Pintu di belakang kami berderit pelan, tapi anehnya tidak ada yang masuk. Kami semua terdiam, tubuh tegang seperti senar gitar yang siap putus. Aku mencoba mengatur napas, tapi udara terasa berat di paru-paruku.
“Kenapa gak langsung masuk?” bisik Mirna, matanya terpaku pada pintu yang setengah terbuka. “Voidborn gak pernah ragu.” “Karena itu mungkin bukan Voidborn,” kata pria tua dengan nada rendah. Dia menyalakan kembali senjata rakitannya, meskipun cahaya biru yang keluar mulai meredup, tanda kalau energinya hampir habis. Aku mengintip sedikit ke celah pintu, berharap mendapatkan jawaban. Tapi aku gak siap dengan apa yang aku lihat. Di balik pintu, ada seseorang—atau sesuatu—berdiri diam. Itu bukan Voidborn. Tubuhnya berbentuk manusia, tapi ada sesuatu yang salah. Bajunya compang-camping, dan kulitnya pucat seperti orang mati. Tapi yang paling menakutkan adalah matanya, kosong seperti lubang hitam yang dalam. “Siapa itu?” tanya pria muda di sudut ruangan, suaranya bergetar. Pria tua itu melangkah ke depan, mencoba melihat lebih jelas. "Kita harus mundur. Itu bukan manusia." Aku gak ngerti apa maksudnya, tapi Mirna menarikku ke belakang sebelum aku bisa bertanya lebih jauh. Sosok itu tetap diam di depan pintu, tidak bergerak, hanya menatap ke dalam ruangan dengan mata hitamnya. Lalu, perlahan, dia mengangkat tangannya. Kami semua mundur, siap lari lagi. Tapi tiba-tiba, sosok itu berbicara. “Kalian... bersembunyi di sini? Tempat yang salah...” Suaranya serak, seperti berasal dari seseorang yang tidak pernah bicara selama bertahun-tahun. Aku hampir gak percaya kalau makhluk itu bisa bicara. Suaranya seperti datang dari jauh, tapi juga menusuk langsung ke telinga kami. Pria tua itu menegakkan tubuhnya. "Apa kau manusia?" tanyanya tegas. Sosok itu tertawa kecil, suara tawanya seperti batu yang digesek. "Manusia? Dulu, mungkin. Tapi sekarang, aku hanya... sisa dari apa yang pernah ada." Mirna menatapku dengan panik. "Kita gak bisa tinggal di sini. Kita harus pergi." "Tunggu," kataku, meskipun aku sendiri gak tahu kenapa aku ingin mendengar lebih banyak. "Apa maksudmu? Apa kau bagian dari Skenario ini?" Sosok itu menoleh ke arahku, gerakannya lambat seperti boneka kayu yang dipaksa hidup. "Aku? Tidak. Aku hanya... yang tertinggal. Yang gagal." “Gagal?” ulangku, bingung. Pria tua itu melangkah maju, senjatanya masih diarahkan ke sosok itu. "Kau mau apa di sini? Kalau kau bukan Voidborn, kenapa kau mengikuti kami?" Sosok itu tersenyum, tapi senyumnya lebih menyeramkan daripada Voidborn mana pun. “Aku tidak mengikuti kalian. Aku tinggal di sini. Dan aku tahu... tempat ini bukan tempat untuk bersembunyi. Sebentar lagi, mereka akan datang.” “Mereka siapa?” tanya Mirna dengan nada gugup. “Bukan hanya Voidborn,” katanya, nadanya semakin pelan, hampir seperti bisikan. “Tapi sesuatu yang lebih buruk. Sesuatu yang tidak peduli pada Skenario atau peran kalian.” Aku menelan ludah, rasa takutku berubah jadi dingin yang menjalar di seluruh tubuhku. “Apa yang kau bicarakan?” Sebelum dia bisa menjawab, pintu di belakangnya tiba-tiba terbanting terbuka sepenuhnya. Angin dingin menerobos masuk, membawa aroma yang tajam seperti logam. Dari kegelapan di luar, aku bisa melihat mereka—makhluk-makhluk yang lebih besar dan lebih aneh dari Voidborn. Tubuh mereka tidak berbentuk pasti, seperti campuran bayangan dan daging, dan mata mereka bukan merah seperti Voidborn, tapi putih yang bersinar seperti bulan. “Hunters,” kata sosok itu pelan. “Mereka memburu semua yang tidak memiliki peran.” Aku membeku. Mirna menatapku dengan wajah penuh kepanikan. “Apa maksudnya? Kita semua gak punya peran!” "Karena itu mereka datang," bisik sosok itu. "Karena kalian tidak seharusnya ada." Tanpa peringatan, makhluk-makhluk itu melompat ke arah kami, gerakan mereka seperti kilatan petir. Salah satunya menyerang pria tua itu, tapi dia berhasil menembakkan senjatanya, menciptakan ledakan biru terang yang membuat makhluk itu mundur sejenak. "Keluar dari sini!" teriaknya. "Sekarang juga!" Kami semua berhamburan keluar dari ruangan, meninggalkan pria tua itu yang tetap bertahan di tempat. Aku sempat menoleh ke belakang, melihat dia menghadapi makhluk-makhluk itu sendirian, tapi aku tahu kalau aku berhenti, aku juga akan mati. Kami berlari melalui lorong-lorong gelap, suara makhluk-makhluk itu semakin mendekat. Mirna menarik tanganku, memaksaku untuk terus bergerak. "Ke sini!" katanya, menunjuk sebuah pintu yang terbuka sedikit di ujung lorong. Kami masuk ke dalam, lalu menutup pintunya dengan cepat. Di dalam, kami menemukan sesuatu yang tidak kami harapkan—ruangan besar dengan dinding penuh dengan simbol aneh yang bercahaya samar. Di tengah ruangan, ada sebuah pedang besar yang tertancap di lantai, memancarkan cahaya biru yang menenangkan. "Apa ini?" tanya Mirna, suaranya pelan tapi penuh rasa ingin tahu. Aku mendekati pedang itu, merasa ada sesuatu yang memanggilku. Tapi sebelum aku bisa menyentuhnya, suara berat terdengar dari belakang kami. "Jangan sentuh itu," kata seseorang. Kami semua berbalik, dan aku melihatnya—Raka, berdiri di pintu dengan pedangnya sendiri yang bersinar terang. Wajahnya penuh luka, tapi matanya tetap tajam. "Kalian terlalu dekat dengan sesuatu yang tidak seharusnya kalian lihat," katanya. "Dan sekarang kalian dalam masalah yang lebih besar dari sebelumnya." Raka berdiri di ambang pintu, tubuhnya tegang, matanya menyapu seluruh ruangan. Pedangnya bersinar biru terang, bercahaya lebih kuat dibandingkan simbol-simbol aneh di dinding. Kami semua terpaku, bahkan Mirna yang biasanya penuh komentar hanya bisa menatap pria itu dengan campuran ketakutan dan kekaguman. “Apa yang kau lakukan di sini?” tanyanya tajam, tatapan matanya berhenti padaku. “Aku... aku lari,” jawabku pelan, suaraku nyaris tenggelam dalam keheningan. “Makhluk-makhluk itu mengejar kami. Lalu kami menemukan tempat ini.” Raka menghela napas panjang, jelas menunjukkan rasa frustrasi. “Tentu saja. Kau membawa mereka ke sini.” “Bukan salah kami!” sela Mirna, nadanya tegas. “Kami gak tahu tempat ini ada. Apa lagi ini?” Dia menunjuk pedang besar yang tertancap di lantai, cahaya birunya memantul di dinding seperti bayangan hidup. Raka menatap pedang itu sejenak, lalu kembali pada kami. “Ini bukan urusan kalian,” katanya dingin. “Tempat ini... pedang ini... adalah bagian dari Skenario. Kalian gak punya peran di sini.” “Kau selalu bilang kami gak punya peran,” balas Mirna, nadanya penuh kemarahan. “Tapi kami tetap ada. Dan kami tetap bertahan.” Raka tidak menjawab. Dia hanya melangkah melewati kami menuju pedang itu. Tangannya terulur, menyentuh gagangnya dengan hati-hati, dan seketika cahaya biru itu berkedip lebih terang. Suara pelan seperti dengungan memenuhi ruangan, membuat kami semua mundur. “Pedang ini adalah bagian dari tugasmu, kan?” tanyaku, mencoba mengalihkan ketegangan. “Kau harus melakukan sesuatu dengannya?” “Ini adalah Relik,” jawabnya tanpa menoleh. “Salah satu senjata yang diperlukan untuk menghentikan Skenario sebelum semuanya hancur.” Aku tidak mengerti sepenuhnya, tapi aku tahu kalau pedang itu lebih penting daripada apa pun yang pernah aku lihat. “Dan kau tidak sendiri,” suara baru tiba-tiba terdengar dari pintu lain. Kami semua menoleh, dan aku melihat dua sosok berdiri di sana. Seorang pria dan seorang wanita, keduanya tampak lebih bersinar dibandingkan Raka, dengan pakaian yang terlihat seperti campuran baju perang dan jubah modern. Pria itu membawa tombak besar dengan ujung yang berkilauan seperti kristal, sementara wanita itu memegang tongkat panjang yang memancarkan cahaya kehijauan. “Raka,” kata pria itu dengan nada rendah tapi penuh kekuatan. “Kau terlalu lambat. Kami sudah menunggu.” “Aku punya masalah sendiri,” jawab Raka tanpa menunjukkan emosi apa pun. “Kau selalu begitu,” balas wanita itu sambil melangkah masuk. Matanya menyapu kami dengan cepat sebelum kembali ke Raka. “Dan apa ini? Orang-orang yang tidak punya peran? Kenapa mereka ada di sini?” “Mereka terseret,” kata Raka, lalu menatap kami. “Dan sekarang mereka harus pergi. Tempat ini bukan untuk mereka.” Aku merasakan rasa takut dan marah yang bercampur. “Kau gak bisa begitu saja menyingkirkan kami!” kataku, meskipun suaraku bergetar. “Kami gak punya pilihan lain.” “Kalian selalu punya pilihan,” jawab pria dengan tombak itu. “Tapi pilihan kalian tidak ada hubungannya dengan apa yang kami lakukan.” Wanita itu melangkah lebih dekat ke pedang di tengah ruangan. “Relik ini adalah milik kita. Kau sudah tahu apa yang harus dilakukan, Raka.” “Aku tahu,” jawabnya singkat. Lalu dia menarik pedang itu dari lantai dengan sekali gerakan. Cahaya biru memenuhi ruangan, hampir menyilaukan. “Cepat, sebelum mereka datang,” kata pria itu. “Voidborn dan Hunters pasti sudah mencium keberadaan Relik ini.” Raka mengangguk, lalu menatap kami lagi. “Kalian harus pergi.” “Tunggu,” sela Mirna. “Kau gak bisa begitu saja mengusir kami ke luar. Di luar ada makhluk-makhluk itu. Kalau kami keluar sekarang, kami mati.” Wanita itu mendesah, jelas tidak peduli. Tapi Raka tampak berpikir sejenak. “Kalau kalian mau bertahan, tetaplah di sini sampai semuanya selesai. Tapi jika Voidborn masuk, kalian sudah tahu apa yang harus dilakukan.” “Dan apa itu?” tanyaku, panik. “Lari,” jawabnya singkat. Dia kemudian berbalik, mengangkat pedang besar itu, dan berjalan ke arah pintu yang baru saja dilewati kedua orang tadi. Pria dengan tombak dan wanita dengan tongkat mengikutinya, meninggalkan kami yang masih terpaku di tempat. “Apa itu tadi?” tanya Mirna dengan nada penuh emosi. “Kau kenal mereka?” Aku hanya menggeleng. “Aku bahkan gak tahu apa yang sedang terjadi.” “Kita gak bisa cuma diam di sini,” kata pria muda dari kelompok kami yang akhirnya angkat suara. “Kalau mereka pergi, siapa yang akan melindungi kita?” Aku tidak punya jawaban. Tapi satu hal yang jelas: dunia ini lebih rumit dari yang aku kira. Dan semakin banyak aku melihat, semakin aku merasa kecil. Di luar, suara langkah berat kembali terdengar. Voidborn atau sesuatu yang lebih buruk, aku tidak tahu. Tapi aku tahu satu hal: kami tidak sendirian lagi. Dan itu tidak selalu hal yang baik.Ruangan itu kembali sunyi setelah kepergian Raka dan dua orang misterius lainnya. Namun, kesunyian itu terasa lebih berat daripada ketegangan sebelumnya. Aku, Mirna, dan yang lain hanya berdiri diam, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. "Apa kita cuma nunggu mati sekarang?" tanya Mirna, nadanya jelas kesal. Ia melipat tangan, menatapku seperti aku tahu apa yang harus dilakukan. Aku menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. "Oke, kita harus tetap tenang. Raka bilang kita bisa bertahan di sini sampai mereka selesai dengan tugas mereka." "Dan kalau Voidborn atau makhluk lain masuk?" tanya seorang pria muda di sudut. Aku baru sadar ia belum menyebutkan namanya sejak tadi. "Kita harus tahu nama masing-masing dulu," kataku tiba-tiba. "Kalau kita mau bertahan, kita harus saling percaya, dan itu dimulai dari nama." Semua menatapku, mungkin mengira aku gila. Tapi pria tua itu akhirnya mengangguk. "Dia benar. Kalau kita mati, setidaknya kita tahu siapa yang ada di sisi
Kami melangkah hati-hati di atas jembatan yang rapuh, angin dingin terus menerpa wajah, membuat kakiku gemetar. Di bawah jembatan, jurang gelap itu terasa seperti mulut raksasa yang siap menelan siapa pun yang terjatuh. Gatra memimpin di depan, langkahnya mantap meskipun jembatan berderak di setiap pijakannya. Aku mengikuti di belakangnya, dengan Mirna yang menuntun Ayu. Pak Rusdi dan Dika berada di barisan paling belakang, saling menjaga agar tidak ada yang tertinggal.“Kau yakin ini aman?” tanya Mirna, suaranya nyaris terkalahkan oleh hembusan angin. “Tidak ada yang aman di sini,” jawab Gatra tanpa menoleh. “Tapi ini satu-satunya jalan.” Langkah kami tiba-tiba terhenti ketika suara gemuruh pelan terdengar dari belakang. Aku menoleh dan melihat bayangan hitam Voidborn mulai muncul di sisi jembatan. Mata merah mereka bersinar menakutkan di kegelapan. “Cepat! Mereka datang!” seru Dika dengan nada panik. Gatra berlari leb
Setelah kejadian di jembatan, kami menemukan sebuah gua di tebing berbatu sebagai tempat perlindungan sementara. Gua itu gelap dan lembap, tapi cukup luas untuk menampung kami berlima. Dengan sisa tenaga, kami menyusun barikade seadanya di mulut gua, menggunakan batu-batu besar dan ranting pohon untuk berjaga-jaga dari serangan Voidborn. Malam pertama tanpa Gatra dan Pak Rusdi terasa seperti malam terpanjang dalam hidupku. Kami duduk melingkar di sekitar api kecil yang hampir tidak mampu mengusir dingin. Mirna membalut luka di kakinya, sementara Ayu bersandar di dinding gua dengan mata sembab. Dika hanya menatap kosong ke arah api, tangannya menggenggam sebuah pisau kecil yang ia temukan di jalan. “Ardi...” suara Mirna memecah keheningan. “Apa kita bisa... terus seperti ini?” Aku tidak langsung menjawab. Dalam kepalaku, bayangan Gatra dan Pak Rusdi terus muncul, seakan-akan mereka berdiri di hadapanku, menatap dengan senyum samar. “Kau harus bertahan,” kata Gatra dalam bayang
Mobil tua kami akhirnya berhenti di ujung jalan berbatu, asap tipis mengepul dari kap mesin. Mirna mengumpat pelan, memukul setir dengan frustrasi. “Sial, mobil ini sudah tidak bisa jalan lagi,” gumamnya, matanya menatap nanar ke depan. Kami turun dari mobil, kaki-kaki kami terasa lemah setelah perjalanan panjang tanpa istirahat. Di kejauhan, bayangan bangunan kecil muncul di balik kabut pagi. Aku merasakan kelegaan sekaligus ketegangan yang aneh. Apakah ini pemukiman? Apakah mereka akan menerima kami? “Aku harap mereka tidak seperti Hunters,” bisik Ayu, suaranya penuh kecemasan. Dika memegang busur Gatra dengan erat, waspada terhadap setiap suara. “Kita tidak punya pilihan lain,” katanya singkat. Saat kami mendekati gerbang kayu yang tinggi, dua pria bersenjata muncul dari balik barikade. Wajah mereka penuh bekas luka, dan tatapan mereka tajam. “Berhenti di situ!” seru salah satu dari mereka. Senapannya diarahkan tepat ke dadaku. Aku mengangkat tangan perlahan, menun
Jeritan melengking memecah keheningan malam, menggema di udara dingin pemukiman. Membangunkan semua orang, jantung berdebar kencang setelah suara itu jeritan itu menggema. Tanpa pikir panjang, aku meraih parang yang tergeletak di sudut ruangan. “Voidborn,” bisik Mirna dengan suara gemetar, tangannya menggenggam lengan Ayu erat. Aku melangkah keluar dan langsung disambut pemandangan yang mengerikan. Salah satu barikade kayu di sisi timur telah hancur, dan sosok makhluk itu berdiri di tengah reruntuhan. Tubuhnya besar, hampir setinggi dua manusia dewasa, dengan kulit hitam kelam yang berkilauan di bawah cahaya api. Mata merahnya bersinar, menatap tajam ke arah para penyintas yang panik. Cakar tajamnya, sebesar belati, meneteskan cairan hitam pekat yang menguap saat menyentuh tanah. “Ke barat! Lindungi anak-anak!” teriak Bima, suaranya tegas meskipun wajahnya terlihat tegang. Dia berdiri di depan, memegang senapan, mencoba menenangkan kek
Malam itu menusuk dengan dinginnya, membuat setiap nafas kami terasa berat di udara yang lembab. Kabut tipis menyelimuti jalan berbatu yang kami pijak, seperti tabir rahasia yang melindungi dunia dari mata manusia. Aku menggenggam parang di tanganku, jari-jariku merasakan dingin logamnya—sebuah pengingat bahwa ini adalah satu-satunya pertahanan yang bisa diandalkan. Di belakangku, suara langkah kaki yang terseret menandai kelelahan yang kami semua rasakan."Sanctuary..." pikirku, memandang peta lusuh yang tergenggam di tangan kiriku. Garis-garis kabur di peta itu adalah satu-satunya petunjuk menuju apa yang dikatakan orang-orang sebagai tempat terakhir yang aman. Namun, harapan itu terasa seperti fatamorgana di tengah lautan kehancuran. Aku tidak yakin apa yang lebih berbahaya—percaya bahwa tempat itu nyata atau mengetahui bahwa itu hanyalah ilusi.Di belakang, Mirna dan Ayu berjalan dalam diam. Raut wajah mereka adalah cermin dari apa yang kurasakan—takut, lelah, tapi tidak punya pil
Aku gak pernah ngerti apa yang sebenarnya terjadi. Satu hari dunia baik-baik aja—jalanan macet, orang-orang sibuk scroll Instagram sambil ngeluh soal cuaca panas. Lalu tiba-tiba, semuanya berubah. Langit retak, bintang-bintang mulai bergerak kayak ada yang mainin puzzle di atas sana, dan orang-orang mulai menghilang satu per satu.Aku gak paham kenapa semua ini terjadi, dan jujur, aku juga gak peduli. Aku cuma seorang pegawai minimarket di tengah kota Jakarta. Hidupku sederhana: buka toko, layani pelanggan, lalu tutup toko. Tapi sekarang? Pelanggan gak ada, toko hancur berantakan, dan aku cuma duduk di belakang meja kasir sambil nunggu sesuatu—entah apa."Setiap orang punya perannya dalam Skenario."Aku masih inget kalimat itu dari berita di TV sebelum siarannya mati total. Skenario? Peran? Kayak main teater, gitu? Tapi gak ada yang kasih tahu aku peranku apa. Gak ada suara-suara aneh yang berbisik di telingaku, gak ada kekuatan super yang mendadak muncul. Aku cuma... aku. Gak lebih,
Aku gak tahu berapa lama aku duduk di gudang itu. Mungkin sejam. Mungkin dua. . Atau bisa aja cuma lima menit, tapi rasanya kayak seumur hidup. Jantungku masih berdebar kencang, telingaku tegang menangkap setiap suara. Tapi gak ada apa-apa. Hening. Hanya satu pertanyaan yang terus muncul di kepalaku: Kenapa aku masih hidup? Makhluk itu jelas-jelas bisa mendobrak pintu gudang kalau dia mau. Tapi dia gak melakukannya. Sebaliknya, dia pergi begitu aja, meninggalkan ancaman yang terdengar lebih kayak permainan daripada ancaman sebenarnya. Apa aku cuma mainannya? Atau dia beneran gak peduli sama aku? Pikiran itu bikin aku makin takut. Kalau aku cuma figuran, kenapa aku harus tetap di sini? Aku mencoba berdiri, tapi lututku masih gemetar. Tanganku memegang rak tua di dekatku untuk menjaga keseimbangan. Lalu aku mendengar suara lain. Bukan langkah, bukan ketukan, tapi... sesuatu di luar sana, di luar gudang. Sesuatu besar. Suara gemuruh menggema di kejauhan, diikuti oleh getaran kec
Malam itu menusuk dengan dinginnya, membuat setiap nafas kami terasa berat di udara yang lembab. Kabut tipis menyelimuti jalan berbatu yang kami pijak, seperti tabir rahasia yang melindungi dunia dari mata manusia. Aku menggenggam parang di tanganku, jari-jariku merasakan dingin logamnya—sebuah pengingat bahwa ini adalah satu-satunya pertahanan yang bisa diandalkan. Di belakangku, suara langkah kaki yang terseret menandai kelelahan yang kami semua rasakan."Sanctuary..." pikirku, memandang peta lusuh yang tergenggam di tangan kiriku. Garis-garis kabur di peta itu adalah satu-satunya petunjuk menuju apa yang dikatakan orang-orang sebagai tempat terakhir yang aman. Namun, harapan itu terasa seperti fatamorgana di tengah lautan kehancuran. Aku tidak yakin apa yang lebih berbahaya—percaya bahwa tempat itu nyata atau mengetahui bahwa itu hanyalah ilusi.Di belakang, Mirna dan Ayu berjalan dalam diam. Raut wajah mereka adalah cermin dari apa yang kurasakan—takut, lelah, tapi tidak punya pil
Jeritan melengking memecah keheningan malam, menggema di udara dingin pemukiman. Membangunkan semua orang, jantung berdebar kencang setelah suara itu jeritan itu menggema. Tanpa pikir panjang, aku meraih parang yang tergeletak di sudut ruangan. “Voidborn,” bisik Mirna dengan suara gemetar, tangannya menggenggam lengan Ayu erat. Aku melangkah keluar dan langsung disambut pemandangan yang mengerikan. Salah satu barikade kayu di sisi timur telah hancur, dan sosok makhluk itu berdiri di tengah reruntuhan. Tubuhnya besar, hampir setinggi dua manusia dewasa, dengan kulit hitam kelam yang berkilauan di bawah cahaya api. Mata merahnya bersinar, menatap tajam ke arah para penyintas yang panik. Cakar tajamnya, sebesar belati, meneteskan cairan hitam pekat yang menguap saat menyentuh tanah. “Ke barat! Lindungi anak-anak!” teriak Bima, suaranya tegas meskipun wajahnya terlihat tegang. Dia berdiri di depan, memegang senapan, mencoba menenangkan kek
Mobil tua kami akhirnya berhenti di ujung jalan berbatu, asap tipis mengepul dari kap mesin. Mirna mengumpat pelan, memukul setir dengan frustrasi. “Sial, mobil ini sudah tidak bisa jalan lagi,” gumamnya, matanya menatap nanar ke depan. Kami turun dari mobil, kaki-kaki kami terasa lemah setelah perjalanan panjang tanpa istirahat. Di kejauhan, bayangan bangunan kecil muncul di balik kabut pagi. Aku merasakan kelegaan sekaligus ketegangan yang aneh. Apakah ini pemukiman? Apakah mereka akan menerima kami? “Aku harap mereka tidak seperti Hunters,” bisik Ayu, suaranya penuh kecemasan. Dika memegang busur Gatra dengan erat, waspada terhadap setiap suara. “Kita tidak punya pilihan lain,” katanya singkat. Saat kami mendekati gerbang kayu yang tinggi, dua pria bersenjata muncul dari balik barikade. Wajah mereka penuh bekas luka, dan tatapan mereka tajam. “Berhenti di situ!” seru salah satu dari mereka. Senapannya diarahkan tepat ke dadaku. Aku mengangkat tangan perlahan, menun
Setelah kejadian di jembatan, kami menemukan sebuah gua di tebing berbatu sebagai tempat perlindungan sementara. Gua itu gelap dan lembap, tapi cukup luas untuk menampung kami berlima. Dengan sisa tenaga, kami menyusun barikade seadanya di mulut gua, menggunakan batu-batu besar dan ranting pohon untuk berjaga-jaga dari serangan Voidborn. Malam pertama tanpa Gatra dan Pak Rusdi terasa seperti malam terpanjang dalam hidupku. Kami duduk melingkar di sekitar api kecil yang hampir tidak mampu mengusir dingin. Mirna membalut luka di kakinya, sementara Ayu bersandar di dinding gua dengan mata sembab. Dika hanya menatap kosong ke arah api, tangannya menggenggam sebuah pisau kecil yang ia temukan di jalan. “Ardi...” suara Mirna memecah keheningan. “Apa kita bisa... terus seperti ini?” Aku tidak langsung menjawab. Dalam kepalaku, bayangan Gatra dan Pak Rusdi terus muncul, seakan-akan mereka berdiri di hadapanku, menatap dengan senyum samar. “Kau harus bertahan,” kata Gatra dalam bayang
Kami melangkah hati-hati di atas jembatan yang rapuh, angin dingin terus menerpa wajah, membuat kakiku gemetar. Di bawah jembatan, jurang gelap itu terasa seperti mulut raksasa yang siap menelan siapa pun yang terjatuh. Gatra memimpin di depan, langkahnya mantap meskipun jembatan berderak di setiap pijakannya. Aku mengikuti di belakangnya, dengan Mirna yang menuntun Ayu. Pak Rusdi dan Dika berada di barisan paling belakang, saling menjaga agar tidak ada yang tertinggal.“Kau yakin ini aman?” tanya Mirna, suaranya nyaris terkalahkan oleh hembusan angin. “Tidak ada yang aman di sini,” jawab Gatra tanpa menoleh. “Tapi ini satu-satunya jalan.” Langkah kami tiba-tiba terhenti ketika suara gemuruh pelan terdengar dari belakang. Aku menoleh dan melihat bayangan hitam Voidborn mulai muncul di sisi jembatan. Mata merah mereka bersinar menakutkan di kegelapan. “Cepat! Mereka datang!” seru Dika dengan nada panik. Gatra berlari leb
Ruangan itu kembali sunyi setelah kepergian Raka dan dua orang misterius lainnya. Namun, kesunyian itu terasa lebih berat daripada ketegangan sebelumnya. Aku, Mirna, dan yang lain hanya berdiri diam, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. "Apa kita cuma nunggu mati sekarang?" tanya Mirna, nadanya jelas kesal. Ia melipat tangan, menatapku seperti aku tahu apa yang harus dilakukan. Aku menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. "Oke, kita harus tetap tenang. Raka bilang kita bisa bertahan di sini sampai mereka selesai dengan tugas mereka." "Dan kalau Voidborn atau makhluk lain masuk?" tanya seorang pria muda di sudut. Aku baru sadar ia belum menyebutkan namanya sejak tadi. "Kita harus tahu nama masing-masing dulu," kataku tiba-tiba. "Kalau kita mau bertahan, kita harus saling percaya, dan itu dimulai dari nama." Semua menatapku, mungkin mengira aku gila. Tapi pria tua itu akhirnya mengangguk. "Dia benar. Kalau kita mati, setidaknya kita tahu siapa yang ada di sisi
Pintu di belakang kami berderit pelan, tapi anehnya tidak ada yang masuk. Kami semua terdiam, tubuh tegang seperti senar gitar yang siap putus. Aku mencoba mengatur napas, tapi udara terasa berat di paru-paruku. “Kenapa gak langsung masuk?” bisik Mirna, matanya terpaku pada pintu yang setengah terbuka. “Voidborn gak pernah ragu.” “Karena itu mungkin bukan Voidborn,” kata pria tua dengan nada rendah. Dia menyalakan kembali senjata rakitannya, meskipun cahaya biru yang keluar mulai meredup, tanda kalau energinya hampir habis. Aku mengintip sedikit ke celah pintu, berharap mendapatkan jawaban. Tapi aku gak siap dengan apa yang aku lihat. Di balik pintu, ada seseorang—atau sesuatu—berdiri diam. Itu bukan Voidborn. Tubuhnya berbentuk manusia, tapi ada sesuatu yang salah. Bajunya compang-camping, dan kulitnya pucat seperti orang mati. Tapi yang paling menakutkan adalah matanya, kosong seperti lubang hitam yang dalam. “Siapa itu?” tanya pria muda di sudut ruangan, suaranya bergetar.
Aku terus berlari, keluar dari reruntuhan hotel, napas beratku terdengar seperti gemuruh di telingaku sendiri. Di belakangku, suara ledakan dan jeritan Voidborn masih terdengar, tapi semakin lama semakin jauh. Raka tetap tinggal untuk melawan makhluk itu. Kenapa dia melakukan semua itu? Kenapa dia repot-repot menyelamatkan aku? Aku bukan siapa-siapa, bahkan dia sendiri bilang aku gak punya peran. Lalu aku berhenti. Aku gak bisa terus lari tanpa tujuan. Kalau aku terus seperti ini, aku bakal mati cepat atau lambat. Tapi aku gak tahu harus ke mana. Dunia ini gak lagi terasa seperti tempat yang aku kenal. Aku melihat sekeliling. Kabut masih tebal, menutupi jalanan dan bangunan yang hancur. Tapi di ujung jalan, aku melihat sesuatu—lampu kecil yang berkedip-kedip, seperti ada orang di sana. Aku ragu sejenak, tapi rasa penasaran dan keputusasaan memaksaku untuk mendekat. Ketika aku sampai di sana, aku menemukan sebuah kendaraan lapuk yang diubah menjadi semacam tempat perlindungan ke
Aku terus berlari tanpa arah, meninggalkan pria itu dan suara pedangnya yang menggema di dalam gedung. Setiap langkah terasa berat, setiap tarikan napas terasa menyakitkan, tapi aku gak berani berhenti. Kata-katanya masih terngiang di kepalaku: "Jika kau ingin hidup, jangan pernah berhenti bergerak." Di luar gedung, kabut semakin tebal. Jalanan penuh reruntuhan dan kendaraan terbengkalai. Lampu jalan yang dulunya menyala sekarang hanya tiang-tiang kosong yang memproyeksikan bayangan aneh di kabut. Suara langkahku bergema di udara, tapi itu bukan satu-satunya suara yang aku dengar. Ada sesuatu yang lain. Suara geraman rendah, jauh tapi cukup jelas untuk bikin bulu kudukku berdiri. Aku gak tau apa itu, tapi aku yakin itu bukan manusia. Apalagi setelah apa yang baru saja terjadi. Aku belok ke gang sempit di sisi jalan, berharap bisa menemukan tempat berlindung sementara. Gang ini lebih gelap dari yang tadi, penuh dengan puing-puing dan pecahan kaca. Tapi di ujungnya, aku melihat ses