Share

Hanya pengamat (3)

last update Last Updated: 2024-12-08 12:23:52

Aku terus berlari tanpa arah, meninggalkan pria itu dan suara pedangnya yang menggema di dalam gedung. Setiap langkah terasa berat, setiap tarikan napas terasa menyakitkan, tapi aku gak berani berhenti. Kata-katanya masih terngiang di kepalaku: "Jika kau ingin hidup, jangan pernah berhenti bergerak."

Di luar gedung, kabut semakin tebal. Jalanan penuh reruntuhan dan kendaraan terbengkalai. Lampu jalan yang dulunya menyala sekarang hanya tiang-tiang kosong yang memproyeksikan bayangan aneh di kabut. Suara langkahku bergema di udara, tapi itu bukan satu-satunya suara yang aku dengar.

Ada sesuatu yang lain. Suara geraman rendah, jauh tapi cukup jelas untuk bikin bulu kudukku berdiri. Aku gak tau apa itu, tapi aku yakin itu bukan manusia. Apalagi setelah apa yang baru saja terjadi.

Aku belok ke gang sempit di sisi jalan, berharap bisa menemukan tempat berlindung sementara. Gang ini lebih gelap dari yang tadi, penuh dengan puing-puing dan pecahan kaca. Tapi di ujungnya, aku melihat sesuatu yang menarik perhatianku—sebuah pintu besi kecil dengan cahaya samar dari celahnya.

Aku mendekat perlahan, memastikan gak ada yang mengikuti. Begitu sampai di depan pintu, aku mendorongnya pelan. Pintu itu berderit, dan aku menemukan diriku di dalam ruangan kecil yang terlihat seperti bekas bunker atau ruang bawah tanah. Di dalamnya ada beberapa meja, kursi, dan lemari besi yang sudah karatan. Cahaya tadi ternyata berasal dari lampu kecil yang hampir mati di sudut ruangan.

Untuk pertama kalinya malam ini, aku merasa sedikit lega. Aku menutup pintu di belakangku dan menguncinya dengan kait yang ada di dalam.

Aku duduk di salah satu kursi tua, napas masih tersengal. Pikiranku penuh dengan pertanyaan. Apa sebenarnya yang terjadi di luar sana? Siapa pria itu? Dan kenapa aku terus terjebak dalam semua ini?

Aku mencoba mengatur napas, memejamkan mata sejenak. Tapi rasa lega itu gak bertahan lama. Dari luar, aku mendengar suara-suara lagi—langkah kaki yang berat, seperti tadi. Suaranya semakin mendekat.

Aku menahan napas. Pintu besi itu mungkin cukup kuat untuk menahan sesuatu yang biasa, tapi aku ragu bisa menahan Voidborn. Aku meraba-raba di sekitar, mencari sesuatu yang bisa digunakan untuk bertahan. Tanganku menemukan pipa besi pendek di sudut ruangan. Bukan senjata yang ideal, tapi lebih baik daripada kosong.

Langkah kaki itu berhenti tepat di depan pintu. Aku bisa mendengar suara geraman rendah, seperti makhluk itu sedang mencium udara, mencoba mencari aku. Aku berdiri diam, pipa besi di tangan, siap untuk apapun yang akan terjadi.

Tapi sebelum makhluk itu melakukan apa pun, suara lain terdengar di luar.

"Pergi. Ini bukan tempatmu," suara itu berat, dingin, dan sangat familiar. Aku menahan napas, mencoba mendengar lebih jelas.

Pria itu lagi.

Aku gak tau bagaimana dia bisa sampai di sini, atau kenapa dia terus muncul di mana pun aku berada. Tapi aku tahu satu hal: dia adalah satu-satunya alasan aku masih hidup sampai sekarang. Aku mendekati pintu, mencoba mendengar apa yang terjadi di luar.

Voidborn itu menggeram lebih keras, dan aku mendengar suara pedang yang sama seperti sebelumnya. Ledakan kecil menggema, membuat pintu besi bergetar. Tapi aku gak berani keluar. Aku hanya bisa berdiri di sana, menunggu.

Setelah beberapa saat, semuanya kembali hening.

Aku membuka pintu perlahan, dan di luar sana, pria itu berdiri lagi. Pedangnya penuh dengan cairan hitam yang menguap seperti asap. Wajahnya terlihat lebih lelah dari sebelumnya, tapi matanya masih tajam, penuh dengan determinasi.

"Kau keras kepala sekali," katanya, nadanya datar tapi terdengar kesal. "Berapa kali aku harus menyelamatkanmu?"

Aku gak tau harus bilang apa. Aku cuma berdiri di sana, merasa seperti anak kecil yang dimarahi orang dewasa.

Dia mendesah, lalu menoleh ke arah lain. "Kau gak akan bertahan lama kalau terus begini. Ikut aku."

Aku ragu sejenak. Tapi setelah semua yang terjadi, aku tahu aku gak punya pilihan lain. Aku hanya mengangguk, lalu mengikuti dia keluar dari gang.

Kami berjalan dalam diam. Dia gak bicara apa-apa, dan aku terlalu takut untuk membuka mulut. Tapi ada satu pertanyaan yang gak bisa aku tahan lebih lama.

"Siapa kau sebenarnya?" tanyaku akhirnya, suara ini hampir berbisik.

Dia berhenti sejenak, menoleh ke arahku. Matanya menatap tajam, seperti sedang menimbang apakah aku pantas tahu jawabannya.

"Namaku Raka," katanya singkat. "Dan aku adalah orang yang terjebak dalam Skenario ini, sama seperti kau."

"Skenario?" Aku mengulang kata itu, bingung. "Apa maksudmu?"

Dia menghela napas panjang. "Dunia ini bukan lagi seperti yang kau kenal. Semua orang yang masih hidup sekarang terjebak dalam permainan besar. Kita semua punya peran. Dan aku... aku adalah seseorang yang dipaksa untuk menyelamatkan dunia ini."

Aku gak ngerti sepenuhnya apa yang dia maksud, tapi satu hal yang jelas: dia berbeda dari aku. Dia bukan orang biasa. Dia adalah sesuatu yang lebih besar, lebih penting.

Dan aku? Aku cuma pengamat yang terseret ke dalam semua ini.

Aku gak tau apa yang akan terjadi selanjutnya, tapi satu hal yang pasti: bersamanya mungkin adalah satu-satunya cara aku bisa bertahan.

Aku terus mengikuti Raka melewati reruntuhan kota yang sekarang terasa seperti labirin besar. Jalanan dipenuhi puing-puing, kendaraan hancur, dan kadang-kadang, mayat yang sudah hampir tidak dikenali. Udara di sekitar kami masih berat, penuh dengan rasa tegang yang tak terlihat.

Raka berjalan dengan tenang, seperti sudah terbiasa dengan semua ini. Pedang besar yang ia bawa tetap tergantung di punggungnya, berkilauan samar di bawah sinar langit yang memancarkan cahaya aneh. Aku gak berani bertanya apa-apa lagi, meskipun otakku penuh dengan pertanyaan.

Setelah beberapa menit, kami tiba di sebuah bangunan besar yang tampaknya dulu adalah hotel. Plang nama di depannya sudah jatuh, tapi aku bisa mengenali sisa-sisa huruf "Grand..." sesuatu. Pintu masuknya setengah terbuka, dan di dalamnya hanya kegelapan.

"Masuk," kata Raka, tanpa menoleh ke arahku.

Aku menelan ludah, lalu mengikutinya ke dalam. Di dalam, suasana lebih sunyi dari luar. Hanya ada suara langkah kaki kami yang menggema. Aku bisa melihat bekas-bekas kemewahan di sini: lampu gantung besar yang sudah jatuh ke lantai, karpet merah yang compang-camping, dan meja resepsionis yang tertutup debu tebal.

"Kita aman di sini?" tanyaku, mencoba memecah keheningan yang membuatku semakin gelisah.

Raka berhenti di tengah ruangan, menatap ke arah tangga spiral yang runtuh sebagian. "Tidak ada tempat yang benar-benar aman," jawabnya singkat, seperti itu adalah fakta yang tak terbantahkan. "Tapi untuk sementara, kita bisa istirahat di sini."

Dia berjalan menuju sudut ruangan, duduk di atas sofa tua yang masih utuh. Aku ragu-ragu sejenak, lalu ikut duduk di lantai dekatnya. Aku memperhatikan dia mengeluarkan sesuatu dari kantong mantelnya—sebuah botol kecil dengan cairan biru terang di dalamnya. Dia membuka tutupnya, meneguk cairan itu, lalu mendesah.

"Minuman energi super?" tanyaku asal.

Dia melirikku sekilas, tapi tidak menjawab.

Aku menunduk, merasa bodoh. Tapi rasa ingin tahu ini gak bisa aku tahan lagi. "Kau tadi bilang soal Skenario. Semua orang punya peran, kan? Jadi... apa peranku?"

Dia menatapku lebih lama kali ini, seperti sedang menilai sesuatu. Lalu, dia berkata, "Kau tidak punya peran."

Aku terdiam. Jawaban itu seperti pukulan keras di wajah. "Maksudmu?"

"Skenario ini hanya memberi peran kepada mereka yang dianggap... penting. Kau hanyalah pengamat, bagian dari latar belakang," katanya, nadanya datar tapi terdengar tajam. "Kau bukan Hero, bukan Villain, bahkan bukan orang yang harus ikut misi. Kau hanya... ada."

Kata-katanya menggema di kepala. Aku ingin membantah, tapi gak ada argumen yang bisa aku berikan. Selama ini, aku memang merasa seperti itu—hanya orang biasa yang kebetulan masih hidup. Tidak ada yang spesial dariku.

"Tapi," tambahnya, "itu bukan berarti kau tidak berharga."

Aku menatapnya, bingung. "Maksudmu?"

Dia menyandarkan tubuhnya, menatap langit-langit hotel yang gelap. "Skenario ini adalah permainan besar, dibuat oleh sesuatu yang lebih besar dari kita semua. Orang-orang seperti aku, yang diberi peran, terjebak dalam aturan. Kami harus melakukan apa yang diperintahkan, atau dunia ini hancur. Tapi kau... kau bebas. Kau tidak terikat oleh aturan."

Aku tidak tahu apakah itu harus membuatku merasa lebih baik atau lebih buruk. Bebas? Apa gunanya kebebasan jika aku gak bisa melakukan apa-apa?

"Tapi aku tidak bisa melawan makhluk-makhluk itu," kataku pelan. "Aku bahkan gak tahu kenapa aku masih hidup."

"Itu karena mereka belum menganggapmu ancaman," jawab Raka. "Makhluk seperti Voidborn hanya peduli pada mereka yang dianggap penting dalam Skenario. Kau selamat karena mereka menganggapmu... tidak relevan."

Kata-kata itu terdengar kejam, tapi aku tahu dia tidak bermaksud seperti itu. Dia hanya jujur.

Sebelum aku bisa mengatakan apa-apa lagi, suara gemuruh terdengar dari luar. Raka langsung berdiri, pedangnya sudah di tangannya sebelum aku sadar apa yang terjadi.

"Apa itu?" tanyaku, suara ini bergetar.

Dia tidak menjawab. Sebaliknya, dia berjalan menuju pintu, mengintip keluar. Aku mengikuti dari jauh, jantungku berdetak kencang.

Di luar, kabut mulai bergerak dengan cara yang aneh, seperti berputar-putar di satu titik. Dari tengah pusaran itu, aku bisa melihat sesuatu mulai muncul—sesuatu yang besar, jauh lebih besar dari Voidborn yang pernah aku lihat sebelumnya.

"Keluar dari sini," kata Raka tanpa menoleh.

"Apa?" Aku menatapnya dengan bingung. "Keluar ke mana? Di luar sana—"

Dia menoleh tajam, matanya penuh dengan ketegasan. "Kalau kau tetap di sini, kau mati. Pergi sekarang!"

Aku membeku. Tubuhku menolak bergerak, tapi saat makhluk itu mulai menampakkan dirinya sepenuhnya, aku tahu aku tidak punya pilihan.

Dengan napas berat, aku berbalik dan mulai berlari ke arah pintu lain di sisi hotel. Langkahku terasa berat, tapi aku tahu ini satu-satunya cara untuk bertahan.

Di belakangku, aku mendengar suara ledakan besar, diikuti oleh gemuruh yang mengguncang seluruh bangunan. Raka sedang melawan sesuatu yang aku bahkan gak bisa bayangkan, dan aku hanya bisa terus berlari.

Aku tidak tahu ke mana aku pergi. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Tapi satu hal yang aku tahu pasti: dunia ini semakin kacau, dan aku hanya seorang pengamat yang mencoba bertahan hidup.

Related chapters

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Hanya pengamat (4)

    Aku terus berlari, keluar dari reruntuhan hotel, napas beratku terdengar seperti gemuruh di telingaku sendiri. Di belakangku, suara ledakan dan jeritan Voidborn masih terdengar, tapi semakin lama semakin jauh. Raka tetap tinggal untuk melawan makhluk itu. Kenapa dia melakukan semua itu? Kenapa dia repot-repot menyelamatkan aku? Aku bukan siapa-siapa, bahkan dia sendiri bilang aku gak punya peran. Lalu aku berhenti. Aku gak bisa terus lari tanpa tujuan. Kalau aku terus seperti ini, aku bakal mati cepat atau lambat. Tapi aku gak tahu harus ke mana. Dunia ini gak lagi terasa seperti tempat yang aku kenal. Aku melihat sekeliling. Kabut masih tebal, menutupi jalanan dan bangunan yang hancur. Tapi di ujung jalan, aku melihat sesuatu—lampu kecil yang berkedip-kedip, seperti ada orang di sana. Aku ragu sejenak, tapi rasa penasaran dan keputusasaan memaksaku untuk mendekat. Ketika aku sampai di sana, aku menemukan sebuah kendaraan lapuk yang diubah menjadi semacam tempat perlindungan ke

    Last Updated : 2024-12-08
  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Hanya pengamat (5)

    Pintu di belakang kami berderit pelan, tapi anehnya tidak ada yang masuk. Kami semua terdiam, tubuh tegang seperti senar gitar yang siap putus. Aku mencoba mengatur napas, tapi udara terasa berat di paru-paruku. “Kenapa gak langsung masuk?” bisik Mirna, matanya terpaku pada pintu yang setengah terbuka. “Voidborn gak pernah ragu.” “Karena itu mungkin bukan Voidborn,” kata pria tua dengan nada rendah. Dia menyalakan kembali senjata rakitannya, meskipun cahaya biru yang keluar mulai meredup, tanda kalau energinya hampir habis. Aku mengintip sedikit ke celah pintu, berharap mendapatkan jawaban. Tapi aku gak siap dengan apa yang aku lihat. Di balik pintu, ada seseorang—atau sesuatu—berdiri diam. Itu bukan Voidborn. Tubuhnya berbentuk manusia, tapi ada sesuatu yang salah. Bajunya compang-camping, dan kulitnya pucat seperti orang mati. Tapi yang paling menakutkan adalah matanya, kosong seperti lubang hitam yang dalam. “Siapa itu?” tanya pria muda di sudut ruangan, suaranya bergetar.

    Last Updated : 2024-12-08
  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Hanya pengamat (6)

    Ruangan itu kembali sunyi setelah kepergian Raka dan dua orang misterius lainnya. Namun, kesunyian itu terasa lebih berat daripada ketegangan sebelumnya. Aku, Mirna, dan yang lain hanya berdiri diam, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. "Apa kita cuma nunggu mati sekarang?" tanya Mirna, nadanya jelas kesal. Ia melipat tangan, menatapku seperti aku tahu apa yang harus dilakukan. Aku menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. "Oke, kita harus tetap tenang. Raka bilang kita bisa bertahan di sini sampai mereka selesai dengan tugas mereka." "Dan kalau Voidborn atau makhluk lain masuk?" tanya seorang pria muda di sudut. Aku baru sadar ia belum menyebutkan namanya sejak tadi. "Kita harus tahu nama masing-masing dulu," kataku tiba-tiba. "Kalau kita mau bertahan, kita harus saling percaya, dan itu dimulai dari nama." Semua menatapku, mungkin mengira aku gila. Tapi pria tua itu akhirnya mengangguk. "Dia benar. Kalau kita mati, setidaknya kita tahu siapa yang ada di sisi

    Last Updated : 2025-01-03
  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Hanya pengamat (7)

    Kami melangkah hati-hati di atas jembatan yang rapuh, angin dingin terus menerpa wajah, membuat kakiku gemetar. Di bawah jembatan, jurang gelap itu terasa seperti mulut raksasa yang siap menelan siapa pun yang terjatuh. Gatra memimpin di depan, langkahnya mantap meskipun jembatan berderak di setiap pijakannya. Aku mengikuti di belakangnya, dengan Mirna yang menuntun Ayu. Pak Rusdi dan Dika berada di barisan paling belakang, saling menjaga agar tidak ada yang tertinggal.“Kau yakin ini aman?” tanya Mirna, suaranya nyaris terkalahkan oleh hembusan angin. “Tidak ada yang aman di sini,” jawab Gatra tanpa menoleh. “Tapi ini satu-satunya jalan.” Langkah kami tiba-tiba terhenti ketika suara gemuruh pelan terdengar dari belakang. Aku menoleh dan melihat bayangan hitam Voidborn mulai muncul di sisi jembatan. Mata merah mereka bersinar menakutkan di kegelapan. “Cepat! Mereka datang!” seru Dika dengan nada panik. Gatra berlari leb

    Last Updated : 2025-01-03
  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Hanya pengamat (8)

    Setelah kejadian di jembatan, kami menemukan sebuah gua di tebing berbatu sebagai tempat perlindungan sementara. Gua itu gelap dan lembap, tapi cukup luas untuk menampung kami berlima. Dengan sisa tenaga, kami menyusun barikade seadanya di mulut gua, menggunakan batu-batu besar dan ranting pohon untuk berjaga-jaga dari serangan Voidborn. Malam pertama tanpa Gatra dan Pak Rusdi terasa seperti malam terpanjang dalam hidupku. Kami duduk melingkar di sekitar api kecil yang hampir tidak mampu mengusir dingin. Mirna membalut luka di kakinya, sementara Ayu bersandar di dinding gua dengan mata sembab. Dika hanya menatap kosong ke arah api, tangannya menggenggam sebuah pisau kecil yang ia temukan di jalan. “Ardi...” suara Mirna memecah keheningan. “Apa kita bisa... terus seperti ini?” Aku tidak langsung menjawab. Dalam kepalaku, bayangan Gatra dan Pak Rusdi terus muncul, seakan-akan mereka berdiri di hadapanku, menatap dengan senyum samar. “Kau harus bertahan,” kata Gatra dalam bayang

    Last Updated : 2025-01-04
  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Para penyintas

    Mobil tua kami akhirnya berhenti di ujung jalan berbatu, asap tipis mengepul dari kap mesin. Mirna mengumpat pelan, memukul setir dengan frustrasi. “Sial, mobil ini sudah tidak bisa jalan lagi,” gumamnya, matanya menatap nanar ke depan. Kami turun dari mobil, kaki-kaki kami terasa lemah setelah perjalanan panjang tanpa istirahat. Di kejauhan, bayangan bangunan kecil muncul di balik kabut pagi. Aku merasakan kelegaan sekaligus ketegangan yang aneh. Apakah ini pemukiman? Apakah mereka akan menerima kami? “Aku harap mereka tidak seperti Hunters,” bisik Ayu, suaranya penuh kecemasan. Dika memegang busur Gatra dengan erat, waspada terhadap setiap suara. “Kita tidak punya pilihan lain,” katanya singkat. Saat kami mendekati gerbang kayu yang tinggi, dua pria bersenjata muncul dari balik barikade. Wajah mereka penuh bekas luka, dan tatapan mereka tajam. “Berhenti di situ!” seru salah satu dari mereka. Senapannya diarahkan tepat ke dadaku. Aku mengangkat tangan perlahan, menun

    Last Updated : 2025-01-05
  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Para penyintas (2)

    Jeritan melengking memecah keheningan malam, menggema di udara dingin pemukiman. Membangunkan semua orang, jantung berdebar kencang setelah suara itu jeritan itu menggema. Tanpa pikir panjang, aku meraih parang yang tergeletak di sudut ruangan. “Voidborn,” bisik Mirna dengan suara gemetar, tangannya menggenggam lengan Ayu erat. Aku melangkah keluar dan langsung disambut pemandangan yang mengerikan. Salah satu barikade kayu di sisi timur telah hancur, dan sosok makhluk itu berdiri di tengah reruntuhan. Tubuhnya besar, hampir setinggi dua manusia dewasa, dengan kulit hitam kelam yang berkilauan di bawah cahaya api. Mata merahnya bersinar, menatap tajam ke arah para penyintas yang panik. Cakar tajamnya, sebesar belati, meneteskan cairan hitam pekat yang menguap saat menyentuh tanah. “Ke barat! Lindungi anak-anak!” teriak Bima, suaranya tegas meskipun wajahnya terlihat tegang. Dia berdiri di depan, memegang senapan, mencoba menenangkan kek

    Last Updated : 2025-01-05
  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Para penyintas (3)

    Malam itu menusuk dengan dinginnya, membuat setiap nafas kami terasa berat di udara yang lembab. Kabut tipis menyelimuti jalan berbatu yang kami pijak, seperti tabir rahasia yang melindungi dunia dari mata manusia. Aku menggenggam parang di tanganku, jari-jariku merasakan dingin logamnya—sebuah pengingat bahwa ini adalah satu-satunya pertahanan yang bisa diandalkan. Di belakangku, suara langkah kaki yang terseret menandai kelelahan yang kami semua rasakan."Sanctuary..." pikirku, memandang peta lusuh yang tergenggam di tangan kiriku. Garis-garis kabur di peta itu adalah satu-satunya petunjuk menuju apa yang dikatakan orang-orang sebagai tempat terakhir yang aman. Namun, harapan itu terasa seperti fatamorgana di tengah lautan kehancuran. Aku tidak yakin apa yang lebih berbahaya—percaya bahwa tempat itu nyata atau mengetahui bahwa itu hanyalah ilusi.Di belakang, Mirna dan Ayu berjalan dalam diam. Raut wajah mereka adalah cermin dari apa yang kurasakan—takut, lelah, tapi tidak punya pil

    Last Updated : 2025-01-07

Latest chapter

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Sanctum Perennial (13)

    Suara ledakan besar mengguncang seluruh penjara bawah tanah, menggema seperti guntur yang mengoyak langit. Dinding-dinding batu yang kokoh runtuh dalam hitungan detik, debu tebal menyelimuti ruangan, mengaburkan pandangan dan membuat napas terasa berat. Rasa panas dari ledakan masih terasa di kulitku, seperti bara yang baru saja padam. Aku terduduk di lantai, tubuhku terguncang, sementara debu-debu halus mengendap di rambut dan pakaianku.Lalu, langkah kaki bergema di antara reruntuhan, suara beratnya mengguncang lantai yang kini tertutup puing. Ada sesuatu yang aneh dan familiar dari suara itu, sebuah memori yang muncul samar-samar dari masa lalu. Aku memicingkan mata, mencoba melihat melalui kabut debu yang menari di udara. Sesosok pria perlahan muncul dari balik kabut, bayangan tubuhnya kian jelas. Pedang besar tergantung di punggungnya, mengkilap meski dikelilingi debu dan darah. Dia berhenti tepat di depanku, menatapku seolah menilai kerusakan yang telah terjadi.Tanpa berkata ap

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Sanctum Perennial (12)

    Tetesan air bergema dalam ruang gelap, bergabung dengan suara samar gerakan tikus di sudut-sudut. Aroma amis darah bercampur logam menguar tajam, membuat hidung perih dan perut mual. Di lantai berbatu yang licin, jejak-jejak merah menciptakan pola acak, dan di tengahnya, tubuh teman-temanku tergeletak tak bernyawa, wajah mereka membeku dalam ekspresi putus asa yang membuat dadaku terasa sesak. Cahaya redup dari lentera yang hampir mati menambah kesan muram, bayangannya menari di dinding seperti ejekan dari kegelapan.Semua ini salahku. Aku yang mengirim mereka ke neraka ini, dan sekarang tubuh mereka dingin di lantai berbatu. Aku bisa melihat wajah Mia, Mirna, Ayu, dan Dika yang penuh harapan... harapan yang akan segera hancur seperti yang lain. Aku tak berdaya. Apa pun yang kulakukan, aku hanya akan membawa mereka menuju kematian. Andai saja aku memiliki kekuatan untuk melindungi mereka, andai saja aku diberi peran dalam skenario busuk ini. Tapi aku hanya pion tanpa guna, menonton tra

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Sanctum Perennial (11)

    Ketika langkah-langkah Davin dan para prajurit Wardens mulai menjauh, kesunyian kembali menyelimuti ruangan seperti selimut kematian. Aku terduduk lemas, tubuhku bergetar hebat, rantai di pergelangan tanganku terasa seperti bara api yang membakar kulitku. Pandanganku terpaku pada genangan darah yang semakin meluas di lantai. Kepala Rei dan Bu Sri, dua orang yang pernah memberiku harapan dalam neraka ini, kini hanya menjadi simbol kegagalanku.“Ardi...” suara Nina memanggilku lagi, kali ini disertai isakan yang tak tertahankan dengan suara yang lebih jelas karena kain yang ada di mulutnya mulai terlepas. Matanya yang lebar dan kosong terpaku pada kepala Rei dan Bu Sri, tubuhnya mengguncang liar seolah mencoba melepaskan diri dari kenyataan yang mengerikan ini. Dia meronta, berusaha mendekat meski rantai di pergelangan tangannya mencengkeram erat, seperti jebakan kejam yang menolak melepaskannya."Rei... Bu Sri... Hendra..." gumam Nina, suaranya pecah menjadi jeritan memilukan. "Tidak!

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Sanctum Perennial (10)

    Pandanganku terhenti di tengah keheningan yang mencekik, jantungku berdetak seperti genderang perang di kejauhan. Kegelapan ruangan ini terasa menyatu dengan udara, menekan dadaku seperti beban yang tak kasat mata. Bayangan Hendra yang tergeletak di lantai menjelma menjadi mimpi buruk yang enggan hilang. Tapi itu belum seberapa; kegelapan lain mulai menjalari pikiranku, menyelinap seperti racun ke dalam setiap sudut kesadaranku. Sesuatu yang lebih mengerikan, lebih mencekam, perlahan menyerap apa yang tersisa dari keberanianku.“Ardi…,” suara lembut itu mengalun, seperti bisikan angin yang membawa gelombang dingin menyusup ke dalam tulang. Aku mengenalnya. Suara yang sudah lama terkubur dalam ingatan, tetapi kini kembali seperti mimpi buruk yang menolak untuk dilupakan. Tubuhku gemetar tanpa kendali, dan ketika aku perlahan menoleh, bayangannya muncul.Ibuku.Dia berdiri di sana, tubuhnya bagaikan siluet yang muncul dari kegelapan, tapi detail wajahnya begitu nyata hingga menusuk inga

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Sanctum Perennial (9)

    Dingin menjalari kulitku, meski ruangan ini terasa pengap dan penuh udara busuk. Gelap di sekelilingku tidak lagi membuatku takut, karena yang aku takutkan sekarang adalah suara langkah berat yang akan segera mendekat. Tidak perlu menunggu lama, suara itu akhirnya datang. Davin berdiri di balik jeruji dengan tatapan puas. Di belakangnya, dua Wardens menyeret tubuh-tubuh lemah Nina, Drian, dan Hendra.Mereka dibawa ke hadapanku, masing-masing dengan tangan terikat di belakang punggung dan kain kotor membungkam mulut mereka. Mata Nina yang biasanya penuh semangat kini hanya menyiratkan ketakutan. Drian tampak berusaha melawan, tetapi tubuhnya yang penuh luka membuatnya sulit untuk berdiri tegak. Hendra, yang paling pendiam di antara kami, tidak berani mengangkat wajahnya.Davin berdehem pelan, lalu memandangku dengan senyuman miring yang penuh kebencian. "Ardi, kau tahu kenapa mereka di sini, bukan?" tanyanya, suaranya terdengar seperti pisau yang mengiris perlahan.Aku tidak menjawab,

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Sanctum Perennial (8)

    Pagi di Sanctum terasa lebih dingin dari biasanya, tapi bukan hanya suhu udara yang membuat tubuhku merinding—melainkan tatapan tajam Mirna yang menusuk, seakan menyelami pikiranku hingga ke dasar. Ia berdiri hanya beberapa langkah dariku, sikapnya tegap dan penuh kontrol."Ardi," katanya, suaranya datar namun sarat dengan tekanan. "Kemana saja kau setiap malam, apa yang kau lakukan?"Aku membuka mulut, mencoba merangkai jawaban, tapi Mirna memotongku sebelum satu kata pun keluar."Keributan semalam apa ini ulahmu juga." ucapnya tanpa memberiku jeda. "Apa yang kau cari Ardi, tanpa melibatkan kita semua, apa kau tak percaya pada kami?"Dadaku berdegup kencang. Aku melihat ke arah pintu, memastikan tidak ada orang lain yang mendengar. "Mirna, ini bukan saatnya untuk–""Untuk apa?" ia menyelaku dengan nada penuh emosi. "Untuk mempercayaimu begitu saja? Kau menyembunyikan sesuatu, dan aku tidak akan diam melihat kita semua berada dalam bahaya!"Aku terdiam, mencoba merangkai jawaban yang

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Sanctum Perennial (7)

    Lorong-lorong gelap Sanctum berubah menjadi labirin yang terasa semakin sempit seiring suara sirene yang menggema di seluruh penjuru. Alarm yang nyaring itu menggigit telinga, menciptakan ketegangan yang menekan dada kami. Aku memimpin kelompok kami keluar dari laboratorium, mencoba mengingat setiap tikungan dan lorong tersembunyi yang pernah disebutkan Drian. Di belakangku, Nina terengah-engah sambil memegangi luka kecil di lengannya yang didapat saat merunduk dari salah satu rak logam.“Kita tidak bisa kembali ke gudang,” bisik Drian, matanya melirik ke sekeliling, mencari alternatif. “Mereka akan menyisir setiap sudut Sanctum.”“Kalau begitu, ke mana kita harus pergi?” tanya Hendra dengan nada mendesak.Sebelum aku sempat menjawab, langkah-langkah kaki berat terdengar mendekat. Kami semua terpaku sejenak, lalu tanpa berpikir panjang, aku mengisyaratkan agar kami berlindung di balik pintu baja kecil yang sedikit terbuka. Kami masuk satu per satu dengan cepat, menutup pintu itu denga

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Sanctum Perennial (6)

    Keesokan harinya, langit Sanctum masih kelabu, seakan-akan mendung itu enggan pergi. Langkah-langkah para penghuni terdengar tergesa-gesa di lorong-lorong, dan suasana semakin terasa menyesakkan. Aku tak bisa mengenyahkan rasa gelisah yang menyelubungi pikiranku sejak pertemuan tadi malam. Tawaran Davin masih bergema di benakku seperti jerat yang tak kasat mata.Di ruang arsip, aku duduk bersama Drian, Ayu, dan beberapa anggota faksi Archivists lainnya. Suara gemerisik kertas menjadi latar belakang monoton yang biasanya menenangkan, tetapi hari ini terasa lebih menekan. Drian, seperti biasa, sibuk dengan dokumen-dokumennya. Namun, aku tahu pikirannya tidak sepenuhnya terfokus. Pandangannya sering melayang ke arahku, seolah ingin mengatakan sesuatu, tetapi selalu mengurungkan niatnya.Akhirnya, dia tak tahan lagi. "Ardi," bisiknya pelan, memastikan tak ada yang mendengar. "Kau harus berhati-hati dengan Davin. Aku tak tahu apa yang dia rencanakan, tapi aku yakin dia tidak akan menawarka

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Sanctum Perennial (5)

    Keesokan harinya, suasana Sanctum terasa lebih berat dari biasanya. Langit yang biasanya cerah kini tertutup awan kelabu, seolah mencerminkan perasaan gelisah yang mulai meresap di antara kami semua. Para penghuni berjalan lebih cepat dari biasanya, dengan kepala tertunduk dan langkah tergesa-gesa.Saat aku sedang menyusun arsip di ruang Archivists, Drian menghampiriku. Wajahnya tampak serius, lebih dari biasanya. Dia menyodorkan secarik kertas kecil, nyaris tersembunyi di antara tumpukan dokumen yang dia bawa.“Ini yang berhasil kudapatkan,” bisiknya. “Aku belum bisa mengakses keseluruhan dokumen itu, tapi ada satu kalimat yang menarik perhatian.”Aku membuka kertas kecil itu dan membaca tulisan yang ditulis dengan tergesa-gesa:“Penyintas adalah wadah kosong untuk pemeran, dan untuk menciptakan pemeran buatan maka di butuhkan inti kekuatan dari seorang pemeran murni.”Kalimat itu menancap dalam pikiranku. Apa maksudnya? Siapa yang dimaksud dengan pemeran murni? Apakah orang-orang se

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status