Pintu di belakang kami berderit pelan, tapi anehnya tidak ada yang masuk. Kami semua terdiam, tubuh tegang seperti senar gitar yang siap putus. Aku mencoba mengatur napas, tapi udara terasa berat di paru-paruku.
“Kenapa gak langsung masuk?” bisik Mirna, matanya terpaku pada pintu yang setengah terbuka. “Voidborn gak pernah ragu.” “Karena itu mungkin bukan Voidborn,” kata pria tua dengan nada rendah. Dia menyalakan kembali senjata rakitannya, meskipun cahaya biru yang keluar mulai meredup, tanda kalau energinya hampir habis. Aku mengintip sedikit ke celah pintu, berharap mendapatkan jawaban. Tapi aku gak siap dengan apa yang aku lihat. Di balik pintu, ada seseorang—atau sesuatu—berdiri diam. Itu bukan Voidborn. Tubuhnya berbentuk manusia, tapi ada sesuatu yang salah. Bajunya compang-camping, dan kulitnya pucat seperti orang mati. Tapi yang paling menakutkan adalah matanya, kosong seperti lubang hitam yang dalam. “Siapa itu?” tanya pria muda di sudut ruangan, suaranya bergetar. Pria tua itu melangkah ke depan, mencoba melihat lebih jelas. "Kita harus mundur. Itu bukan manusia." Aku gak ngerti apa maksudnya, tapi Mirna menarikku ke belakang sebelum aku bisa bertanya lebih jauh. Sosok itu tetap diam di depan pintu, tidak bergerak, hanya menatap ke dalam ruangan dengan mata hitamnya. Lalu, perlahan, dia mengangkat tangannya. Kami semua mundur, siap lari lagi. Tapi tiba-tiba, sosok itu berbicara. “Kalian... bersembunyi di sini? Tempat yang salah...” Suaranya serak, seperti berasal dari seseorang yang tidak pernah bicara selama bertahun-tahun. Aku hampir gak percaya kalau makhluk itu bisa bicara. Suaranya seperti datang dari jauh, tapi juga menusuk langsung ke telinga kami. Pria tua itu menegakkan tubuhnya. "Apa kau manusia?" tanyanya tegas. Sosok itu tertawa kecil, suara tawanya seperti batu yang digesek. "Manusia? Dulu, mungkin. Tapi sekarang, aku hanya... sisa dari apa yang pernah ada." Mirna menatapku dengan panik. "Kita gak bisa tinggal di sini. Kita harus pergi." "Tunggu," kataku, meskipun aku sendiri gak tahu kenapa aku ingin mendengar lebih banyak. "Apa maksudmu? Apa kau bagian dari Skenario ini?" Sosok itu menoleh ke arahku, gerakannya lambat seperti boneka kayu yang dipaksa hidup. "Aku? Tidak. Aku hanya... yang tertinggal. Yang gagal." “Gagal?” ulangku, bingung. Pria tua itu melangkah maju, senjatanya masih diarahkan ke sosok itu. "Kau mau apa di sini? Kalau kau bukan Voidborn, kenapa kau mengikuti kami?" Sosok itu tersenyum, tapi senyumnya lebih menyeramkan daripada Voidborn mana pun. “Aku tidak mengikuti kalian. Aku tinggal di sini. Dan aku tahu... tempat ini bukan tempat untuk bersembunyi. Sebentar lagi, mereka akan datang.” “Mereka siapa?” tanya Mirna dengan nada gugup. “Bukan hanya Voidborn,” katanya, nadanya semakin pelan, hampir seperti bisikan. “Tapi sesuatu yang lebih buruk. Sesuatu yang tidak peduli pada Skenario atau peran kalian.” Aku menelan ludah, rasa takutku berubah jadi dingin yang menjalar di seluruh tubuhku. “Apa yang kau bicarakan?” Sebelum dia bisa menjawab, pintu di belakangnya tiba-tiba terbanting terbuka sepenuhnya. Angin dingin menerobos masuk, membawa aroma yang tajam seperti logam. Dari kegelapan di luar, aku bisa melihat mereka—makhluk-makhluk yang lebih besar dan lebih aneh dari Voidborn. Tubuh mereka tidak berbentuk pasti, seperti campuran bayangan dan daging, dan mata mereka bukan merah seperti Voidborn, tapi putih yang bersinar seperti bulan. “Hunters,” kata sosok itu pelan. “Mereka memburu semua yang tidak memiliki peran.” Aku membeku. Mirna menatapku dengan wajah penuh kepanikan. “Apa maksudnya? Kita semua gak punya peran!” "Karena itu mereka datang," bisik sosok itu. "Karena kalian tidak seharusnya ada." Tanpa peringatan, makhluk-makhluk itu melompat ke arah kami, gerakan mereka seperti kilatan petir. Salah satunya menyerang pria tua itu, tapi dia berhasil menembakkan senjatanya, menciptakan ledakan biru terang yang membuat makhluk itu mundur sejenak. "Keluar dari sini!" teriaknya. "Sekarang juga!" Kami semua berhamburan keluar dari ruangan, meninggalkan pria tua itu yang tetap bertahan di tempat. Aku sempat menoleh ke belakang, melihat dia menghadapi makhluk-makhluk itu sendirian, tapi aku tahu kalau aku berhenti, aku juga akan mati. Kami berlari melalui lorong-lorong gelap, suara makhluk-makhluk itu semakin mendekat. Mirna menarik tanganku, memaksaku untuk terus bergerak. "Ke sini!" katanya, menunjuk sebuah pintu yang terbuka sedikit di ujung lorong. Kami masuk ke dalam, lalu menutup pintunya dengan cepat. Di dalam, kami menemukan sesuatu yang tidak kami harapkan—ruangan besar dengan dinding penuh dengan simbol aneh yang bercahaya samar. Di tengah ruangan, ada sebuah pedang besar yang tertancap di lantai, memancarkan cahaya biru yang menenangkan. "Apa ini?" tanya Mirna, suaranya pelan tapi penuh rasa ingin tahu. Aku mendekati pedang itu, merasa ada sesuatu yang memanggilku. Tapi sebelum aku bisa menyentuhnya, suara berat terdengar dari belakang kami. "Jangan sentuh itu," kata seseorang. Kami semua berbalik, dan aku melihatnya—Raka, berdiri di pintu dengan pedangnya sendiri yang bersinar terang. Wajahnya penuh luka, tapi matanya tetap tajam. "Kalian terlalu dekat dengan sesuatu yang tidak seharusnya kalian lihat," katanya. "Dan sekarang kalian dalam masalah yang lebih besar dari sebelumnya." Raka berdiri di ambang pintu, tubuhnya tegang, matanya menyapu seluruh ruangan. Pedangnya bersinar biru terang, bercahaya lebih kuat dibandingkan simbol-simbol aneh di dinding. Kami semua terpaku, bahkan Mirna yang biasanya penuh komentar hanya bisa menatap pria itu dengan campuran ketakutan dan kekaguman. “Apa yang kau lakukan di sini?” tanyanya tajam, tatapan matanya berhenti padaku. “Aku... aku lari,” jawabku pelan, suaraku nyaris tenggelam dalam keheningan. “Makhluk-makhluk itu mengejar kami. Lalu kami menemukan tempat ini.” Raka menghela napas panjang, jelas menunjukkan rasa frustrasi. “Tentu saja. Kau membawa mereka ke sini.” “Bukan salah kami!” sela Mirna, nadanya tegas. “Kami gak tahu tempat ini ada. Apa lagi ini?” Dia menunjuk pedang besar yang tertancap di lantai, cahaya birunya memantul di dinding seperti bayangan hidup. Raka menatap pedang itu sejenak, lalu kembali pada kami. “Ini bukan urusan kalian,” katanya dingin. “Tempat ini... pedang ini... adalah bagian dari Skenario. Kalian gak punya peran di sini.” “Kau selalu bilang kami gak punya peran,” balas Mirna, nadanya penuh kemarahan. “Tapi kami tetap ada. Dan kami tetap bertahan.” Raka tidak menjawab. Dia hanya melangkah melewati kami menuju pedang itu. Tangannya terulur, menyentuh gagangnya dengan hati-hati, dan seketika cahaya biru itu berkedip lebih terang. Suara pelan seperti dengungan memenuhi ruangan, membuat kami semua mundur. “Pedang ini adalah bagian dari tugasmu, kan?” tanyaku, mencoba mengalihkan ketegangan. “Kau harus melakukan sesuatu dengannya?” “Ini adalah Relik,” jawabnya tanpa menoleh. “Salah satu senjata yang diperlukan untuk menghentikan Skenario sebelum semuanya hancur.” Aku tidak mengerti sepenuhnya, tapi aku tahu kalau pedang itu lebih penting daripada apa pun yang pernah aku lihat. “Dan kau tidak sendiri,” suara baru tiba-tiba terdengar dari pintu lain. Kami semua menoleh, dan aku melihat dua sosok berdiri di sana. Seorang pria dan seorang wanita, keduanya tampak lebih bersinar dibandingkan Raka, dengan pakaian yang terlihat seperti campuran baju perang dan jubah modern. Pria itu membawa tombak besar dengan ujung yang berkilauan seperti kristal, sementara wanita itu memegang tongkat panjang yang memancarkan cahaya kehijauan. “Raka,” kata pria itu dengan nada rendah tapi penuh kekuatan. “Kau terlalu lambat. Kami sudah menunggu.” “Aku punya masalah sendiri,” jawab Raka tanpa menunjukkan emosi apa pun. “Kau selalu begitu,” balas wanita itu sambil melangkah masuk. Matanya menyapu kami dengan cepat sebelum kembali ke Raka. “Dan apa ini? Orang-orang yang tidak punya peran? Kenapa mereka ada di sini?” “Mereka terseret,” kata Raka, lalu menatap kami. “Dan sekarang mereka harus pergi. Tempat ini bukan untuk mereka.” Aku merasakan rasa takut dan marah yang bercampur. “Kau gak bisa begitu saja menyingkirkan kami!” kataku, meskipun suaraku bergetar. “Kami gak punya pilihan lain.” “Kalian selalu punya pilihan,” jawab pria dengan tombak itu. “Tapi pilihan kalian tidak ada hubungannya dengan apa yang kami lakukan.” Wanita itu melangkah lebih dekat ke pedang di tengah ruangan. “Relik ini adalah milik kita. Kau sudah tahu apa yang harus dilakukan, Raka.” “Aku tahu,” jawabnya singkat. Lalu dia menarik pedang itu dari lantai dengan sekali gerakan. Cahaya biru memenuhi ruangan, hampir menyilaukan. “Cepat, sebelum mereka datang,” kata pria itu. “Voidborn dan Hunters pasti sudah mencium keberadaan Relik ini.” Raka mengangguk, lalu menatap kami lagi. “Kalian harus pergi.” “Tunggu,” sela Mirna. “Kau gak bisa begitu saja mengusir kami ke luar. Di luar ada makhluk-makhluk itu. Kalau kami keluar sekarang, kami mati.” Wanita itu mendesah, jelas tidak peduli. Tapi Raka tampak berpikir sejenak. “Kalau kalian mau bertahan, tetaplah di sini sampai semuanya selesai. Tapi jika Voidborn masuk, kalian sudah tahu apa yang harus dilakukan.” “Dan apa itu?” tanyaku, panik. “Lari,” jawabnya singkat. Dia kemudian berbalik, mengangkat pedang besar itu, dan berjalan ke arah pintu yang baru saja dilewati kedua orang tadi. Pria dengan tombak dan wanita dengan tongkat mengikutinya, meninggalkan kami yang masih terpaku di tempat. “Apa itu tadi?” tanya Mirna dengan nada penuh emosi. “Kau kenal mereka?” Aku hanya menggeleng. “Aku bahkan gak tahu apa yang sedang terjadi.” “Kita gak bisa cuma diam di sini,” kata pria muda dari kelompok kami yang akhirnya angkat suara. “Kalau mereka pergi, siapa yang akan melindungi kita?” Aku tidak punya jawaban. Tapi satu hal yang jelas: dunia ini lebih rumit dari yang aku kira. Dan semakin banyak aku melihat, semakin aku merasa kecil. Di luar, suara langkah berat kembali terdengar. Voidborn atau sesuatu yang lebih buruk, aku tidak tahu. Tapi aku tahu satu hal: kami tidak sendirian lagi. Dan itu tidak selalu hal yang baik.Ruangan itu kembali sunyi setelah kepergian Raka dan dua orang misterius lainnya. Namun, kesunyian itu terasa lebih berat daripada ketegangan sebelumnya. Aku, Mirna, dan yang lain hanya berdiri diam, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. "Apa kita cuma nunggu mati sekarang?" tanya Mirna, nadanya jelas kesal. Ia melipat tangan, menatapku seperti aku tahu apa yang harus dilakukan. Aku menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. "Oke, kita harus tetap tenang. Raka bilang kita bisa bertahan di sini sampai mereka selesai dengan tugas mereka." "Dan kalau Voidborn atau makhluk lain masuk?" tanya seorang pria muda di sudut. Aku baru sadar ia belum menyebutkan namanya sejak tadi. "Kita harus tahu nama masing-masing dulu," kataku tiba-tiba. "Kalau kita mau bertahan, kita harus saling percaya, dan itu dimulai dari nama." Semua menatapku, mungkin mengira aku gila. Tapi pria tua itu akhirnya mengangguk. "Dia benar. Kalau kita mati, setidaknya kita tahu siapa yang ada di sisi
Kami melangkah hati-hati di atas jembatan yang rapuh, angin dingin terus menerpa wajah, membuat kakiku gemetar. Di bawah jembatan, jurang gelap itu terasa seperti mulut raksasa yang siap menelan siapa pun yang terjatuh. Gatra memimpin di depan, langkahnya mantap meskipun jembatan berderak di setiap pijakannya. Aku mengikuti di belakangnya, dengan Mirna yang menuntun Ayu. Pak Rusdi dan Dika berada di barisan paling belakang, saling menjaga agar tidak ada yang tertinggal.“Kau yakin ini aman?” tanya Mirna, suaranya nyaris terkalahkan oleh hembusan angin. “Tidak ada yang aman di sini,” jawab Gatra tanpa menoleh. “Tapi ini satu-satunya jalan.” Langkah kami tiba-tiba terhenti ketika suara gemuruh pelan terdengar dari belakang. Aku menoleh dan melihat bayangan hitam Voidborn mulai muncul di sisi jembatan. Mata merah mereka bersinar menakutkan di kegelapan. “Cepat! Mereka datang!” seru Dika dengan nada panik. Gatra berlari leb
Setelah kejadian di jembatan, kami menemukan sebuah gua di tebing berbatu sebagai tempat perlindungan sementara. Gua itu gelap dan lembap, tapi cukup luas untuk menampung kami berlima. Dengan sisa tenaga, kami menyusun barikade seadanya di mulut gua, menggunakan batu-batu besar dan ranting pohon untuk berjaga-jaga dari serangan Voidborn. Malam pertama tanpa Gatra dan Pak Rusdi terasa seperti malam terpanjang dalam hidupku. Kami duduk melingkar di sekitar api kecil yang hampir tidak mampu mengusir dingin. Mirna membalut luka di kakinya, sementara Ayu bersandar di dinding gua dengan mata sembab. Dika hanya menatap kosong ke arah api, tangannya menggenggam sebuah pisau kecil yang ia temukan di jalan. “Ardi...” suara Mirna memecah keheningan. “Apa kita bisa... terus seperti ini?” Aku tidak langsung menjawab. Dalam kepalaku, bayangan Gatra dan Pak Rusdi terus muncul, seakan-akan mereka berdiri di hadapanku, menatap dengan senyum samar. “Kau harus bertahan,” kata Gatra dalam bayang
Mobil tua kami akhirnya berhenti di ujung jalan berbatu, asap tipis mengepul dari kap mesin. Mirna mengumpat pelan, memukul setir dengan frustrasi. “Sial, mobil ini sudah tidak bisa jalan lagi,” gumamnya, matanya menatap nanar ke depan. Kami turun dari mobil, kaki-kaki kami terasa lemah setelah perjalanan panjang tanpa istirahat. Di kejauhan, bayangan bangunan kecil muncul di balik kabut pagi. Aku merasakan kelegaan sekaligus ketegangan yang aneh. Apakah ini pemukiman? Apakah mereka akan menerima kami? “Aku harap mereka tidak seperti Hunters,” bisik Ayu, suaranya penuh kecemasan. Dika memegang busur Gatra dengan erat, waspada terhadap setiap suara. “Kita tidak punya pilihan lain,” katanya singkat. Saat kami mendekati gerbang kayu yang tinggi, dua pria bersenjata muncul dari balik barikade. Wajah mereka penuh bekas luka, dan tatapan mereka tajam. “Berhenti di situ!” seru salah satu dari mereka. Senapannya diarahkan tepat ke dadaku. Aku mengangkat tangan perlahan, menun
Jeritan melengking memecah keheningan malam, menggema di udara dingin pemukiman. Membangunkan semua orang, jantung berdebar kencang setelah suara itu jeritan itu menggema. Tanpa pikir panjang, aku meraih parang yang tergeletak di sudut ruangan. “Voidborn,” bisik Mirna dengan suara gemetar, tangannya menggenggam lengan Ayu erat. Aku melangkah keluar dan langsung disambut pemandangan yang mengerikan. Salah satu barikade kayu di sisi timur telah hancur, dan sosok makhluk itu berdiri di tengah reruntuhan. Tubuhnya besar, hampir setinggi dua manusia dewasa, dengan kulit hitam kelam yang berkilauan di bawah cahaya api. Mata merahnya bersinar, menatap tajam ke arah para penyintas yang panik. Cakar tajamnya, sebesar belati, meneteskan cairan hitam pekat yang menguap saat menyentuh tanah. “Ke barat! Lindungi anak-anak!” teriak Bima, suaranya tegas meskipun wajahnya terlihat tegang. Dia berdiri di depan, memegang senapan, mencoba menenangkan kek
Malam itu menusuk dengan dinginnya, membuat setiap nafas kami terasa berat di udara yang lembab. Kabut tipis menyelimuti jalan berbatu yang kami pijak, seperti tabir rahasia yang melindungi dunia dari mata manusia. Aku menggenggam parang di tanganku, jari-jariku merasakan dingin logamnya—sebuah pengingat bahwa ini adalah satu-satunya pertahanan yang bisa diandalkan. Di belakangku, suara langkah kaki yang terseret menandai kelelahan yang kami semua rasakan."Sanctuary..." pikirku, memandang peta lusuh yang tergenggam di tangan kiriku. Garis-garis kabur di peta itu adalah satu-satunya petunjuk menuju apa yang dikatakan orang-orang sebagai tempat terakhir yang aman. Namun, harapan itu terasa seperti fatamorgana di tengah lautan kehancuran. Aku tidak yakin apa yang lebih berbahaya—percaya bahwa tempat itu nyata atau mengetahui bahwa itu hanyalah ilusi.Di belakang, Mirna dan Ayu berjalan dalam diam. Raut wajah mereka adalah cermin dari apa yang kurasakan—takut, lelah, tapi tidak punya pil
Perjalanan berlanjut di bawah naungan pepohonan yang rapat. Sinar matahari pagi menerobos melalui celah-celah dedaunan, menciptakan pola cahaya dan bayangan yang menari di atas tanah lembab. Udara pagi yang sejuk membawa aroma tanah basah dan dedaunan busuk, bercampur dengan sisa-sisa asap hitam dari Hunter yang telah musnah.Langkah kakiku terasa berat, bukan hanya karena kelelahan fisik, tetapi juga karena beban emosional yang kupikul. Kejadian semalam masih segar dalam ingatan, meninggalkan luka yang tak terlihat. Aku menggenggam parang di tanganku, merasakan dingin logamnya menusuk kulitku—sebuah pengingat bahwa ini adalah satu-satunya pertahanan yang bisa kuandalkan.Aku berjalan di depan, memimpin kelompok kecil ini dengan peta lusuh di tanganku. Sesekali, aku berhenti untuk memeriksa kompas dan memastikan kami tetap berada di jalur yang benar, atau setidaknya, jalur yang kupikir benar. Sanctuary... nama itu terus bergema di benakku. Tempat terakhir yang aman, kata orang-orang.
Langit cerah berganti mendung tipis saat kelompok kecil kami melanjutkan perjalanan. Sungai kecil tadi memberikan jeda, namun kelelahan dan ketegangan tetap terasa seperti beban yang tak bisa dilepaskan. Aku berjalan di depan, mengamati peta lusuh yang mulai robek di bagian pinggirnya, ketika suara Mia memecah keheningan. “Paman Ardi, kau yakin kita nggak tersesat?” tanya Mia dengan nada menggoda sambil menepuk bahuku. Senyumnya lebar, seperti tidak peduli pada ketegangan yang melingkupi kelompok. "Atau jangan-jangan kau hanya mengikuti instingmu saja, paman?" Aku menghela napas panjang. "Mia, aku sudah bilang jangan panggil aku paman." “Kenapa? Kan kau memang seperti paman bagi kami!” Mia terkekeh kecil, membuat Mirna yang berjalan di dekatnya ikut tersenyum tipis. “Aku masih muda, aku baru berusia 28 tahun,” balasku dengan datar, berusaha fokus pada kompas di tanganku. “Oh ya? Dengan semua kerutan di dahimu itu?” godanya lagi, melirik ke arahku sambil mengayunkan langkah dengan
Dunia kembali bergerak.Seakan tersedot dari pusaran kehampaan, aku terhempas ke realitas. Nafasku terputus-putus, dadaku naik turun tak terkendali. Keringat dingin mengalir di pelipisku, dan jari-jariku mati rasa saat aku mencoba menggenggam trisulaku lebih erat. Tubuhku seakan dipaksa menerima beban yang bukan milikku—resonansi antara aku dan Chronarkis masih terasa, mengalir seperti arus tak kasat mata yang menghubungkan kami.Brak!Lututku menghantam tanah. Tanah yang dingin dan kasar merambat di sela jari, seakan menegaskan bahwa aku masih ada di sini, masih hidup. Suara napasku bercampur dengan desir angin yang membawa serpihan debu dan abu di udara. Cahaya redup dari langit yang koyak oleh kekuatan yang tak kasat mata perlahan memudar, seolah takut mengungkap rahasia yang baru saja terkuak."Apa kau baik-baik saja?"Suara Revan membelah keheningan. Aku mendongak, melihatnya bergegas ke arahku, ekspresinya dipenuhi kekhawatiran. Ia tak perlu bertanya dua kali. Dengan susah payah
Kegelapan berdenyut di sekeliling Ariel, nyala api hitam berputar liar seperti ular ganas yang hendak memangsa segalanya. Napasnya berat, langkahnya menyeret, tetapi matanya—mata merah menyala yang menjadi simbol kekuasaan Barong—tetap terkunci padaku. Aku bersiap menghindar, otakku bekerja cepat mencari celah dalam serangannya.Tapi tiba-tiba—WUSHH!Sebuah cahaya emas meledak dari tubuh Ariel. Sejenak, seolah-olah waktu tersendat, lalu berhenti total. Angin yang tadinya menggila kini membeku di udara, debu yang beterbangan pun mengapung tanpa arah. Bahkan api yang menari di sekeliling Ariel berhenti, nyaris seperti lukisan yang dipaksa diam dalam satu momen abadi.Aku menegang. Eternal Flow Manipulation-ku? Tidak. Ini bukan aku yang mengaktifkannya.Sebuah tekanan luar biasa membanjiri ruang di sekelilingku, membuat bulu kudukku berdiri. Dari bayanganku sendiri, sesuatu merayap keluar. Aku bisa merasakan keberadaannya bahkan sebelum melihat sosoknya.Kemudian, ia muncul.Sosok itu m
Udara di sekitar kami bergetar, panas yang menyengat merayap di kulit, membuat napas terasa berat. Debu-debu hangus melayang, terbawa oleh angin panas yang entah berasal dari serangan Ariel sebelumnya atau dari dirinya sendiri.Mata Revan menyipit, keringat mengalir di pelipisnya. "Sepertinya dia kehilangan kontrol atas tubuhnya," gumamnya, suaranya nyaris tenggelam dalam deru api yang mengamuk. Dengan cepat, dia mengangkat tangannya. "Zephyr Suppression."Raungan angin terdengar nyaring saat pusaran udara terbentuk di sekitar Ariel, membelit tubuhnya seperti rantai tak kasat mata. Namun sebelum cengkeraman angin bisa menahan gerakannya, Ariel mengangkat pedang reliknya tinggi-tinggi. Mata keemasannya berkilat sesaat sebelum berubah menjadi merah."Divine Reflection."Kilatan cahaya meledak dari tubuhnya, memantulkan energi angin yang seharusnya membelenggunya. Seakan tak tersentuh, ia melangkah maju tanpa kesulitan sedikit pun.Revan terhuyung ke belakang, tangannya masih terangkat de
Kilatan cahaya menyambar cakrawala. Petir menggelegar, suaranya menggema seperti raungan raksasa yang marah. Langit yang tadinya cerah kini berubah kelam, seakan ditelan sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar awan mendung. Udara menjadi berat, seperti ribuan ton besi menekan dada.Aku berdiri di tengah padang yang luas, trisula sudah dalam genggamanku. Angin bertiup liar, merontokkan dedaunan dan menerbangkan debu hingga membentuk pusaran kecil di sekeliling kami. Di sampingku, Revan berdiri dengan tenang, tatapannya tajam seperti pisau yang baru diasah. Di sisi lain, Ariel tampak gelisah, matanya menari-nari di antara kami dan langit yang mulai retak."Sebentar lagi dia akan muncul," ucapku, suaraku tenggelam dalam riuhnya gemuruh yang terus beresonansi.Revan mengangguk pelan. Dia tahu. Sepertinya dia sudah melihat ini sebelumnya. Namun Ariel… Ariel tidak. Tangannya mencengkeram relik pedang yang kuberikan, jemarinya gemetar meski ia berusaha menyembunyikannya."Apa yang akan mu
Udara dingin menerpa kulitku seperti pisau tipis yang menggores perlahan. Di hadapanku, Ariel terkunci dalam pusaran angin yang menderu seperti raungan serigala lapar, seakan mencoba menelan tubuhnya bulat-bulat. Keringat dingin mengalir di pelipisku saat melihat tubuhnya bergetar hebat di dalam lingkaran udara yang melingkupinya."Sial..." gumamku, mengepalkan tangan dengan gelisah. Suara angin yang berputar kencang membuat sekeliling terasa seperti badai yang mengamuk. Aku melirik pria itu, sosok misterius yang baru saja muncul dari reruntuhan. Tangannya terulur, mengendalikan barrier angin yang menekan Ariel.Aku meneguk ludah, lalu melangkah mendekatinya. "Apa dia akan baik-baik saja?" tanyaku, suaraku nyaris tenggelam dalam deru angin.Pria itu tak langsung menjawab. Tatapannya tetap terkunci pada Ariel, dingin dan tajam, seperti burung pemangsa yang mengamati mangsanya. "Entahlah," jawabnya akhirnya, suaranya tenang tapi penuh ketegangan. "Yang bisa aku lakukan hanya menahan kek
Suasana berat mencekam saat kami melangkah meninggalkan reruntuhan yang kini hanya menyisakan puing-puing dan bayangan kematian. Bau anyir darah bercampur dengan aroma karat besi, menguar tajam di udara malam yang dingin. Setiap tarikan napas serasa mencengkram paru-paru, berat, pengap, seakan dunia sendiri mencoba menahan kami untuk tidak pergi.Srek.Butiran pasir bergeser di bawah sepatu kami. Angin menderu, melolong di antara bebatuan, berbisik lirih seperti suara mereka yang telah gugur.Aku melirik ke samping. Ariel berjalan di sebelahku, langkahnya tetap tegas, namun ada sesuatu yang berbeda. Bahunya tegang, napasnya pendek dan tersendat. Biasanya, mata emasnya selalu berkilat penuh keyakinan. Tapi kini, sorot itu meredup—seperti api yang kehilangan bahan bakarnya.Srek.Kami terus berjalan. Tapi lalu—Ariel berhenti.Satu tangannya menekan pelipis, napasnya tertahan. Aku melihatnya menarik napas dalam-dalam, tapi ada getaran halus di jemarinya, begitu samar, nyaris tak terliha
Aku melangkah pelan di atas pasir hitam yang masih terasa hangat. Ombak pecah di kejauhan, gemuruhnya berulang dalam irama yang menghipnotis, membawa aroma garam dan kehancuran yang bercampur menjadi satu.Di sekelilingku, reruntuhan vila-vila mewah berserakan tak berbentuk. Atap-atap ambruk, tembok-tembok retak, dan kayu-kayu yang dulunya menopang bangunan kini hanyut terbawa air pasang. Cahaya bulan memantul di permukaan air laut, menciptakan kilauan yang kontras dengan puing-puing yang terombang-ambing di permukaan.Aku berhenti melangkah dan menatap pedang di tanganku. Bilahnya berpendar samar di bawah sinar bulan yang semakin redup. Pedang relik Mutiara Merah. Aku menggenggamnya erat, merasakan energi dingin menjalar dari gagangnya ke telapak tanganku. Namun, semakin lama aku memegangnya, semakin aku merasa ada sesuatu yang tidak selaras denganku. Pedang ini… bukan untukku."Ada apa?" suara Ariel membuyarkan lamunanku. Aku menoleh, melihatnya berdiri beberapa langkah di depanku,
Udara panas yang masih tersisa dari pertempuran perlahan menghilang, digantikan dengan kesunyian yang berat. Aroma tanah yang terbakar dan abu yang beterbangan membuat napasku terasa sesak. Setiap langkah yang kuambil menuju altar Borobudur terasa seperti berjalan di atas batu bara panas.Ariel berjalan di sampingku, sesekali mencuri pandang ke arahku. "Akhirnya kita berhasil juga," ucapnya dengan suara lega, tetapi napasnya masih tersengal-sengal.Aku hanya diam, membiarkan tatapanku terpaku pada altar di depanku. Mutiara Merah berpendar redup, seolah mengintai dari dalam kegelapan, menunggu keberanian seseorang untuk menyentuhnya. Aku mengangkat tanganku, jari-jariku gemetar saat mendekati permukaannya yang bercahaya.Begitu ujung jariku menyentuhnya, gelombang panas menghantam sekujur tubuhku. Rasa terbakar menjalari telapak tanganku, membuat rahangku mengatup erat, menahan erangan yang hampir lolos. Cahaya merah menyembur, menelan pandanganku dalam ledakan kilau yang menyilaukan.D
Suasana berubah drastis. Udara yang sebelumnya hanya dipenuhi percikan api kini terasa seperti tungku neraka yang siap menelan siapa pun yang mendekat. Api yang berkobar di sekitar tubuh Genta bukan lagi sekadar nyala biasa. Warna merahnya perlahan berubah menjadi biru terang, seakan-akan panasnya telah melampaui batas wajar. Setiap langkahnya membuat udara bergemuruh, seperti ada tekanan tak kasat mata yang menghantam siapa pun di sekelilingnya.Julian menggeram, matanya memicing tajam ke arah Genta yang kini semakin tak terkendali. "Bajingan itu... Dia malah mengamuk sesuka hatinya," gumamnya dengan nada frustrasi.Reina, yang berdiri di sampingnya, mendengus kesal. "Dia sendiri yang bilang jangan terprovokasi, tetapi malah dia yang termakan provokasinya."Sementara itu, aku hanya bisa bertahan di balik Divine Reflection milik Ariel. Lapisan tak kasat mata itu masih mampu menahan panasnya api Genta, tetapi aku tahu, perlindungan ini tak akan bertahan lama. Retakan-retakan halus mula