Share

Bab 2 ( Sebuah Pernikahan )

“Menikah? Malam ini?” Saras nyaris tak percaya mendengar keputusan ayahnya yang begitu mendadak. Ia merasakan benaknya berputar-putar, menolak kenyataan yang bahkan belum bisa ia cerna sepenuhnya.

Namun akhirnya, Saras hanya bisa menurut. Liam membawanya keluar dari rumah sakit, tetapi ke sebuah kantor pemerintahan yang telah disiapkan secara khusus malam itu untuk mengesahkan pernikahan mereka.

Saras merasa seperti dalam mimpi, bahwa dirinya akan menjadi seorang istri, bahkan angan-angan untuk menikah saja tidak ia miliki, dan saat ini ia berjalan di belakang tubuh kekar Liam untuk menuju ruang pendaftaran. 

Di ruang itu, ia dan Liam dan Saras diminta untuk menandatangani berkas-berkas penting di hadapan seorang petugas. Setiap goresan tanda tangannya terasa berat, seolah ada bagian dari dirinya yang perlahan-lahan hilang. Namun, demi ayahnya, Saras mencoba memantapkan hati, mengikuti setiap prosedur yang diminta.

Setelah semuanya rampung, mereka diarahkan ke ruang lain untuk sesi foto pernikahan. Tempat itu dihiasi layaknya studio kecil dengan latar sederhana namun cukup untuk mengabadikan momen yang seharusnya bahagia. 

“A-apakah kita harus melakukan ini?” Saras bertanya kepada Liam, karena saat ini ada beberapa wanita yang membawa gaun pernikahan untuk dikenakan oleh Saras.

“Sebagai bukti untuk diberikan kepada Ayahmu.” Liam hanya menjawab seadanya, kemudian ia kembali mengenakan jas berwarna hitam. Semua pakaian mereka untuk foto saat ini sudah disiapkan dengan matang.

Dengan mengenakan gaun pengantinnya, Saras mencoba tersenyum di depan kamera meski dalam hati ia merasa kosong. Semua itu dilakukannya hanya demi ayahnya, yang mungkin membutuhkan bukti bahwa putrinya sudah menikah sesuai dengan keinginannya.

Di sisi lain, Liam tetap dengan tatapan datar yang tenang, seolah tak terpengaruh oleh emosi apapun. Saras berusaha membaca ekspresi pria itu, namun setiap kali tatapan mereka bertemu, Liam hanya memalingkan wajahnya, membuatnya semakin sulit memahami apa yang sebenarnya ada di balik sikap dinginnya.

Sesi foto berakhir, dan sebelum Saras sempat meminta untuk kembali ke rumah sakit, Liam sudah menggandengnya keluar. Hatinya kembali diliputi kebimbangan dan keputusasaan. Namun, saat ini, Saras hanya bisa berharap bahwa pernikahan ini setidaknya bisa membawa sedikit ketenangan bagi ayahnya.

Malam itu, Saras mengenakan gaun pengantin dengan bagian bawah yang mengembang, sementara bagian atasnya menampilkan kulit putihnya yang lembut. Dalam diam, ia pernah membayangkan akan menikah di tengah begitu banyak tamu undangan, namun, saat ini ia hanya bisa menghadapi nasib bahwa dirinya harus menikah tanpa sang Ayah di sisinya, dan pernikahan yang ia lakukan juga bukan atas dasar keinginannya.

Setelah sesi foto selesai, Saras menyeka air matanya secara diam-diam. Suara beberapa orang yang ada di kantor catatan sipil memberikan ucapan selamat menggema, membuatnya tersadar bahwa semua ini bukan sekadar mimpi. Di tengah keheningan itu, tangan pria yang kini menjadi suaminya, Liam, menggenggam tangannya erat, menuntunnya untuk ikut bersama sang pria. Saras terkejut namun tak berani menolak. 

“Setelah ini … apakah aku bisa kembali ke rumah sakit?” bisiknya, mencoba memberanikan diri untuk bertanya.

Liam tidak langsung menjawab. Ia hanya mengeratkan genggamannya, mungkin untuk menunjukkan kesan serasi di mata para orang-orang yang melihat. Sesaat kemudian, Liam hanya mengangguk tanpa menatapnya, membuat Saras semakin bingung akan maksud pria itu. 

**

Alih-alih mengantarkannya ke rumah sakit, Saras mendapati dirinya dibawa ke sebuah rumah besar yang jauh lebih megah dari rumahnya. Masih mengenakan gaun pengantin yang belum ia ganti sejak foto tadi, ia mengekor Liam yang berjalan menuju kamar di lantai atas. Ketika Liam berhenti di depan sebuah pintu, ia menoleh padanya dengan tatapan dingin yang membuat Saras menahan napas.

"Masuklah," perintah Liam, suaranya rendah namun penuh ketegasan.

Saras menelan ludah, tak berani membantah. Begitu berada di dalam kamar, ia merasa tertekan dengan semua yang terjadi. Langkahnya menuju kamar mandi terhenti saat ia sadar bahwa ia tak membawa pakaian ganti.

"A-aku butuh baju ganti," katanya pelan.

Tanpa banyak bicara, Liam keluar dari kamar, dan tak lama kemudian kembali dengan menyeret koper biru milik Saras. Tanpa menunggu ucapannya, Saras buru-buru membuka koper itu dan menemukan pakaian-pakaiannya di dalam sana. Hatinya makin perih saat menyadari bahwa semua ini telah direncanakan tanpa sepengetahuannya. Ia harus menelan pahitnya kenyataan bahwa pernikahan ini bukan atas kehendaknya.

Saras segera berganti pakaian di kamar mandi. Namun, saat keluar, ia mendapati Liam menatapnya dengan dingin. Saras berusaha mempertahankan ketenangannya, meski jantungnya berdegup kencang di bawah tatapan pria itu.

"Aku sudah melakukan semua yang kau minta," ucapnya dengan suara bergetar, "Sekarang, aku harus ke rumah sakit."

Liam memandangnya, lalu menghela napas. Ia melangkah mendekati Saras, membuat gadis itu semakin cemas. Wajahnya yang datar dan dingin tak menampakkan sedikit pun emosi.

"Aku akan mengantarmu setelah aku mandi," sahutnya tenang. “Tetapi, sebelum ke rumah sakit, kita harus membicarakan kontrak pernikahan.” lalu melewatinya dan masuk ke kamar mandi.

Saras terdiam, merasakan perasaan aneh yang tak nyaman.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status