. Lebih baik kau bersembunyi saja."Ariel menggeleng, sorot matanya penuh keseriusan. "Aku tahu kau kuat," ucapnya lirih, "tapi kita tak tahu berapa banyak mereka. Dan jika kau menggunakan terlalu banyak energi sekarang, bagaimana kalau di perjalanan

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status