Share

Hanya pengamat (3)

last update Last Updated: 2024-12-08 12:23:52

Aku terus berlari tanpa arah, meninggalkan pria itu dan suara pedangnya yang menggema di dalam gedung. Setiap langkah terasa berat, setiap tarikan napas terasa menyakitkan, tapi aku gak berani berhenti. Kata-katanya masih terngiang di kepalaku: "Jika kau ingin hidup, jangan pernah berhenti bergerak."

Di luar gedung, kabut semakin tebal. Jalanan penuh reruntuhan dan kendaraan terbengkalai. Lampu jalan yang dulunya menyala sekarang hanya tiang-tiang kosong yang memproyeksikan bayangan aneh di kabut. Suara langkahku bergema di udara, tapi itu bukan satu-satunya suara yang aku dengar.

Ada sesuatu yang lain. Suara geraman rendah, jauh tapi cukup jelas untuk bikin bulu kudukku berdiri. Aku gak tau apa itu, tapi aku yakin itu bukan manusia. Apalagi setelah apa yang baru saja terjadi.

Aku belok ke gang sempit di sisi jalan, berharap bisa menemukan tempat berlindung sementara. Gang ini lebih gelap dari yang tadi, penuh dengan puing-puing dan pecahan kaca. Tapi di ujungnya, aku melihat sesuatu yang menarik perhatianku—sebuah pintu besi kecil dengan cahaya samar dari celahnya.

Aku mendekat perlahan, memastikan gak ada yang mengikuti. Begitu sampai di depan pintu, aku mendorongnya pelan. Pintu itu berderit, dan aku menemukan diriku di dalam ruangan kecil yang terlihat seperti bekas bunker atau ruang bawah tanah. Di dalamnya ada beberapa meja, kursi, dan lemari besi yang sudah karatan. Cahaya tadi ternyata berasal dari lampu kecil yang hampir mati di sudut ruangan.

Untuk pertama kalinya malam ini, aku merasa sedikit lega. Aku menutup pintu di belakangku dan menguncinya dengan kait yang ada di dalam.

Aku duduk di salah satu kursi tua, napas masih tersengal. Pikiranku penuh dengan pertanyaan. Apa sebenarnya yang terjadi di luar sana? Siapa pria itu? Dan kenapa aku terus terjebak dalam semua ini?

Aku mencoba mengatur napas, memejamkan mata sejenak. Tapi rasa lega itu gak bertahan lama. Dari luar, aku mendengar suara-suara lagi—langkah kaki yang berat, seperti tadi. Suaranya semakin mendekat.

Aku menahan napas. Pintu besi itu mungkin cukup kuat untuk menahan sesuatu yang biasa, tapi aku ragu bisa menahan Voidborn. Aku meraba-raba di sekitar, mencari sesuatu yang bisa digunakan untuk bertahan. Tanganku menemukan pipa besi pendek di sudut ruangan. Bukan senjata yang ideal, tapi lebih baik daripada kosong.

Langkah kaki itu berhenti tepat di depan pintu. Aku bisa mendengar suara geraman rendah, seperti makhluk itu sedang mencium udara, mencoba mencari aku. Aku berdiri diam, pipa besi di tangan, siap untuk apapun yang akan terjadi.

Tapi sebelum makhluk itu melakukan apa pun, suara lain terdengar di luar.

"Pergi. Ini bukan tempatmu," suara itu berat, dingin, dan sangat familiar. Aku menahan napas, mencoba mendengar lebih jelas.

Pria itu lagi.

Aku gak tau bagaimana dia bisa sampai di sini, atau kenapa dia terus muncul di mana pun aku berada. Tapi aku tahu satu hal: dia adalah satu-satunya alasan aku masih hidup sampai sekarang. Aku mendekati pintu, mencoba mendengar apa yang terjadi di luar.

Voidborn itu menggeram lebih keras, dan aku mendengar suara pedang yang sama seperti sebelumnya. Ledakan kecil menggema, membuat pintu besi bergetar. Tapi aku gak berani keluar. Aku hanya bisa berdiri di sana, menunggu.

Setelah beberapa saat, semuanya kembali hening.

Aku membuka pintu perlahan, dan di luar sana, pria itu berdiri lagi. Pedangnya penuh dengan cairan hitam yang menguap seperti asap. Wajahnya terlihat lebih lelah dari sebelumnya, tapi matanya masih tajam, penuh dengan determinasi.

"Kau keras kepala sekali," katanya, nadanya datar tapi terdengar kesal. "Berapa kali aku harus menyelamatkanmu?"

Aku gak tau harus bilang apa. Aku cuma berdiri di sana, merasa seperti anak kecil yang dimarahi orang dewasa.

Dia mendesah, lalu menoleh ke arah lain. "Kau gak akan bertahan lama kalau terus begini. Ikut aku."

Aku ragu sejenak. Tapi setelah semua yang terjadi, aku tahu aku gak punya pilihan lain. Aku hanya mengangguk, lalu mengikuti dia keluar dari gang.

Kami berjalan dalam diam. Dia gak bicara apa-apa, dan aku terlalu takut untuk membuka mulut. Tapi ada satu pertanyaan yang gak bisa aku tahan lebih lama.

"Siapa kau sebenarnya?" tanyaku akhirnya, suara ini hampir berbisik.

Dia berhenti sejenak, menoleh ke arahku. Matanya menatap tajam, seperti sedang menimbang apakah aku pantas tahu jawabannya.

"Namaku Raka," katanya singkat. "Dan aku adalah orang yang terjebak dalam Skenario ini, sama seperti kau."

"Skenario?" Aku mengulang kata itu, bingung. "Apa maksudmu?"

Dia menghela napas panjang. "Dunia ini bukan lagi seperti yang kau kenal. Semua orang yang masih hidup sekarang terjebak dalam permainan besar. Kita semua punya peran. Dan aku... aku adalah seseorang yang dipaksa untuk menyelamatkan dunia ini."

Aku gak ngerti sepenuhnya apa yang dia maksud, tapi satu hal yang jelas: dia berbeda dari aku. Dia bukan orang biasa. Dia adalah sesuatu yang lebih besar, lebih penting.

Dan aku? Aku cuma pengamat yang terseret ke dalam semua ini.

Aku gak tau apa yang akan terjadi selanjutnya, tapi satu hal yang pasti: bersamanya mungkin adalah satu-satunya cara aku bisa bertahan.

Aku terus mengikuti Raka melewati reruntuhan kota yang sekarang terasa seperti labirin besar. Jalanan dipenuhi puing-puing, kendaraan hancur, dan kadang-kadang, mayat yang sudah hampir tidak dikenali. Udara di sekitar kami masih berat, penuh dengan rasa tegang yang tak terlihat.

Raka berjalan dengan tenang, seperti sudah terbiasa dengan semua ini. Pedang besar yang ia bawa tetap tergantung di punggungnya, berkilauan samar di bawah sinar langit yang memancarkan cahaya aneh. Aku gak berani bertanya apa-apa lagi, meskipun otakku penuh dengan pertanyaan.

Setelah beberapa menit, kami tiba di sebuah bangunan besar yang tampaknya dulu adalah hotel. Plang nama di depannya sudah jatuh, tapi aku bisa mengenali sisa-sisa huruf "Grand..." sesuatu. Pintu masuknya setengah terbuka, dan di dalamnya hanya kegelapan.

"Masuk," kata Raka, tanpa menoleh ke arahku.

Aku menelan ludah, lalu mengikutinya ke dalam. Di dalam, suasana lebih sunyi dari luar. Hanya ada suara langkah kaki kami yang menggema. Aku bisa melihat bekas-bekas kemewahan di sini: lampu gantung besar yang sudah jatuh ke lantai, karpet merah yang compang-camping, dan meja resepsionis yang tertutup debu tebal.

"Kita aman di sini?" tanyaku, mencoba memecah keheningan yang membuatku semakin gelisah.

Raka berhenti di tengah ruangan, menatap ke arah tangga spiral yang runtuh sebagian. "Tidak ada tempat yang benar-benar aman," jawabnya singkat, seperti itu adalah fakta yang tak terbantahkan. "Tapi untuk sementara, kita bisa istirahat di sini."

Dia berjalan menuju sudut ruangan, duduk di atas sofa tua yang masih utuh. Aku ragu-ragu sejenak, lalu ikut duduk di lantai dekatnya. Aku memperhatikan dia mengeluarkan sesuatu dari kantong mantelnya—sebuah botol kecil dengan cairan biru terang di dalamnya. Dia membuka tutupnya, meneguk cairan itu, lalu mendesah.

"Minuman energi super?" tanyaku asal.

Dia melirikku sekilas, tapi tidak menjawab.

Aku menunduk, merasa bodoh. Tapi rasa ingin tahu ini gak bisa aku tahan lagi. "Kau tadi bilang soal Skenario. Semua orang punya peran, kan? Jadi... apa peranku?"

Dia menatapku lebih lama kali ini, seperti sedang menilai sesuatu. Lalu, dia berkata, "Kau tidak punya peran."

Aku terdiam. Jawaban itu seperti pukulan keras di wajah. "Maksudmu?"

"Skenario ini hanya memberi peran kepada mereka yang dianggap... penting. Kau hanyalah pengamat, bagian dari latar belakang," katanya, nadanya datar tapi terdengar tajam. "Kau bukan Hero, bukan Villain, bahkan bukan orang yang harus ikut misi. Kau hanya... ada."

Kata-katanya menggema di kepala. Aku ingin membantah, tapi gak ada argumen yang bisa aku berikan. Selama ini, aku memang merasa seperti itu—hanya orang biasa yang kebetulan masih hidup. Tidak ada yang spesial dariku.

"Tapi," tambahnya, "itu bukan berarti kau tidak berharga."

Aku menatapnya, bingung. "Maksudmu?"

Dia menyandarkan tubuhnya, menatap langit-langit hotel yang gelap. "Skenario ini adalah permainan besar, dibuat oleh sesuatu yang lebih besar dari kita semua. Orang-orang seperti aku, yang diberi peran, terjebak dalam aturan. Kami harus melakukan apa yang diperintahkan, atau dunia ini hancur. Tapi kau... kau bebas. Kau tidak terikat oleh aturan."

Aku tidak tahu apakah itu harus membuatku merasa lebih baik atau lebih buruk. Bebas? Apa gunanya kebebasan jika aku gak bisa melakukan apa-apa?

"Tapi aku tidak bisa melawan makhluk-makhluk itu," kataku pelan. "Aku bahkan gak tahu kenapa aku masih hidup."

"Itu karena mereka belum menganggapmu ancaman," jawab Raka. "Makhluk seperti Voidborn hanya peduli pada mereka yang dianggap penting dalam Skenario. Kau selamat karena mereka menganggapmu... tidak relevan."

Kata-kata itu terdengar kejam, tapi aku tahu dia tidak bermaksud seperti itu. Dia hanya jujur.

Sebelum aku bisa mengatakan apa-apa lagi, suara gemuruh terdengar dari luar. Raka langsung berdiri, pedangnya sudah di tangannya sebelum aku sadar apa yang terjadi.

"Apa itu?" tanyaku, suara ini bergetar.

Dia tidak menjawab. Sebaliknya, dia berjalan menuju pintu, mengintip keluar. Aku mengikuti dari jauh, jantungku berdetak kencang.

Di luar, kabut mulai bergerak dengan cara yang aneh, seperti berputar-putar di satu titik. Dari tengah pusaran itu, aku bisa melihat sesuatu mulai muncul—sesuatu yang besar, jauh lebih besar dari Voidborn yang pernah aku lihat sebelumnya.

"Keluar dari sini," kata Raka tanpa menoleh.

"Apa?" Aku menatapnya dengan bingung. "Keluar ke mana? Di luar sana—"

Dia menoleh tajam, matanya penuh dengan ketegasan. "Kalau kau tetap di sini, kau mati. Pergi sekarang!"

Aku membeku. Tubuhku menolak bergerak, tapi saat makhluk itu mulai menampakkan dirinya sepenuhnya, aku tahu aku tidak punya pilihan.

Dengan napas berat, aku berbalik dan mulai berlari ke arah pintu lain di sisi hotel. Langkahku terasa berat, tapi aku tahu ini satu-satunya cara untuk bertahan.

Di belakangku, aku mendengar suara ledakan besar, diikuti oleh gemuruh yang mengguncang seluruh bangunan. Raka sedang melawan sesuatu yang aku bahkan gak bisa bayangkan, dan aku hanya bisa terus berlari.

Aku tidak tahu ke mana aku pergi. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Tapi satu hal yang aku tahu pasti: dunia ini semakin kacau, dan aku hanya seorang pengamat yang mencoba bertahan hidup.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Hanya pengamat (4)

    Aku terus berlari, keluar dari reruntuhan hotel, napas beratku terdengar seperti gemuruh di telingaku sendiri. Di belakangku, suara ledakan dan jeritan Voidborn masih terdengar, tapi semakin lama semakin jauh. Raka tetap tinggal untuk melawan makhluk itu. Kenapa dia melakukan semua itu? Kenapa dia repot-repot menyelamatkan aku? Aku bukan siapa-siapa, bahkan dia sendiri bilang aku gak punya peran. Lalu aku berhenti. Aku gak bisa terus lari tanpa tujuan. Kalau aku terus seperti ini, aku bakal mati cepat atau lambat. Tapi aku gak tahu harus ke mana. Dunia ini gak lagi terasa seperti tempat yang aku kenal. Aku melihat sekeliling. Kabut masih tebal, menutupi jalanan dan bangunan yang hancur. Tapi di ujung jalan, aku melihat sesuatu—lampu kecil yang berkedip-kedip, seperti ada orang di sana. Aku ragu sejenak, tapi rasa penasaran dan keputusasaan memaksaku untuk mendekat. Ketika aku sampai di sana, aku menemukan sebuah kendaraan lapuk yang diubah menjadi semacam tempat perlindungan ke

    Last Updated : 2024-12-08
  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Hanya pengamat (5)

    Pintu di belakang kami berderit pelan, tapi anehnya tidak ada yang masuk. Kami semua terdiam, tubuh tegang seperti senar gitar yang siap putus. Aku mencoba mengatur napas, tapi udara terasa berat di paru-paruku. “Kenapa gak langsung masuk?” bisik Mirna, matanya terpaku pada pintu yang setengah terbuka. “Voidborn gak pernah ragu.” “Karena itu mungkin bukan Voidborn,” kata pria tua dengan nada rendah. Dia menyalakan kembali senjata rakitannya, meskipun cahaya biru yang keluar mulai meredup, tanda kalau energinya hampir habis. Aku mengintip sedikit ke celah pintu, berharap mendapatkan jawaban. Tapi aku gak siap dengan apa yang aku lihat. Di balik pintu, ada seseorang—atau sesuatu—berdiri diam. Itu bukan Voidborn. Tubuhnya berbentuk manusia, tapi ada sesuatu yang salah. Bajunya compang-camping, dan kulitnya pucat seperti orang mati. Tapi yang paling menakutkan adalah matanya, kosong seperti lubang hitam yang dalam. “Siapa itu?” tanya pria muda di sudut ruangan, suaranya bergetar.

    Last Updated : 2024-12-08
  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Hanya pengamat (6)

    Ruangan itu kembali sunyi setelah kepergian Raka dan dua orang misterius lainnya. Namun, kesunyian itu terasa lebih berat daripada ketegangan sebelumnya. Aku, Mirna, dan yang lain hanya berdiri diam, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. "Apa kita cuma nunggu mati sekarang?" tanya Mirna, nadanya jelas kesal. Ia melipat tangan, menatapku seperti aku tahu apa yang harus dilakukan. Aku menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. "Oke, kita harus tetap tenang. Raka bilang kita bisa bertahan di sini sampai mereka selesai dengan tugas mereka." "Dan kalau Voidborn atau makhluk lain masuk?" tanya seorang pria muda di sudut. Aku baru sadar ia belum menyebutkan namanya sejak tadi. "Kita harus tahu nama masing-masing dulu," kataku tiba-tiba. "Kalau kita mau bertahan, kita harus saling percaya, dan itu dimulai dari nama." Semua menatapku, mungkin mengira aku gila. Tapi pria tua itu akhirnya mengangguk. "Dia benar. Kalau kita mati, setidaknya kita tahu siapa yang ada di sisi

    Last Updated : 2025-01-03
  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Hanya pengamat (7)

    Kami melangkah hati-hati di atas jembatan yang rapuh, angin dingin terus menerpa wajah, membuat kakiku gemetar. Di bawah jembatan, jurang gelap itu terasa seperti mulut raksasa yang siap menelan siapa pun yang terjatuh. Gatra memimpin di depan, langkahnya mantap meskipun jembatan berderak di setiap pijakannya. Aku mengikuti di belakangnya, dengan Mirna yang menuntun Ayu. Pak Rusdi dan Dika berada di barisan paling belakang, saling menjaga agar tidak ada yang tertinggal.“Kau yakin ini aman?” tanya Mirna, suaranya nyaris terkalahkan oleh hembusan angin. “Tidak ada yang aman di sini,” jawab Gatra tanpa menoleh. “Tapi ini satu-satunya jalan.” Langkah kami tiba-tiba terhenti ketika suara gemuruh pelan terdengar dari belakang. Aku menoleh dan melihat bayangan hitam Voidborn mulai muncul di sisi jembatan. Mata merah mereka bersinar menakutkan di kegelapan. “Cepat! Mereka datang!” seru Dika dengan nada panik. Gatra berlari leb

    Last Updated : 2025-01-03
  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Hanya pengamat (8)

    Setelah kejadian di jembatan, kami menemukan sebuah gua di tebing berbatu sebagai tempat perlindungan sementara. Gua itu gelap dan lembap, tapi cukup luas untuk menampung kami berlima. Dengan sisa tenaga, kami menyusun barikade seadanya di mulut gua, menggunakan batu-batu besar dan ranting pohon untuk berjaga-jaga dari serangan Voidborn. Malam pertama tanpa Gatra dan Pak Rusdi terasa seperti malam terpanjang dalam hidupku. Kami duduk melingkar di sekitar api kecil yang hampir tidak mampu mengusir dingin. Mirna membalut luka di kakinya, sementara Ayu bersandar di dinding gua dengan mata sembab. Dika hanya menatap kosong ke arah api, tangannya menggenggam sebuah pisau kecil yang ia temukan di jalan. “Ardi...” suara Mirna memecah keheningan. “Apa kita bisa... terus seperti ini?” Aku tidak langsung menjawab. Dalam kepalaku, bayangan Gatra dan Pak Rusdi terus muncul, seakan-akan mereka berdiri di hadapanku, menatap dengan senyum samar. “Kau harus bertahan,” kata Gatra dalam bayang

    Last Updated : 2025-01-04
  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Para penyintas

    Mobil tua kami akhirnya berhenti di ujung jalan berbatu, asap tipis mengepul dari kap mesin. Mirna mengumpat pelan, memukul setir dengan frustrasi. “Sial, mobil ini sudah tidak bisa jalan lagi,” gumamnya, matanya menatap nanar ke depan. Kami turun dari mobil, kaki-kaki kami terasa lemah setelah perjalanan panjang tanpa istirahat. Di kejauhan, bayangan bangunan kecil muncul di balik kabut pagi. Aku merasakan kelegaan sekaligus ketegangan yang aneh. Apakah ini pemukiman? Apakah mereka akan menerima kami? “Aku harap mereka tidak seperti Hunters,” bisik Ayu, suaranya penuh kecemasan. Dika memegang busur Gatra dengan erat, waspada terhadap setiap suara. “Kita tidak punya pilihan lain,” katanya singkat. Saat kami mendekati gerbang kayu yang tinggi, dua pria bersenjata muncul dari balik barikade. Wajah mereka penuh bekas luka, dan tatapan mereka tajam. “Berhenti di situ!” seru salah satu dari mereka. Senapannya diarahkan tepat ke dadaku. Aku mengangkat tangan perlahan, menun

    Last Updated : 2025-01-05
  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Para penyintas (2)

    Jeritan melengking memecah keheningan malam, menggema di udara dingin pemukiman. Membangunkan semua orang, jantung berdebar kencang setelah suara itu jeritan itu menggema. Tanpa pikir panjang, aku meraih parang yang tergeletak di sudut ruangan. “Voidborn,” bisik Mirna dengan suara gemetar, tangannya menggenggam lengan Ayu erat. Aku melangkah keluar dan langsung disambut pemandangan yang mengerikan. Salah satu barikade kayu di sisi timur telah hancur, dan sosok makhluk itu berdiri di tengah reruntuhan. Tubuhnya besar, hampir setinggi dua manusia dewasa, dengan kulit hitam kelam yang berkilauan di bawah cahaya api. Mata merahnya bersinar, menatap tajam ke arah para penyintas yang panik. Cakar tajamnya, sebesar belati, meneteskan cairan hitam pekat yang menguap saat menyentuh tanah. “Ke barat! Lindungi anak-anak!” teriak Bima, suaranya tegas meskipun wajahnya terlihat tegang. Dia berdiri di depan, memegang senapan, mencoba menenangkan kek

    Last Updated : 2025-01-05
  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Para penyintas (3)

    Malam itu menusuk dengan dinginnya, membuat setiap nafas kami terasa berat di udara yang lembab. Kabut tipis menyelimuti jalan berbatu yang kami pijak, seperti tabir rahasia yang melindungi dunia dari mata manusia. Aku menggenggam parang di tanganku, jari-jariku merasakan dingin logamnya—sebuah pengingat bahwa ini adalah satu-satunya pertahanan yang bisa diandalkan. Di belakangku, suara langkah kaki yang terseret menandai kelelahan yang kami semua rasakan."Sanctuary..." pikirku, memandang peta lusuh yang tergenggam di tangan kiriku. Garis-garis kabur di peta itu adalah satu-satunya petunjuk menuju apa yang dikatakan orang-orang sebagai tempat terakhir yang aman. Namun, harapan itu terasa seperti fatamorgana di tengah lautan kehancuran. Aku tidak yakin apa yang lebih berbahaya—percaya bahwa tempat itu nyata atau mengetahui bahwa itu hanyalah ilusi.Di belakang, Mirna dan Ayu berjalan dalam diam. Raut wajah mereka adalah cermin dari apa yang kurasakan—takut, lelah, tapi tidak punya pil

    Last Updated : 2025-01-07

Latest chapter

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Bali yang berbeda (8)

    Dunia kembali bergerak.Seakan tersedot dari pusaran kehampaan, aku terhempas ke realitas. Nafasku terputus-putus, dadaku naik turun tak terkendali. Keringat dingin mengalir di pelipisku, dan jari-jariku mati rasa saat aku mencoba menggenggam trisulaku lebih erat. Tubuhku seakan dipaksa menerima beban yang bukan milikku—resonansi antara aku dan Chronarkis masih terasa, mengalir seperti arus tak kasat mata yang menghubungkan kami.Brak!Lututku menghantam tanah. Tanah yang dingin dan kasar merambat di sela jari, seakan menegaskan bahwa aku masih ada di sini, masih hidup. Suara napasku bercampur dengan desir angin yang membawa serpihan debu dan abu di udara. Cahaya redup dari langit yang koyak oleh kekuatan yang tak kasat mata perlahan memudar, seolah takut mengungkap rahasia yang baru saja terkuak."Apa kau baik-baik saja?"Suara Revan membelah keheningan. Aku mendongak, melihatnya bergegas ke arahku, ekspresinya dipenuhi kekhawatiran. Ia tak perlu bertanya dua kali. Dengan susah payah

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Bali yang berbeda (7)

    Kegelapan berdenyut di sekeliling Ariel, nyala api hitam berputar liar seperti ular ganas yang hendak memangsa segalanya. Napasnya berat, langkahnya menyeret, tetapi matanya—mata merah menyala yang menjadi simbol kekuasaan Barong—tetap terkunci padaku. Aku bersiap menghindar, otakku bekerja cepat mencari celah dalam serangannya.Tapi tiba-tiba—WUSHH!Sebuah cahaya emas meledak dari tubuh Ariel. Sejenak, seolah-olah waktu tersendat, lalu berhenti total. Angin yang tadinya menggila kini membeku di udara, debu yang beterbangan pun mengapung tanpa arah. Bahkan api yang menari di sekeliling Ariel berhenti, nyaris seperti lukisan yang dipaksa diam dalam satu momen abadi.Aku menegang. Eternal Flow Manipulation-ku? Tidak. Ini bukan aku yang mengaktifkannya.Sebuah tekanan luar biasa membanjiri ruang di sekelilingku, membuat bulu kudukku berdiri. Dari bayanganku sendiri, sesuatu merayap keluar. Aku bisa merasakan keberadaannya bahkan sebelum melihat sosoknya.Kemudian, ia muncul.Sosok itu m

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Bali yang berbeda (6)

    Udara di sekitar kami bergetar, panas yang menyengat merayap di kulit, membuat napas terasa berat. Debu-debu hangus melayang, terbawa oleh angin panas yang entah berasal dari serangan Ariel sebelumnya atau dari dirinya sendiri.Mata Revan menyipit, keringat mengalir di pelipisnya. "Sepertinya dia kehilangan kontrol atas tubuhnya," gumamnya, suaranya nyaris tenggelam dalam deru api yang mengamuk. Dengan cepat, dia mengangkat tangannya. "Zephyr Suppression."Raungan angin terdengar nyaring saat pusaran udara terbentuk di sekitar Ariel, membelit tubuhnya seperti rantai tak kasat mata. Namun sebelum cengkeraman angin bisa menahan gerakannya, Ariel mengangkat pedang reliknya tinggi-tinggi. Mata keemasannya berkilat sesaat sebelum berubah menjadi merah."Divine Reflection."Kilatan cahaya meledak dari tubuhnya, memantulkan energi angin yang seharusnya membelenggunya. Seakan tak tersentuh, ia melangkah maju tanpa kesulitan sedikit pun.Revan terhuyung ke belakang, tangannya masih terangkat de

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Bali yang berbeda (5)

    Kilatan cahaya menyambar cakrawala. Petir menggelegar, suaranya menggema seperti raungan raksasa yang marah. Langit yang tadinya cerah kini berubah kelam, seakan ditelan sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar awan mendung. Udara menjadi berat, seperti ribuan ton besi menekan dada.Aku berdiri di tengah padang yang luas, trisula sudah dalam genggamanku. Angin bertiup liar, merontokkan dedaunan dan menerbangkan debu hingga membentuk pusaran kecil di sekeliling kami. Di sampingku, Revan berdiri dengan tenang, tatapannya tajam seperti pisau yang baru diasah. Di sisi lain, Ariel tampak gelisah, matanya menari-nari di antara kami dan langit yang mulai retak."Sebentar lagi dia akan muncul," ucapku, suaraku tenggelam dalam riuhnya gemuruh yang terus beresonansi.Revan mengangguk pelan. Dia tahu. Sepertinya dia sudah melihat ini sebelumnya. Namun Ariel… Ariel tidak. Tangannya mencengkeram relik pedang yang kuberikan, jemarinya gemetar meski ia berusaha menyembunyikannya."Apa yang akan mu

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Bali yang berbeda (4)

    Udara dingin menerpa kulitku seperti pisau tipis yang menggores perlahan. Di hadapanku, Ariel terkunci dalam pusaran angin yang menderu seperti raungan serigala lapar, seakan mencoba menelan tubuhnya bulat-bulat. Keringat dingin mengalir di pelipisku saat melihat tubuhnya bergetar hebat di dalam lingkaran udara yang melingkupinya."Sial..." gumamku, mengepalkan tangan dengan gelisah. Suara angin yang berputar kencang membuat sekeliling terasa seperti badai yang mengamuk. Aku melirik pria itu, sosok misterius yang baru saja muncul dari reruntuhan. Tangannya terulur, mengendalikan barrier angin yang menekan Ariel.Aku meneguk ludah, lalu melangkah mendekatinya. "Apa dia akan baik-baik saja?" tanyaku, suaraku nyaris tenggelam dalam deru angin.Pria itu tak langsung menjawab. Tatapannya tetap terkunci pada Ariel, dingin dan tajam, seperti burung pemangsa yang mengamati mangsanya. "Entahlah," jawabnya akhirnya, suaranya tenang tapi penuh ketegangan. "Yang bisa aku lakukan hanya menahan kek

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Bali yang berbeda (3)

    Suasana berat mencekam saat kami melangkah meninggalkan reruntuhan yang kini hanya menyisakan puing-puing dan bayangan kematian. Bau anyir darah bercampur dengan aroma karat besi, menguar tajam di udara malam yang dingin. Setiap tarikan napas serasa mencengkram paru-paru, berat, pengap, seakan dunia sendiri mencoba menahan kami untuk tidak pergi.Srek.Butiran pasir bergeser di bawah sepatu kami. Angin menderu, melolong di antara bebatuan, berbisik lirih seperti suara mereka yang telah gugur.Aku melirik ke samping. Ariel berjalan di sebelahku, langkahnya tetap tegas, namun ada sesuatu yang berbeda. Bahunya tegang, napasnya pendek dan tersendat. Biasanya, mata emasnya selalu berkilat penuh keyakinan. Tapi kini, sorot itu meredup—seperti api yang kehilangan bahan bakarnya.Srek.Kami terus berjalan. Tapi lalu—Ariel berhenti.Satu tangannya menekan pelipis, napasnya tertahan. Aku melihatnya menarik napas dalam-dalam, tapi ada getaran halus di jemarinya, begitu samar, nyaris tak terliha

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Bali yang berbeda (2)

    Aku melangkah pelan di atas pasir hitam yang masih terasa hangat. Ombak pecah di kejauhan, gemuruhnya berulang dalam irama yang menghipnotis, membawa aroma garam dan kehancuran yang bercampur menjadi satu.Di sekelilingku, reruntuhan vila-vila mewah berserakan tak berbentuk. Atap-atap ambruk, tembok-tembok retak, dan kayu-kayu yang dulunya menopang bangunan kini hanyut terbawa air pasang. Cahaya bulan memantul di permukaan air laut, menciptakan kilauan yang kontras dengan puing-puing yang terombang-ambing di permukaan.Aku berhenti melangkah dan menatap pedang di tanganku. Bilahnya berpendar samar di bawah sinar bulan yang semakin redup. Pedang relik Mutiara Merah. Aku menggenggamnya erat, merasakan energi dingin menjalar dari gagangnya ke telapak tanganku. Namun, semakin lama aku memegangnya, semakin aku merasa ada sesuatu yang tidak selaras denganku. Pedang ini… bukan untukku."Ada apa?" suara Ariel membuyarkan lamunanku. Aku menoleh, melihatnya berdiri beberapa langkah di depanku,

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Bali yang berbeda

    Udara panas yang masih tersisa dari pertempuran perlahan menghilang, digantikan dengan kesunyian yang berat. Aroma tanah yang terbakar dan abu yang beterbangan membuat napasku terasa sesak. Setiap langkah yang kuambil menuju altar Borobudur terasa seperti berjalan di atas batu bara panas.Ariel berjalan di sampingku, sesekali mencuri pandang ke arahku. "Akhirnya kita berhasil juga," ucapnya dengan suara lega, tetapi napasnya masih tersengal-sengal.Aku hanya diam, membiarkan tatapanku terpaku pada altar di depanku. Mutiara Merah berpendar redup, seolah mengintai dari dalam kegelapan, menunggu keberanian seseorang untuk menyentuhnya. Aku mengangkat tanganku, jari-jariku gemetar saat mendekati permukaannya yang bercahaya.Begitu ujung jariku menyentuhnya, gelombang panas menghantam sekujur tubuhku. Rasa terbakar menjalari telapak tanganku, membuat rahangku mengatup erat, menahan erangan yang hampir lolos. Cahaya merah menyembur, menelan pandanganku dalam ledakan kilau yang menyilaukan.D

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Borobudur (15)

    Suasana berubah drastis. Udara yang sebelumnya hanya dipenuhi percikan api kini terasa seperti tungku neraka yang siap menelan siapa pun yang mendekat. Api yang berkobar di sekitar tubuh Genta bukan lagi sekadar nyala biasa. Warna merahnya perlahan berubah menjadi biru terang, seakan-akan panasnya telah melampaui batas wajar. Setiap langkahnya membuat udara bergemuruh, seperti ada tekanan tak kasat mata yang menghantam siapa pun di sekelilingnya.Julian menggeram, matanya memicing tajam ke arah Genta yang kini semakin tak terkendali. "Bajingan itu... Dia malah mengamuk sesuka hatinya," gumamnya dengan nada frustrasi.Reina, yang berdiri di sampingnya, mendengus kesal. "Dia sendiri yang bilang jangan terprovokasi, tetapi malah dia yang termakan provokasinya."Sementara itu, aku hanya bisa bertahan di balik Divine Reflection milik Ariel. Lapisan tak kasat mata itu masih mampu menahan panasnya api Genta, tetapi aku tahu, perlindungan ini tak akan bertahan lama. Retakan-retakan halus mula

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status