Share

Hanya pengamat (6)

Penulis: Deni A. Arafah
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-03 11:09:10

Ruangan itu kembali sunyi setelah kepergian Raka dan dua orang misterius lainnya. Namun, kesunyian itu terasa lebih berat daripada ketegangan sebelumnya. Aku, Mirna, dan yang lain hanya berdiri diam, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi.

"Apa kita cuma nunggu mati sekarang?" tanya Mirna, nadanya jelas kesal. Ia melipat tangan, menatapku seperti aku tahu apa yang harus dilakukan.

Aku menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. "Oke, kita harus tetap tenang. Raka bilang kita bisa bertahan di sini sampai mereka selesai dengan tugas mereka."

"Dan kalau Voidborn atau makhluk lain masuk?" tanya seorang pria muda di sudut. Aku baru sadar ia belum menyebutkan namanya sejak tadi.

"Kita harus tahu nama masing-masing dulu," kataku tiba-tiba. "Kalau kita mau bertahan, kita harus saling percaya, dan itu dimulai dari nama."

Semua menatapku, mungkin mengira aku gila. Tapi pria tua itu akhirnya mengangguk. "Dia benar. Kalau kita mati, setidaknya kita tahu siapa yang ada di sisi kita."

Aku memulai. "Aku Ardi. Aku... cuma pegawai biasa, nggak ngerti apa-apa soal Skenario ini."

Mirna melirikku sekilas. "Mirna. Dulunya aku kerja di bengkel motor sebelum semua ini terjadi."

Pria tua itu menyalakan ulang senjata rakitannya yang tadi hampir kehabisan energi. "Aku Pak Rusdi. Mantan tentara. Dan ya, aku tahu ini semua nggak masuk akal, tapi kita harus tetap hidup."

Pria muda di sudut tampak ragu, tapi akhirnya ia berbicara. "Aku Dika. Mahasiswa sebelum semua ini. Sekarang... aku nggak tahu apa yang harus kulakukan."

Kami semua menoleh ke anak kecil yang masih meringkuk di pojok. Ia menggenggam boneka lusuhnya erat, menolak menatap kami. "Namaku Ayu," katanya pelan. "Aku nggak tahu di mana orangtuaku."

Hening sejenak, lalu Pak Rusdi menghela napas panjang. "Baiklah, Ardi. Kau bilang kita harus saling percaya. Apa rencanamu sekarang?"

Aku membuka mulut untuk menjawab, tapi suara berat yang menggema dari luar ruangan memotongku. Langkah-langkah itu terdengar lagi—lebih berat, lebih cepat. Tidak hanya satu atau dua, tapi banyak. Voidborn dan mungkin Hunters sedang mendekat.

"Kita harus pergi sekarang!" seru Mirna panik. "Mereka akan masuk ke sini!"

Pak Rusdi menatap pintu dan mengangkat senjatanya. "Kalian pergi dulu. Aku akan menahan mereka."

"Apa?!" Dika menatapnya, mata terbelalak. "Pak, nggak mungkin! Kalau Anda mati, kami nggak punya siapa-siapa yang tahu cara bertahan!"

"Tidak ada pilihan lain," jawab Pak Rusdi tegas. "Kalian harus temukan jalan keluar di sisi lain ruangan ini. Kalau aku bisa, aku akan menyusul."

Aku ingin membantah, tapi sorot matanya membuatku terdiam. Pak Rusdi sudah memutuskan.

"Kita harus bergerak sekarang," kata Mirna, menarik tanganku. "Ayo."

Kami mulai bergerak menuju pintu lain di sisi ruangan, tapi aku menoleh ke belakang sekali lagi. Pak Rusdi berdiri di depan pintu utama, senjatanya terangkat, siap menghadapi apa pun yang akan masuk.

Ketika kami keluar dari ruangan, lorong panjang dan gelap menyambut kami. Suasana lebih tegang, udara terasa berat, seperti sesuatu sedang mengawasi kami dari kegelapan.

“Ke mana kita sekarang?” tanya Ayu, suaranya kecil tapi penuh rasa takut.

Aku melihat ke arah Mirna, berharap dia punya jawaban. Dia hanya mengangkat bahu. “Kita harus cari jalan keluar. Kalau tetap di sini, kita semua mati.”

“Kalian harus terus bergerak,” suara baru tiba-tiba terdengar dari ujung lorong.

Kami semua berhenti. Dari kegelapan, seorang pria muncul. Dia tinggi, dengan rambut acak-acakan dan jubah panjang yang sobek di ujungnya. Di punggungnya, ada busur besar yang bercahaya lemah.

“Siapa kau?” tanya Mirna tajam, berdiri di depanku seperti perisai.

Pria itu mengangkat tangannya, mencoba menunjukkan kalau dia tidak berbahaya. “Aku Gatra. Aku... salah satu yang diberi peran. Sama seperti Raka.”

Aku mengernyit. “Kau kenal Raka?”

Dia mengangguk. “Aku temannya. Kami... bertarung bersama, menjalankan tugas dalam Skenario ini. Dan kalian...” Dia menatap kami dengan pandangan penuh penilaian. “Kalian tidak seharusnya ada di sini.”

“Lagi-lagi itu,” gumam Mirna kesal. “Kami gak peduli seharusnya atau nggak. Kami di sini karena kami gak punya pilihan!”

Gatra menghela napas, matanya melunak sedikit. “Aku tahu. Dan aku tidak akan meninggalkan kalian. Tapi kalian harus keluar dari tempat ini. Voidborn sedang mendekat, dan mereka tidak akan berhenti sampai tempat ini hancur.”

“Apa kau bisa membawa kami keluar?” tanyaku, penuh harapan.

Dia mengangguk. “Ada jalan keluar di ujung lorong ini. Tapi kalian harus bergerak cepat.”

Kami tidak membuang waktu lagi. Dengan Gatra di depan, kami mulai berlari melewati lorong, suara langkah kami bergema di dinding. Di belakang kami, suara dentuman dan jeritan mulai terdengar—Voidborn telah menemukan kami.

“Cepat!” teriak Gatra, berlari lebih cepat.

Ketika kami sampai di ujung lorong, sebuah pintu besar yang berat menunggu. Gatra menarik tuas di sampingnya, dan pintu itu terbuka dengan suara berderit keras.

“Masuk!” katanya, melambai pada kami.

Satu per satu, kami masuk ke ruangan berikutnya. Tapi sebelum aku masuk, aku menoleh ke belakang. Aku bisa melihat bayangan besar mendekat dari ujung lorong, mata merah mereka bersinar terang.

“Ardi, cepat!” teriak Mirna dari dalam.

Aku melompat masuk, dan Gatra menutup pintu dengan cepat. Namun, sebelum Gatra berhasil mengunci tuas pintunya aku menahan tangannya.

"Tunggu," Aku menatap mata Gatra, "Masih ada satu orang lagi yang tertinggal!"

"Kita tak punya banyak waktu ,kalau pintu ini tidak di kunci Voidborn akan membunuh kita semua."

Namun, aku tetap bersikeras menahan tangan Gatra, dari dalam lorong aku melihat seorang pria tua yang sedang berlari sambil memegang senjata rakitannya.

"Cepat Pak, kita tak punya banyak waktu!" Teriak Mirna yang suara menggema di dalam lorong tersebut.

Namun dari belakang muncul bayangan hitam dengan mata merah yang berusaha mengejar Pak Rusdi. Aku yang tidak bisa tinggal diam saja berusaha masuk ke lorong itu untuk membantu Pak Rusdi keluar lebih cepat.

Namun, Gatra menahan tubuhku untuk tidak masuk kedalam. "Bodoh, jangan masuk. Kalau kau masuk kita semua bisa mati."

Dengan cepat Gatra menarik anak panahnya yang mengeluarkan cahaya biru dan menambahkannya diantara Pak Rusdi dan Voidborn tersebut. Ledakan besarpun terjadi setelah anak panah Gatra menembus tubuh hitam dari Voidborn tersebut.

"Kalian bodoh," Ucap Pak Rusdi dengan nafas yang terengah-engah. "Kenapa kalian masih tetap di sini?"

"Cepat Pak!" Teriak kita semua, sambil mengulurkan tangan.

Dengan nafas yang masih tersengal-sengal Pak Rusdi menggenggam tanganku dan berhasil keluar dari lorong tersebut.

Gatra dengan cepat langsung mengunci tuasnya, lalu menatap kami dengan serius.

“Kalian beruntung,” katanya pelan. “Tapi perjalanan kalian belum selesai.”

Belum selesai merayakan kemenangan kami di belakangnya, aku bisa melihat sesuatu yang baru—sebuah jembatan panjang yang melintasi jurang gelap. Di ujung jembatan itu, ada cahaya terang yang memancar seperti suar di tengah kegelapan.

“Apa itu?” tanyaku.

“Itu adalah jalan keluar,” jawab Gatra. “Tapi kalian harus melintasi jembatan itu. Dan jangan berhenti, apa pun yang terjadi.”

Kami semua berdiri di depan jembatan yang panjang dan rapuh, terbentang di atas jurang yang gelap dan tak berujung. Angin dingin berhembus, membawa aroma logam dan rasa takut yang tidak bisa dijelaskan. Gatra memimpin di depan, tapi sebelum dia bisa melangkah, udara di sekitar kami tiba-tiba berubah.

Cahaya redup di jembatan berganti dengan kilauan aneh, dan suara berat yang menyerupai gema seribu bisikan memenuhi ruangan. Kami semua berhenti, tubuh tegang seperti senar yang hampir putus.

“Tidak mungkin…” bisik Gatra, wajahnya berubah pucat. “Ordo Zeros.”

Aku tidak tahu apa yang dia maksud sampai aku melihatnya. Di tengah jembatan, cahaya membentuk sosok besar yang berkilauan seperti bintang. Wujudnya terus berubah—kadang seperti manusia, kadang seperti makhluk lain yang tidak bisa aku gambarkan dengan kata-kata. Itu bukan sesuatu yang berasal dari dunia ini.

“Yang Terpilih, dengarkan kami,” suara itu bergema di ruangan, berat dan penuh dengan kekuatan. “Skenario berikutnya dimulai sekarang. Waktumu terbatas, dan hasilnya akan menentukan nasib dunia ini.”

“Tidak…” bisik Gatra lagi, kali ini terdengar putus asa. “Ini terlalu cepat.”

“Siapa itu?” tanya Mirna pelan, tubuhnya sedikit gemetar.

“Itu adalah salah satu pencipta dari skenario yang terjadi di sini,” jawab Gatra. “Mereka adalah penjaga Skenario ini... atau mungkin dalang di balik semuanya. Mereka muncul hanya untuk memberikan perintah.”

“Para Pemeran.” Makhluk itu menyebut hanya menyebutkan orang yang di beri peran saja. “Relik telah ditemukan, tapi itu baru awal. Selesaikan Skenario berikutnya, atau dunia ini akan kehilangan keseimbangan.”

“Kenapa hanya kami saja yang di berikan petan?” Gatra memotong, suaranya penuh emosi. “Ada lebih banyak orang di sini. Kenapa mereka tidak diberi peran?”

Entitas itu tidak menjawab. Sebaliknya, ia mengangkat tangan bercahaya, dan gambar-gambar mulai muncul di udara, seperti proyeksi hologram. Kami semua melihat ke arah gambar itu—hutan lebat yang terbakar, makhluk-makhluk besar yang bertarung, dan... langit yang retak, seolah-olah dunia ini akan hancur kapan saja.

“Konstelasi telah terganggu. Nyi Roro Kidul menuntut Relik dari Samudera Selatan untuk mengembalikan keseimbangan wilayahnya. Barong telah mengirim pasukannya untuk menguasai Gunung Merapi. Dan Aji Saka... ia diam, tetapi kemarahan tersembunyi dalam setiap detik waktunya.”

Aku merasa seolah dadaku terhimpit. Nama-nama itu... Nyi Roro Kidul? Barong? Aji Saka? Bukankah itu semua hanya cerita rakyat dan mitos?

“Kalian yang terpilih, temukan Relik berikutnya di Kawasan Pegunungan Jawa. Relik ini adalah kunci untuk menahan kekuatan Barong. Gagal, dan kalian akan menyaksikan kehancuran dimulai dari wilayah itu.”

Raka muncul dari kegelapan di belakang kami, berjalan cepat dengan pedangnya yang masih bersinar biru terang. Wajahnya penuh dengan amarah, tapi ia tetap tenang. “Kami tidak punya waktu untuk permainan kalian,” katanya dingin kepada entitas itu. “Kalian meminta kami melawan dewa dan entitas yang jauh lebih kuat dari kami.”

Entitas itu hanya tersenyum, wajahnya terus berubah bentuk. “Kami tidak meminta. Kami memberi perintah.”

“Dan bagaimana dengan kami?” Mirna memotong, suaranya penuh dengan frustrasi. “Kami bukan siapa-siapa. Tapi kalau mereka gagal, kami yang menderita. Ini bukan permainan yang adil!”

Entitas itu memutar kepala bercahaya ke arahnya, lalu ke arah kami semua. “Tidak semua diciptakan untuk memiliki peran. Tetapi dampaknya dirasakan oleh semua. Skenario ini adalah keseimbangan. Jika kalian ingin bertahan, bergeraklah.”

Dengan itu, cahaya menghilang, dan keheningan kembali menyelimuti ruangan. Tapi udara masih berat dengan ancaman yang baru saja dilontarkan.

“Jadi, itu saja?” tanya Dika, suaranya sedikit bergetar. “Kami cuma... penonton dalam permainan ini?”

Raka mendekati kami, matanya tajam. “Kalian memang tidak punya peran. Tapi kalian hidup di dunia ini. Kalau kami gagal, kalian semua akan mati.”

“Dan kalau kalian berhasil?” tanyaku, nadaku sedikit sinis. “Kami tetap hidup dalam ketakutan?”

“Kalau kami berhasil, kalian punya waktu untuk bertahan lebih lama,” jawabnya dingin. “Dan itu lebih baik daripada tidak punya waktu sama sekali.”

Gatra menepuk bahu Raka, mencoba menenangkan. “Raka, mereka tidak mengerti. Jangan terlalu keras pada mereka.”

“Karena mereka tidak perlu mengerti,” jawab Raka. “Mereka hanya perlu tahu bahwa kami tidak bisa gagal.”

Mirna melangkah maju, wajahnya penuh dengan keberanian yang tiba-tiba. “Kalau begitu, bawa kami. Biarkan kami ikut.”

“Tidak!” Gatra langsung menolak. “Ini terlalu berbahaya. Kalian bahkan tidak bisa melawan satu Voidborn tanpa bantuan.”

“Kami akan mati kalau tetap diam,” jawab Mirna tajam. “Kalau kami ikut, setidaknya kami punya kesempatan.”

Raka menatapnya, lalu menatap kami semua. Ada keraguan di matanya, kemudian dia berjalan pergi meninggalkan kami semua. “Lakukan apapun yang kalian suka.”

Mirna yang melihat Raka meninggalkan kami langsung berteriak kepadanya. “Woi.. Jangan acuhkan kami tuan yang diberkati peran!”

Raka yang melintasi jembatan mulai menghilang seakan ditelan kabut. Dan kami juga tidak bisa terus-terusan bertahan seperti ini.

Kami mulai berjalan melintasi jembatan, satu per satu. Aku bisa merasakan kegelapan di bawah kami, seperti jurang itu ingin menelan kami. Tapi di atas segalanya, aku merasa seperti sedang berjalan menuju sesuatu yang jauh lebih besar dari apa yang pernah aku bayangkan.

Skenario baru dimulai. Dan meskipun aku tidak punya peran, aku tahu aku terlibat lebih dalam dari yang seharusnya.

Bab terkait

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Hanya pengamat (7)

    Kami melangkah hati-hati di atas jembatan yang rapuh, angin dingin terus menerpa wajah, membuat kakiku gemetar. Di bawah jembatan, jurang gelap itu terasa seperti mulut raksasa yang siap menelan siapa pun yang terjatuh. Gatra memimpin di depan, langkahnya mantap meskipun jembatan berderak di setiap pijakannya. Aku mengikuti di belakangnya, dengan Mirna yang menuntun Ayu. Pak Rusdi dan Dika berada di barisan paling belakang, saling menjaga agar tidak ada yang tertinggal.“Kau yakin ini aman?” tanya Mirna, suaranya nyaris terkalahkan oleh hembusan angin. “Tidak ada yang aman di sini,” jawab Gatra tanpa menoleh. “Tapi ini satu-satunya jalan.” Langkah kami tiba-tiba terhenti ketika suara gemuruh pelan terdengar dari belakang. Aku menoleh dan melihat bayangan hitam Voidborn mulai muncul di sisi jembatan. Mata merah mereka bersinar menakutkan di kegelapan. “Cepat! Mereka datang!” seru Dika dengan nada panik. Gatra berlari leb

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-03
  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Hanya pengamat (8)

    Setelah kejadian di jembatan, kami menemukan sebuah gua di tebing berbatu sebagai tempat perlindungan sementara. Gua itu gelap dan lembap, tapi cukup luas untuk menampung kami berlima. Dengan sisa tenaga, kami menyusun barikade seadanya di mulut gua, menggunakan batu-batu besar dan ranting pohon untuk berjaga-jaga dari serangan Voidborn. Malam pertama tanpa Gatra dan Pak Rusdi terasa seperti malam terpanjang dalam hidupku. Kami duduk melingkar di sekitar api kecil yang hampir tidak mampu mengusir dingin. Mirna membalut luka di kakinya, sementara Ayu bersandar di dinding gua dengan mata sembab. Dika hanya menatap kosong ke arah api, tangannya menggenggam sebuah pisau kecil yang ia temukan di jalan. “Ardi...” suara Mirna memecah keheningan. “Apa kita bisa... terus seperti ini?” Aku tidak langsung menjawab. Dalam kepalaku, bayangan Gatra dan Pak Rusdi terus muncul, seakan-akan mereka berdiri di hadapanku, menatap dengan senyum samar. “Kau harus bertahan,” kata Gatra dalam bayang

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-04
  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Para penyintas

    Mobil tua kami akhirnya berhenti di ujung jalan berbatu, asap tipis mengepul dari kap mesin. Mirna mengumpat pelan, memukul setir dengan frustrasi. “Sial, mobil ini sudah tidak bisa jalan lagi,” gumamnya, matanya menatap nanar ke depan. Kami turun dari mobil, kaki-kaki kami terasa lemah setelah perjalanan panjang tanpa istirahat. Di kejauhan, bayangan bangunan kecil muncul di balik kabut pagi. Aku merasakan kelegaan sekaligus ketegangan yang aneh. Apakah ini pemukiman? Apakah mereka akan menerima kami? “Aku harap mereka tidak seperti Hunters,” bisik Ayu, suaranya penuh kecemasan. Dika memegang busur Gatra dengan erat, waspada terhadap setiap suara. “Kita tidak punya pilihan lain,” katanya singkat. Saat kami mendekati gerbang kayu yang tinggi, dua pria bersenjata muncul dari balik barikade. Wajah mereka penuh bekas luka, dan tatapan mereka tajam. “Berhenti di situ!” seru salah satu dari mereka. Senapannya diarahkan tepat ke dadaku. Aku mengangkat tangan perlahan, menun

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-05
  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Para penyintas (2)

    Jeritan melengking memecah keheningan malam, menggema di udara dingin pemukiman. Membangunkan semua orang, jantung berdebar kencang setelah suara itu jeritan itu menggema. Tanpa pikir panjang, aku meraih parang yang tergeletak di sudut ruangan. “Voidborn,” bisik Mirna dengan suara gemetar, tangannya menggenggam lengan Ayu erat. Aku melangkah keluar dan langsung disambut pemandangan yang mengerikan. Salah satu barikade kayu di sisi timur telah hancur, dan sosok makhluk itu berdiri di tengah reruntuhan. Tubuhnya besar, hampir setinggi dua manusia dewasa, dengan kulit hitam kelam yang berkilauan di bawah cahaya api. Mata merahnya bersinar, menatap tajam ke arah para penyintas yang panik. Cakar tajamnya, sebesar belati, meneteskan cairan hitam pekat yang menguap saat menyentuh tanah. “Ke barat! Lindungi anak-anak!” teriak Bima, suaranya tegas meskipun wajahnya terlihat tegang. Dia berdiri di depan, memegang senapan, mencoba menenangkan kek

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-05
  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Para penyintas (3)

    Malam itu menusuk dengan dinginnya, membuat setiap nafas kami terasa berat di udara yang lembab. Kabut tipis menyelimuti jalan berbatu yang kami pijak, seperti tabir rahasia yang melindungi dunia dari mata manusia. Aku menggenggam parang di tanganku, jari-jariku merasakan dingin logamnya—sebuah pengingat bahwa ini adalah satu-satunya pertahanan yang bisa diandalkan. Di belakangku, suara langkah kaki yang terseret menandai kelelahan yang kami semua rasakan."Sanctuary..." pikirku, memandang peta lusuh yang tergenggam di tangan kiriku. Garis-garis kabur di peta itu adalah satu-satunya petunjuk menuju apa yang dikatakan orang-orang sebagai tempat terakhir yang aman. Namun, harapan itu terasa seperti fatamorgana di tengah lautan kehancuran. Aku tidak yakin apa yang lebih berbahaya—percaya bahwa tempat itu nyata atau mengetahui bahwa itu hanyalah ilusi.Di belakang, Mirna dan Ayu berjalan dalam diam. Raut wajah mereka adalah cermin dari apa yang kurasakan—takut, lelah, tapi tidak punya pil

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-07
  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Para penyintas (4)

    Perjalanan berlanjut di bawah naungan pepohonan yang rapat. Sinar matahari pagi menerobos melalui celah-celah dedaunan, menciptakan pola cahaya dan bayangan yang menari di atas tanah lembab. Udara pagi yang sejuk membawa aroma tanah basah dan dedaunan busuk, bercampur dengan sisa-sisa asap hitam dari Hunter yang telah musnah.Langkah kakiku terasa berat, bukan hanya karena kelelahan fisik, tetapi juga karena beban emosional yang kupikul. Kejadian semalam masih segar dalam ingatan, meninggalkan luka yang tak terlihat. Aku menggenggam parang di tanganku, merasakan dingin logamnya menusuk kulitku—sebuah pengingat bahwa ini adalah satu-satunya pertahanan yang bisa kuandalkan.Aku berjalan di depan, memimpin kelompok kecil ini dengan peta lusuh di tanganku. Sesekali, aku berhenti untuk memeriksa kompas dan memastikan kami tetap berada di jalur yang benar, atau setidaknya, jalur yang kupikir benar. Sanctuary... nama itu terus bergema di benakku. Tempat terakhir yang aman, kata orang-orang.

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-07
  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Para penyintas (5)

    Langit cerah berganti mendung tipis saat kelompok kecil kami melanjutkan perjalanan. Sungai kecil tadi memberikan jeda, namun kelelahan dan ketegangan tetap terasa seperti beban yang tak bisa dilepaskan. Aku berjalan di depan, mengamati peta lusuh yang mulai robek di bagian pinggirnya, ketika suara Mia memecah keheningan. “Paman Ardi, kau yakin kita nggak tersesat?” tanya Mia dengan nada menggoda sambil menepuk bahuku. Senyumnya lebar, seperti tidak peduli pada ketegangan yang melingkupi kelompok. "Atau jangan-jangan kau hanya mengikuti instingmu saja, paman?" Aku menghela napas panjang. "Mia, aku sudah bilang jangan panggil aku paman." “Kenapa? Kan kau memang seperti paman bagi kami!” Mia terkekeh kecil, membuat Mirna yang berjalan di dekatnya ikut tersenyum tipis. “Aku masih muda, aku baru berusia 28 tahun,” balasku dengan datar, berusaha fokus pada kompas di tanganku. “Oh ya? Dengan semua kerutan di dahimu itu?” godanya lagi, melirik ke arahku sambil mengayunkan langkah dengan

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-07
  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Para penyintas (6)

    Seorang pria muncul dari balik pintu ptia paruh baya dengan janggut yang lebat, wajahnya dipenuhi bekas luka, dan tubuhnya kekar meski terlihat kelelahan. Dia membawa senapan tua yang sudah usang, menggantung di punggungnya. Matanya tajam, tapi tidak ada ancaman di sana. Justru, ada sesuatu yang membuatku merasa dia telah melihat terlalu banyak—dan kehilangan lebih banyak lagi. “Siapa kalian?” tanyanya dengan suara serak, tetapi tidak mengangkat senjatanya. “Kami hanya para penyintas,” jawabku perlahan, tidak menurunkan parangku. “Kami hanya lewat, mencari tempat untuk beristirahat.” Pria itu mengangguk, lalu masuk ke gedung tanpa meminta izin, duduk di salah satu kursi yang masih utuh. Kami saling bertukar pandang, tidak yakin harus berbuat apa. “Namaku Roy,” katanya akhirnya, tanpa melihat kami. “Aku juga penyintas, seperti kalian.” “Apa kau sendirian?” tanya Hendra curiga. Roy tertawa kecil, tetapi tidak ada humor dalam suaranya. “Kalau aku tidak sendirian, aku tidak ak

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-08

Bab terbaru

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Borobudur (13)

    Udara di sekitarku mulai membara, panas yang tak wajar menggantung di atmosfer. Kabut hitam perlahan-lahan menyebar, bergulung seperti makhluk hidup yang merespons sesuatu yang lebih besar. Aku bisa merasakan bulu kudukku berdiri. Sesuatu sedang terjadi.Julian mulai bangkit dari reruntuhan yang ia tabrak, ekspresinya kini dipenuhi kewaspadaan. Mata tajamnya menelusuri sosokku dari ujung kepala hingga ujung kaki. Dia sedang menganalisis, mengukur, mencoba memahami kekuatan yang baru saja aku tunjukkan."Menarik," gumamnya, suara rendahnya hampir tertelan oleh desisan energi yang bergetar di udara. "Jadi kau masih punya kartu truf yang belum kau tunjukkan, huh?"Di sebelahnya, Genta mengibaskan pedangnya yang berlapis api. Percikan berloncatan di udara, menciptakan suara mendesis saat menyentuh reruntuhan di sekitar. Aku bisa merasakan panasnya, meski berdiri cukup jauh. Mata Genta menyipit, penuh dengan ketegangan."Baiklah," katanya, nada suaranya bergetar dengan keyakinan yang tak t

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Borobudur (12)

    Udara di sekitar candi semakin panas, membuat dedaunan kering di tanah mulai berkerut dan terbakar perlahan. Tembok api yang menjulang tinggi mengelilingi mereka, lidah-lidah apinya menari liar, menciptakan suara gemeretak yang mengancam. Genta berdiri di seberang, wajahnya dipenuhi senyum puas saat dia melihat Raka yang terengah-engah di tengah arena yang telah mereka ciptakan. Tidak ada jalan keluar."Lebih baik kau menyerah," suara Reina menggema, terdengar seperti bisikan iblis yang menikmati penderitaan mangsanya. "Biar aku bisa merasakan bagaimana rasanya menumpahkan darah pahlawan terkuat."Raka berdiri dengan susah payah, keringat bercampur darah menetes dari pelipisnya, jatuh ke tanah yang mulai menghitam akibat suhu tinggi. Nafasnya berat, dadanya naik turun tidak beraturan. Aura biru di pedangnya yang sebelumnya bersinar terang kini mulai meredup, seakan merespons kelelahan pemiliknya. Namun, matanya tetap tajam, membara dengan tekad."Berisik," geramnya, sebelum mendorong

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Borobudur (11)

    Bayangan merayap di atas altar, menciptakan ilusi seakan dunia di dalam reruntuhan Borobudur itu sendiri menahan napas. Debu melayang di udara, terbawa gelombang energi yang memancar dari para petarung. Di antara reruntuhan yang bercahaya redup, tujuan mereka hanya satu: mutiara merah di atas altar yang memancarkan cahaya berdenyut seolah memiliki detak jantung sendiri. Reina melesat bagaikan bayangan yang menyatu dengan kegelapan. Tubuhnya bergerak lincah, hampir tak terlihat di antara celah-celah cahaya yang bersinar dari reruntuhan kuil. Cakarnya yang panjang berselimut energi hitam merobek udara, mengincar sosok Lina yang berdiri di tengah dengan tangan terangkat, membentuk barrier bercahaya emas. "Lihat di belakangmu, nona pahlawan." Suara Reina terdengar lirih, hampir seperti bisikan yang menyelinap ke dalam telinga Lina. Bibirnya melengkung dalam seringai tajam. Tepat sebelum cakar Reina menembus punggungnya, Lina mendengar teriakan dari belakang, "Lina, di belakangmu!" Di

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Borobudur (10)

    Hening menyelimuti medan pertempuran setelah ledakan dahsyat yang menghancurkan Banaspati. Hanya suara angin yang menderu pelan di antara reruntuhan yang tersisa. Debu masih melayang di udara, menciptakan siluet samar-samar yang kini berdiri di tengah sisa-sisa pertempuran.Langkah kaki kelompok Raka akhirnya terhenti saat mereka mendekati altar, di mana tiga orang yang tadi menyerang berdiri di hadapan relik mutiara merah. Batu-batu altar memancarkan sinar kemerahan, seperti merespons kehadiran mereka. Cahaya bulan yang tertutup awan memberikan kesan menyeramkan pada sosok-sosok yang berdiri di atasnya."Ho..." Suara lembut namun penuh ejekan terdengar. Reina menatap kelompok Raka dengan senyum miring, seolah menemukan mainan baru. "Ternyata ada yang selamat dari peliharaanku."Raka menatap Julian dengan sorot mata penuh kebencian. Rahangnya mengeras, dan genggaman pedangnya semakin erat. "Kau... Orang yang melawan Ardi Sanctum Perennial!"Julian menoleh santai, matanya yang berwarna

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Borobudur (9)

    Aku dan Ariel bersembunyi di balik salah satu pilar besar candi, napas kami tertahan, hanya bisa mengamati kejadian yang berlangsung di depan mata. Dari sela-sela reruntuhan batuan tua, aku bisa melihat dengan jelas bagaimana api berkobar di sekitar candi, menciptakan suasana neraka yang nyata. Bau hangus dari daging yang terbakar menyusup ke hidung, menyisakan rasa mual yang sulit ditepis."Apa yang harus kita lakukan?" bisik Ariel, suaranya hampir tenggelam oleh suara gemuruh pertempuran di depan.Aku mengangkat tangan kanan, mengisyaratkan agar dia tetap diam. "Tunggu," bisikku pelan. "Situasinya belum menguntungkan untuk kita terjun ke sana. Kita lihat saja dulu."Ariel mengangguk pelan, matanya tak lepas dari medan pertempuran. Aku bisa melihat ketegangan di wajahnya, keringat mengalir di pelipisnya meskipun udara sekitar terasa panas.Di tengah kekacauan, seorang tank dari kelompok itu menjerit marah. "Kau... siapa kau, bajingan?!" Matanya terpaku pada seorang wanita berambut pa

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Borobudur (8)

    Borobudur berdiri megah di hadapan kami, bukan lagi hanya sekadar peninggalan sejarah, melainkan pusat energi yang memancarkan aura mistis. Relief-relief yang terukir di dinding candi bersinar samar, mengeluarkan cahaya keemasan yang berdenyut seirama dengan napas dunia. Dari puncaknya, sinar merah menyala terang, berdenyut seperti jantung yang hidup, menarik perhatian siapa pun yang melihatnya. Itu dia, Relik Mutiara Merah—relik Eyang Api Sakti.Aku melangkah maju, ingin lebih dekat, tetapi tiba-tiba Ariel meraih tanganku. Cengkeramannya erat, dingin, meski udara di sekitar kami terasa panas akibat energi yang memancar dari Borobudur."Tunggu," suaranya bergetar, napasnya tak beraturan.Aku menoleh, melihat wajahnya yang pucat. Keringat dingin menetes di pelipisnya, matanya membelalak seolah baru saja menyaksikan sesuatu yang mengerikan. "Ada apa?" tanyaku."Aku baru saja mendapat penglihatan tentang apa yang akan terjadi di sini." Ia menelan ludah, matanya yang biasanya tenang kini

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Borobudur (7)

    Cahaya matahari pagi merayap masuk melalui celah-celah retakan dinding bangunan yang telah lama ditinggalkan. Debu di udara berkilauan dalam semburat keemasan, melayang-layang seolah menari di antara serpihan kehancuran. Udara pagi yang menusuk membuat napas kami terlihat dalam kepulan uap tipis, sebuah pengingat bahwa kami masih hidup—di dunia yang telah lama ditinggalkan harapan.Dari sudut ruangan, Ariel menggeliat pelan, lengannya terulur malas sementara mulutnya menguap kecil. Sisa kantuk masih membayang di wajahnya, tetapi ada ketenangan dalam sorot matanya—sesuatu yang jarang terlihat dalam dunia seperti ini. Ia mengusap kedua matanya sebelum akhirnya menoleh ke arahku dengan senyum tipis.“Selamat pagi,” gumamnya, suaranya terdengar lebih lembut dari angin yang berbisik di antara reruntuhan.Aku hanya mengangguk singkat, membiarkan keheningan tetap menggantung di antara kami. Pandanganku terus mengawasi setiap sudut ruangan, memastikan bahwa tak ada ancaman yang mengintai dala

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Borobudur (6)

    Dedaunan berbisik lirih di antara angin malam yang menggigil. Nafasku memburu, dada terasa berat seiring langkah kakiku dan Ariel yang menghantam tanah basah di bawah rimbun pepohonan. Kegelapan yang menyelimuti hutan terasa lebih pekat dari biasanya, dan firasat buruk menjalar di tubuhku saat aku menangkap sekilas bayangan besar bergerak di antara pepohonan.Suara ranting patah terdengar di belakang kami, membuat jantungku berdegup lebih kencang. "Cepat!" desakku, menarik tangan Ariel agar ia berlari lebih cepat.Ariel terengah-engah, suaranya putus-putus saat ia berusaha mengatur napas. "Apa kita akan berjalan tanpa arah?" suaranya nyaris tenggelam dalam suara desiran angin dan dedaunan yang berguguran. "Di malam sekelam ini?"Aku berhenti sejenak, menoleh ke arahnya. Wajahnya pucat, keringat dingin mengalir di pelipisnya meski udara begitu dingin. Aku tahu kami butuh istirahat, walau hanya beberapa detik. Tapi aku juga tahu bahwa makhluk itu masih di luar sana, mengintai.Aku menya

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Borobudur (5)

    Langkahku bergema di antara reruntuhan kota yang sunyi, hanya diiringi suara napas yang berhembus pelan. Tangan kananku mencengkeram erat gagang Trisula, merasakan dinginnya logam yang seakan menyatu dengan kulitku. Aku tahu Voidborn sudah dekat. Aroma busuk yang menyengat mulai menusuk hidungku, bercampur dengan debu yang beterbangan di udara.Namun, sebelum aku bisa melangkah lebih jauh, tangan Ariel mencengkram lenganku dengan cepat, menarikku ke balik tembok beton yang setengah runtuh. Aku menoleh tajam padanya, mata kami bertemu dalam kegelapan."Lebih baik kita tidak melawannya," bisiknya, nyaris tanpa suara. Napasnya terdengar sedikit tertahan, menandakan kecemasan yang ia coba redam.Aku menatapnya dingin. "Aku bisa mengalahkannya. Lebih baik kau bersembunyi saja."Ariel menggeleng, sorot matanya penuh keseriusan. "Aku tahu kau kuat," ucapnya lirih, "tapi kita tak tahu berapa banyak mereka. Dan jika kau menggunakan terlalu banyak energi sekarang, bagaimana kalau di perjalanan

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status