Share

Hanya pengamat (2)

last update Last Updated: 2024-12-08 12:22:05

Aku gak tahu berapa lama aku duduk di gudang itu. Mungkin sejam. Mungkin dua. . Atau bisa aja cuma lima menit, tapi rasanya kayak seumur hidup. Jantungku masih berdebar kencang, telingaku tegang menangkap setiap suara. Tapi gak ada apa-apa. Hening.

Hanya satu pertanyaan yang terus muncul di kepalaku: Kenapa aku masih hidup?

Makhluk itu jelas-jelas bisa mendobrak pintu gudang kalau dia mau. Tapi dia gak melakukannya. Sebaliknya, dia pergi begitu aja, meninggalkan ancaman yang terdengar lebih kayak permainan daripada ancaman sebenarnya. Apa aku cuma mainannya? Atau dia beneran gak peduli sama aku?

Pikiran itu bikin aku makin takut. Kalau aku cuma figuran, kenapa aku harus tetap di sini?

Aku mencoba berdiri, tapi lututku masih gemetar. Tanganku memegang rak tua di dekatku untuk menjaga keseimbangan. Lalu aku mendengar suara lain. Bukan langkah, bukan ketukan, tapi... sesuatu di luar sana, di luar gudang. Sesuatu besar.

Suara gemuruh menggema di kejauhan, diikuti oleh getaran kecil di lantai. Rasanya seperti ada sesuatu yang berat sedang bergerak mendekat. Getaran itu semakin kuat, dan aku mulai panik lagi.

Pintu gudang kecil ini gak akan bisa menahan apa pun yang datang. Aku harus keluar dari sini.

Aku mengumpulkan sisa keberanianku dan membuka pintu gudang perlahan. Toko depan masih sama berantakannya seperti tadi. Botol air yang pria tadi buang masih ada di lantai, pecahan kaca dan debu berserakan di mana-mana. Tapi gak ada tanda-tanda makhluk bermata merah itu. Hanya kabut yang semakin tebal.

Aku berjalan pelan-pelan menuju pintu depan minimarket. Setiap langkah terasa kayak mimpi buruk, tapi aku harus pergi. Kalau tetap di sini, aku bakal mati—cepat atau lambat.

Begitu aku keluar dari minimarket, aku disambut oleh keheningan yang jauh lebih menakutkan daripada suara langkah atau gemuruh tadi. Jalanan kosong, gedung-gedung tinggi berdiri seperti kuburan raksasa. Tapi aku bisa merasakan sesuatu... sesuatu yang berat dan menekan. Udara terasa lebih tebal, lebih panas.

Aku berjalan ke arah kiri, mencoba menjauh dari minimarket. Kabut tebal membatasi pandanganku, jadi aku hanya bisa mengikuti insting.

Dan saat itulah aku melihatnya.

Di tengah jalan, jauh di depan, ada sosok yang gak mungkin aku abaikan. Tingginya mungkin sepuluh meter, tubuhnya seperti bayangan hidup, hitam legam dengan guratan merah menyala di seluruh permukaan tubuhnya. Matanya besar, merah, dan menatap lurus ke depan. Sosok itu melangkah perlahan, dan setiap langkahnya menciptakan getaran di tanah.

Aku terhenti. Kaki ini gak mau bergerak. Jantungku seperti mau pecah. Sosok itu bukan makhluk yang sama seperti tadi. Ini... sesuatu yang lebih besar. Lebih buruk.

Dan dia gak sendirian.

Di belakangnya, aku bisa melihat siluet lain, lebih kecil, tapi tetap gak kalah mengerikan. Mereka berjalan dalam barisan, perlahan, seperti pasukan yang bergerak tanpa suara.

Aku mencoba menahan napas, berharap mereka gak melihatku. Tapi kemudian, salah satu dari mereka berhenti. Lehernya memutar ke arahku, matanya menyala seperti lentera neraka.

Aku tahu itu akhirku.

"Hei! Awas!"

Sebuah suara terdengar dari belakangku. Sebelum aku sempat menoleh, sebuah tangan menarikku dengan kasar ke dalam gang sempit di sisi jalan. Tubuhku membentur tembok dengan keras, membuatku kehilangan napas sejenak.

"Diam di sini," bisik pria itu—pria dengan pedang besar tadi.

Dia berdiri di ujung gang, mengintip ke arah jalanan. Pedangnya sudah terhunus sekarang, bersinar lemah di tengah kabut. Ada aura aneh yang mengelilingi senjatanya, seperti api kecil yang hampir padam.

"Apa... apa itu?" tanyaku terbata-bata.

"Voidborn," jawabnya tanpa menoleh. "Mereka makhluk dari dimensi luar. Dan kalau kau gak diam, mereka akan tahu kau di sini."

Voidborn? Dimensi luar? Aku gak ngerti apa yang dia omongin, tapi wajahnya yang serius bikin aku gak berani bertanya lebih jauh. Dia menatap jalanan dengan fokus yang bikin aku merinding.

Salah satu Voidborn itu berhenti di depan gang. Aku bisa melihatnya dengan jelas sekarang. Tubuhnya seperti bayangan cair, bergerak tanpa bentuk pasti. Tapi matanya... matanya itu yang bikin bulu kudukku berdiri.

Pria itu mengangkat pedangnya perlahan, bersiap. "Kalau aku bilang lari, kau lari. Jangan lihat ke belakang. Jangan berhenti."

Aku cuma bisa mengangguk, meskipun aku tahu kaki ini mungkin gak akan sanggup bergerak kalau dia bilang lari. Aku gak tau kenapa aku percaya sama dia. Dia bahkan gak tau namaku. Tapi dia jelas tahu apa yang dia lakukan.

Voidborn itu melangkah lebih dekat, dan pria itu mengambil napas dalam.

"Lari!" teriaknya, lalu dia melompat keluar dari gang, langsung menyerang makhluk itu.

Aku gak nunggu lama. Kaki ini langsung bergerak, berlari secepat mungkin ke ujung gang. Aku gak peduli ke mana aku pergi. Aku cuma tau satu hal: aku gak mau mati malam ini.

Aku berlari seperti orang gila. Napas beratku menggema di lorong gang yang sempit, suara langkah kakiku beradu dengan genangan air dan puing-puing. Setiap tarikan napas rasanya makin berat, tapi aku gak bisa berhenti. Di belakangku, suara pedang beradu dengan sesuatu yang terdengar seperti besi pecah berkali-kali. Pria itu—siapa pun dia—masih bertarung dengan Voidborn.

Aku gak tahu kenapa dia memilih untuk bertarung. Mungkin dia pahlawan yang sebenarnya. Mungkin dia punya alasan. Tapi yang aku tahu, aku bukan dia. Aku cuma orang biasa yang pengen hidup.

Ketika akhirnya aku keluar dari gang, aku menemukan diriku di jalan lain yang lebih gelap. Kabut di sini lebih pekat, hampir menutup semua cahaya. Di depanku ada gedung tua yang runtuh separuh. Aku berlari ke arah itu tanpa berpikir. Mungkin di dalam gedung itu aku bisa sembunyi. Mungkin aku bisa—

TANG!

Sebuah suara keras menggema di belakangku. Aku berhenti. Suara itu... seperti pedang yang menghantam sesuatu yang besar. Detik berikutnya, terdengar suara lain—geraman rendah, hampir seperti singa yang marah, tapi jauh lebih dalam dan... tidak wajar.

Aku menoleh, meski tahu aku gak seharusnya.

Di ujung gang yang barusan aku tinggalkan, pria itu masih berdiri. Tubuhnya penuh luka, tapi pedangnya bersinar terang sekarang, seperti matahari kecil di tengah malam. Di depannya, Voidborn yang tadi hampir dua kali lebih besar dari sebelumnya, tubuhnya memanjang dan bergerak seperti cairan. Tapi pria itu gak mundur. Dia justru melangkah maju.

Sebuah suara keras lainnya menggema, dan Voidborn itu melompat ke arahnya.

Aku gak sempat lihat apa yang terjadi selanjutnya. Kaki ini otomatis bergerak lagi, berlari ke dalam gedung tua yang gelap. Di dalam, suasana lebih sunyi, hanya ada suara langkah kakiku yang bergema di antara tembok retak dan lantai yang penuh pecahan kaca. Aku bersembunyi di balik salah satu kolom beton yang masih utuh, mencoba menenangkan napas.

Di sini, aku aman. Mungkin.

Tapi rasa aman itu gak bertahan lama.

Dari luar gedung, aku mendengar suara ledakan besar. Seluruh bangunan bergetar, debu-debu jatuh dari langit-langit. Lalu suara itu datang lagi, lebih pelan, lebih mendekat. Aku tahu itu langkah Voidborn lain.

Kenapa mereka terus mengejarku? Aku bukan siapa-siapa. Aku bukan orang penting. Aku bahkan gak ngerti apa yang terjadi. Apa mereka ngejar aku karena aku ada di tempat yang salah? Atau... apa aku cuma sial?

Langkah itu makin dekat. Aku bisa dengar suara geraman rendah di udara. Aku mencoba menahan napas, berharap makhluk itu gak akan menemukan aku di sini.

Tapi harapanku hancur ketika bayangan besar melintas di depan kolom tempat aku bersembunyi.

Makhluk itu gak seperti yang tadi. Lebih kecil, tapi lebih cepat. Tubuhnya lebih padat, hampir kayak manusia, tapi tanpa wajah. Hanya ada dua cahaya merah kecil yang bersinar di bagian kepalanya, seperti mata yang gak pernah berkedip.

Aku mundur perlahan, mencoba gak bikin suara. Tapi lantai di bawahku penuh dengan pecahan kaca, dan saat aku melangkah mundur...

KREK!

Kaca di bawah kakiku pecah, menciptakan suara yang cukup keras. Makhluk itu langsung berhenti. Kepalanya berbalik ke arahku dengan gerakan yang terlalu cepat untuk disebut normal.

Aku membeku. Nafasku tercekat.

Lalu, tanpa peringatan, makhluk itu melompat ke arahku.

Aku jatuh ke lantai, menutup kepala dengan tangan. Ini akhirnya. Aku bahkan gak sempat berpikir apa-apa sebelum makhluk itu—

ZING!

Sebuah cahaya terang melesat dari sampingku, menabrak makhluk itu tepat di tubuhnya. Aku mendengar suara jeritan melengking, seperti logam yang dipelintir, sebelum makhluk itu meledak menjadi asap hitam. Di depanku, pria itu berdiri lagi. Tubuhnya penuh luka, tapi pedangnya masih bersinar.

Dia menatapku sekilas, napasnya berat. "Kau bodoh," katanya, nadanya datar tapi penuh rasa lelah.

Aku gak tahu harus bilang apa. Aku cuma duduk di sana, terengah-engah, melihat pria itu mengayunkan pedangnya lagi ke arah makhluk lain yang muncul di pintu masuk gedung.

"Kau harus pergi sekarang," katanya tanpa menoleh. "Gedung ini gak akan bertahan lama."

"Tapi... tapi ke mana?" tanyaku, akhirnya berhasil bicara meski suara ini terdengar serak. "Aku gak tau tempat aman."

Dia berhenti sejenak, menatap ke arah makhluk yang terus mendekat. "Tidak ada tempat yang benar-benar aman," jawabnya. "Tapi jika kau ingin hidup, jangan pernah berhenti bergerak."

Lalu dia maju lagi, menyerang makhluk-makhluk itu tanpa ragu.

Aku berdiri, lututku masih gemetar. Kata-katanya tadi terngiang di kepalaku. Aku gak ngerti kenapa dia mau menyelamatkanku, tapi aku tahu aku gak bisa terus bergantung padanya. Aku harus pergi, meskipun aku gak tau apa yang ada di luar sana.

Dengan berat hati, aku berbalik dan mulai berlari lagi, meninggalkan pria itu di belakangku.

Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku merasa benar-benar tidak berarti. Tapi mungkin itu lebih baik daripada mati.

Related chapters

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Hanya pengamat (3)

    Aku terus berlari tanpa arah, meninggalkan pria itu dan suara pedangnya yang menggema di dalam gedung. Setiap langkah terasa berat, setiap tarikan napas terasa menyakitkan, tapi aku gak berani berhenti. Kata-katanya masih terngiang di kepalaku: "Jika kau ingin hidup, jangan pernah berhenti bergerak." Di luar gedung, kabut semakin tebal. Jalanan penuh reruntuhan dan kendaraan terbengkalai. Lampu jalan yang dulunya menyala sekarang hanya tiang-tiang kosong yang memproyeksikan bayangan aneh di kabut. Suara langkahku bergema di udara, tapi itu bukan satu-satunya suara yang aku dengar. Ada sesuatu yang lain. Suara geraman rendah, jauh tapi cukup jelas untuk bikin bulu kudukku berdiri. Aku gak tau apa itu, tapi aku yakin itu bukan manusia. Apalagi setelah apa yang baru saja terjadi. Aku belok ke gang sempit di sisi jalan, berharap bisa menemukan tempat berlindung sementara. Gang ini lebih gelap dari yang tadi, penuh dengan puing-puing dan pecahan kaca. Tapi di ujungnya, aku melihat ses

    Last Updated : 2024-12-08
  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Hanya pengamat (4)

    Aku terus berlari, keluar dari reruntuhan hotel, napas beratku terdengar seperti gemuruh di telingaku sendiri. Di belakangku, suara ledakan dan jeritan Voidborn masih terdengar, tapi semakin lama semakin jauh. Raka tetap tinggal untuk melawan makhluk itu. Kenapa dia melakukan semua itu? Kenapa dia repot-repot menyelamatkan aku? Aku bukan siapa-siapa, bahkan dia sendiri bilang aku gak punya peran. Lalu aku berhenti. Aku gak bisa terus lari tanpa tujuan. Kalau aku terus seperti ini, aku bakal mati cepat atau lambat. Tapi aku gak tahu harus ke mana. Dunia ini gak lagi terasa seperti tempat yang aku kenal. Aku melihat sekeliling. Kabut masih tebal, menutupi jalanan dan bangunan yang hancur. Tapi di ujung jalan, aku melihat sesuatu—lampu kecil yang berkedip-kedip, seperti ada orang di sana. Aku ragu sejenak, tapi rasa penasaran dan keputusasaan memaksaku untuk mendekat. Ketika aku sampai di sana, aku menemukan sebuah kendaraan lapuk yang diubah menjadi semacam tempat perlindungan ke

    Last Updated : 2024-12-08
  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Hanya pengamat (5)

    Pintu di belakang kami berderit pelan, tapi anehnya tidak ada yang masuk. Kami semua terdiam, tubuh tegang seperti senar gitar yang siap putus. Aku mencoba mengatur napas, tapi udara terasa berat di paru-paruku. “Kenapa gak langsung masuk?” bisik Mirna, matanya terpaku pada pintu yang setengah terbuka. “Voidborn gak pernah ragu.” “Karena itu mungkin bukan Voidborn,” kata pria tua dengan nada rendah. Dia menyalakan kembali senjata rakitannya, meskipun cahaya biru yang keluar mulai meredup, tanda kalau energinya hampir habis. Aku mengintip sedikit ke celah pintu, berharap mendapatkan jawaban. Tapi aku gak siap dengan apa yang aku lihat. Di balik pintu, ada seseorang—atau sesuatu—berdiri diam. Itu bukan Voidborn. Tubuhnya berbentuk manusia, tapi ada sesuatu yang salah. Bajunya compang-camping, dan kulitnya pucat seperti orang mati. Tapi yang paling menakutkan adalah matanya, kosong seperti lubang hitam yang dalam. “Siapa itu?” tanya pria muda di sudut ruangan, suaranya bergetar.

    Last Updated : 2024-12-08
  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Hanya pengamat (6)

    Ruangan itu kembali sunyi setelah kepergian Raka dan dua orang misterius lainnya. Namun, kesunyian itu terasa lebih berat daripada ketegangan sebelumnya. Aku, Mirna, dan yang lain hanya berdiri diam, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. "Apa kita cuma nunggu mati sekarang?" tanya Mirna, nadanya jelas kesal. Ia melipat tangan, menatapku seperti aku tahu apa yang harus dilakukan. Aku menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. "Oke, kita harus tetap tenang. Raka bilang kita bisa bertahan di sini sampai mereka selesai dengan tugas mereka." "Dan kalau Voidborn atau makhluk lain masuk?" tanya seorang pria muda di sudut. Aku baru sadar ia belum menyebutkan namanya sejak tadi. "Kita harus tahu nama masing-masing dulu," kataku tiba-tiba. "Kalau kita mau bertahan, kita harus saling percaya, dan itu dimulai dari nama." Semua menatapku, mungkin mengira aku gila. Tapi pria tua itu akhirnya mengangguk. "Dia benar. Kalau kita mati, setidaknya kita tahu siapa yang ada di sisi

    Last Updated : 2025-01-03
  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Hanya pengamat (7)

    Kami melangkah hati-hati di atas jembatan yang rapuh, angin dingin terus menerpa wajah, membuat kakiku gemetar. Di bawah jembatan, jurang gelap itu terasa seperti mulut raksasa yang siap menelan siapa pun yang terjatuh. Gatra memimpin di depan, langkahnya mantap meskipun jembatan berderak di setiap pijakannya. Aku mengikuti di belakangnya, dengan Mirna yang menuntun Ayu. Pak Rusdi dan Dika berada di barisan paling belakang, saling menjaga agar tidak ada yang tertinggal.“Kau yakin ini aman?” tanya Mirna, suaranya nyaris terkalahkan oleh hembusan angin. “Tidak ada yang aman di sini,” jawab Gatra tanpa menoleh. “Tapi ini satu-satunya jalan.” Langkah kami tiba-tiba terhenti ketika suara gemuruh pelan terdengar dari belakang. Aku menoleh dan melihat bayangan hitam Voidborn mulai muncul di sisi jembatan. Mata merah mereka bersinar menakutkan di kegelapan. “Cepat! Mereka datang!” seru Dika dengan nada panik. Gatra berlari leb

    Last Updated : 2025-01-03
  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Hanya pengamat (8)

    Setelah kejadian di jembatan, kami menemukan sebuah gua di tebing berbatu sebagai tempat perlindungan sementara. Gua itu gelap dan lembap, tapi cukup luas untuk menampung kami berlima. Dengan sisa tenaga, kami menyusun barikade seadanya di mulut gua, menggunakan batu-batu besar dan ranting pohon untuk berjaga-jaga dari serangan Voidborn. Malam pertama tanpa Gatra dan Pak Rusdi terasa seperti malam terpanjang dalam hidupku. Kami duduk melingkar di sekitar api kecil yang hampir tidak mampu mengusir dingin. Mirna membalut luka di kakinya, sementara Ayu bersandar di dinding gua dengan mata sembab. Dika hanya menatap kosong ke arah api, tangannya menggenggam sebuah pisau kecil yang ia temukan di jalan. “Ardi...” suara Mirna memecah keheningan. “Apa kita bisa... terus seperti ini?” Aku tidak langsung menjawab. Dalam kepalaku, bayangan Gatra dan Pak Rusdi terus muncul, seakan-akan mereka berdiri di hadapanku, menatap dengan senyum samar. “Kau harus bertahan,” kata Gatra dalam bayang

    Last Updated : 2025-01-04
  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Para penyintas

    Mobil tua kami akhirnya berhenti di ujung jalan berbatu, asap tipis mengepul dari kap mesin. Mirna mengumpat pelan, memukul setir dengan frustrasi. “Sial, mobil ini sudah tidak bisa jalan lagi,” gumamnya, matanya menatap nanar ke depan. Kami turun dari mobil, kaki-kaki kami terasa lemah setelah perjalanan panjang tanpa istirahat. Di kejauhan, bayangan bangunan kecil muncul di balik kabut pagi. Aku merasakan kelegaan sekaligus ketegangan yang aneh. Apakah ini pemukiman? Apakah mereka akan menerima kami? “Aku harap mereka tidak seperti Hunters,” bisik Ayu, suaranya penuh kecemasan. Dika memegang busur Gatra dengan erat, waspada terhadap setiap suara. “Kita tidak punya pilihan lain,” katanya singkat. Saat kami mendekati gerbang kayu yang tinggi, dua pria bersenjata muncul dari balik barikade. Wajah mereka penuh bekas luka, dan tatapan mereka tajam. “Berhenti di situ!” seru salah satu dari mereka. Senapannya diarahkan tepat ke dadaku. Aku mengangkat tangan perlahan, menun

    Last Updated : 2025-01-05
  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Para penyintas (2)

    Jeritan melengking memecah keheningan malam, menggema di udara dingin pemukiman. Membangunkan semua orang, jantung berdebar kencang setelah suara itu jeritan itu menggema. Tanpa pikir panjang, aku meraih parang yang tergeletak di sudut ruangan. “Voidborn,” bisik Mirna dengan suara gemetar, tangannya menggenggam lengan Ayu erat. Aku melangkah keluar dan langsung disambut pemandangan yang mengerikan. Salah satu barikade kayu di sisi timur telah hancur, dan sosok makhluk itu berdiri di tengah reruntuhan. Tubuhnya besar, hampir setinggi dua manusia dewasa, dengan kulit hitam kelam yang berkilauan di bawah cahaya api. Mata merahnya bersinar, menatap tajam ke arah para penyintas yang panik. Cakar tajamnya, sebesar belati, meneteskan cairan hitam pekat yang menguap saat menyentuh tanah. “Ke barat! Lindungi anak-anak!” teriak Bima, suaranya tegas meskipun wajahnya terlihat tegang. Dia berdiri di depan, memegang senapan, mencoba menenangkan kek

    Last Updated : 2025-01-05

Latest chapter

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Para penyintas (3)

    Malam itu menusuk dengan dinginnya, membuat setiap nafas kami terasa berat di udara yang lembab. Kabut tipis menyelimuti jalan berbatu yang kami pijak, seperti tabir rahasia yang melindungi dunia dari mata manusia. Aku menggenggam parang di tanganku, jari-jariku merasakan dingin logamnya—sebuah pengingat bahwa ini adalah satu-satunya pertahanan yang bisa diandalkan. Di belakangku, suara langkah kaki yang terseret menandai kelelahan yang kami semua rasakan."Sanctuary..." pikirku, memandang peta lusuh yang tergenggam di tangan kiriku. Garis-garis kabur di peta itu adalah satu-satunya petunjuk menuju apa yang dikatakan orang-orang sebagai tempat terakhir yang aman. Namun, harapan itu terasa seperti fatamorgana di tengah lautan kehancuran. Aku tidak yakin apa yang lebih berbahaya—percaya bahwa tempat itu nyata atau mengetahui bahwa itu hanyalah ilusi.Di belakang, Mirna dan Ayu berjalan dalam diam. Raut wajah mereka adalah cermin dari apa yang kurasakan—takut, lelah, tapi tidak punya pil

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Para penyintas (2)

    Jeritan melengking memecah keheningan malam, menggema di udara dingin pemukiman. Membangunkan semua orang, jantung berdebar kencang setelah suara itu jeritan itu menggema. Tanpa pikir panjang, aku meraih parang yang tergeletak di sudut ruangan. “Voidborn,” bisik Mirna dengan suara gemetar, tangannya menggenggam lengan Ayu erat. Aku melangkah keluar dan langsung disambut pemandangan yang mengerikan. Salah satu barikade kayu di sisi timur telah hancur, dan sosok makhluk itu berdiri di tengah reruntuhan. Tubuhnya besar, hampir setinggi dua manusia dewasa, dengan kulit hitam kelam yang berkilauan di bawah cahaya api. Mata merahnya bersinar, menatap tajam ke arah para penyintas yang panik. Cakar tajamnya, sebesar belati, meneteskan cairan hitam pekat yang menguap saat menyentuh tanah. “Ke barat! Lindungi anak-anak!” teriak Bima, suaranya tegas meskipun wajahnya terlihat tegang. Dia berdiri di depan, memegang senapan, mencoba menenangkan kek

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Para penyintas

    Mobil tua kami akhirnya berhenti di ujung jalan berbatu, asap tipis mengepul dari kap mesin. Mirna mengumpat pelan, memukul setir dengan frustrasi. “Sial, mobil ini sudah tidak bisa jalan lagi,” gumamnya, matanya menatap nanar ke depan. Kami turun dari mobil, kaki-kaki kami terasa lemah setelah perjalanan panjang tanpa istirahat. Di kejauhan, bayangan bangunan kecil muncul di balik kabut pagi. Aku merasakan kelegaan sekaligus ketegangan yang aneh. Apakah ini pemukiman? Apakah mereka akan menerima kami? “Aku harap mereka tidak seperti Hunters,” bisik Ayu, suaranya penuh kecemasan. Dika memegang busur Gatra dengan erat, waspada terhadap setiap suara. “Kita tidak punya pilihan lain,” katanya singkat. Saat kami mendekati gerbang kayu yang tinggi, dua pria bersenjata muncul dari balik barikade. Wajah mereka penuh bekas luka, dan tatapan mereka tajam. “Berhenti di situ!” seru salah satu dari mereka. Senapannya diarahkan tepat ke dadaku. Aku mengangkat tangan perlahan, menun

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Hanya pengamat (8)

    Setelah kejadian di jembatan, kami menemukan sebuah gua di tebing berbatu sebagai tempat perlindungan sementara. Gua itu gelap dan lembap, tapi cukup luas untuk menampung kami berlima. Dengan sisa tenaga, kami menyusun barikade seadanya di mulut gua, menggunakan batu-batu besar dan ranting pohon untuk berjaga-jaga dari serangan Voidborn. Malam pertama tanpa Gatra dan Pak Rusdi terasa seperti malam terpanjang dalam hidupku. Kami duduk melingkar di sekitar api kecil yang hampir tidak mampu mengusir dingin. Mirna membalut luka di kakinya, sementara Ayu bersandar di dinding gua dengan mata sembab. Dika hanya menatap kosong ke arah api, tangannya menggenggam sebuah pisau kecil yang ia temukan di jalan. “Ardi...” suara Mirna memecah keheningan. “Apa kita bisa... terus seperti ini?” Aku tidak langsung menjawab. Dalam kepalaku, bayangan Gatra dan Pak Rusdi terus muncul, seakan-akan mereka berdiri di hadapanku, menatap dengan senyum samar. “Kau harus bertahan,” kata Gatra dalam bayang

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Hanya pengamat (7)

    Kami melangkah hati-hati di atas jembatan yang rapuh, angin dingin terus menerpa wajah, membuat kakiku gemetar. Di bawah jembatan, jurang gelap itu terasa seperti mulut raksasa yang siap menelan siapa pun yang terjatuh. Gatra memimpin di depan, langkahnya mantap meskipun jembatan berderak di setiap pijakannya. Aku mengikuti di belakangnya, dengan Mirna yang menuntun Ayu. Pak Rusdi dan Dika berada di barisan paling belakang, saling menjaga agar tidak ada yang tertinggal.“Kau yakin ini aman?” tanya Mirna, suaranya nyaris terkalahkan oleh hembusan angin. “Tidak ada yang aman di sini,” jawab Gatra tanpa menoleh. “Tapi ini satu-satunya jalan.” Langkah kami tiba-tiba terhenti ketika suara gemuruh pelan terdengar dari belakang. Aku menoleh dan melihat bayangan hitam Voidborn mulai muncul di sisi jembatan. Mata merah mereka bersinar menakutkan di kegelapan. “Cepat! Mereka datang!” seru Dika dengan nada panik. Gatra berlari leb

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Hanya pengamat (6)

    Ruangan itu kembali sunyi setelah kepergian Raka dan dua orang misterius lainnya. Namun, kesunyian itu terasa lebih berat daripada ketegangan sebelumnya. Aku, Mirna, dan yang lain hanya berdiri diam, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. "Apa kita cuma nunggu mati sekarang?" tanya Mirna, nadanya jelas kesal. Ia melipat tangan, menatapku seperti aku tahu apa yang harus dilakukan. Aku menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. "Oke, kita harus tetap tenang. Raka bilang kita bisa bertahan di sini sampai mereka selesai dengan tugas mereka." "Dan kalau Voidborn atau makhluk lain masuk?" tanya seorang pria muda di sudut. Aku baru sadar ia belum menyebutkan namanya sejak tadi. "Kita harus tahu nama masing-masing dulu," kataku tiba-tiba. "Kalau kita mau bertahan, kita harus saling percaya, dan itu dimulai dari nama." Semua menatapku, mungkin mengira aku gila. Tapi pria tua itu akhirnya mengangguk. "Dia benar. Kalau kita mati, setidaknya kita tahu siapa yang ada di sisi

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Hanya pengamat (5)

    Pintu di belakang kami berderit pelan, tapi anehnya tidak ada yang masuk. Kami semua terdiam, tubuh tegang seperti senar gitar yang siap putus. Aku mencoba mengatur napas, tapi udara terasa berat di paru-paruku. “Kenapa gak langsung masuk?” bisik Mirna, matanya terpaku pada pintu yang setengah terbuka. “Voidborn gak pernah ragu.” “Karena itu mungkin bukan Voidborn,” kata pria tua dengan nada rendah. Dia menyalakan kembali senjata rakitannya, meskipun cahaya biru yang keluar mulai meredup, tanda kalau energinya hampir habis. Aku mengintip sedikit ke celah pintu, berharap mendapatkan jawaban. Tapi aku gak siap dengan apa yang aku lihat. Di balik pintu, ada seseorang—atau sesuatu—berdiri diam. Itu bukan Voidborn. Tubuhnya berbentuk manusia, tapi ada sesuatu yang salah. Bajunya compang-camping, dan kulitnya pucat seperti orang mati. Tapi yang paling menakutkan adalah matanya, kosong seperti lubang hitam yang dalam. “Siapa itu?” tanya pria muda di sudut ruangan, suaranya bergetar.

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Hanya pengamat (4)

    Aku terus berlari, keluar dari reruntuhan hotel, napas beratku terdengar seperti gemuruh di telingaku sendiri. Di belakangku, suara ledakan dan jeritan Voidborn masih terdengar, tapi semakin lama semakin jauh. Raka tetap tinggal untuk melawan makhluk itu. Kenapa dia melakukan semua itu? Kenapa dia repot-repot menyelamatkan aku? Aku bukan siapa-siapa, bahkan dia sendiri bilang aku gak punya peran. Lalu aku berhenti. Aku gak bisa terus lari tanpa tujuan. Kalau aku terus seperti ini, aku bakal mati cepat atau lambat. Tapi aku gak tahu harus ke mana. Dunia ini gak lagi terasa seperti tempat yang aku kenal. Aku melihat sekeliling. Kabut masih tebal, menutupi jalanan dan bangunan yang hancur. Tapi di ujung jalan, aku melihat sesuatu—lampu kecil yang berkedip-kedip, seperti ada orang di sana. Aku ragu sejenak, tapi rasa penasaran dan keputusasaan memaksaku untuk mendekat. Ketika aku sampai di sana, aku menemukan sebuah kendaraan lapuk yang diubah menjadi semacam tempat perlindungan ke

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Hanya pengamat (3)

    Aku terus berlari tanpa arah, meninggalkan pria itu dan suara pedangnya yang menggema di dalam gedung. Setiap langkah terasa berat, setiap tarikan napas terasa menyakitkan, tapi aku gak berani berhenti. Kata-katanya masih terngiang di kepalaku: "Jika kau ingin hidup, jangan pernah berhenti bergerak." Di luar gedung, kabut semakin tebal. Jalanan penuh reruntuhan dan kendaraan terbengkalai. Lampu jalan yang dulunya menyala sekarang hanya tiang-tiang kosong yang memproyeksikan bayangan aneh di kabut. Suara langkahku bergema di udara, tapi itu bukan satu-satunya suara yang aku dengar. Ada sesuatu yang lain. Suara geraman rendah, jauh tapi cukup jelas untuk bikin bulu kudukku berdiri. Aku gak tau apa itu, tapi aku yakin itu bukan manusia. Apalagi setelah apa yang baru saja terjadi. Aku belok ke gang sempit di sisi jalan, berharap bisa menemukan tempat berlindung sementara. Gang ini lebih gelap dari yang tadi, penuh dengan puing-puing dan pecahan kaca. Tapi di ujungnya, aku melihat ses

DMCA.com Protection Status