“Menikah? Malam ini?” Saras nyaris tak percaya mendengar keputusan ayahnya yang begitu mendadak. Ia merasakan benaknya berputar-putar, menolak kenyataan yang bahkan belum bisa ia cerna sepenuhnya.
Namun akhirnya, Saras hanya bisa menurut. Liam membawanya keluar dari rumah sakit, tetapi ke sebuah kantor pemerintahan yang telah disiapkan secara khusus malam itu untuk mengesahkan pernikahan mereka.
Saras merasa seperti dalam mimpi, bahwa dirinya akan menjadi seorang istri, bahkan angan-angan untuk menikah saja tidak ia miliki, dan saat ini ia berjalan di belakang tubuh kekar Liam untuk menuju ruang pendaftaran.
Di ruang itu, ia dan Liam dan Saras diminta untuk menandatangani berkas-berkas penting di hadapan seorang petugas. Setiap goresan tanda tangannya terasa berat, seolah ada bagian dari dirinya yang perlahan-lahan hilang. Namun, demi ayahnya, Saras mencoba memantapkan hati, mengikuti setiap prosedur yang diminta.
Setelah semuanya rampung, mereka diarahkan ke ruang lain untuk sesi foto pernikahan. Tempat itu dihiasi layaknya studio kecil dengan latar sederhana namun cukup untuk mengabadikan momen yang seharusnya bahagia.
“A-apakah kita harus melakukan ini?” Saras bertanya kepada Liam, karena saat ini ada beberapa wanita yang membawa gaun pernikahan untuk dikenakan oleh Saras.
“Sebagai bukti untuk diberikan kepada Ayahmu.” Liam hanya menjawab seadanya, kemudian ia kembali mengenakan jas berwarna hitam. Semua pakaian mereka untuk foto saat ini sudah disiapkan dengan matang.
Dengan mengenakan gaun pengantinnya, Saras mencoba tersenyum di depan kamera meski dalam hati ia merasa kosong. Semua itu dilakukannya hanya demi ayahnya, yang mungkin membutuhkan bukti bahwa putrinya sudah menikah sesuai dengan keinginannya.
Di sisi lain, Liam tetap dengan tatapan datar yang tenang, seolah tak terpengaruh oleh emosi apapun. Saras berusaha membaca ekspresi pria itu, namun setiap kali tatapan mereka bertemu, Liam hanya memalingkan wajahnya, membuatnya semakin sulit memahami apa yang sebenarnya ada di balik sikap dinginnya.
Sesi foto berakhir, dan sebelum Saras sempat meminta untuk kembali ke rumah sakit, Liam sudah menggandengnya keluar. Hatinya kembali diliputi kebimbangan dan keputusasaan. Namun, saat ini, Saras hanya bisa berharap bahwa pernikahan ini setidaknya bisa membawa sedikit ketenangan bagi ayahnya.
Malam itu, Saras mengenakan gaun pengantin dengan bagian bawah yang mengembang, sementara bagian atasnya menampilkan kulit putihnya yang lembut. Dalam diam, ia pernah membayangkan akan menikah di tengah begitu banyak tamu undangan, namun, saat ini ia hanya bisa menghadapi nasib bahwa dirinya harus menikah tanpa sang Ayah di sisinya, dan pernikahan yang ia lakukan juga bukan atas dasar keinginannya.
Setelah sesi foto selesai, Saras menyeka air matanya secara diam-diam. Suara beberapa orang yang ada di kantor catatan sipil memberikan ucapan selamat menggema, membuatnya tersadar bahwa semua ini bukan sekadar mimpi. Di tengah keheningan itu, tangan pria yang kini menjadi suaminya, Liam, menggenggam tangannya erat, menuntunnya untuk ikut bersama sang pria. Saras terkejut namun tak berani menolak.
“Setelah ini … apakah aku bisa kembali ke rumah sakit?” bisiknya, mencoba memberanikan diri untuk bertanya.
Liam tidak langsung menjawab. Ia hanya mengeratkan genggamannya, mungkin untuk menunjukkan kesan serasi di mata para orang-orang yang melihat. Sesaat kemudian, Liam hanya mengangguk tanpa menatapnya, membuat Saras semakin bingung akan maksud pria itu.
**
Alih-alih mengantarkannya ke rumah sakit, Saras mendapati dirinya dibawa ke sebuah rumah besar yang jauh lebih megah dari rumahnya. Masih mengenakan gaun pengantin yang belum ia ganti sejak foto tadi, ia mengekor Liam yang berjalan menuju kamar di lantai atas. Ketika Liam berhenti di depan sebuah pintu, ia menoleh padanya dengan tatapan dingin yang membuat Saras menahan napas.
"Masuklah," perintah Liam, suaranya rendah namun penuh ketegasan.
Saras menelan ludah, tak berani membantah. Begitu berada di dalam kamar, ia merasa tertekan dengan semua yang terjadi. Langkahnya menuju kamar mandi terhenti saat ia sadar bahwa ia tak membawa pakaian ganti.
"A-aku butuh baju ganti," katanya pelan.
Tanpa banyak bicara, Liam keluar dari kamar, dan tak lama kemudian kembali dengan menyeret koper biru milik Saras. Tanpa menunggu ucapannya, Saras buru-buru membuka koper itu dan menemukan pakaian-pakaiannya di dalam sana. Hatinya makin perih saat menyadari bahwa semua ini telah direncanakan tanpa sepengetahuannya. Ia harus menelan pahitnya kenyataan bahwa pernikahan ini bukan atas kehendaknya.
Saras segera berganti pakaian di kamar mandi. Namun, saat keluar, ia mendapati Liam menatapnya dengan dingin. Saras berusaha mempertahankan ketenangannya, meski jantungnya berdegup kencang di bawah tatapan pria itu.
"Aku sudah melakukan semua yang kau minta," ucapnya dengan suara bergetar, "Sekarang, aku harus ke rumah sakit."
Liam memandangnya, lalu menghela napas. Ia melangkah mendekati Saras, membuat gadis itu semakin cemas. Wajahnya yang datar dan dingin tak menampakkan sedikit pun emosi.
"Aku akan mengantarmu setelah aku mandi," sahutnya tenang. “Tetapi, sebelum ke rumah sakit, kita harus membicarakan kontrak pernikahan.” lalu melewatinya dan masuk ke kamar mandi.
Saras terdiam, merasakan perasaan aneh yang tak nyaman.
Saat Liam keluar dari kamar mandi dengan wajah segar, ia langsung mengambil sebuah berkas tebal dari laci di samping tempat tidur dan menyerahkannya pada Saras yang masih berdiri bingung di tengah kamar.Saras yang melihatnya pun tertegun, Liam hanya mengenakan handuk yang menutupi bagian bawahnya, dengan air yang masih mengalir di tubuh kekarnya.“Pahami dan tanda tangani,” ucap Liam datar, membuyarkan pikiran kotor Saras. Liam berbicara dengan tatapan serius yang nyaris menembus pertahanan Saras.Saras ragu saat membuka halaman pertama. Tulisan di kontrak itu terasa sangat formal, kaku, dan jauh dari pernikahan yang selama ini ia bayangkan. Tanpa menyentuh tempat tidur, ia berdiri sambil membaca beberapa poin awal.Saras mengerutkan kening, merasa sedikit lega karena ia pikir pernikahan ini tidak akan melibatkan hal yang lebih jauh. Namun, semakin ia membaca, perasaannya berubah menjadi semakin bingung dan tidak nyaman. Saras kira, setelah menikah, Liam akan meminta mereka untuk tid
Setibanya di rumah keluarga Liam, dia tidak membuang waktu dan langsung masuk, ditemani oleh Saras yang mengekor di belakang.Saras hanya bisa mengikuti Liam tanpa mengucapkan sepatah kata pun saat pria itu berjalan memasuki rumah mewah yang belum pernah ia lihat sebelumnya.“Sudah pulang setelah membuat skandal baru dengan menikahi gadis bodoh ini!” Sambutan itu memang diarahkan pada Liam, tapi Saras bisa melihat jelas pandangan sinis dari wanita paruh baya itu tertuju padanya.Liam yang menerima pesan dari ibunya untuk pulang ke rumah keluarga. Hal itu yang membuat wajahnya mengeras.Liam tampak acuh, terus melangkah melewati ibunya tanpa memperdulikannya.“Kau tidak akan mendapatkan apa-apa dengan menikahi keluarga Danuarta! Apalagi tua bangka itu sudah mati. Apa yang akan kau dapatkan, Liam?” Wanita itu mengalihkan tatapannya kepada Saras yang masih tertegun atas teriakan yang diterimanya.Saras menggigit bibirnya, merasakan nyeri di dadanya mendengar hinaan tentang kematian sang
Malam harinya, Saras sengaja menunggu kedatangan Liam untuk makan malam. walaupun jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, gadis itu berusaha untuk tetap terjaga dan tidak tidur saat Liam pulang. selang beberapa saat kemudian, terdengar suara pintu terbuka.“Kau sudah datang? Akan aku panaskan masakannya, tunggu—”Pria itu terlihat tidak berminat sama sekali. Liam hanya diam tanpa melihat ke arah Saras dan melanjutkan langkahnya menuju ke kamarnya. Saras hanya mampu tersenyum masam menatap makanan yang sudah ia siapkan akan terbuang percuma. Saras mengusap kasar air matanya, rasa benci dan cinta yang ia rasakan bersamaan sungguh membuat hatinya begitu terluka. merasa hal yang dilakukannya dianggap tidak berarti apa-apa bagi Liam, Saras memutuskan untuk kembali ke kamarnya.“Malam ini, kau harus ikut denganku.” ucap Liam saat memasuki kamar Saras yang masih terbuka lebar. walaupun mereka sudah menikah, tapi keduanya tidak pernah berada di kamar yang sama. Liam memutuskan untuk tidak
“M-menikah?” cicit Saras, melepas pelukan. Ia menatap wajah ayahnya yang terlihat begitu pucat, dan perasaan yang tidak ia pahami kembali merayap, menyesakkan dada. Kegelisahan itu bertambah saat matanya menyapu raut lelah sang ayah.“Tapi, Ayah ... kenapa begitu mendadak?” Suaranya bergetar, mencari jawaban yang terasa semakin sulit ia pahami. “Aku ... aku belum siap, Ayah.”Bagas hanya diam, memegang bahu Saras dengan tatapan penuh kepedihan, seolah setiap kata yang keluar adalah luka tersendiri baginya. “Ini sudah menjadi keputusan Ayah, Saras.” Kerutan di kening Saras semakin dalam. “Aku nggak mengerti ... Kenapa harus menikah? Apa karena—?” Tanyanya, dengan kebingungan dan ketakutan yang bercampur dalam dadanya.Bagas memegang erat tangan Saras, memotong perkataan Saras dan menuntunnya duduk di sofa. “Ayah hanya ingin memastikan kau aman. Kau harus menikah dengan pria yang bisa melindungi, yang bisa menggantikan Ayah kalau ... kalau terjadi sesuatu.”Saras terdiam. Kata-kata aya