Setelah kejadian di jembatan, kami menemukan sebuah gua di tebing berbatu sebagai tempat perlindungan sementara. Gua itu gelap dan lembap, tapi cukup luas untuk menampung kami berlima. Dengan sisa tenaga, kami menyusun barikade seadanya di mulut gua, menggunakan batu-batu besar dan ranting pohon untuk berjaga-jaga dari serangan Voidborn.
Malam pertama tanpa Gatra dan Pak Rusdi terasa seperti malam terpanjang dalam hidupku. Kami duduk melingkar di sekitar api kecil yang hampir tidak mampu mengusir dingin. Mirna membalut luka di kakinya, sementara Ayu bersandar di dinding gua dengan mata sembab. Dika hanya menatap kosong ke arah api, tangannya menggenggam sebuah pisau kecil yang ia temukan di jalan. “Ardi...” suara Mirna memecah keheningan. “Apa kita bisa... terus seperti ini?” Aku tidak langsung menjawab. Dalam kepalaku, bayangan Gatra dan Pak Rusdi terus muncul, seakan-akan mereka berdiri di hadapanku, menatap dengan senyum samar. “Kau harus bertahan,” kata Gatra dalam bayanganku, dengan suara yang selalu terdengar tenang namun tegas. Aku mengepalkan tangan hingga kuku-kukuku menusuk telapak. Bayangan Gatra dan Pak Rusdi tidak mau pergi, seolah memaksaku untuk bertindak. “Kita harus bertahan,” suaraku pecah di ujung kata. “Mereka tidak menyerahkan nyawa mereka agar kita menyerah di sini.” Mirna terdiam, matanya berkaca-kaca. Aku tahu, dia mencoba menyembunyikan rasa takut dan rasa bersalahnya, sama seperti aku. Angin pagi membawa aroma debu dan asap, memaksa kami untuk tetap waspada. Kami bergerak perlahan di jalan setapak yang sempit, meninggalkan bayang-bayang Jakarta yang kini hanya berupa reruntuhan dan kenangan buruk. Tidak ada yang berbicara. Hanya suara langkah kaki dan desahan napas lelah yang memecah keheningan. Sesekali, Ayu terisak pelan, mengingat apa yang telah terjadi. Aku bisa merasakan berat itu, tidak hanya di punggung kami karena perbekalan, tetapi juga di hati. “Kita hampir sampai ke daerah perbatasan,” kata Mirna, meskipun suaranya terdengar tidak yakin. Tangannya terus menggenggam tangan Ayu, memberikan dukungan yang bisa ia berikan. Aku hanya mengangguk, tidak ingin berkata apa-apa. Kepalaku masih penuh dengan bayangan Pak Rusdi dan Gatra. Senyum terakhir mereka, kata-kata terakhir mereka, semuanya terasa seperti luka terbuka yang terus berdarah. Malam itu, kami berhenti di sebuah gudang tua di pinggir jalan. Atapnya sebagian runtuh, tapi cukup untuk melindungi kami dari angin dingin. Aku duduk di sudut ruangan, memegang kristal yang diberikan Gatra. Cahaya samar dari kristal itu mengingatkanku pada mata penuh tekadnya. “Kenapa mereka harus meninggalkan kita seperti ini?” Suara Ayu pecah, tangannya mencengkeram erat lututnya. Air mata yang selama ini ia tahan akhirnya mengalir deras, jatuh ke tanah gua yang dingin. “Aku bahkan tidak sempat bilang terima kasih… atau selamat tinggal.” Mirna mendekatinya, membelai rambutnya dengan lembut. “Mereka pergi karena mereka percaya pada kita. Mereka ingin kita bertahan.” “Tapi aku tidak kuat...” Ayu terisak lebih keras. “Aku hanya ingin semuanya kembali seperti dulu.” Aku menghela napas panjang, mencoba menahan emosi yang juga ingin meledak. “Kita semua ingin itu, Ayu. Tapi dunia ini... sudah tidak sama lagi. Kita hanya bisa terus maju. Demi mereka yang sudah berkorban.” Ayu tidak menjawab, hanya menangis di pelukan Mirna. Dika, yang duduk di dekat pintu, akhirnya berbicara. “Aku masih bisa mendengar suara ledakannya, Ardi. Suara terakhir Pak Rusdi... suara Gatra.” Ia mengusap wajahnya dengan kasar. “Kenapa mereka harus mengorbankan diri? Kenapa bukan aku saja?” Aku menarik kerah bajunya dan menatapnya tajam. “Jangan pernah berpikir seperti itu, bajingan. Mereka memilih untuk melindungi kita karena mereka percaya kita bisa melakukan sesuatu yang lebih besar. Jangan sia-siakan kepercayaan itu.” Hening menyelimuti kami setelah itu. Hanya suara angin yang berhembus melalui celah-celah dinding gudang. Matahari pagi mulai kembali di atas langit yang suram kami kembali berjalan, kali ini lebih lambat. Stamina kami mulai terkuras, dan perbekalan juga semakin menipis. Setiap langkah terasa seperti perjuangan, tidak hanya melawan rasa lelah, tetapi juga melawan pikiran-pikiran kelam yang terus menghantui. Di tengah perjalanan, kami menemukan sebuah taman kecil yang hampir tidak tersentuh oleh kehancuran. Pohon-pohon tumbuh liar, dan beberapa buah tergantung di dahan-dahannya. “Kita bisa istirahat di sini sebentar,” kata Mirna sambil mendekati salah satu pohon. Dika memanjat untuk memetik beberapa buah, sementara aku menjaga sekitar, memastikan tidak ada ancaman mendekat. Saat kami makan, aku memandang ke arah kristal di tanganku. “Aku tidak tahu apa yang kau tinggalkan ini, Gatra,” gumamku pelan. “Tapi aku akan memastikan itu tidak sia-sia.” “Ardi,” suara Mirna memecah lamunanku. “Kita butuh rencana. Kita tidak bisa terus berjalan tanpa arah.” Aku mengangguk. “Kita menuju utara. Jika kita bisa keluar dari kota ini sepenuhnya, mungkin kita bisa menemukan tempat yang aman. Atau setidaknya, tempat di mana kita bisa bertahan lebih lama.” “Bagaimana jika tempat seperti itu tidak ada?” tanya Dika ragu. Aku memandangnya tajam. “Maka kita akan menciptakannya.” Malam yang mencekampun kembali lagi kami mendirikan perkemahan kecil di sebuah reruntuhan gedung. Langit malam terlihat lebih cerah, tetapi itu hanya membuat kami semakin sadar betapa kecilnya kami di dunia yang kejam ini. Ayu tidur lebih awal, sementara aku, Mirna, dan Dika berjaga. “Kau terlihat semakin tegar, Ardi,” kata Mirna tiba-tiba. Aku menggeleng. “Aku hanya berpura-pura. Dalam hati, aku sama takutnya dengan kalian.” “Tapi itu cukup,” katanya dengan lembut. “Tegarmu memberi kami kekuatan untuk terus berjalan.” Aku tidak menjawab. Kata-katanya terasa berat, seolah menambah beban di pundakku. Dika menatap api kecil di depan kami. “Apa menurut kalian... kita akan bertemu mereka lagi? Di tempat lain, di kehidupan lain?” Aku tidak tahu harus menjawab apa. Jadi, aku hanya berkata, “Aku harap begitu.” Dan untuk pertama kalinya sejak perjalanan ini dimulai, aku merasa sedikit damai. Hanya sedikit, tapi cukup untuk membuatku ingin terus melangkah. Esok harinya, kami akan melanjutkan perjalanan. Meninggalkan Jakarta, meninggalkan kenangan buruk, tetapi membawa semangat mereka yang telah berkorban bersama kami. Kami belum selesai. Panas siang itu terasa menyengat ketika kami menyusuri jalan yang dipenuhi reruntuhan. Di kejauhan, aku melihat sesuatu yang mencuri perhatianku. Sebuah mobil tua, berkarat di beberapa bagian, tergeletak di pinggir jalan, setengah tertutup oleh semak belukar. “Lihat itu,” kataku, menunjuk ke arah mobil tersebut. Dika langsung berlari mendekat dengan semangat. “Apa ini bisa digunakan?” Mirna mengikuti, memeriksa kondisi mobil dengan tatapan yang hampir aku tak mengerti. “Kondisinya buruk, tapi aku pikir masih bisa diperbaiki.” “Kau yakin?” tanyaku, skeptis. Mirna menoleh dengan senyum tipis. “Aku bekerja di bengkel selama tiga tahun sebelum semua ini terjadi. Percaya padaku.” Tanpa menunggu jawaban, dia mulai membuka kap mesin, memeriksa bagian dalam dengan teliti. Aku dan Dika membantu membersihkan semak-semak yang menghalangi mobil, sementara Ayu duduk di dekat pohon, memantau sekitar. “Bahan bakarnya masih ada sedikit, tapi filternya kotor. Aki-nya juga hampir mati,” gumam Mirna sambil mengutak-atik beberapa kabel. “Tapi kalau kita bisa menemukan beberapa barang di sekitar sini, aku mungkin bisa membuatnya jalan.” Beberapa jam berlalu fengan kerja keras kami, mobil itu akhirnya menyala. Suaranya berderu kasar, tapi cukup untuk membuat kami tersenyum lega. “Bagaimana kau bisa melakukannya?” tanya Dika kagum. Mirna menyeka peluh di dahinya. “Sedikit kreativitas, sedikit keberuntungan, dan banyak tekad.” Kami semua naik ke dalam mobil. Mirna duduk di kursi pengemudi, aku di sebelahnya, sementara Dika dan Ayu di belakang. Meskipun interiornya kotor dan sempit, mobil ini adalah harapan baru bagi kami. “Kemana sekarang?” tanya Mirna, memegang erat setir. “Utara,” jawabku. “Kita harus segera keluar dari wilayah ini sebelum sesuatu yang lebih buruk terjadi.” Kami melaju di jalan yang semakin sepi. Lampu mobil yang redup menjadi satu-satunya cahaya di kegelapan malam. Tapi ketenangan itu tidak berlangsung lama. Di cermin spion, aku melihat cahaya putih yang mencoba mengejar kami. “Ardi, ada yang mengikuti kita,” kata Dika, panik. Aku menoleh cepat, mengerutkan dahi. “Hunters.” Mirna mengetatkan genggamannya pada setir. “Berapa banyak?” “Tiga, mungkin empat,” jawabku, memperhatikan cahayanya. “Dan mereka bergerak cepat.” “Apa mereka ingin menangkap kita?” tanya Ayu ketakutan. “Karena Hunters akan terus memangsa para penyintas yang tak memiliki peran” jawabku, suara rendah. “Karena kita tak seharusnya ada di skenario ini.” Mirna menginjak pedal gas, berusaha mempercepat laju mobil kami. Jalanan yang penuh dengan puing-puing dan lubang membuat perjalanan semakin sulit. Sementara itu, para Hunters terus mendekat, suara teriakan mereka meraung-raung seperti ancaman. “Tahan yang kuat!” seru Mirna saat dia membanting setir untuk menghindari reruntuhan besar di tengah jalan. Salah satu Hunters menembakkan sesuatu. Ledakannya menghantam tanah di belakang kami, membuat mobil kami sedikit terlempar. “Kita tidak bisa terus seperti ini!” seru Dika, memegang erat sandaran kursi. “Lalu apa yang kau sarankan?” tanya Mirna tajam. Aku menggenggam busur Gatra, dinginnya terasa menusuk kulitku. “Kita harus memperlambat mereka. Dika, kau dan aku akan coba menghalau mereka. Mirna, jangan berhenti apa pun yang terjadi.” Dika mengangguk, meskipun tangannya gemetar. Aku membuka jendela, angin malam yang menggigit langsung menyerang wajahku. Menarik napas dalam-dalam, aku mengarahkan busur ke cahaya di kejauhan dan melepaskan anak panah. Tembakan pertamaku meleset, hanya menghantam tanah. Aku memaki dalam hati, sementara suara Hunters semakin mendekat. “Sialan, aku sama sekali tak berbakat menggunakan senjata ini,” Gumamku berusaha lebih keras lagi untuk mengenai para Hunters itu. Dika yang melihatku kewalahan langsung berteriak ke arahku. “Ardi, berikan busurnya kepadaku.” Tanpa pikir panjang, aku langsung melemparkan busur dan anak panahnya kepada Dika, dengan cepat dia langsung menarik tali busur itu dan menembakan anak panahnya kepada para Hunters yang ada di belakang kami. Busur itu mengeluarkan cahaya biru yang redup persis saat Gatra menggunakannya, dan dengan cepat satu Hunters terkena panah dari Dika dan langsung meledak “Dua jatuh,” gumam Dika, menarik napas lega. Aku mencoba melemparkan sesuatu—botol kaca berisi bahan bakar yang kami temukan sebelumnya. Lemparanku tidak terlalu tepat, tapi cukup untuk membuat salah satu Hunters terbunuh. Hanya tersisa satu Hunters yang masih mengejar kami. Gerakannya semakin cepat dari sebelumnya dan mencoba menembakan sesuatu dari mulutnya yang hitam. “Mereka akan menembak kita!” teriak Ayu. Mirna membanting setir, mencoba menghindari serangan yang melesat. Tapi serangan itu mengenai bagian belakang mobil, membuat suara mesin semakin kasar. “Kita tidak bisa bertahan lama,” kata Mirna dengan nada putus asa. Aku menggenggam kristal yang diberikan Gatra. Entah kenapa, rasanya hangat di tanganku, seolah memberikan kekuatan baru. Aku menarik napas dalam-dalam, kemudian mengambil sebuah tombak besi yang berada di dalam mobil. “Apa yang kau lakukan, Ardi?” tanya Mirna. “Percayalah padaku,” jawabku, mengarahkan tombak itu kearah Hunters terakhir. Aku melepaskan tombak itu, dan cahaya dari kristal tiba-tiba memancar, menyelimuti tombak tersebut. Tombak itu melesat cepat, seperti kilatan cahaya, dan menghantam tubuh Hunters tersebut, meledakkannya dalam sekejap. Kami semua terdiam, hanya suara mesin mobil kami yang terdengar. “Apa tadi itu?” bisik Dika. Aku menatap kristal di tanganku, merasa bahwa ini baru permulaan. “Aku tidak tahu... tapi sepertinya Gatra meninggalkan lebih dari sekadar harapan untuk kita.” Kami melanjutkan perjalanan, meskipun mobil kami kini nyaris tidak berfungsi. Tapi untuk pertama kalinya sejak semua ini dimulai, aku merasa ada harapan. Dan aku bersumpah, apa pun yang terjadi, aku akan memastikan pengorbanan Gatra dan Pak Rusdi tidak sia-sia.Mobil tua kami akhirnya berhenti di ujung jalan berbatu, asap tipis mengepul dari kap mesin. Mirna mengumpat pelan, memukul setir dengan frustrasi. “Sial, mobil ini sudah tidak bisa jalan lagi,” gumamnya, matanya menatap nanar ke depan. Kami turun dari mobil, kaki-kaki kami terasa lemah setelah perjalanan panjang tanpa istirahat. Di kejauhan, bayangan bangunan kecil muncul di balik kabut pagi. Aku merasakan kelegaan sekaligus ketegangan yang aneh. Apakah ini pemukiman? Apakah mereka akan menerima kami? “Aku harap mereka tidak seperti Hunters,” bisik Ayu, suaranya penuh kecemasan. Dika memegang busur Gatra dengan erat, waspada terhadap setiap suara. “Kita tidak punya pilihan lain,” katanya singkat. Saat kami mendekati gerbang kayu yang tinggi, dua pria bersenjata muncul dari balik barikade. Wajah mereka penuh bekas luka, dan tatapan mereka tajam. “Berhenti di situ!” seru salah satu dari mereka. Senapannya diarahkan tepat ke dadaku. Aku mengangkat tangan perlahan, menun
Jeritan melengking memecah keheningan malam, menggema di udara dingin pemukiman. Membangunkan semua orang, jantung berdebar kencang setelah suara itu jeritan itu menggema. Tanpa pikir panjang, aku meraih parang yang tergeletak di sudut ruangan. “Voidborn,” bisik Mirna dengan suara gemetar, tangannya menggenggam lengan Ayu erat. Aku melangkah keluar dan langsung disambut pemandangan yang mengerikan. Salah satu barikade kayu di sisi timur telah hancur, dan sosok makhluk itu berdiri di tengah reruntuhan. Tubuhnya besar, hampir setinggi dua manusia dewasa, dengan kulit hitam kelam yang berkilauan di bawah cahaya api. Mata merahnya bersinar, menatap tajam ke arah para penyintas yang panik. Cakar tajamnya, sebesar belati, meneteskan cairan hitam pekat yang menguap saat menyentuh tanah. “Ke barat! Lindungi anak-anak!” teriak Bima, suaranya tegas meskipun wajahnya terlihat tegang. Dia berdiri di depan, memegang senapan, mencoba menenangkan kek
Malam itu menusuk dengan dinginnya, membuat setiap nafas kami terasa berat di udara yang lembab. Kabut tipis menyelimuti jalan berbatu yang kami pijak, seperti tabir rahasia yang melindungi dunia dari mata manusia. Aku menggenggam parang di tanganku, jari-jariku merasakan dingin logamnya—sebuah pengingat bahwa ini adalah satu-satunya pertahanan yang bisa diandalkan. Di belakangku, suara langkah kaki yang terseret menandai kelelahan yang kami semua rasakan."Sanctuary..." pikirku, memandang peta lusuh yang tergenggam di tangan kiriku. Garis-garis kabur di peta itu adalah satu-satunya petunjuk menuju apa yang dikatakan orang-orang sebagai tempat terakhir yang aman. Namun, harapan itu terasa seperti fatamorgana di tengah lautan kehancuran. Aku tidak yakin apa yang lebih berbahaya—percaya bahwa tempat itu nyata atau mengetahui bahwa itu hanyalah ilusi.Di belakang, Mirna dan Ayu berjalan dalam diam. Raut wajah mereka adalah cermin dari apa yang kurasakan—takut, lelah, tapi tidak punya pil
Perjalanan berlanjut di bawah naungan pepohonan yang rapat. Sinar matahari pagi menerobos melalui celah-celah dedaunan, menciptakan pola cahaya dan bayangan yang menari di atas tanah lembab. Udara pagi yang sejuk membawa aroma tanah basah dan dedaunan busuk, bercampur dengan sisa-sisa asap hitam dari Hunter yang telah musnah.Langkah kakiku terasa berat, bukan hanya karena kelelahan fisik, tetapi juga karena beban emosional yang kupikul. Kejadian semalam masih segar dalam ingatan, meninggalkan luka yang tak terlihat. Aku menggenggam parang di tanganku, merasakan dingin logamnya menusuk kulitku—sebuah pengingat bahwa ini adalah satu-satunya pertahanan yang bisa kuandalkan.Aku berjalan di depan, memimpin kelompok kecil ini dengan peta lusuh di tanganku. Sesekali, aku berhenti untuk memeriksa kompas dan memastikan kami tetap berada di jalur yang benar, atau setidaknya, jalur yang kupikir benar. Sanctuary... nama itu terus bergema di benakku. Tempat terakhir yang aman, kata orang-orang.
Langit cerah berganti mendung tipis saat kelompok kecil kami melanjutkan perjalanan. Sungai kecil tadi memberikan jeda, namun kelelahan dan ketegangan tetap terasa seperti beban yang tak bisa dilepaskan. Aku berjalan di depan, mengamati peta lusuh yang mulai robek di bagian pinggirnya, ketika suara Mia memecah keheningan. “Paman Ardi, kau yakin kita nggak tersesat?” tanya Mia dengan nada menggoda sambil menepuk bahuku. Senyumnya lebar, seperti tidak peduli pada ketegangan yang melingkupi kelompok. "Atau jangan-jangan kau hanya mengikuti instingmu saja, paman?" Aku menghela napas panjang. "Mia, aku sudah bilang jangan panggil aku paman." “Kenapa? Kan kau memang seperti paman bagi kami!” Mia terkekeh kecil, membuat Mirna yang berjalan di dekatnya ikut tersenyum tipis. “Aku masih muda, aku baru berusia 28 tahun,” balasku dengan datar, berusaha fokus pada kompas di tanganku. “Oh ya? Dengan semua kerutan di dahimu itu?” godanya lagi, melirik ke arahku sambil mengayunkan langkah dengan
Seorang pria muncul dari balik pintu ptia paruh baya dengan janggut yang lebat, wajahnya dipenuhi bekas luka, dan tubuhnya kekar meski terlihat kelelahan. Dia membawa senapan tua yang sudah usang, menggantung di punggungnya. Matanya tajam, tapi tidak ada ancaman di sana. Justru, ada sesuatu yang membuatku merasa dia telah melihat terlalu banyak—dan kehilangan lebih banyak lagi. “Siapa kalian?” tanyanya dengan suara serak, tetapi tidak mengangkat senjatanya. “Kami hanya para penyintas,” jawabku perlahan, tidak menurunkan parangku. “Kami hanya lewat, mencari tempat untuk beristirahat.” Pria itu mengangguk, lalu masuk ke gedung tanpa meminta izin, duduk di salah satu kursi yang masih utuh. Kami saling bertukar pandang, tidak yakin harus berbuat apa. “Namaku Roy,” katanya akhirnya, tanpa melihat kami. “Aku juga penyintas, seperti kalian.” “Apa kau sendirian?” tanya Hendra curiga. Roy tertawa kecil, tetapi tidak ada humor dalam suaranya. “Kalau aku tidak sendirian, aku tidak ak
Aku berdiri mematung di tengah reruntuhan, napas terengah-engah. Pemandangan di depanku seperti mimpi buruk yang menjadi nyata. Voidborn dan Hunter terus berdatangan, mengepung kami dari segala arah. Langkah mereka perlahan namun pasti, seolah menikmati ketakutan yang mereka tanamkan. Aku bisa merasakan tatapan tajam mereka, haus akan darah, menembus tubuhku. Semua ini salahku. Aku membawa mereka ke sini. Aku yang memilih reruntuhan ini sebagai tempat peristirahatan, menganggapnya aman. Aku yang meyakinkan mereka bahwa ini hanya akan menjadi pemberhentian singkat, bahwa kami butuh waktu untuk mengatur ulang tenaga. Dan sekarang, kami semua akan mati. “Ardi, ini semua karenamu!” teriak Dika yang berjalan dari pintu luar gedung dengan penuh amarah. Dia berdiri beberapa langkah dariku, wajahnya merah padam. “Aku sudah bilang, tempat ini tidak aman! Tapi kau… kau terlalu keras kepala, terlalu percaya diri! Lihat apa yang kau lakukan! Lihat apa yang kau bawa pada kami!” Aku tid
Aku menarik napas panjang, berusaha memusatkan pikiranku di tengah kekacauan dan ketakutan. Aku menatap kelompokku yang kelelahan, lalu kembali mengamati reruntuhan yang kini menjadi sarang Voidborn dan Hunter. Dalam keheningan mencekam, pikiranku mulai merangkai rencana. "Baik," ucapku pelan tapi tegas, suaraku menarik perhatian semua orang. "Kita tidak akan bertahan lama jika tetap di sini. Mereka akan segera menemukan kita jika kita hanya bersembunyi. Jadi, kita harus memanfaatkan situasi ini." Hendra menyipitkan mata. "Apa maksudmu?" Aku menatap mereka satu per satu. "Kita tidak hanya melarikan diri. Kita akan membuat kekacauan, mengadu mereka satu sama lain, dan menggunakan itu sebagai peluang untuk kabur." Aku menunjuk bangunan yang lebih tinggi di ujung reruntuhan. "Voidborn dan Hunter mungkin tidak memiliki kecerdasan seperti kita, tapi mereka punya naluri. Jika kita bisa menciptakan kebisingan besar di satu tempat, mereka akan tertarik ke sana. Aku butuh Hendra, Dika,
Udara di sekitarku mulai membara, panas yang tak wajar menggantung di atmosfer. Kabut hitam perlahan-lahan menyebar, bergulung seperti makhluk hidup yang merespons sesuatu yang lebih besar. Aku bisa merasakan bulu kudukku berdiri. Sesuatu sedang terjadi.Julian mulai bangkit dari reruntuhan yang ia tabrak, ekspresinya kini dipenuhi kewaspadaan. Mata tajamnya menelusuri sosokku dari ujung kepala hingga ujung kaki. Dia sedang menganalisis, mengukur, mencoba memahami kekuatan yang baru saja aku tunjukkan."Menarik," gumamnya, suara rendahnya hampir tertelan oleh desisan energi yang bergetar di udara. "Jadi kau masih punya kartu truf yang belum kau tunjukkan, huh?"Di sebelahnya, Genta mengibaskan pedangnya yang berlapis api. Percikan berloncatan di udara, menciptakan suara mendesis saat menyentuh reruntuhan di sekitar. Aku bisa merasakan panasnya, meski berdiri cukup jauh. Mata Genta menyipit, penuh dengan ketegangan."Baiklah," katanya, nada suaranya bergetar dengan keyakinan yang tak t
Udara di sekitar candi semakin panas, membuat dedaunan kering di tanah mulai berkerut dan terbakar perlahan. Tembok api yang menjulang tinggi mengelilingi mereka, lidah-lidah apinya menari liar, menciptakan suara gemeretak yang mengancam. Genta berdiri di seberang, wajahnya dipenuhi senyum puas saat dia melihat Raka yang terengah-engah di tengah arena yang telah mereka ciptakan. Tidak ada jalan keluar."Lebih baik kau menyerah," suara Reina menggema, terdengar seperti bisikan iblis yang menikmati penderitaan mangsanya. "Biar aku bisa merasakan bagaimana rasanya menumpahkan darah pahlawan terkuat."Raka berdiri dengan susah payah, keringat bercampur darah menetes dari pelipisnya, jatuh ke tanah yang mulai menghitam akibat suhu tinggi. Nafasnya berat, dadanya naik turun tidak beraturan. Aura biru di pedangnya yang sebelumnya bersinar terang kini mulai meredup, seakan merespons kelelahan pemiliknya. Namun, matanya tetap tajam, membara dengan tekad."Berisik," geramnya, sebelum mendorong
Bayangan merayap di atas altar, menciptakan ilusi seakan dunia di dalam reruntuhan Borobudur itu sendiri menahan napas. Debu melayang di udara, terbawa gelombang energi yang memancar dari para petarung. Di antara reruntuhan yang bercahaya redup, tujuan mereka hanya satu: mutiara merah di atas altar yang memancarkan cahaya berdenyut seolah memiliki detak jantung sendiri. Reina melesat bagaikan bayangan yang menyatu dengan kegelapan. Tubuhnya bergerak lincah, hampir tak terlihat di antara celah-celah cahaya yang bersinar dari reruntuhan kuil. Cakarnya yang panjang berselimut energi hitam merobek udara, mengincar sosok Lina yang berdiri di tengah dengan tangan terangkat, membentuk barrier bercahaya emas. "Lihat di belakangmu, nona pahlawan." Suara Reina terdengar lirih, hampir seperti bisikan yang menyelinap ke dalam telinga Lina. Bibirnya melengkung dalam seringai tajam. Tepat sebelum cakar Reina menembus punggungnya, Lina mendengar teriakan dari belakang, "Lina, di belakangmu!" Di
Hening menyelimuti medan pertempuran setelah ledakan dahsyat yang menghancurkan Banaspati. Hanya suara angin yang menderu pelan di antara reruntuhan yang tersisa. Debu masih melayang di udara, menciptakan siluet samar-samar yang kini berdiri di tengah sisa-sisa pertempuran.Langkah kaki kelompok Raka akhirnya terhenti saat mereka mendekati altar, di mana tiga orang yang tadi menyerang berdiri di hadapan relik mutiara merah. Batu-batu altar memancarkan sinar kemerahan, seperti merespons kehadiran mereka. Cahaya bulan yang tertutup awan memberikan kesan menyeramkan pada sosok-sosok yang berdiri di atasnya."Ho..." Suara lembut namun penuh ejekan terdengar. Reina menatap kelompok Raka dengan senyum miring, seolah menemukan mainan baru. "Ternyata ada yang selamat dari peliharaanku."Raka menatap Julian dengan sorot mata penuh kebencian. Rahangnya mengeras, dan genggaman pedangnya semakin erat. "Kau... Orang yang melawan Ardi Sanctum Perennial!"Julian menoleh santai, matanya yang berwarna
Aku dan Ariel bersembunyi di balik salah satu pilar besar candi, napas kami tertahan, hanya bisa mengamati kejadian yang berlangsung di depan mata. Dari sela-sela reruntuhan batuan tua, aku bisa melihat dengan jelas bagaimana api berkobar di sekitar candi, menciptakan suasana neraka yang nyata. Bau hangus dari daging yang terbakar menyusup ke hidung, menyisakan rasa mual yang sulit ditepis."Apa yang harus kita lakukan?" bisik Ariel, suaranya hampir tenggelam oleh suara gemuruh pertempuran di depan.Aku mengangkat tangan kanan, mengisyaratkan agar dia tetap diam. "Tunggu," bisikku pelan. "Situasinya belum menguntungkan untuk kita terjun ke sana. Kita lihat saja dulu."Ariel mengangguk pelan, matanya tak lepas dari medan pertempuran. Aku bisa melihat ketegangan di wajahnya, keringat mengalir di pelipisnya meskipun udara sekitar terasa panas.Di tengah kekacauan, seorang tank dari kelompok itu menjerit marah. "Kau... siapa kau, bajingan?!" Matanya terpaku pada seorang wanita berambut pa
Borobudur berdiri megah di hadapan kami, bukan lagi hanya sekadar peninggalan sejarah, melainkan pusat energi yang memancarkan aura mistis. Relief-relief yang terukir di dinding candi bersinar samar, mengeluarkan cahaya keemasan yang berdenyut seirama dengan napas dunia. Dari puncaknya, sinar merah menyala terang, berdenyut seperti jantung yang hidup, menarik perhatian siapa pun yang melihatnya. Itu dia, Relik Mutiara Merah—relik Eyang Api Sakti.Aku melangkah maju, ingin lebih dekat, tetapi tiba-tiba Ariel meraih tanganku. Cengkeramannya erat, dingin, meski udara di sekitar kami terasa panas akibat energi yang memancar dari Borobudur."Tunggu," suaranya bergetar, napasnya tak beraturan.Aku menoleh, melihat wajahnya yang pucat. Keringat dingin menetes di pelipisnya, matanya membelalak seolah baru saja menyaksikan sesuatu yang mengerikan. "Ada apa?" tanyaku."Aku baru saja mendapat penglihatan tentang apa yang akan terjadi di sini." Ia menelan ludah, matanya yang biasanya tenang kini
Cahaya matahari pagi merayap masuk melalui celah-celah retakan dinding bangunan yang telah lama ditinggalkan. Debu di udara berkilauan dalam semburat keemasan, melayang-layang seolah menari di antara serpihan kehancuran. Udara pagi yang menusuk membuat napas kami terlihat dalam kepulan uap tipis, sebuah pengingat bahwa kami masih hidup—di dunia yang telah lama ditinggalkan harapan.Dari sudut ruangan, Ariel menggeliat pelan, lengannya terulur malas sementara mulutnya menguap kecil. Sisa kantuk masih membayang di wajahnya, tetapi ada ketenangan dalam sorot matanya—sesuatu yang jarang terlihat dalam dunia seperti ini. Ia mengusap kedua matanya sebelum akhirnya menoleh ke arahku dengan senyum tipis.“Selamat pagi,” gumamnya, suaranya terdengar lebih lembut dari angin yang berbisik di antara reruntuhan.Aku hanya mengangguk singkat, membiarkan keheningan tetap menggantung di antara kami. Pandanganku terus mengawasi setiap sudut ruangan, memastikan bahwa tak ada ancaman yang mengintai dala
Dedaunan berbisik lirih di antara angin malam yang menggigil. Nafasku memburu, dada terasa berat seiring langkah kakiku dan Ariel yang menghantam tanah basah di bawah rimbun pepohonan. Kegelapan yang menyelimuti hutan terasa lebih pekat dari biasanya, dan firasat buruk menjalar di tubuhku saat aku menangkap sekilas bayangan besar bergerak di antara pepohonan.Suara ranting patah terdengar di belakang kami, membuat jantungku berdegup lebih kencang. "Cepat!" desakku, menarik tangan Ariel agar ia berlari lebih cepat.Ariel terengah-engah, suaranya putus-putus saat ia berusaha mengatur napas. "Apa kita akan berjalan tanpa arah?" suaranya nyaris tenggelam dalam suara desiran angin dan dedaunan yang berguguran. "Di malam sekelam ini?"Aku berhenti sejenak, menoleh ke arahnya. Wajahnya pucat, keringat dingin mengalir di pelipisnya meski udara begitu dingin. Aku tahu kami butuh istirahat, walau hanya beberapa detik. Tapi aku juga tahu bahwa makhluk itu masih di luar sana, mengintai.Aku menya
Langkahku bergema di antara reruntuhan kota yang sunyi, hanya diiringi suara napas yang berhembus pelan. Tangan kananku mencengkeram erat gagang Trisula, merasakan dinginnya logam yang seakan menyatu dengan kulitku. Aku tahu Voidborn sudah dekat. Aroma busuk yang menyengat mulai menusuk hidungku, bercampur dengan debu yang beterbangan di udara.Namun, sebelum aku bisa melangkah lebih jauh, tangan Ariel mencengkram lenganku dengan cepat, menarikku ke balik tembok beton yang setengah runtuh. Aku menoleh tajam padanya, mata kami bertemu dalam kegelapan."Lebih baik kita tidak melawannya," bisiknya, nyaris tanpa suara. Napasnya terdengar sedikit tertahan, menandakan kecemasan yang ia coba redam.Aku menatapnya dingin. "Aku bisa mengalahkannya. Lebih baik kau bersembunyi saja."Ariel menggeleng, sorot matanya penuh keseriusan. "Aku tahu kau kuat," ucapnya lirih, "tapi kita tak tahu berapa banyak mereka. Dan jika kau menggunakan terlalu banyak energi sekarang, bagaimana kalau di perjalanan