Share

Hanya pengamat (6)

Penulis: Deni A. Arafah
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-03 11:09:10

Ruangan itu kembali sunyi setelah kepergian Raka dan dua orang misterius lainnya. Namun, kesunyian itu terasa lebih berat daripada ketegangan sebelumnya. Aku, Mirna, dan yang lain hanya berdiri diam, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi.

"Apa kita cuma nunggu mati sekarang?" tanya Mirna, nadanya jelas kesal. Ia melipat tangan, menatapku seperti aku tahu apa yang harus dilakukan.

Aku menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. "Oke, kita harus tetap tenang. Raka bilang kita bisa bertahan di sini sampai mereka selesai dengan tugas mereka."

"Dan kalau Voidborn atau makhluk lain masuk?" tanya seorang pria muda di sudut. Aku baru sadar ia belum menyebutkan namanya sejak tadi.

"Kita harus tahu nama masing-masing dulu," kataku tiba-tiba. "Kalau kita mau bertahan, kita harus saling percaya, dan itu dimulai dari nama."

Semua menatapku, mungkin mengira aku gila. Tapi pria tua itu akhirnya mengangguk. "Dia benar. Kalau kita mati, setidaknya kita tahu siapa yang ada di sisi kita."

Aku memulai. "Aku Ardi. Aku... cuma pegawai biasa, nggak ngerti apa-apa soal Skenario ini."

Mirna melirikku sekilas. "Mirna. Dulunya aku kerja di bengkel motor sebelum semua ini terjadi."

Pria tua itu menyalakan ulang senjata rakitannya yang tadi hampir kehabisan energi. "Aku Pak Rusdi. Mantan tentara. Dan ya, aku tahu ini semua nggak masuk akal, tapi kita harus tetap hidup."

Pria muda di sudut tampak ragu, tapi akhirnya ia berbicara. "Aku Dika. Mahasiswa sebelum semua ini. Sekarang... aku nggak tahu apa yang harus kulakukan."

Kami semua menoleh ke anak kecil yang masih meringkuk di pojok. Ia menggenggam boneka lusuhnya erat, menolak menatap kami. "Namaku Ayu," katanya pelan. "Aku nggak tahu di mana orangtuaku."

Hening sejenak, lalu Pak Rusdi menghela napas panjang. "Baiklah, Ardi. Kau bilang kita harus saling percaya. Apa rencanamu sekarang?"

Aku membuka mulut untuk menjawab, tapi suara berat yang menggema dari luar ruangan memotongku. Langkah-langkah itu terdengar lagi—lebih berat, lebih cepat. Tidak hanya satu atau dua, tapi banyak. Voidborn dan mungkin Hunters sedang mendekat.

"Kita harus pergi sekarang!" seru Mirna panik. "Mereka akan masuk ke sini!"

Pak Rusdi menatap pintu dan mengangkat senjatanya. "Kalian pergi dulu. Aku akan menahan mereka."

"Apa?!" Dika menatapnya, mata terbelalak. "Pak, nggak mungkin! Kalau Anda mati, kami nggak punya siapa-siapa yang tahu cara bertahan!"

"Tidak ada pilihan lain," jawab Pak Rusdi tegas. "Kalian harus temukan jalan keluar di sisi lain ruangan ini. Kalau aku bisa, aku akan menyusul."

Aku ingin membantah, tapi sorot matanya membuatku terdiam. Pak Rusdi sudah memutuskan.

"Kita harus bergerak sekarang," kata Mirna, menarik tanganku. "Ayo."

Kami mulai bergerak menuju pintu lain di sisi ruangan, tapi aku menoleh ke belakang sekali lagi. Pak Rusdi berdiri di depan pintu utama, senjatanya terangkat, siap menghadapi apa pun yang akan masuk.

Ketika kami keluar dari ruangan, lorong panjang dan gelap menyambut kami. Suasana lebih tegang, udara terasa berat, seperti sesuatu sedang mengawasi kami dari kegelapan.

“Ke mana kita sekarang?” tanya Ayu, suaranya kecil tapi penuh rasa takut.

Aku melihat ke arah Mirna, berharap dia punya jawaban. Dia hanya mengangkat bahu. “Kita harus cari jalan keluar. Kalau tetap di sini, kita semua mati.”

“Kalian harus terus bergerak,” suara baru tiba-tiba terdengar dari ujung lorong.

Kami semua berhenti. Dari kegelapan, seorang pria muncul. Dia tinggi, dengan rambut acak-acakan dan jubah panjang yang sobek di ujungnya. Di punggungnya, ada busur besar yang bercahaya lemah.

“Siapa kau?” tanya Mirna tajam, berdiri di depanku seperti perisai.

Pria itu mengangkat tangannya, mencoba menunjukkan kalau dia tidak berbahaya. “Aku Gatra. Aku... salah satu yang diberi peran. Sama seperti Raka.”

Aku mengernyit. “Kau kenal Raka?”

Dia mengangguk. “Aku temannya. Kami... bertarung bersama, menjalankan tugas dalam Skenario ini. Dan kalian...” Dia menatap kami dengan pandangan penuh penilaian. “Kalian tidak seharusnya ada di sini.”

“Lagi-lagi itu,” gumam Mirna kesal. “Kami gak peduli seharusnya atau nggak. Kami di sini karena kami gak punya pilihan!”

Gatra menghela napas, matanya melunak sedikit. “Aku tahu. Dan aku tidak akan meninggalkan kalian. Tapi kalian harus keluar dari tempat ini. Voidborn sedang mendekat, dan mereka tidak akan berhenti sampai tempat ini hancur.”

“Apa kau bisa membawa kami keluar?” tanyaku, penuh harapan.

Dia mengangguk. “Ada jalan keluar di ujung lorong ini. Tapi kalian harus bergerak cepat.”

Kami tidak membuang waktu lagi. Dengan Gatra di depan, kami mulai berlari melewati lorong, suara langkah kami bergema di dinding. Di belakang kami, suara dentuman dan jeritan mulai terdengar—Voidborn telah menemukan kami.

“Cepat!” teriak Gatra, berlari lebih cepat.

Ketika kami sampai di ujung lorong, sebuah pintu besar yang berat menunggu. Gatra menarik tuas di sampingnya, dan pintu itu terbuka dengan suara berderit keras.

“Masuk!” katanya, melambai pada kami.

Satu per satu, kami masuk ke ruangan berikutnya. Tapi sebelum aku masuk, aku menoleh ke belakang. Aku bisa melihat bayangan besar mendekat dari ujung lorong, mata merah mereka bersinar terang.

“Ardi, cepat!” teriak Mirna dari dalam.

Aku melompat masuk, dan Gatra menutup pintu dengan cepat. Namun, sebelum Gatra berhasil mengunci tuas pintunya aku menahan tangannya.

"Tunggu," Aku menatap mata Gatra, "Masih ada satu orang lagi yang tertinggal!"

"Kita tak punya banyak waktu ,kalau pintu ini tidak di kunci Voidborn akan membunuh kita semua."

Namun, aku tetap bersikeras menahan tangan Gatra, dari dalam lorong aku melihat seorang pria tua yang sedang berlari sambil memegang senjata rakitannya.

"Cepat Pak, kita tak punya banyak waktu!" Teriak Mirna yang suara menggema di dalam lorong tersebut.

Namun dari belakang muncul bayangan hitam dengan mata merah yang berusaha mengejar Pak Rusdi. Aku yang tidak bisa tinggal diam saja berusaha masuk ke lorong itu untuk membantu Pak Rusdi keluar lebih cepat.

Namun, Gatra menahan tubuhku untuk tidak masuk kedalam. "Bodoh, jangan masuk. Kalau kau masuk kita semua bisa mati."

Dengan cepat Gatra menarik anak panahnya yang mengeluarkan cahaya biru dan menambahkannya diantara Pak Rusdi dan Voidborn tersebut. Ledakan besarpun terjadi setelah anak panah Gatra menembus tubuh hitam dari Voidborn tersebut.

"Kalian bodoh," Ucap Pak Rusdi dengan nafas yang terengah-engah. "Kenapa kalian masih tetap di sini?"

"Cepat Pak!" Teriak kita semua, sambil mengulurkan tangan.

Dengan nafas yang masih tersengal-sengal Pak Rusdi menggenggam tanganku dan berhasil keluar dari lorong tersebut.

Gatra dengan cepat langsung mengunci tuasnya, lalu menatap kami dengan serius.

“Kalian beruntung,” katanya pelan. “Tapi perjalanan kalian belum selesai.”

Belum selesai merayakan kemenangan kami di belakangnya, aku bisa melihat sesuatu yang baru—sebuah jembatan panjang yang melintasi jurang gelap. Di ujung jembatan itu, ada cahaya terang yang memancar seperti suar di tengah kegelapan.

“Apa itu?” tanyaku.

“Itu adalah jalan keluar,” jawab Gatra. “Tapi kalian harus melintasi jembatan itu. Dan jangan berhenti, apa pun yang terjadi.”

Kami semua berdiri di depan jembatan yang panjang dan rapuh, terbentang di atas jurang yang gelap dan tak berujung. Angin dingin berhembus, membawa aroma logam dan rasa takut yang tidak bisa dijelaskan. Gatra memimpin di depan, tapi sebelum dia bisa melangkah, udara di sekitar kami tiba-tiba berubah.

Cahaya redup di jembatan berganti dengan kilauan aneh, dan suara berat yang menyerupai gema seribu bisikan memenuhi ruangan. Kami semua berhenti, tubuh tegang seperti senar yang hampir putus.

“Tidak mungkin…” bisik Gatra, wajahnya berubah pucat. “Ordo Zeros.”

Aku tidak tahu apa yang dia maksud sampai aku melihatnya. Di tengah jembatan, cahaya membentuk sosok besar yang berkilauan seperti bintang. Wujudnya terus berubah—kadang seperti manusia, kadang seperti makhluk lain yang tidak bisa aku gambarkan dengan kata-kata. Itu bukan sesuatu yang berasal dari dunia ini.

“Yang Terpilih, dengarkan kami,” suara itu bergema di ruangan, berat dan penuh dengan kekuatan. “Skenario berikutnya dimulai sekarang. Waktumu terbatas, dan hasilnya akan menentukan nasib dunia ini.”

“Tidak…” bisik Gatra lagi, kali ini terdengar putus asa. “Ini terlalu cepat.”

“Siapa itu?” tanya Mirna pelan, tubuhnya sedikit gemetar.

“Itu adalah salah satu pencipta dari skenario yang terjadi di sini,” jawab Gatra. “Mereka adalah penjaga Skenario ini... atau mungkin dalang di balik semuanya. Mereka muncul hanya untuk memberikan perintah.”

“Para Pemeran.” Makhluk itu menyebut hanya menyebutkan orang yang di beri peran saja. “Relik telah ditemukan, tapi itu baru awal. Selesaikan Skenario berikutnya, atau dunia ini akan kehilangan keseimbangan.”

“Kenapa hanya kami saja yang di berikan petan?” Gatra memotong, suaranya penuh emosi. “Ada lebih banyak orang di sini. Kenapa mereka tidak diberi peran?”

Entitas itu tidak menjawab. Sebaliknya, ia mengangkat tangan bercahaya, dan gambar-gambar mulai muncul di udara, seperti proyeksi hologram. Kami semua melihat ke arah gambar itu—hutan lebat yang terbakar, makhluk-makhluk besar yang bertarung, dan... langit yang retak, seolah-olah dunia ini akan hancur kapan saja.

“Konstelasi telah terganggu. Nyi Roro Kidul menuntut Relik dari Samudera Selatan untuk mengembalikan keseimbangan wilayahnya. Barong telah mengirim pasukannya untuk menguasai Gunung Merapi. Dan Aji Saka... ia diam, tetapi kemarahan tersembunyi dalam setiap detik waktunya.”

Aku merasa seolah dadaku terhimpit. Nama-nama itu... Nyi Roro Kidul? Barong? Aji Saka? Bukankah itu semua hanya cerita rakyat dan mitos?

“Kalian yang terpilih, temukan Relik berikutnya di Kawasan Pegunungan Jawa. Relik ini adalah kunci untuk menahan kekuatan Barong. Gagal, dan kalian akan menyaksikan kehancuran dimulai dari wilayah itu.”

Raka muncul dari kegelapan di belakang kami, berjalan cepat dengan pedangnya yang masih bersinar biru terang. Wajahnya penuh dengan amarah, tapi ia tetap tenang. “Kami tidak punya waktu untuk permainan kalian,” katanya dingin kepada entitas itu. “Kalian meminta kami melawan dewa dan entitas yang jauh lebih kuat dari kami.”

Entitas itu hanya tersenyum, wajahnya terus berubah bentuk. “Kami tidak meminta. Kami memberi perintah.”

“Dan bagaimana dengan kami?” Mirna memotong, suaranya penuh dengan frustrasi. “Kami bukan siapa-siapa. Tapi kalau mereka gagal, kami yang menderita. Ini bukan permainan yang adil!”

Entitas itu memutar kepala bercahaya ke arahnya, lalu ke arah kami semua. “Tidak semua diciptakan untuk memiliki peran. Tetapi dampaknya dirasakan oleh semua. Skenario ini adalah keseimbangan. Jika kalian ingin bertahan, bergeraklah.”

Dengan itu, cahaya menghilang, dan keheningan kembali menyelimuti ruangan. Tapi udara masih berat dengan ancaman yang baru saja dilontarkan.

“Jadi, itu saja?” tanya Dika, suaranya sedikit bergetar. “Kami cuma... penonton dalam permainan ini?”

Raka mendekati kami, matanya tajam. “Kalian memang tidak punya peran. Tapi kalian hidup di dunia ini. Kalau kami gagal, kalian semua akan mati.”

“Dan kalau kalian berhasil?” tanyaku, nadaku sedikit sinis. “Kami tetap hidup dalam ketakutan?”

“Kalau kami berhasil, kalian punya waktu untuk bertahan lebih lama,” jawabnya dingin. “Dan itu lebih baik daripada tidak punya waktu sama sekali.”

Gatra menepuk bahu Raka, mencoba menenangkan. “Raka, mereka tidak mengerti. Jangan terlalu keras pada mereka.”

“Karena mereka tidak perlu mengerti,” jawab Raka. “Mereka hanya perlu tahu bahwa kami tidak bisa gagal.”

Mirna melangkah maju, wajahnya penuh dengan keberanian yang tiba-tiba. “Kalau begitu, bawa kami. Biarkan kami ikut.”

“Tidak!” Gatra langsung menolak. “Ini terlalu berbahaya. Kalian bahkan tidak bisa melawan satu Voidborn tanpa bantuan.”

“Kami akan mati kalau tetap diam,” jawab Mirna tajam. “Kalau kami ikut, setidaknya kami punya kesempatan.”

Raka menatapnya, lalu menatap kami semua. Ada keraguan di matanya, kemudian dia berjalan pergi meninggalkan kami semua. “Lakukan apapun yang kalian suka.”

Mirna yang melihat Raka meninggalkan kami langsung berteriak kepadanya. “Woi.. Jangan acuhkan kami tuan yang diberkati peran!”

Raka yang melintasi jembatan mulai menghilang seakan ditelan kabut. Dan kami juga tidak bisa terus-terusan bertahan seperti ini.

Kami mulai berjalan melintasi jembatan, satu per satu. Aku bisa merasakan kegelapan di bawah kami, seperti jurang itu ingin menelan kami. Tapi di atas segalanya, aku merasa seperti sedang berjalan menuju sesuatu yang jauh lebih besar dari apa yang pernah aku bayangkan.

Skenario baru dimulai. Dan meskipun aku tidak punya peran, aku tahu aku terlibat lebih dalam dari yang seharusnya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Hanya pengamat (7)

    Kami melangkah hati-hati di atas jembatan yang rapuh, angin dingin terus menerpa wajah, membuat kakiku gemetar. Di bawah jembatan, jurang gelap itu terasa seperti mulut raksasa yang siap menelan siapa pun yang terjatuh. Gatra memimpin di depan, langkahnya mantap meskipun jembatan berderak di setiap pijakannya. Aku mengikuti di belakangnya, dengan Mirna yang menuntun Ayu. Pak Rusdi dan Dika berada di barisan paling belakang, saling menjaga agar tidak ada yang tertinggal.“Kau yakin ini aman?” tanya Mirna, suaranya nyaris terkalahkan oleh hembusan angin. “Tidak ada yang aman di sini,” jawab Gatra tanpa menoleh. “Tapi ini satu-satunya jalan.” Langkah kami tiba-tiba terhenti ketika suara gemuruh pelan terdengar dari belakang. Aku menoleh dan melihat bayangan hitam Voidborn mulai muncul di sisi jembatan. Mata merah mereka bersinar menakutkan di kegelapan. “Cepat! Mereka datang!” seru Dika dengan nada panik. Gatra berlari leb

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-03
  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Hanya pengamat (8)

    Setelah kejadian di jembatan, kami menemukan sebuah gua di tebing berbatu sebagai tempat perlindungan sementara. Gua itu gelap dan lembap, tapi cukup luas untuk menampung kami berlima. Dengan sisa tenaga, kami menyusun barikade seadanya di mulut gua, menggunakan batu-batu besar dan ranting pohon untuk berjaga-jaga dari serangan Voidborn. Malam pertama tanpa Gatra dan Pak Rusdi terasa seperti malam terpanjang dalam hidupku. Kami duduk melingkar di sekitar api kecil yang hampir tidak mampu mengusir dingin. Mirna membalut luka di kakinya, sementara Ayu bersandar di dinding gua dengan mata sembab. Dika hanya menatap kosong ke arah api, tangannya menggenggam sebuah pisau kecil yang ia temukan di jalan. “Ardi...” suara Mirna memecah keheningan. “Apa kita bisa... terus seperti ini?” Aku tidak langsung menjawab. Dalam kepalaku, bayangan Gatra dan Pak Rusdi terus muncul, seakan-akan mereka berdiri di hadapanku, menatap dengan senyum samar. “Kau harus bertahan,” kata Gatra dalam bayang

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-04
  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Para penyintas

    Mobil tua kami akhirnya berhenti di ujung jalan berbatu, asap tipis mengepul dari kap mesin. Mirna mengumpat pelan, memukul setir dengan frustrasi. “Sial, mobil ini sudah tidak bisa jalan lagi,” gumamnya, matanya menatap nanar ke depan. Kami turun dari mobil, kaki-kaki kami terasa lemah setelah perjalanan panjang tanpa istirahat. Di kejauhan, bayangan bangunan kecil muncul di balik kabut pagi. Aku merasakan kelegaan sekaligus ketegangan yang aneh. Apakah ini pemukiman? Apakah mereka akan menerima kami? “Aku harap mereka tidak seperti Hunters,” bisik Ayu, suaranya penuh kecemasan. Dika memegang busur Gatra dengan erat, waspada terhadap setiap suara. “Kita tidak punya pilihan lain,” katanya singkat. Saat kami mendekati gerbang kayu yang tinggi, dua pria bersenjata muncul dari balik barikade. Wajah mereka penuh bekas luka, dan tatapan mereka tajam. “Berhenti di situ!” seru salah satu dari mereka. Senapannya diarahkan tepat ke dadaku. Aku mengangkat tangan perlahan, menun

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-05
  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Para penyintas (2)

    Jeritan melengking memecah keheningan malam, menggema di udara dingin pemukiman. Membangunkan semua orang, jantung berdebar kencang setelah suara itu jeritan itu menggema. Tanpa pikir panjang, aku meraih parang yang tergeletak di sudut ruangan. “Voidborn,” bisik Mirna dengan suara gemetar, tangannya menggenggam lengan Ayu erat. Aku melangkah keluar dan langsung disambut pemandangan yang mengerikan. Salah satu barikade kayu di sisi timur telah hancur, dan sosok makhluk itu berdiri di tengah reruntuhan. Tubuhnya besar, hampir setinggi dua manusia dewasa, dengan kulit hitam kelam yang berkilauan di bawah cahaya api. Mata merahnya bersinar, menatap tajam ke arah para penyintas yang panik. Cakar tajamnya, sebesar belati, meneteskan cairan hitam pekat yang menguap saat menyentuh tanah. “Ke barat! Lindungi anak-anak!” teriak Bima, suaranya tegas meskipun wajahnya terlihat tegang. Dia berdiri di depan, memegang senapan, mencoba menenangkan kek

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-05
  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Para penyintas (3)

    Malam itu menusuk dengan dinginnya, membuat setiap nafas kami terasa berat di udara yang lembab. Kabut tipis menyelimuti jalan berbatu yang kami pijak, seperti tabir rahasia yang melindungi dunia dari mata manusia. Aku menggenggam parang di tanganku, jari-jariku merasakan dingin logamnya—sebuah pengingat bahwa ini adalah satu-satunya pertahanan yang bisa diandalkan. Di belakangku, suara langkah kaki yang terseret menandai kelelahan yang kami semua rasakan."Sanctuary..." pikirku, memandang peta lusuh yang tergenggam di tangan kiriku. Garis-garis kabur di peta itu adalah satu-satunya petunjuk menuju apa yang dikatakan orang-orang sebagai tempat terakhir yang aman. Namun, harapan itu terasa seperti fatamorgana di tengah lautan kehancuran. Aku tidak yakin apa yang lebih berbahaya—percaya bahwa tempat itu nyata atau mengetahui bahwa itu hanyalah ilusi.Di belakang, Mirna dan Ayu berjalan dalam diam. Raut wajah mereka adalah cermin dari apa yang kurasakan—takut, lelah, tapi tidak punya pil

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-07
  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Para penyintas (4)

    Perjalanan berlanjut di bawah naungan pepohonan yang rapat. Sinar matahari pagi menerobos melalui celah-celah dedaunan, menciptakan pola cahaya dan bayangan yang menari di atas tanah lembab. Udara pagi yang sejuk membawa aroma tanah basah dan dedaunan busuk, bercampur dengan sisa-sisa asap hitam dari Hunter yang telah musnah.Langkah kakiku terasa berat, bukan hanya karena kelelahan fisik, tetapi juga karena beban emosional yang kupikul. Kejadian semalam masih segar dalam ingatan, meninggalkan luka yang tak terlihat. Aku menggenggam parang di tanganku, merasakan dingin logamnya menusuk kulitku—sebuah pengingat bahwa ini adalah satu-satunya pertahanan yang bisa kuandalkan.Aku berjalan di depan, memimpin kelompok kecil ini dengan peta lusuh di tanganku. Sesekali, aku berhenti untuk memeriksa kompas dan memastikan kami tetap berada di jalur yang benar, atau setidaknya, jalur yang kupikir benar. Sanctuary... nama itu terus bergema di benakku. Tempat terakhir yang aman, kata orang-orang.

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-07
  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Para penyintas (5)

    Langit cerah berganti mendung tipis saat kelompok kecil kami melanjutkan perjalanan. Sungai kecil tadi memberikan jeda, namun kelelahan dan ketegangan tetap terasa seperti beban yang tak bisa dilepaskan. Aku berjalan di depan, mengamati peta lusuh yang mulai robek di bagian pinggirnya, ketika suara Mia memecah keheningan. “Paman Ardi, kau yakin kita nggak tersesat?” tanya Mia dengan nada menggoda sambil menepuk bahuku. Senyumnya lebar, seperti tidak peduli pada ketegangan yang melingkupi kelompok. "Atau jangan-jangan kau hanya mengikuti instingmu saja, paman?" Aku menghela napas panjang. "Mia, aku sudah bilang jangan panggil aku paman." “Kenapa? Kan kau memang seperti paman bagi kami!” Mia terkekeh kecil, membuat Mirna yang berjalan di dekatnya ikut tersenyum tipis. “Aku masih muda, aku baru berusia 28 tahun,” balasku dengan datar, berusaha fokus pada kompas di tanganku. “Oh ya? Dengan semua kerutan di dahimu itu?” godanya lagi, melirik ke arahku sambil mengayunkan langkah dengan

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-07
  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Para penyintas (6)

    Seorang pria muncul dari balik pintu ptia paruh baya dengan janggut yang lebat, wajahnya dipenuhi bekas luka, dan tubuhnya kekar meski terlihat kelelahan. Dia membawa senapan tua yang sudah usang, menggantung di punggungnya. Matanya tajam, tapi tidak ada ancaman di sana. Justru, ada sesuatu yang membuatku merasa dia telah melihat terlalu banyak—dan kehilangan lebih banyak lagi. “Siapa kalian?” tanyanya dengan suara serak, tetapi tidak mengangkat senjatanya. “Kami hanya para penyintas,” jawabku perlahan, tidak menurunkan parangku. “Kami hanya lewat, mencari tempat untuk beristirahat.” Pria itu mengangguk, lalu masuk ke gedung tanpa meminta izin, duduk di salah satu kursi yang masih utuh. Kami saling bertukar pandang, tidak yakin harus berbuat apa. “Namaku Roy,” katanya akhirnya, tanpa melihat kami. “Aku juga penyintas, seperti kalian.” “Apa kau sendirian?” tanya Hendra curiga. Roy tertawa kecil, tetapi tidak ada humor dalam suaranya. “Kalau aku tidak sendirian, aku tidak ak

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-08

Bab terbaru

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Bali yang berbeda (8)

    Dunia kembali bergerak.Seakan tersedot dari pusaran kehampaan, aku terhempas ke realitas. Nafasku terputus-putus, dadaku naik turun tak terkendali. Keringat dingin mengalir di pelipisku, dan jari-jariku mati rasa saat aku mencoba menggenggam trisulaku lebih erat. Tubuhku seakan dipaksa menerima beban yang bukan milikku—resonansi antara aku dan Chronarkis masih terasa, mengalir seperti arus tak kasat mata yang menghubungkan kami.Brak!Lututku menghantam tanah. Tanah yang dingin dan kasar merambat di sela jari, seakan menegaskan bahwa aku masih ada di sini, masih hidup. Suara napasku bercampur dengan desir angin yang membawa serpihan debu dan abu di udara. Cahaya redup dari langit yang koyak oleh kekuatan yang tak kasat mata perlahan memudar, seolah takut mengungkap rahasia yang baru saja terkuak."Apa kau baik-baik saja?"Suara Revan membelah keheningan. Aku mendongak, melihatnya bergegas ke arahku, ekspresinya dipenuhi kekhawatiran. Ia tak perlu bertanya dua kali. Dengan susah payah

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Bali yang berbeda (7)

    Kegelapan berdenyut di sekeliling Ariel, nyala api hitam berputar liar seperti ular ganas yang hendak memangsa segalanya. Napasnya berat, langkahnya menyeret, tetapi matanya—mata merah menyala yang menjadi simbol kekuasaan Barong—tetap terkunci padaku. Aku bersiap menghindar, otakku bekerja cepat mencari celah dalam serangannya.Tapi tiba-tiba—WUSHH!Sebuah cahaya emas meledak dari tubuh Ariel. Sejenak, seolah-olah waktu tersendat, lalu berhenti total. Angin yang tadinya menggila kini membeku di udara, debu yang beterbangan pun mengapung tanpa arah. Bahkan api yang menari di sekeliling Ariel berhenti, nyaris seperti lukisan yang dipaksa diam dalam satu momen abadi.Aku menegang. Eternal Flow Manipulation-ku? Tidak. Ini bukan aku yang mengaktifkannya.Sebuah tekanan luar biasa membanjiri ruang di sekelilingku, membuat bulu kudukku berdiri. Dari bayanganku sendiri, sesuatu merayap keluar. Aku bisa merasakan keberadaannya bahkan sebelum melihat sosoknya.Kemudian, ia muncul.Sosok itu m

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Bali yang berbeda (6)

    Udara di sekitar kami bergetar, panas yang menyengat merayap di kulit, membuat napas terasa berat. Debu-debu hangus melayang, terbawa oleh angin panas yang entah berasal dari serangan Ariel sebelumnya atau dari dirinya sendiri.Mata Revan menyipit, keringat mengalir di pelipisnya. "Sepertinya dia kehilangan kontrol atas tubuhnya," gumamnya, suaranya nyaris tenggelam dalam deru api yang mengamuk. Dengan cepat, dia mengangkat tangannya. "Zephyr Suppression."Raungan angin terdengar nyaring saat pusaran udara terbentuk di sekitar Ariel, membelit tubuhnya seperti rantai tak kasat mata. Namun sebelum cengkeraman angin bisa menahan gerakannya, Ariel mengangkat pedang reliknya tinggi-tinggi. Mata keemasannya berkilat sesaat sebelum berubah menjadi merah."Divine Reflection."Kilatan cahaya meledak dari tubuhnya, memantulkan energi angin yang seharusnya membelenggunya. Seakan tak tersentuh, ia melangkah maju tanpa kesulitan sedikit pun.Revan terhuyung ke belakang, tangannya masih terangkat de

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Bali yang berbeda (5)

    Kilatan cahaya menyambar cakrawala. Petir menggelegar, suaranya menggema seperti raungan raksasa yang marah. Langit yang tadinya cerah kini berubah kelam, seakan ditelan sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar awan mendung. Udara menjadi berat, seperti ribuan ton besi menekan dada.Aku berdiri di tengah padang yang luas, trisula sudah dalam genggamanku. Angin bertiup liar, merontokkan dedaunan dan menerbangkan debu hingga membentuk pusaran kecil di sekeliling kami. Di sampingku, Revan berdiri dengan tenang, tatapannya tajam seperti pisau yang baru diasah. Di sisi lain, Ariel tampak gelisah, matanya menari-nari di antara kami dan langit yang mulai retak."Sebentar lagi dia akan muncul," ucapku, suaraku tenggelam dalam riuhnya gemuruh yang terus beresonansi.Revan mengangguk pelan. Dia tahu. Sepertinya dia sudah melihat ini sebelumnya. Namun Ariel… Ariel tidak. Tangannya mencengkeram relik pedang yang kuberikan, jemarinya gemetar meski ia berusaha menyembunyikannya."Apa yang akan mu

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Bali yang berbeda (4)

    Udara dingin menerpa kulitku seperti pisau tipis yang menggores perlahan. Di hadapanku, Ariel terkunci dalam pusaran angin yang menderu seperti raungan serigala lapar, seakan mencoba menelan tubuhnya bulat-bulat. Keringat dingin mengalir di pelipisku saat melihat tubuhnya bergetar hebat di dalam lingkaran udara yang melingkupinya."Sial..." gumamku, mengepalkan tangan dengan gelisah. Suara angin yang berputar kencang membuat sekeliling terasa seperti badai yang mengamuk. Aku melirik pria itu, sosok misterius yang baru saja muncul dari reruntuhan. Tangannya terulur, mengendalikan barrier angin yang menekan Ariel.Aku meneguk ludah, lalu melangkah mendekatinya. "Apa dia akan baik-baik saja?" tanyaku, suaraku nyaris tenggelam dalam deru angin.Pria itu tak langsung menjawab. Tatapannya tetap terkunci pada Ariel, dingin dan tajam, seperti burung pemangsa yang mengamati mangsanya. "Entahlah," jawabnya akhirnya, suaranya tenang tapi penuh ketegangan. "Yang bisa aku lakukan hanya menahan kek

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Bali yang berbeda (3)

    Suasana berat mencekam saat kami melangkah meninggalkan reruntuhan yang kini hanya menyisakan puing-puing dan bayangan kematian. Bau anyir darah bercampur dengan aroma karat besi, menguar tajam di udara malam yang dingin. Setiap tarikan napas serasa mencengkram paru-paru, berat, pengap, seakan dunia sendiri mencoba menahan kami untuk tidak pergi.Srek.Butiran pasir bergeser di bawah sepatu kami. Angin menderu, melolong di antara bebatuan, berbisik lirih seperti suara mereka yang telah gugur.Aku melirik ke samping. Ariel berjalan di sebelahku, langkahnya tetap tegas, namun ada sesuatu yang berbeda. Bahunya tegang, napasnya pendek dan tersendat. Biasanya, mata emasnya selalu berkilat penuh keyakinan. Tapi kini, sorot itu meredup—seperti api yang kehilangan bahan bakarnya.Srek.Kami terus berjalan. Tapi lalu—Ariel berhenti.Satu tangannya menekan pelipis, napasnya tertahan. Aku melihatnya menarik napas dalam-dalam, tapi ada getaran halus di jemarinya, begitu samar, nyaris tak terliha

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Bali yang berbeda (2)

    Aku melangkah pelan di atas pasir hitam yang masih terasa hangat. Ombak pecah di kejauhan, gemuruhnya berulang dalam irama yang menghipnotis, membawa aroma garam dan kehancuran yang bercampur menjadi satu.Di sekelilingku, reruntuhan vila-vila mewah berserakan tak berbentuk. Atap-atap ambruk, tembok-tembok retak, dan kayu-kayu yang dulunya menopang bangunan kini hanyut terbawa air pasang. Cahaya bulan memantul di permukaan air laut, menciptakan kilauan yang kontras dengan puing-puing yang terombang-ambing di permukaan.Aku berhenti melangkah dan menatap pedang di tanganku. Bilahnya berpendar samar di bawah sinar bulan yang semakin redup. Pedang relik Mutiara Merah. Aku menggenggamnya erat, merasakan energi dingin menjalar dari gagangnya ke telapak tanganku. Namun, semakin lama aku memegangnya, semakin aku merasa ada sesuatu yang tidak selaras denganku. Pedang ini… bukan untukku."Ada apa?" suara Ariel membuyarkan lamunanku. Aku menoleh, melihatnya berdiri beberapa langkah di depanku,

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Bali yang berbeda

    Udara panas yang masih tersisa dari pertempuran perlahan menghilang, digantikan dengan kesunyian yang berat. Aroma tanah yang terbakar dan abu yang beterbangan membuat napasku terasa sesak. Setiap langkah yang kuambil menuju altar Borobudur terasa seperti berjalan di atas batu bara panas.Ariel berjalan di sampingku, sesekali mencuri pandang ke arahku. "Akhirnya kita berhasil juga," ucapnya dengan suara lega, tetapi napasnya masih tersengal-sengal.Aku hanya diam, membiarkan tatapanku terpaku pada altar di depanku. Mutiara Merah berpendar redup, seolah mengintai dari dalam kegelapan, menunggu keberanian seseorang untuk menyentuhnya. Aku mengangkat tanganku, jari-jariku gemetar saat mendekati permukaannya yang bercahaya.Begitu ujung jariku menyentuhnya, gelombang panas menghantam sekujur tubuhku. Rasa terbakar menjalari telapak tanganku, membuat rahangku mengatup erat, menahan erangan yang hampir lolos. Cahaya merah menyembur, menelan pandanganku dalam ledakan kilau yang menyilaukan.D

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Borobudur (15)

    Suasana berubah drastis. Udara yang sebelumnya hanya dipenuhi percikan api kini terasa seperti tungku neraka yang siap menelan siapa pun yang mendekat. Api yang berkobar di sekitar tubuh Genta bukan lagi sekadar nyala biasa. Warna merahnya perlahan berubah menjadi biru terang, seakan-akan panasnya telah melampaui batas wajar. Setiap langkahnya membuat udara bergemuruh, seperti ada tekanan tak kasat mata yang menghantam siapa pun di sekelilingnya.Julian menggeram, matanya memicing tajam ke arah Genta yang kini semakin tak terkendali. "Bajingan itu... Dia malah mengamuk sesuka hatinya," gumamnya dengan nada frustrasi.Reina, yang berdiri di sampingnya, mendengus kesal. "Dia sendiri yang bilang jangan terprovokasi, tetapi malah dia yang termakan provokasinya."Sementara itu, aku hanya bisa bertahan di balik Divine Reflection milik Ariel. Lapisan tak kasat mata itu masih mampu menahan panasnya api Genta, tetapi aku tahu, perlindungan ini tak akan bertahan lama. Retakan-retakan halus mula

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status