Saat Liam keluar dari kamar mandi dengan wajah segar, ia langsung mengambil sebuah berkas tebal dari laci di samping tempat tidur dan menyerahkannya pada Saras yang masih berdiri bingung di tengah kamar.
Saras yang melihatnya pun tertegun, Liam hanya mengenakan handuk yang menutupi bagian bawahnya, dengan air yang masih mengalir di tubuh kekarnya.
“Pahami dan tanda tangani,” ucap Liam datar, membuyarkan pikiran kotor Saras. Liam berbicara dengan tatapan serius yang nyaris menembus pertahanan Saras.
Saras ragu saat membuka halaman pertama. Tulisan di kontrak itu terasa sangat formal, kaku, dan jauh dari pernikahan yang selama ini ia bayangkan. Tanpa menyentuh tempat tidur, ia berdiri sambil membaca beberapa poin awal.
Saras mengerutkan kening, merasa sedikit lega karena ia pikir pernikahan ini tidak akan melibatkan hal yang lebih jauh. Namun, semakin ia membaca, perasaannya berubah menjadi semakin bingung dan tidak nyaman. Saras kira, setelah menikah, Liam akan meminta mereka untuk tidur terpisah, ternyata tidak.
Tidak ada penjelasan tentang mengapa ia harus berada satu kamar dengan Liam, tetapi jelas sekali Liam tidak ingin mereka tinggal terpisah. Hal itu membuat Saras merasa seperti terjebak dalam aturan yang penuh kontrol, yang ia sama sekali tidak siap untuk menghadapinya.
Dengan tangan gemetar, Saras melanjutkan ke halaman berikutnya dan menemukan poin yang membuat darahnya membeku seketika.
Saras terpaku membaca kalimat itu berulang-ulang, seolah tidak percaya dengan apa yang dibacanya. Mengapa poin ini harus ada? Pernikahan kontrak ini seharusnya tidak melibatkan kedekatan seperti itu, bukan?
Ia mendongak dengan wajah pucat, menatap Liam yang kini duduk santai sambil mengawasinya dengan ekspresi datar. “Keturunan? Maksudmu, aku harus …?” Suaranya hilang, tidak mampu melanjutkan kalimatnya.
Liam tetap tenang. “Ya, itu bagian dari kontrak ini. Aku tidak membutuhkannya sekarang, tapi itu syarat yang tidak bisa dihindari dalam keluarga kami. Pernikahan ini memang di atas kertas, tapi ada kewajiban yang harus tetap kau penuhi.”
Saras semakin terpukul. “Tapi aku … aku tidak siap untuk ini. Aku hanya setuju menikah karena kondisi ayahku. Kenapa ini harus menjadi bagian dari pernikahan kita?”
“Ini bukan hanya soal ayahmu,” balas Liam tegas, matanya menatap Saras dengan intensitas yang membuatnya semakin terpojok. “Jika kau setuju dengan pernikahan ini, maka kau harus mematuhi seluruh syarat di dalam kontrak.”
Saras merasa napasnya sesak, ketegangan menyelimuti setiap sudut ruangan. “Berikan aku waktu,” pintanya, suaranya terdengar nyaris putus asa.
“Tidak ada banyak waktu, dan kontrak ini harus disepakati malam ini juga,” ujar Liam tanpa sedikit pun menunjukkan simpati.
Saras tak bisa menolak. Ia tahu, keadaan ayahnya yang kini membutuhkan dukungan membuatnya tak punya pilihan lain. Dengan tangan bergetar, ia menandatangani berkas itu, merasa seolah dirinya baru saja menyerahkan kebebasannya.
**
Liam memenuhi janjinya mengantar Saras ke rumah sakit. Dengan langkah tergesa, Saras berharap bisa menceritakan pada ayahnya bahwa Liam bukan pria yang bisa diandalkan untuk melindunginya. Namun, saat tiba di depan ruang IGD, dokter yang merawat ayahnya menghampiri.
“Maaf, Nona. Kami sudah berusaha sebaik mungkin, tapi ayah Anda telah meninggal dunia,” ucap dokter dengan penuh simpati. “Ayah anda sudah dipindahkan ke ruang jenazah.”
Saras mematung, kenyataan ini menghantamnya keras. Air mata membasahi pipinya saat ia dengan kaki lemas melangkah ke ruang jenazah. Di sana, ia berhadapan dengan tubuh ayahnya yang kini hanya terbujur kaku di bawah kain putih.
Dengan tangan gemetar, Saras membuka kain itu, menatap wajah ayahnya yang pucat. Tangisnya pecah, tubuhnya bergetar saat ia merengkuh tubuh dingin itu. “Ayah ... kenapa kau meninggalkanku? Bawa aku bersamamu … Jangan tinggalkan aku!” isaknya semakin pilu.
Liam hanya diam, memperhatikan dari jarak dekat. Ia tidak memberikan kata yang membuat Saras tenang, hanya berdiri mengawasi, seakan tenggelam dalam pikirannya sendiri. Perlahan ia keluar, membiarkan Saras sendiri di ruangan itu.
Saras meminta sang Ayah untuk dimakamkan di makam keluarganya. Hal itu disetujui oleh Liam, dan Liam menyuruh beberapa orang untuk menyiapkan pemakaman.
Setelah pemakaman usai dan para peziarah pergi, Saras tetap berdiri di depan nisan ayahnya, menatap gundukan tanah yang masih basah. Di kepalanya, berputar-putar kenangan tentang ayahnya yang dulu melindunginya, meski penuh aturan ketat. Sekarang, ia merasa sendirian, tak tahu harus melangkah ke mana. Apakah ucapan ayahnya benar? Apakah Liam bisa melindunginya?
Tengah tenggelam dalam pikirannya, Saras dikejutkan oleh tarikan kasar Liam yang menyuruhnya berdiri. Tanpa berkata sepatah pun, pria itu memaksanya pergi dari pemakaman dengan cepat. Bahkan di hadapan makam ayahnya, Liam tak bisa bersandiwara sebagai pria baik.
Saras tersenyum masam, menertawakan nasibnya yang semakin getir. “Ayah, besok aku akan datang lagi. Aku janji.” gumamnya pelan, sebelum kalimatnya terpotong oleh tarikan Liam yang tidak sabar. Ia hanya bisa pasrah, menguatkan diri untuk apa pun yang menantinya di masa depan.
Di dalam mobil, Saras berusaha mengendalikan emosi. “Kemana kau akan membawaku?” tanyanya lirih.
Liam hanya menatapnya sekilas tanpa menjawab. Saat Saras hendak bicara lagi, pintu mobil ditutup dengan kasar, membuatnya tersentak.
“Jalan!” perintah Liam dingin pada sopirnya. Melihat sikap dingin Liam, Saras memilih diam. Rasanya tidak ada gunanya bertanya lebih lanjut pada pria yang kini menjadi suaminya namun sama sekali tidak menunjukkan simpati.
Setibanya di rumah keluarga Liam, dia tidak membuang waktu dan langsung masuk, ditemani oleh Saras yang mengekor di belakang.Saras hanya bisa mengikuti Liam tanpa mengucapkan sepatah kata pun saat pria itu berjalan memasuki rumah mewah yang belum pernah ia lihat sebelumnya.“Sudah pulang setelah membuat skandal baru dengan menikahi gadis bodoh ini!” Sambutan itu memang diarahkan pada Liam, tapi Saras bisa melihat jelas pandangan sinis dari wanita paruh baya itu tertuju padanya.Liam yang menerima pesan dari ibunya untuk pulang ke rumah keluarga. Hal itu yang membuat wajahnya mengeras.Liam tampak acuh, terus melangkah melewati ibunya tanpa memperdulikannya.“Kau tidak akan mendapatkan apa-apa dengan menikahi keluarga Danuarta! Apalagi tua bangka itu sudah mati. Apa yang akan kau dapatkan, Liam?” Wanita itu mengalihkan tatapannya kepada Saras yang masih tertegun atas teriakan yang diterimanya.Saras menggigit bibirnya, merasakan nyeri di dadanya mendengar hinaan tentang kematian sang
Malam harinya, Saras sengaja menunggu kedatangan Liam untuk makan malam. walaupun jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, gadis itu berusaha untuk tetap terjaga dan tidak tidur saat Liam pulang. selang beberapa saat kemudian, terdengar suara pintu terbuka.“Kau sudah datang? Akan aku panaskan masakannya, tunggu—”Pria itu terlihat tidak berminat sama sekali. Liam hanya diam tanpa melihat ke arah Saras dan melanjutkan langkahnya menuju ke kamarnya. Saras hanya mampu tersenyum masam menatap makanan yang sudah ia siapkan akan terbuang percuma. Saras mengusap kasar air matanya, rasa benci dan cinta yang ia rasakan bersamaan sungguh membuat hatinya begitu terluka. merasa hal yang dilakukannya dianggap tidak berarti apa-apa bagi Liam, Saras memutuskan untuk kembali ke kamarnya.“Malam ini, kau harus ikut denganku.” ucap Liam saat memasuki kamar Saras yang masih terbuka lebar. walaupun mereka sudah menikah, tapi keduanya tidak pernah berada di kamar yang sama. Liam memutuskan untuk tidak
“M-menikah?” cicit Saras, melepas pelukan. Ia menatap wajah ayahnya yang terlihat begitu pucat, dan perasaan yang tidak ia pahami kembali merayap, menyesakkan dada. Kegelisahan itu bertambah saat matanya menyapu raut lelah sang ayah.“Tapi, Ayah ... kenapa begitu mendadak?” Suaranya bergetar, mencari jawaban yang terasa semakin sulit ia pahami. “Aku ... aku belum siap, Ayah.”Bagas hanya diam, memegang bahu Saras dengan tatapan penuh kepedihan, seolah setiap kata yang keluar adalah luka tersendiri baginya. “Ini sudah menjadi keputusan Ayah, Saras.” Kerutan di kening Saras semakin dalam. “Aku nggak mengerti ... Kenapa harus menikah? Apa karena—?” Tanyanya, dengan kebingungan dan ketakutan yang bercampur dalam dadanya.Bagas memegang erat tangan Saras, memotong perkataan Saras dan menuntunnya duduk di sofa. “Ayah hanya ingin memastikan kau aman. Kau harus menikah dengan pria yang bisa melindungi, yang bisa menggantikan Ayah kalau ... kalau terjadi sesuatu.”Saras terdiam. Kata-kata aya
“Menikah? Malam ini?” Saras nyaris tak percaya mendengar keputusan ayahnya yang begitu mendadak. Ia merasakan benaknya berputar-putar, menolak kenyataan yang bahkan belum bisa ia cerna sepenuhnya.Namun akhirnya, Saras hanya bisa menurut. Liam membawanya keluar dari rumah sakit, tetapi ke sebuah kantor pemerintahan yang telah disiapkan secara khusus malam itu untuk mengesahkan pernikahan mereka.Saras merasa seperti dalam mimpi, bahwa dirinya akan menjadi seorang istri, bahkan angan-angan untuk menikah saja tidak ia miliki, dan saat ini ia berjalan di belakang tubuh kekar Liam untuk menuju ruang pendaftaran. Di ruang itu, ia dan Liam dan Saras diminta untuk menandatangani berkas-berkas penting di hadapan seorang petugas. Setiap goresan tanda tangannya terasa berat, seolah ada bagian dari dirinya yang perlahan-lahan hilang. Namun, demi ayahnya, Saras mencoba memantapkan hati, mengikuti setiap prosedur yang diminta.Setelah semuanya rampung, mereka diarahkan ke ruang lain untuk sesi fo