Share

Hanya pengamat (4)

Penulis: Deni A. Arafah
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-08 12:24:51

Aku terus berlari, keluar dari reruntuhan hotel, napas beratku terdengar seperti gemuruh di telingaku sendiri. Di belakangku, suara ledakan dan jeritan Voidborn masih terdengar, tapi semakin lama semakin jauh. Raka tetap tinggal untuk melawan makhluk itu. Kenapa dia melakukan semua itu? Kenapa dia repot-repot menyelamatkan aku? Aku bukan siapa-siapa, bahkan dia sendiri bilang aku gak punya peran.

Lalu aku berhenti.

Aku gak bisa terus lari tanpa tujuan. Kalau aku terus seperti ini, aku bakal mati cepat atau lambat. Tapi aku gak tahu harus ke mana. Dunia ini gak lagi terasa seperti tempat yang aku kenal.

Aku melihat sekeliling. Kabut masih tebal, menutupi jalanan dan bangunan yang hancur. Tapi di ujung jalan, aku melihat sesuatu—lampu kecil yang berkedip-kedip, seperti ada orang di sana. Aku ragu sejenak, tapi rasa penasaran dan keputusasaan memaksaku untuk mendekat.

Ketika aku sampai di sana, aku menemukan sebuah kendaraan lapuk yang diubah menjadi semacam tempat perlindungan kecil. Ada lampu minyak yang tergantung di bagian depan, dan suara pelan orang-orang berbicara dari dalam.

Aku mengetuk sisi kendaraan pelan, mencoba gak bikin mereka panik. Suara di dalam langsung berhenti. Lalu pintu kecil terbuka, dan seorang pria muncul. Dia kelihatan lebih tua dariku, dengan rambut beruban dan wajah yang penuh kerutan. Dia membawa sesuatu yang terlihat seperti senjata rakitan, meskipun bentuknya lebih mirip pipa besi dengan kabel yang menyala.

"Apa kau sendiri?" tanyanya dengan nada curiga. Matanya menyipit, menatapku dari atas ke bawah.

"Ya," jawabku sambil mengangkat tangan, mencoba menunjukkan kalau aku gak berbahaya. "Aku... aku cuma cari tempat untuk bersembunyi."

Dia memandangku beberapa detik, lalu menarikku masuk. "Cepat, sebelum ada yang melihat."

Di dalam kendaraan, ada tiga orang lain: seorang wanita muda dengan jaket lusuh, seorang pria yang tampak seumuranku, dan seorang anak kecil yang meringkuk di sudut. Mereka semua terlihat lelah, tapi mata mereka waspada, seperti sudah terlalu sering menghadapi bahaya.

"Siapa kau?" tanya wanita itu sambil melipat tangan. "Dan kenapa kau masih hidup sendirian di luar?"

"Aku... aku Ardi," jawabku gugup. "Aku cuma... pegawai biasa. Aku gak ngerti apa yang terjadi. Aku cuma lari dari sesuatu... makhluk... di hotel."

"Voidborn?" tanya pria di sudut ruangan. Suaranya rendah, hampir berbisik.

Aku mengangguk. "Ya. Tapi ada seseorang yang melawan mereka. Namanya Raka."

Begitu aku menyebut nama itu, suasana di dalam ruangan berubah. Wanita muda itu langsung mendekat, wajahnya penuh rasa ingin tahu. "Raka? Kau bertemu dengannya?"

"Ya," kataku lagi, bingung. "Dia... menyelamatkanku. Dua kali."

Pria tua itu menghela napas panjang. "Dia salah satu dari mereka yang diberi peran besar dalam Skenario. Salah satu Hero."

"Hero?" tanyaku, bingung. "Apa kalian tahu tentang semua ini? Skenario, Voidborn, Konstelasi, dan semua yang terjadi?"

Wanita itu menatapku, nadanya mulai melembut. "Kami tahu. Setidaknya sedikit. Semua orang yang masih hidup sekarang terjebak dalam permainan ini. Tapi tidak semua dari kami punya peran."

Dia menunjuk dirinya sendiri. "Aku Mirna. Aku juga bukan siapa-siapa, sama seperti kau. Kami cuma orang-orang biasa yang mencoba bertahan hidup."

Aku melihat sekeliling. Pria di sudut ruangan dan anak kecil itu menunduk, jelas merasa tidak nyaman dengan pembicaraan ini. Tapi pria tua itu menatapku tajam.

"Raka mungkin seorang Hero," katanya, "tapi dia bukan satu-satunya. Ada banyak orang yang diberi peran besar dalam Skenario ini. Hero, Villain, bahkan orang-orang dengan peran khusus lainnya. Tapi kami... kami cuma latar belakang. Seperti dekorasi panggung."

Aku terdiam. Itu persis seperti yang Raka katakan padaku. Kami hanya pengamat, tidak penting. Tapi melihat mereka semua di sini, aku merasa sedikit berbeda. Aku bukan satu-satunya yang merasa tidak berarti. Kami semua mencoba bertahan di dunia yang sudah tidak peduli pada kami.

"Kami mendengar sesuatu di luar tadi," kata Mirna, memecah keheningan. "Suara ledakan dan gemuruh. Apa itu Voidborn?"

Aku mengangguk. "Ya. Raka melawan mereka. Dia bilang aku harus pergi, jadi aku lari ke sini."

Pria tua itu menggeleng. "Kalau ada Hero di dekat sini, artinya bahaya akan semakin besar. Voidborn selalu mengejar mereka. Dan kalau kita ada di jalur mereka..."

Dia tidak melanjutkan kalimatnya, tapi aku tahu apa yang dia maksud. Kami semua akan mati.

"Jadi, apa yang harus kita lakukan?" tanyaku, merasa panik lagi.

"Pergi," jawab pria tua itu. "Kita harus meninggalkan tempat ini sebelum mereka datang."

"Tunggu, bagaimana dengan Raka?" tanyaku. "Dia masih di luar sana. Dia mungkin butuh bantuan."

Mirna tertawa kecil, tapi bukan tawa bahagia. "Bantuan? Apa yang bisa kita lakukan untuk membantu seseorang seperti dia? Dia punya pedang besar dan kekuatan yang tidak bisa kita pahami. Kita? Kita cuma orang biasa."

Aku terdiam. Kata-katanya menyakitkan, tapi aku tahu dia benar. Aku bahkan tidak bisa melawan satu Voidborn, apalagi membantu seseorang seperti Raka.

Pria tua itu berdiri, mengambil tas kecil dari rak di dinding. "Kalau kau mau hidup, kau ikut kami. Kita harus pergi sekarang, sebelum semuanya terlambat."

Aku ragu sejenak, tapi akhirnya mengangguk. Mereka mungkin bukan pahlawan, tapi mereka tahu cara bertahan hidup. Dan untuk sekarang, itu lebih dari cukup.

Kami mulai bersiap untuk pergi, suara langkah kami menggema di dalam kendaraan yang sempit. Tapi di luar, aku mendengar sesuatu—langkah berat yang aku kenali. Voidborn.

Mereka sudah menemukan kami.

Langkah berat itu semakin mendekat, menggema di jalanan luar seperti gemuruh yang membuat udara bergetar. Aku langsung merapat ke dinding kendaraan, tubuhku membeku di tempat.

Pria tua itu bergerak cepat, mematikan lampu minyak yang tergantung di atas kami. Ruangan menjadi gelap gulita. "Diam," bisiknya tajam, sambil mengangkat senjata rakitannya. "Jangan bergerak, jangan bicara."

Mirna dan pria di sudut ruangan ikut berjongkok, bersembunyi di balik tumpukan barang-barang di lantai. Anak kecil di pojok menggenggam erat boneka lusuhnya, matanya melebar penuh ketakutan. Aku berdiri kaku, mencoba menahan napas.

Dari luar, suara langkah itu semakin jelas. Aku bisa merasakan getaran kecil di lantai setiap kali makhluk itu melangkah. Voidborn. Tidak ada keraguan. Tapi kali ini, langkahnya lebih berat, lebih lambat—seolah-olah makhluk itu sedang mencari sesuatu.

Aku menoleh ke Mirna, yang menatapku dengan tatapan penuh peringatan. Dia menggerakkan bibirnya tanpa suara: Jangan bersuara.

Langkah itu berhenti. Tepat di depan kendaraan.

Aku menahan napas. Tubuhku terasa kaku, seperti diselimuti lapisan es. Detik-detik berikutnya terasa seperti selamanya. Suara berat Voidborn itu terdengar, seperti geraman bercampur desisan, membuat bulu kudukku berdiri.

Lalu, bunyi logam beradu pelan terdengar dari atas kendaraan, seperti kuku-kuku besar yang mencakar permukaan besi. Aku memejamkan mata, berdoa dalam hati agar makhluk itu pergi. Tapi doaku tidak terkabul.

DUARR!

Seluruh kendaraan terguncang saat Voidborn itu menghantam atapnya. Suara dentuman keras itu membuat kami semua terjatuh. Anak kecil itu menjerit, meskipun ia mencoba menahan suaranya. Aku bisa mendengar makhluk itu menggeram lagi, kali ini lebih keras, seperti menemukan apa yang dicarinya.

"Kita gak bisa diem aja!" seru pria di sudut ruangan, suaranya parau karena ketakutan. Dia meraih tongkat kayu di sebelahnya, seolah-olah itu bisa menghentikan makhluk sebesar Voidborn.

"Tunggu!" bentak pria tua itu. "Kita harus—"

Sebelum dia menyelesaikan kalimatnya, atap kendaraan robek. Sebuah tangan besar dan hitam, seperti bayangan yang hidup, menjulur ke dalam ruangan. Tangan itu bergerak liar, mencoba menangkap siapa saja yang ada di dalam. Kami semua berhamburan, mencoba menghindar.

Pria tua itu langsung menembakkan senjata rakitannya. Cahaya biru terang melesat, menghantam tangan Voidborn itu, membuatnya mundur sejenak. Tapi itu tidak cukup. Makhluk itu menggeram lebih keras, dan seluruh kendaraan terguncang lagi.

"Keluar!" teriak Mirna. "Kita harus keluar sekarang!"

Aku tidak berpikir panjang. Dengan panik, aku mengikuti mereka keluar dari kendaraan melalui pintu samping yang masih utuh. Di luar, kabut masih tebal, tapi aku bisa melihat bayangan besar Voidborn berdiri di atas kendaraan. Tubuhnya tinggi, hitam pekat dengan mata merah yang bersinar tajam.

Pria tua itu keluar terakhir, menembakkan senjatanya lagi untuk mengalihkan perhatian Voidborn. "Lari! Jangan berhenti!"

Kami semua mulai berlari ke arah jalan yang lebih terbuka. Langkah kakiku terasa berat, tapi aku tahu kalau aku berhenti, itu akan jadi akhirku. Di belakang, aku bisa mendengar suara Voidborn menggeram, mengejar kami. Tanah bergetar di setiap langkahnya.

"Kemari!" Mirna berteriak, melambai ke arah sebuah lorong sempit di antara dua bangunan. Kami semua berbelok ke sana, berharap Voidborn itu terlalu besar untuk mengikuti.

Ketika kami sampai di ujung lorong, aku melihat sebuah pintu kecil di sisi bangunan. Mirna mencoba membukanya, tapi pintu itu terkunci. "Sial!" umpatnya.

"Aku coba dobrak!" kata pria di sudut ruangan. Dia mulai menendang pintu itu, tapi usahanya sia-sia.

Suara langkah Voidborn semakin dekat. Aku bisa melihat bayangannya mulai muncul di ujung lorong, terlalu besar untuk masuk sepenuhnya, tapi cukup untuk menjulurkan tangan panjangnya.

"Kau bilang kau kerja di minimarket, kan?" Mirna menatapku dengan ekspresi putus asa. "Apa kau punya ide untuk buka pintu ini?"

Aku menelan ludah, mencoba berpikir cepat. Pintu seperti ini biasanya gak terlalu kuat. Aku meraba-raba di sekitar, mencari sesuatu yang bisa digunakan sebagai pengungkit. Pandanganku tertuju pada sepotong besi yang tergeletak di lantai. Aku meraihnya dan memasukkannya ke celah antara pintu dan rangkanya, lalu mendorong sekuat tenaga.

"Pindah!" teriakku.

Dengan satu hentakan kuat, pintu itu akhirnya terbuka. Kami semua langsung masuk, menutup pintu di belakang kami.

Di dalam, suasana lebih gelap, tapi aku bisa merasakan udara dingin yang lebih stabil. Kami terdiam sejenak, hanya suara napas kami yang terdengar.

"Apa itu akan menemukan kita?" tanya anak kecil itu, suaranya pelan dan penuh ketakutan.

Pria tua itu memandang ke arah pintu yang baru saja kami tutup. "Tidak sekarang. Tapi kita gak bisa tinggal di sini lama."

Aku menoleh ke Mirna. "Kalian bilang kalian cuma orang biasa. Tapi kalian jelas tahu lebih banyak tentang Voidborn daripada aku."

Dia menghela napas. "Kami gak tahu semuanya. Tapi kami tahu satu hal: Voidborn selalu mengejar mereka yang dekat dengan Hero. Kalau kau bertemu Raka, mereka pasti memburu kalian. Dan sekarang, mereka memburu kita juga."

Aku terdiam. Semua ini... ini terlalu besar untuk aku pahami. Aku hanya ingin hidup, tapi setiap langkahku terasa seperti menarik masalah yang lebih besar. Aku menunduk, merasa kalah.

Tapi sebelum aku bisa bicara lagi, suara pintu berderit pelan terdengar di belakang kami.

Dan kami semua tahu, Voidborn belum selesai dengan kami.

Bab terkait

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Hanya pengamat (5)

    Pintu di belakang kami berderit pelan, tapi anehnya tidak ada yang masuk. Kami semua terdiam, tubuh tegang seperti senar gitar yang siap putus. Aku mencoba mengatur napas, tapi udara terasa berat di paru-paruku. “Kenapa gak langsung masuk?” bisik Mirna, matanya terpaku pada pintu yang setengah terbuka. “Voidborn gak pernah ragu.” “Karena itu mungkin bukan Voidborn,” kata pria tua dengan nada rendah. Dia menyalakan kembali senjata rakitannya, meskipun cahaya biru yang keluar mulai meredup, tanda kalau energinya hampir habis. Aku mengintip sedikit ke celah pintu, berharap mendapatkan jawaban. Tapi aku gak siap dengan apa yang aku lihat. Di balik pintu, ada seseorang—atau sesuatu—berdiri diam. Itu bukan Voidborn. Tubuhnya berbentuk manusia, tapi ada sesuatu yang salah. Bajunya compang-camping, dan kulitnya pucat seperti orang mati. Tapi yang paling menakutkan adalah matanya, kosong seperti lubang hitam yang dalam. “Siapa itu?” tanya pria muda di sudut ruangan, suaranya bergetar.

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-08
  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Hanya pengamat (6)

    Ruangan itu kembali sunyi setelah kepergian Raka dan dua orang misterius lainnya. Namun, kesunyian itu terasa lebih berat daripada ketegangan sebelumnya. Aku, Mirna, dan yang lain hanya berdiri diam, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. "Apa kita cuma nunggu mati sekarang?" tanya Mirna, nadanya jelas kesal. Ia melipat tangan, menatapku seperti aku tahu apa yang harus dilakukan. Aku menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. "Oke, kita harus tetap tenang. Raka bilang kita bisa bertahan di sini sampai mereka selesai dengan tugas mereka." "Dan kalau Voidborn atau makhluk lain masuk?" tanya seorang pria muda di sudut. Aku baru sadar ia belum menyebutkan namanya sejak tadi. "Kita harus tahu nama masing-masing dulu," kataku tiba-tiba. "Kalau kita mau bertahan, kita harus saling percaya, dan itu dimulai dari nama." Semua menatapku, mungkin mengira aku gila. Tapi pria tua itu akhirnya mengangguk. "Dia benar. Kalau kita mati, setidaknya kita tahu siapa yang ada di sisi

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-03
  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Hanya pengamat (7)

    Kami melangkah hati-hati di atas jembatan yang rapuh, angin dingin terus menerpa wajah, membuat kakiku gemetar. Di bawah jembatan, jurang gelap itu terasa seperti mulut raksasa yang siap menelan siapa pun yang terjatuh. Gatra memimpin di depan, langkahnya mantap meskipun jembatan berderak di setiap pijakannya. Aku mengikuti di belakangnya, dengan Mirna yang menuntun Ayu. Pak Rusdi dan Dika berada di barisan paling belakang, saling menjaga agar tidak ada yang tertinggal.“Kau yakin ini aman?” tanya Mirna, suaranya nyaris terkalahkan oleh hembusan angin. “Tidak ada yang aman di sini,” jawab Gatra tanpa menoleh. “Tapi ini satu-satunya jalan.” Langkah kami tiba-tiba terhenti ketika suara gemuruh pelan terdengar dari belakang. Aku menoleh dan melihat bayangan hitam Voidborn mulai muncul di sisi jembatan. Mata merah mereka bersinar menakutkan di kegelapan. “Cepat! Mereka datang!” seru Dika dengan nada panik. Gatra berlari leb

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-03
  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Hanya pengamat (8)

    Setelah kejadian di jembatan, kami menemukan sebuah gua di tebing berbatu sebagai tempat perlindungan sementara. Gua itu gelap dan lembap, tapi cukup luas untuk menampung kami berlima. Dengan sisa tenaga, kami menyusun barikade seadanya di mulut gua, menggunakan batu-batu besar dan ranting pohon untuk berjaga-jaga dari serangan Voidborn. Malam pertama tanpa Gatra dan Pak Rusdi terasa seperti malam terpanjang dalam hidupku. Kami duduk melingkar di sekitar api kecil yang hampir tidak mampu mengusir dingin. Mirna membalut luka di kakinya, sementara Ayu bersandar di dinding gua dengan mata sembab. Dika hanya menatap kosong ke arah api, tangannya menggenggam sebuah pisau kecil yang ia temukan di jalan. “Ardi...” suara Mirna memecah keheningan. “Apa kita bisa... terus seperti ini?” Aku tidak langsung menjawab. Dalam kepalaku, bayangan Gatra dan Pak Rusdi terus muncul, seakan-akan mereka berdiri di hadapanku, menatap dengan senyum samar. “Kau harus bertahan,” kata Gatra dalam bayang

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-04
  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Para penyintas

    Mobil tua kami akhirnya berhenti di ujung jalan berbatu, asap tipis mengepul dari kap mesin. Mirna mengumpat pelan, memukul setir dengan frustrasi. “Sial, mobil ini sudah tidak bisa jalan lagi,” gumamnya, matanya menatap nanar ke depan. Kami turun dari mobil, kaki-kaki kami terasa lemah setelah perjalanan panjang tanpa istirahat. Di kejauhan, bayangan bangunan kecil muncul di balik kabut pagi. Aku merasakan kelegaan sekaligus ketegangan yang aneh. Apakah ini pemukiman? Apakah mereka akan menerima kami? “Aku harap mereka tidak seperti Hunters,” bisik Ayu, suaranya penuh kecemasan. Dika memegang busur Gatra dengan erat, waspada terhadap setiap suara. “Kita tidak punya pilihan lain,” katanya singkat. Saat kami mendekati gerbang kayu yang tinggi, dua pria bersenjata muncul dari balik barikade. Wajah mereka penuh bekas luka, dan tatapan mereka tajam. “Berhenti di situ!” seru salah satu dari mereka. Senapannya diarahkan tepat ke dadaku. Aku mengangkat tangan perlahan, menun

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-05
  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Para penyintas (2)

    Jeritan melengking memecah keheningan malam, menggema di udara dingin pemukiman. Membangunkan semua orang, jantung berdebar kencang setelah suara itu jeritan itu menggema. Tanpa pikir panjang, aku meraih parang yang tergeletak di sudut ruangan. “Voidborn,” bisik Mirna dengan suara gemetar, tangannya menggenggam lengan Ayu erat. Aku melangkah keluar dan langsung disambut pemandangan yang mengerikan. Salah satu barikade kayu di sisi timur telah hancur, dan sosok makhluk itu berdiri di tengah reruntuhan. Tubuhnya besar, hampir setinggi dua manusia dewasa, dengan kulit hitam kelam yang berkilauan di bawah cahaya api. Mata merahnya bersinar, menatap tajam ke arah para penyintas yang panik. Cakar tajamnya, sebesar belati, meneteskan cairan hitam pekat yang menguap saat menyentuh tanah. “Ke barat! Lindungi anak-anak!” teriak Bima, suaranya tegas meskipun wajahnya terlihat tegang. Dia berdiri di depan, memegang senapan, mencoba menenangkan kek

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-05
  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Para penyintas (3)

    Malam itu menusuk dengan dinginnya, membuat setiap nafas kami terasa berat di udara yang lembab. Kabut tipis menyelimuti jalan berbatu yang kami pijak, seperti tabir rahasia yang melindungi dunia dari mata manusia. Aku menggenggam parang di tanganku, jari-jariku merasakan dingin logamnya—sebuah pengingat bahwa ini adalah satu-satunya pertahanan yang bisa diandalkan. Di belakangku, suara langkah kaki yang terseret menandai kelelahan yang kami semua rasakan."Sanctuary..." pikirku, memandang peta lusuh yang tergenggam di tangan kiriku. Garis-garis kabur di peta itu adalah satu-satunya petunjuk menuju apa yang dikatakan orang-orang sebagai tempat terakhir yang aman. Namun, harapan itu terasa seperti fatamorgana di tengah lautan kehancuran. Aku tidak yakin apa yang lebih berbahaya—percaya bahwa tempat itu nyata atau mengetahui bahwa itu hanyalah ilusi.Di belakang, Mirna dan Ayu berjalan dalam diam. Raut wajah mereka adalah cermin dari apa yang kurasakan—takut, lelah, tapi tidak punya pil

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-07
  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Para penyintas (4)

    Perjalanan berlanjut di bawah naungan pepohonan yang rapat. Sinar matahari pagi menerobos melalui celah-celah dedaunan, menciptakan pola cahaya dan bayangan yang menari di atas tanah lembab. Udara pagi yang sejuk membawa aroma tanah basah dan dedaunan busuk, bercampur dengan sisa-sisa asap hitam dari Hunter yang telah musnah.Langkah kakiku terasa berat, bukan hanya karena kelelahan fisik, tetapi juga karena beban emosional yang kupikul. Kejadian semalam masih segar dalam ingatan, meninggalkan luka yang tak terlihat. Aku menggenggam parang di tanganku, merasakan dingin logamnya menusuk kulitku—sebuah pengingat bahwa ini adalah satu-satunya pertahanan yang bisa kuandalkan.Aku berjalan di depan, memimpin kelompok kecil ini dengan peta lusuh di tanganku. Sesekali, aku berhenti untuk memeriksa kompas dan memastikan kami tetap berada di jalur yang benar, atau setidaknya, jalur yang kupikir benar. Sanctuary... nama itu terus bergema di benakku. Tempat terakhir yang aman, kata orang-orang.

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-07

Bab terbaru

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Borobudur (13)

    Udara di sekitarku mulai membara, panas yang tak wajar menggantung di atmosfer. Kabut hitam perlahan-lahan menyebar, bergulung seperti makhluk hidup yang merespons sesuatu yang lebih besar. Aku bisa merasakan bulu kudukku berdiri. Sesuatu sedang terjadi.Julian mulai bangkit dari reruntuhan yang ia tabrak, ekspresinya kini dipenuhi kewaspadaan. Mata tajamnya menelusuri sosokku dari ujung kepala hingga ujung kaki. Dia sedang menganalisis, mengukur, mencoba memahami kekuatan yang baru saja aku tunjukkan."Menarik," gumamnya, suara rendahnya hampir tertelan oleh desisan energi yang bergetar di udara. "Jadi kau masih punya kartu truf yang belum kau tunjukkan, huh?"Di sebelahnya, Genta mengibaskan pedangnya yang berlapis api. Percikan berloncatan di udara, menciptakan suara mendesis saat menyentuh reruntuhan di sekitar. Aku bisa merasakan panasnya, meski berdiri cukup jauh. Mata Genta menyipit, penuh dengan ketegangan."Baiklah," katanya, nada suaranya bergetar dengan keyakinan yang tak t

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Borobudur (12)

    Udara di sekitar candi semakin panas, membuat dedaunan kering di tanah mulai berkerut dan terbakar perlahan. Tembok api yang menjulang tinggi mengelilingi mereka, lidah-lidah apinya menari liar, menciptakan suara gemeretak yang mengancam. Genta berdiri di seberang, wajahnya dipenuhi senyum puas saat dia melihat Raka yang terengah-engah di tengah arena yang telah mereka ciptakan. Tidak ada jalan keluar."Lebih baik kau menyerah," suara Reina menggema, terdengar seperti bisikan iblis yang menikmati penderitaan mangsanya. "Biar aku bisa merasakan bagaimana rasanya menumpahkan darah pahlawan terkuat."Raka berdiri dengan susah payah, keringat bercampur darah menetes dari pelipisnya, jatuh ke tanah yang mulai menghitam akibat suhu tinggi. Nafasnya berat, dadanya naik turun tidak beraturan. Aura biru di pedangnya yang sebelumnya bersinar terang kini mulai meredup, seakan merespons kelelahan pemiliknya. Namun, matanya tetap tajam, membara dengan tekad."Berisik," geramnya, sebelum mendorong

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Borobudur (11)

    Bayangan merayap di atas altar, menciptakan ilusi seakan dunia di dalam reruntuhan Borobudur itu sendiri menahan napas. Debu melayang di udara, terbawa gelombang energi yang memancar dari para petarung. Di antara reruntuhan yang bercahaya redup, tujuan mereka hanya satu: mutiara merah di atas altar yang memancarkan cahaya berdenyut seolah memiliki detak jantung sendiri. Reina melesat bagaikan bayangan yang menyatu dengan kegelapan. Tubuhnya bergerak lincah, hampir tak terlihat di antara celah-celah cahaya yang bersinar dari reruntuhan kuil. Cakarnya yang panjang berselimut energi hitam merobek udara, mengincar sosok Lina yang berdiri di tengah dengan tangan terangkat, membentuk barrier bercahaya emas. "Lihat di belakangmu, nona pahlawan." Suara Reina terdengar lirih, hampir seperti bisikan yang menyelinap ke dalam telinga Lina. Bibirnya melengkung dalam seringai tajam. Tepat sebelum cakar Reina menembus punggungnya, Lina mendengar teriakan dari belakang, "Lina, di belakangmu!" Di

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Borobudur (10)

    Hening menyelimuti medan pertempuran setelah ledakan dahsyat yang menghancurkan Banaspati. Hanya suara angin yang menderu pelan di antara reruntuhan yang tersisa. Debu masih melayang di udara, menciptakan siluet samar-samar yang kini berdiri di tengah sisa-sisa pertempuran.Langkah kaki kelompok Raka akhirnya terhenti saat mereka mendekati altar, di mana tiga orang yang tadi menyerang berdiri di hadapan relik mutiara merah. Batu-batu altar memancarkan sinar kemerahan, seperti merespons kehadiran mereka. Cahaya bulan yang tertutup awan memberikan kesan menyeramkan pada sosok-sosok yang berdiri di atasnya."Ho..." Suara lembut namun penuh ejekan terdengar. Reina menatap kelompok Raka dengan senyum miring, seolah menemukan mainan baru. "Ternyata ada yang selamat dari peliharaanku."Raka menatap Julian dengan sorot mata penuh kebencian. Rahangnya mengeras, dan genggaman pedangnya semakin erat. "Kau... Orang yang melawan Ardi Sanctum Perennial!"Julian menoleh santai, matanya yang berwarna

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Borobudur (9)

    Aku dan Ariel bersembunyi di balik salah satu pilar besar candi, napas kami tertahan, hanya bisa mengamati kejadian yang berlangsung di depan mata. Dari sela-sela reruntuhan batuan tua, aku bisa melihat dengan jelas bagaimana api berkobar di sekitar candi, menciptakan suasana neraka yang nyata. Bau hangus dari daging yang terbakar menyusup ke hidung, menyisakan rasa mual yang sulit ditepis."Apa yang harus kita lakukan?" bisik Ariel, suaranya hampir tenggelam oleh suara gemuruh pertempuran di depan.Aku mengangkat tangan kanan, mengisyaratkan agar dia tetap diam. "Tunggu," bisikku pelan. "Situasinya belum menguntungkan untuk kita terjun ke sana. Kita lihat saja dulu."Ariel mengangguk pelan, matanya tak lepas dari medan pertempuran. Aku bisa melihat ketegangan di wajahnya, keringat mengalir di pelipisnya meskipun udara sekitar terasa panas.Di tengah kekacauan, seorang tank dari kelompok itu menjerit marah. "Kau... siapa kau, bajingan?!" Matanya terpaku pada seorang wanita berambut pa

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Borobudur (8)

    Borobudur berdiri megah di hadapan kami, bukan lagi hanya sekadar peninggalan sejarah, melainkan pusat energi yang memancarkan aura mistis. Relief-relief yang terukir di dinding candi bersinar samar, mengeluarkan cahaya keemasan yang berdenyut seirama dengan napas dunia. Dari puncaknya, sinar merah menyala terang, berdenyut seperti jantung yang hidup, menarik perhatian siapa pun yang melihatnya. Itu dia, Relik Mutiara Merah—relik Eyang Api Sakti.Aku melangkah maju, ingin lebih dekat, tetapi tiba-tiba Ariel meraih tanganku. Cengkeramannya erat, dingin, meski udara di sekitar kami terasa panas akibat energi yang memancar dari Borobudur."Tunggu," suaranya bergetar, napasnya tak beraturan.Aku menoleh, melihat wajahnya yang pucat. Keringat dingin menetes di pelipisnya, matanya membelalak seolah baru saja menyaksikan sesuatu yang mengerikan. "Ada apa?" tanyaku."Aku baru saja mendapat penglihatan tentang apa yang akan terjadi di sini." Ia menelan ludah, matanya yang biasanya tenang kini

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Borobudur (7)

    Cahaya matahari pagi merayap masuk melalui celah-celah retakan dinding bangunan yang telah lama ditinggalkan. Debu di udara berkilauan dalam semburat keemasan, melayang-layang seolah menari di antara serpihan kehancuran. Udara pagi yang menusuk membuat napas kami terlihat dalam kepulan uap tipis, sebuah pengingat bahwa kami masih hidup—di dunia yang telah lama ditinggalkan harapan.Dari sudut ruangan, Ariel menggeliat pelan, lengannya terulur malas sementara mulutnya menguap kecil. Sisa kantuk masih membayang di wajahnya, tetapi ada ketenangan dalam sorot matanya—sesuatu yang jarang terlihat dalam dunia seperti ini. Ia mengusap kedua matanya sebelum akhirnya menoleh ke arahku dengan senyum tipis.“Selamat pagi,” gumamnya, suaranya terdengar lebih lembut dari angin yang berbisik di antara reruntuhan.Aku hanya mengangguk singkat, membiarkan keheningan tetap menggantung di antara kami. Pandanganku terus mengawasi setiap sudut ruangan, memastikan bahwa tak ada ancaman yang mengintai dala

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Borobudur (6)

    Dedaunan berbisik lirih di antara angin malam yang menggigil. Nafasku memburu, dada terasa berat seiring langkah kakiku dan Ariel yang menghantam tanah basah di bawah rimbun pepohonan. Kegelapan yang menyelimuti hutan terasa lebih pekat dari biasanya, dan firasat buruk menjalar di tubuhku saat aku menangkap sekilas bayangan besar bergerak di antara pepohonan.Suara ranting patah terdengar di belakang kami, membuat jantungku berdegup lebih kencang. "Cepat!" desakku, menarik tangan Ariel agar ia berlari lebih cepat.Ariel terengah-engah, suaranya putus-putus saat ia berusaha mengatur napas. "Apa kita akan berjalan tanpa arah?" suaranya nyaris tenggelam dalam suara desiran angin dan dedaunan yang berguguran. "Di malam sekelam ini?"Aku berhenti sejenak, menoleh ke arahnya. Wajahnya pucat, keringat dingin mengalir di pelipisnya meski udara begitu dingin. Aku tahu kami butuh istirahat, walau hanya beberapa detik. Tapi aku juga tahu bahwa makhluk itu masih di luar sana, mengintai.Aku menya

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Borobudur (5)

    Langkahku bergema di antara reruntuhan kota yang sunyi, hanya diiringi suara napas yang berhembus pelan. Tangan kananku mencengkeram erat gagang Trisula, merasakan dinginnya logam yang seakan menyatu dengan kulitku. Aku tahu Voidborn sudah dekat. Aroma busuk yang menyengat mulai menusuk hidungku, bercampur dengan debu yang beterbangan di udara.Namun, sebelum aku bisa melangkah lebih jauh, tangan Ariel mencengkram lenganku dengan cepat, menarikku ke balik tembok beton yang setengah runtuh. Aku menoleh tajam padanya, mata kami bertemu dalam kegelapan."Lebih baik kita tidak melawannya," bisiknya, nyaris tanpa suara. Napasnya terdengar sedikit tertahan, menandakan kecemasan yang ia coba redam.Aku menatapnya dingin. "Aku bisa mengalahkannya. Lebih baik kau bersembunyi saja."Ariel menggeleng, sorot matanya penuh keseriusan. "Aku tahu kau kuat," ucapnya lirih, "tapi kita tak tahu berapa banyak mereka. Dan jika kau menggunakan terlalu banyak energi sekarang, bagaimana kalau di perjalanan

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status