Aku terus berlari, keluar dari reruntuhan hotel, napas beratku terdengar seperti gemuruh di telingaku sendiri. Di belakangku, suara ledakan dan jeritan Voidborn masih terdengar, tapi semakin lama semakin jauh. Raka tetap tinggal untuk melawan makhluk itu. Kenapa dia melakukan semua itu? Kenapa dia repot-repot menyelamatkan aku? Aku bukan siapa-siapa, bahkan dia sendiri bilang aku gak punya peran.
Lalu aku berhenti. Aku gak bisa terus lari tanpa tujuan. Kalau aku terus seperti ini, aku bakal mati cepat atau lambat. Tapi aku gak tahu harus ke mana. Dunia ini gak lagi terasa seperti tempat yang aku kenal. Aku melihat sekeliling. Kabut masih tebal, menutupi jalanan dan bangunan yang hancur. Tapi di ujung jalan, aku melihat sesuatu—lampu kecil yang berkedip-kedip, seperti ada orang di sana. Aku ragu sejenak, tapi rasa penasaran dan keputusasaan memaksaku untuk mendekat. Ketika aku sampai di sana, aku menemukan sebuah kendaraan lapuk yang diubah menjadi semacam tempat perlindungan kecil. Ada lampu minyak yang tergantung di bagian depan, dan suara pelan orang-orang berbicara dari dalam. Aku mengetuk sisi kendaraan pelan, mencoba gak bikin mereka panik. Suara di dalam langsung berhenti. Lalu pintu kecil terbuka, dan seorang pria muncul. Dia kelihatan lebih tua dariku, dengan rambut beruban dan wajah yang penuh kerutan. Dia membawa sesuatu yang terlihat seperti senjata rakitan, meskipun bentuknya lebih mirip pipa besi dengan kabel yang menyala. "Apa kau sendiri?" tanyanya dengan nada curiga. Matanya menyipit, menatapku dari atas ke bawah. "Ya," jawabku sambil mengangkat tangan, mencoba menunjukkan kalau aku gak berbahaya. "Aku... aku cuma cari tempat untuk bersembunyi." Dia memandangku beberapa detik, lalu menarikku masuk. "Cepat, sebelum ada yang melihat." Di dalam kendaraan, ada tiga orang lain: seorang wanita muda dengan jaket lusuh, seorang pria yang tampak seumuranku, dan seorang anak kecil yang meringkuk di sudut. Mereka semua terlihat lelah, tapi mata mereka waspada, seperti sudah terlalu sering menghadapi bahaya. "Siapa kau?" tanya wanita itu sambil melipat tangan. "Dan kenapa kau masih hidup sendirian di luar?" "Aku... aku Ardi," jawabku gugup. "Aku cuma... pegawai biasa. Aku gak ngerti apa yang terjadi. Aku cuma lari dari sesuatu... makhluk... di hotel." "Voidborn?" tanya pria di sudut ruangan. Suaranya rendah, hampir berbisik. Aku mengangguk. "Ya. Tapi ada seseorang yang melawan mereka. Namanya Raka." Begitu aku menyebut nama itu, suasana di dalam ruangan berubah. Wanita muda itu langsung mendekat, wajahnya penuh rasa ingin tahu. "Raka? Kau bertemu dengannya?" "Ya," kataku lagi, bingung. "Dia... menyelamatkanku. Dua kali." Pria tua itu menghela napas panjang. "Dia salah satu dari mereka yang diberi peran besar dalam Skenario. Salah satu Hero." "Hero?" tanyaku, bingung. "Apa kalian tahu tentang semua ini? Skenario, Voidborn, Konstelasi, dan semua yang terjadi?" Wanita itu menatapku, nadanya mulai melembut. "Kami tahu. Setidaknya sedikit. Semua orang yang masih hidup sekarang terjebak dalam permainan ini. Tapi tidak semua dari kami punya peran." Dia menunjuk dirinya sendiri. "Aku Mirna. Aku juga bukan siapa-siapa, sama seperti kau. Kami cuma orang-orang biasa yang mencoba bertahan hidup." Aku melihat sekeliling. Pria di sudut ruangan dan anak kecil itu menunduk, jelas merasa tidak nyaman dengan pembicaraan ini. Tapi pria tua itu menatapku tajam. "Raka mungkin seorang Hero," katanya, "tapi dia bukan satu-satunya. Ada banyak orang yang diberi peran besar dalam Skenario ini. Hero, Villain, bahkan orang-orang dengan peran khusus lainnya. Tapi kami... kami cuma latar belakang. Seperti dekorasi panggung." Aku terdiam. Itu persis seperti yang Raka katakan padaku. Kami hanya pengamat, tidak penting. Tapi melihat mereka semua di sini, aku merasa sedikit berbeda. Aku bukan satu-satunya yang merasa tidak berarti. Kami semua mencoba bertahan di dunia yang sudah tidak peduli pada kami. "Kami mendengar sesuatu di luar tadi," kata Mirna, memecah keheningan. "Suara ledakan dan gemuruh. Apa itu Voidborn?" Aku mengangguk. "Ya. Raka melawan mereka. Dia bilang aku harus pergi, jadi aku lari ke sini." Pria tua itu menggeleng. "Kalau ada Hero di dekat sini, artinya bahaya akan semakin besar. Voidborn selalu mengejar mereka. Dan kalau kita ada di jalur mereka..." Dia tidak melanjutkan kalimatnya, tapi aku tahu apa yang dia maksud. Kami semua akan mati. "Jadi, apa yang harus kita lakukan?" tanyaku, merasa panik lagi. "Pergi," jawab pria tua itu. "Kita harus meninggalkan tempat ini sebelum mereka datang." "Tunggu, bagaimana dengan Raka?" tanyaku. "Dia masih di luar sana. Dia mungkin butuh bantuan." Mirna tertawa kecil, tapi bukan tawa bahagia. "Bantuan? Apa yang bisa kita lakukan untuk membantu seseorang seperti dia? Dia punya pedang besar dan kekuatan yang tidak bisa kita pahami. Kita? Kita cuma orang biasa." Aku terdiam. Kata-katanya menyakitkan, tapi aku tahu dia benar. Aku bahkan tidak bisa melawan satu Voidborn, apalagi membantu seseorang seperti Raka. Pria tua itu berdiri, mengambil tas kecil dari rak di dinding. "Kalau kau mau hidup, kau ikut kami. Kita harus pergi sekarang, sebelum semuanya terlambat." Aku ragu sejenak, tapi akhirnya mengangguk. Mereka mungkin bukan pahlawan, tapi mereka tahu cara bertahan hidup. Dan untuk sekarang, itu lebih dari cukup. Kami mulai bersiap untuk pergi, suara langkah kami menggema di dalam kendaraan yang sempit. Tapi di luar, aku mendengar sesuatu—langkah berat yang aku kenali. Voidborn. Mereka sudah menemukan kami. Langkah berat itu semakin mendekat, menggema di jalanan luar seperti gemuruh yang membuat udara bergetar. Aku langsung merapat ke dinding kendaraan, tubuhku membeku di tempat. Pria tua itu bergerak cepat, mematikan lampu minyak yang tergantung di atas kami. Ruangan menjadi gelap gulita. "Diam," bisiknya tajam, sambil mengangkat senjata rakitannya. "Jangan bergerak, jangan bicara." Mirna dan pria di sudut ruangan ikut berjongkok, bersembunyi di balik tumpukan barang-barang di lantai. Anak kecil di pojok menggenggam erat boneka lusuhnya, matanya melebar penuh ketakutan. Aku berdiri kaku, mencoba menahan napas. Dari luar, suara langkah itu semakin jelas. Aku bisa merasakan getaran kecil di lantai setiap kali makhluk itu melangkah. Voidborn. Tidak ada keraguan. Tapi kali ini, langkahnya lebih berat, lebih lambat—seolah-olah makhluk itu sedang mencari sesuatu. Aku menoleh ke Mirna, yang menatapku dengan tatapan penuh peringatan. Dia menggerakkan bibirnya tanpa suara: Jangan bersuara. Langkah itu berhenti. Tepat di depan kendaraan. Aku menahan napas. Tubuhku terasa kaku, seperti diselimuti lapisan es. Detik-detik berikutnya terasa seperti selamanya. Suara berat Voidborn itu terdengar, seperti geraman bercampur desisan, membuat bulu kudukku berdiri. Lalu, bunyi logam beradu pelan terdengar dari atas kendaraan, seperti kuku-kuku besar yang mencakar permukaan besi. Aku memejamkan mata, berdoa dalam hati agar makhluk itu pergi. Tapi doaku tidak terkabul. DUARR! Seluruh kendaraan terguncang saat Voidborn itu menghantam atapnya. Suara dentuman keras itu membuat kami semua terjatuh. Anak kecil itu menjerit, meskipun ia mencoba menahan suaranya. Aku bisa mendengar makhluk itu menggeram lagi, kali ini lebih keras, seperti menemukan apa yang dicarinya. "Kita gak bisa diem aja!" seru pria di sudut ruangan, suaranya parau karena ketakutan. Dia meraih tongkat kayu di sebelahnya, seolah-olah itu bisa menghentikan makhluk sebesar Voidborn. "Tunggu!" bentak pria tua itu. "Kita harus—" Sebelum dia menyelesaikan kalimatnya, atap kendaraan robek. Sebuah tangan besar dan hitam, seperti bayangan yang hidup, menjulur ke dalam ruangan. Tangan itu bergerak liar, mencoba menangkap siapa saja yang ada di dalam. Kami semua berhamburan, mencoba menghindar. Pria tua itu langsung menembakkan senjata rakitannya. Cahaya biru terang melesat, menghantam tangan Voidborn itu, membuatnya mundur sejenak. Tapi itu tidak cukup. Makhluk itu menggeram lebih keras, dan seluruh kendaraan terguncang lagi. "Keluar!" teriak Mirna. "Kita harus keluar sekarang!" Aku tidak berpikir panjang. Dengan panik, aku mengikuti mereka keluar dari kendaraan melalui pintu samping yang masih utuh. Di luar, kabut masih tebal, tapi aku bisa melihat bayangan besar Voidborn berdiri di atas kendaraan. Tubuhnya tinggi, hitam pekat dengan mata merah yang bersinar tajam. Pria tua itu keluar terakhir, menembakkan senjatanya lagi untuk mengalihkan perhatian Voidborn. "Lari! Jangan berhenti!" Kami semua mulai berlari ke arah jalan yang lebih terbuka. Langkah kakiku terasa berat, tapi aku tahu kalau aku berhenti, itu akan jadi akhirku. Di belakang, aku bisa mendengar suara Voidborn menggeram, mengejar kami. Tanah bergetar di setiap langkahnya. "Kemari!" Mirna berteriak, melambai ke arah sebuah lorong sempit di antara dua bangunan. Kami semua berbelok ke sana, berharap Voidborn itu terlalu besar untuk mengikuti. Ketika kami sampai di ujung lorong, aku melihat sebuah pintu kecil di sisi bangunan. Mirna mencoba membukanya, tapi pintu itu terkunci. "Sial!" umpatnya. "Aku coba dobrak!" kata pria di sudut ruangan. Dia mulai menendang pintu itu, tapi usahanya sia-sia. Suara langkah Voidborn semakin dekat. Aku bisa melihat bayangannya mulai muncul di ujung lorong, terlalu besar untuk masuk sepenuhnya, tapi cukup untuk menjulurkan tangan panjangnya. "Kau bilang kau kerja di minimarket, kan?" Mirna menatapku dengan ekspresi putus asa. "Apa kau punya ide untuk buka pintu ini?" Aku menelan ludah, mencoba berpikir cepat. Pintu seperti ini biasanya gak terlalu kuat. Aku meraba-raba di sekitar, mencari sesuatu yang bisa digunakan sebagai pengungkit. Pandanganku tertuju pada sepotong besi yang tergeletak di lantai. Aku meraihnya dan memasukkannya ke celah antara pintu dan rangkanya, lalu mendorong sekuat tenaga. "Pindah!" teriakku. Dengan satu hentakan kuat, pintu itu akhirnya terbuka. Kami semua langsung masuk, menutup pintu di belakang kami. Di dalam, suasana lebih gelap, tapi aku bisa merasakan udara dingin yang lebih stabil. Kami terdiam sejenak, hanya suara napas kami yang terdengar. "Apa itu akan menemukan kita?" tanya anak kecil itu, suaranya pelan dan penuh ketakutan. Pria tua itu memandang ke arah pintu yang baru saja kami tutup. "Tidak sekarang. Tapi kita gak bisa tinggal di sini lama." Aku menoleh ke Mirna. "Kalian bilang kalian cuma orang biasa. Tapi kalian jelas tahu lebih banyak tentang Voidborn daripada aku." Dia menghela napas. "Kami gak tahu semuanya. Tapi kami tahu satu hal: Voidborn selalu mengejar mereka yang dekat dengan Hero. Kalau kau bertemu Raka, mereka pasti memburu kalian. Dan sekarang, mereka memburu kita juga." Aku terdiam. Semua ini... ini terlalu besar untuk aku pahami. Aku hanya ingin hidup, tapi setiap langkahku terasa seperti menarik masalah yang lebih besar. Aku menunduk, merasa kalah. Tapi sebelum aku bisa bicara lagi, suara pintu berderit pelan terdengar di belakang kami. Dan kami semua tahu, Voidborn belum selesai dengan kami.Pintu di belakang kami berderit pelan, tapi anehnya tidak ada yang masuk. Kami semua terdiam, tubuh tegang seperti senar gitar yang siap putus. Aku mencoba mengatur napas, tapi udara terasa berat di paru-paruku. “Kenapa gak langsung masuk?” bisik Mirna, matanya terpaku pada pintu yang setengah terbuka. “Voidborn gak pernah ragu.” “Karena itu mungkin bukan Voidborn,” kata pria tua dengan nada rendah. Dia menyalakan kembali senjata rakitannya, meskipun cahaya biru yang keluar mulai meredup, tanda kalau energinya hampir habis. Aku mengintip sedikit ke celah pintu, berharap mendapatkan jawaban. Tapi aku gak siap dengan apa yang aku lihat. Di balik pintu, ada seseorang—atau sesuatu—berdiri diam. Itu bukan Voidborn. Tubuhnya berbentuk manusia, tapi ada sesuatu yang salah. Bajunya compang-camping, dan kulitnya pucat seperti orang mati. Tapi yang paling menakutkan adalah matanya, kosong seperti lubang hitam yang dalam. “Siapa itu?” tanya pria muda di sudut ruangan, suaranya bergetar.
Ruangan itu kembali sunyi setelah kepergian Raka dan dua orang misterius lainnya. Namun, kesunyian itu terasa lebih berat daripada ketegangan sebelumnya. Aku, Mirna, dan yang lain hanya berdiri diam, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. "Apa kita cuma nunggu mati sekarang?" tanya Mirna, nadanya jelas kesal. Ia melipat tangan, menatapku seperti aku tahu apa yang harus dilakukan. Aku menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. "Oke, kita harus tetap tenang. Raka bilang kita bisa bertahan di sini sampai mereka selesai dengan tugas mereka." "Dan kalau Voidborn atau makhluk lain masuk?" tanya seorang pria muda di sudut. Aku baru sadar ia belum menyebutkan namanya sejak tadi. "Kita harus tahu nama masing-masing dulu," kataku tiba-tiba. "Kalau kita mau bertahan, kita harus saling percaya, dan itu dimulai dari nama." Semua menatapku, mungkin mengira aku gila. Tapi pria tua itu akhirnya mengangguk. "Dia benar. Kalau kita mati, setidaknya kita tahu siapa yang ada di sisi
Kami melangkah hati-hati di atas jembatan yang rapuh, angin dingin terus menerpa wajah, membuat kakiku gemetar. Di bawah jembatan, jurang gelap itu terasa seperti mulut raksasa yang siap menelan siapa pun yang terjatuh. Gatra memimpin di depan, langkahnya mantap meskipun jembatan berderak di setiap pijakannya. Aku mengikuti di belakangnya, dengan Mirna yang menuntun Ayu. Pak Rusdi dan Dika berada di barisan paling belakang, saling menjaga agar tidak ada yang tertinggal.“Kau yakin ini aman?” tanya Mirna, suaranya nyaris terkalahkan oleh hembusan angin. “Tidak ada yang aman di sini,” jawab Gatra tanpa menoleh. “Tapi ini satu-satunya jalan.” Langkah kami tiba-tiba terhenti ketika suara gemuruh pelan terdengar dari belakang. Aku menoleh dan melihat bayangan hitam Voidborn mulai muncul di sisi jembatan. Mata merah mereka bersinar menakutkan di kegelapan. “Cepat! Mereka datang!” seru Dika dengan nada panik. Gatra berlari leb
Setelah kejadian di jembatan, kami menemukan sebuah gua di tebing berbatu sebagai tempat perlindungan sementara. Gua itu gelap dan lembap, tapi cukup luas untuk menampung kami berlima. Dengan sisa tenaga, kami menyusun barikade seadanya di mulut gua, menggunakan batu-batu besar dan ranting pohon untuk berjaga-jaga dari serangan Voidborn. Malam pertama tanpa Gatra dan Pak Rusdi terasa seperti malam terpanjang dalam hidupku. Kami duduk melingkar di sekitar api kecil yang hampir tidak mampu mengusir dingin. Mirna membalut luka di kakinya, sementara Ayu bersandar di dinding gua dengan mata sembab. Dika hanya menatap kosong ke arah api, tangannya menggenggam sebuah pisau kecil yang ia temukan di jalan. “Ardi...” suara Mirna memecah keheningan. “Apa kita bisa... terus seperti ini?” Aku tidak langsung menjawab. Dalam kepalaku, bayangan Gatra dan Pak Rusdi terus muncul, seakan-akan mereka berdiri di hadapanku, menatap dengan senyum samar. “Kau harus bertahan,” kata Gatra dalam bayang
Mobil tua kami akhirnya berhenti di ujung jalan berbatu, asap tipis mengepul dari kap mesin. Mirna mengumpat pelan, memukul setir dengan frustrasi. “Sial, mobil ini sudah tidak bisa jalan lagi,” gumamnya, matanya menatap nanar ke depan. Kami turun dari mobil, kaki-kaki kami terasa lemah setelah perjalanan panjang tanpa istirahat. Di kejauhan, bayangan bangunan kecil muncul di balik kabut pagi. Aku merasakan kelegaan sekaligus ketegangan yang aneh. Apakah ini pemukiman? Apakah mereka akan menerima kami? “Aku harap mereka tidak seperti Hunters,” bisik Ayu, suaranya penuh kecemasan. Dika memegang busur Gatra dengan erat, waspada terhadap setiap suara. “Kita tidak punya pilihan lain,” katanya singkat. Saat kami mendekati gerbang kayu yang tinggi, dua pria bersenjata muncul dari balik barikade. Wajah mereka penuh bekas luka, dan tatapan mereka tajam. “Berhenti di situ!” seru salah satu dari mereka. Senapannya diarahkan tepat ke dadaku. Aku mengangkat tangan perlahan, menun
Jeritan melengking memecah keheningan malam, menggema di udara dingin pemukiman. Membangunkan semua orang, jantung berdebar kencang setelah suara itu jeritan itu menggema. Tanpa pikir panjang, aku meraih parang yang tergeletak di sudut ruangan. “Voidborn,” bisik Mirna dengan suara gemetar, tangannya menggenggam lengan Ayu erat. Aku melangkah keluar dan langsung disambut pemandangan yang mengerikan. Salah satu barikade kayu di sisi timur telah hancur, dan sosok makhluk itu berdiri di tengah reruntuhan. Tubuhnya besar, hampir setinggi dua manusia dewasa, dengan kulit hitam kelam yang berkilauan di bawah cahaya api. Mata merahnya bersinar, menatap tajam ke arah para penyintas yang panik. Cakar tajamnya, sebesar belati, meneteskan cairan hitam pekat yang menguap saat menyentuh tanah. “Ke barat! Lindungi anak-anak!” teriak Bima, suaranya tegas meskipun wajahnya terlihat tegang. Dia berdiri di depan, memegang senapan, mencoba menenangkan kek
Malam itu menusuk dengan dinginnya, membuat setiap nafas kami terasa berat di udara yang lembab. Kabut tipis menyelimuti jalan berbatu yang kami pijak, seperti tabir rahasia yang melindungi dunia dari mata manusia. Aku menggenggam parang di tanganku, jari-jariku merasakan dingin logamnya—sebuah pengingat bahwa ini adalah satu-satunya pertahanan yang bisa diandalkan. Di belakangku, suara langkah kaki yang terseret menandai kelelahan yang kami semua rasakan."Sanctuary..." pikirku, memandang peta lusuh yang tergenggam di tangan kiriku. Garis-garis kabur di peta itu adalah satu-satunya petunjuk menuju apa yang dikatakan orang-orang sebagai tempat terakhir yang aman. Namun, harapan itu terasa seperti fatamorgana di tengah lautan kehancuran. Aku tidak yakin apa yang lebih berbahaya—percaya bahwa tempat itu nyata atau mengetahui bahwa itu hanyalah ilusi.Di belakang, Mirna dan Ayu berjalan dalam diam. Raut wajah mereka adalah cermin dari apa yang kurasakan—takut, lelah, tapi tidak punya pil
Perjalanan berlanjut di bawah naungan pepohonan yang rapat. Sinar matahari pagi menerobos melalui celah-celah dedaunan, menciptakan pola cahaya dan bayangan yang menari di atas tanah lembab. Udara pagi yang sejuk membawa aroma tanah basah dan dedaunan busuk, bercampur dengan sisa-sisa asap hitam dari Hunter yang telah musnah.Langkah kakiku terasa berat, bukan hanya karena kelelahan fisik, tetapi juga karena beban emosional yang kupikul. Kejadian semalam masih segar dalam ingatan, meninggalkan luka yang tak terlihat. Aku menggenggam parang di tanganku, merasakan dingin logamnya menusuk kulitku—sebuah pengingat bahwa ini adalah satu-satunya pertahanan yang bisa kuandalkan.Aku berjalan di depan, memimpin kelompok kecil ini dengan peta lusuh di tanganku. Sesekali, aku berhenti untuk memeriksa kompas dan memastikan kami tetap berada di jalur yang benar, atau setidaknya, jalur yang kupikir benar. Sanctuary... nama itu terus bergema di benakku. Tempat terakhir yang aman, kata orang-orang.
Dunia kembali bergerak.Seakan tersedot dari pusaran kehampaan, aku terhempas ke realitas. Nafasku terputus-putus, dadaku naik turun tak terkendali. Keringat dingin mengalir di pelipisku, dan jari-jariku mati rasa saat aku mencoba menggenggam trisulaku lebih erat. Tubuhku seakan dipaksa menerima beban yang bukan milikku—resonansi antara aku dan Chronarkis masih terasa, mengalir seperti arus tak kasat mata yang menghubungkan kami.Brak!Lututku menghantam tanah. Tanah yang dingin dan kasar merambat di sela jari, seakan menegaskan bahwa aku masih ada di sini, masih hidup. Suara napasku bercampur dengan desir angin yang membawa serpihan debu dan abu di udara. Cahaya redup dari langit yang koyak oleh kekuatan yang tak kasat mata perlahan memudar, seolah takut mengungkap rahasia yang baru saja terkuak."Apa kau baik-baik saja?"Suara Revan membelah keheningan. Aku mendongak, melihatnya bergegas ke arahku, ekspresinya dipenuhi kekhawatiran. Ia tak perlu bertanya dua kali. Dengan susah payah
Kegelapan berdenyut di sekeliling Ariel, nyala api hitam berputar liar seperti ular ganas yang hendak memangsa segalanya. Napasnya berat, langkahnya menyeret, tetapi matanya—mata merah menyala yang menjadi simbol kekuasaan Barong—tetap terkunci padaku. Aku bersiap menghindar, otakku bekerja cepat mencari celah dalam serangannya.Tapi tiba-tiba—WUSHH!Sebuah cahaya emas meledak dari tubuh Ariel. Sejenak, seolah-olah waktu tersendat, lalu berhenti total. Angin yang tadinya menggila kini membeku di udara, debu yang beterbangan pun mengapung tanpa arah. Bahkan api yang menari di sekeliling Ariel berhenti, nyaris seperti lukisan yang dipaksa diam dalam satu momen abadi.Aku menegang. Eternal Flow Manipulation-ku? Tidak. Ini bukan aku yang mengaktifkannya.Sebuah tekanan luar biasa membanjiri ruang di sekelilingku, membuat bulu kudukku berdiri. Dari bayanganku sendiri, sesuatu merayap keluar. Aku bisa merasakan keberadaannya bahkan sebelum melihat sosoknya.Kemudian, ia muncul.Sosok itu m
Udara di sekitar kami bergetar, panas yang menyengat merayap di kulit, membuat napas terasa berat. Debu-debu hangus melayang, terbawa oleh angin panas yang entah berasal dari serangan Ariel sebelumnya atau dari dirinya sendiri.Mata Revan menyipit, keringat mengalir di pelipisnya. "Sepertinya dia kehilangan kontrol atas tubuhnya," gumamnya, suaranya nyaris tenggelam dalam deru api yang mengamuk. Dengan cepat, dia mengangkat tangannya. "Zephyr Suppression."Raungan angin terdengar nyaring saat pusaran udara terbentuk di sekitar Ariel, membelit tubuhnya seperti rantai tak kasat mata. Namun sebelum cengkeraman angin bisa menahan gerakannya, Ariel mengangkat pedang reliknya tinggi-tinggi. Mata keemasannya berkilat sesaat sebelum berubah menjadi merah."Divine Reflection."Kilatan cahaya meledak dari tubuhnya, memantulkan energi angin yang seharusnya membelenggunya. Seakan tak tersentuh, ia melangkah maju tanpa kesulitan sedikit pun.Revan terhuyung ke belakang, tangannya masih terangkat de
Kilatan cahaya menyambar cakrawala. Petir menggelegar, suaranya menggema seperti raungan raksasa yang marah. Langit yang tadinya cerah kini berubah kelam, seakan ditelan sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar awan mendung. Udara menjadi berat, seperti ribuan ton besi menekan dada.Aku berdiri di tengah padang yang luas, trisula sudah dalam genggamanku. Angin bertiup liar, merontokkan dedaunan dan menerbangkan debu hingga membentuk pusaran kecil di sekeliling kami. Di sampingku, Revan berdiri dengan tenang, tatapannya tajam seperti pisau yang baru diasah. Di sisi lain, Ariel tampak gelisah, matanya menari-nari di antara kami dan langit yang mulai retak."Sebentar lagi dia akan muncul," ucapku, suaraku tenggelam dalam riuhnya gemuruh yang terus beresonansi.Revan mengangguk pelan. Dia tahu. Sepertinya dia sudah melihat ini sebelumnya. Namun Ariel… Ariel tidak. Tangannya mencengkeram relik pedang yang kuberikan, jemarinya gemetar meski ia berusaha menyembunyikannya."Apa yang akan mu
Udara dingin menerpa kulitku seperti pisau tipis yang menggores perlahan. Di hadapanku, Ariel terkunci dalam pusaran angin yang menderu seperti raungan serigala lapar, seakan mencoba menelan tubuhnya bulat-bulat. Keringat dingin mengalir di pelipisku saat melihat tubuhnya bergetar hebat di dalam lingkaran udara yang melingkupinya."Sial..." gumamku, mengepalkan tangan dengan gelisah. Suara angin yang berputar kencang membuat sekeliling terasa seperti badai yang mengamuk. Aku melirik pria itu, sosok misterius yang baru saja muncul dari reruntuhan. Tangannya terulur, mengendalikan barrier angin yang menekan Ariel.Aku meneguk ludah, lalu melangkah mendekatinya. "Apa dia akan baik-baik saja?" tanyaku, suaraku nyaris tenggelam dalam deru angin.Pria itu tak langsung menjawab. Tatapannya tetap terkunci pada Ariel, dingin dan tajam, seperti burung pemangsa yang mengamati mangsanya. "Entahlah," jawabnya akhirnya, suaranya tenang tapi penuh ketegangan. "Yang bisa aku lakukan hanya menahan kek
Suasana berat mencekam saat kami melangkah meninggalkan reruntuhan yang kini hanya menyisakan puing-puing dan bayangan kematian. Bau anyir darah bercampur dengan aroma karat besi, menguar tajam di udara malam yang dingin. Setiap tarikan napas serasa mencengkram paru-paru, berat, pengap, seakan dunia sendiri mencoba menahan kami untuk tidak pergi.Srek.Butiran pasir bergeser di bawah sepatu kami. Angin menderu, melolong di antara bebatuan, berbisik lirih seperti suara mereka yang telah gugur.Aku melirik ke samping. Ariel berjalan di sebelahku, langkahnya tetap tegas, namun ada sesuatu yang berbeda. Bahunya tegang, napasnya pendek dan tersendat. Biasanya, mata emasnya selalu berkilat penuh keyakinan. Tapi kini, sorot itu meredup—seperti api yang kehilangan bahan bakarnya.Srek.Kami terus berjalan. Tapi lalu—Ariel berhenti.Satu tangannya menekan pelipis, napasnya tertahan. Aku melihatnya menarik napas dalam-dalam, tapi ada getaran halus di jemarinya, begitu samar, nyaris tak terliha
Aku melangkah pelan di atas pasir hitam yang masih terasa hangat. Ombak pecah di kejauhan, gemuruhnya berulang dalam irama yang menghipnotis, membawa aroma garam dan kehancuran yang bercampur menjadi satu.Di sekelilingku, reruntuhan vila-vila mewah berserakan tak berbentuk. Atap-atap ambruk, tembok-tembok retak, dan kayu-kayu yang dulunya menopang bangunan kini hanyut terbawa air pasang. Cahaya bulan memantul di permukaan air laut, menciptakan kilauan yang kontras dengan puing-puing yang terombang-ambing di permukaan.Aku berhenti melangkah dan menatap pedang di tanganku. Bilahnya berpendar samar di bawah sinar bulan yang semakin redup. Pedang relik Mutiara Merah. Aku menggenggamnya erat, merasakan energi dingin menjalar dari gagangnya ke telapak tanganku. Namun, semakin lama aku memegangnya, semakin aku merasa ada sesuatu yang tidak selaras denganku. Pedang ini… bukan untukku."Ada apa?" suara Ariel membuyarkan lamunanku. Aku menoleh, melihatnya berdiri beberapa langkah di depanku,
Udara panas yang masih tersisa dari pertempuran perlahan menghilang, digantikan dengan kesunyian yang berat. Aroma tanah yang terbakar dan abu yang beterbangan membuat napasku terasa sesak. Setiap langkah yang kuambil menuju altar Borobudur terasa seperti berjalan di atas batu bara panas.Ariel berjalan di sampingku, sesekali mencuri pandang ke arahku. "Akhirnya kita berhasil juga," ucapnya dengan suara lega, tetapi napasnya masih tersengal-sengal.Aku hanya diam, membiarkan tatapanku terpaku pada altar di depanku. Mutiara Merah berpendar redup, seolah mengintai dari dalam kegelapan, menunggu keberanian seseorang untuk menyentuhnya. Aku mengangkat tanganku, jari-jariku gemetar saat mendekati permukaannya yang bercahaya.Begitu ujung jariku menyentuhnya, gelombang panas menghantam sekujur tubuhku. Rasa terbakar menjalari telapak tanganku, membuat rahangku mengatup erat, menahan erangan yang hampir lolos. Cahaya merah menyembur, menelan pandanganku dalam ledakan kilau yang menyilaukan.D
Suasana berubah drastis. Udara yang sebelumnya hanya dipenuhi percikan api kini terasa seperti tungku neraka yang siap menelan siapa pun yang mendekat. Api yang berkobar di sekitar tubuh Genta bukan lagi sekadar nyala biasa. Warna merahnya perlahan berubah menjadi biru terang, seakan-akan panasnya telah melampaui batas wajar. Setiap langkahnya membuat udara bergemuruh, seperti ada tekanan tak kasat mata yang menghantam siapa pun di sekelilingnya.Julian menggeram, matanya memicing tajam ke arah Genta yang kini semakin tak terkendali. "Bajingan itu... Dia malah mengamuk sesuka hatinya," gumamnya dengan nada frustrasi.Reina, yang berdiri di sampingnya, mendengus kesal. "Dia sendiri yang bilang jangan terprovokasi, tetapi malah dia yang termakan provokasinya."Sementara itu, aku hanya bisa bertahan di balik Divine Reflection milik Ariel. Lapisan tak kasat mata itu masih mampu menahan panasnya api Genta, tetapi aku tahu, perlindungan ini tak akan bertahan lama. Retakan-retakan halus mula