Setibanya di rumah keluarga Liam, dia tidak membuang waktu dan langsung masuk, ditemani oleh Saras yang mengekor di belakang.
Saras hanya bisa mengikuti Liam tanpa mengucapkan sepatah kata pun saat pria itu berjalan memasuki rumah mewah yang belum pernah ia lihat sebelumnya.
“Sudah pulang setelah membuat skandal baru dengan menikahi gadis bodoh ini!” Sambutan itu memang diarahkan pada Liam, tapi Saras bisa melihat jelas pandangan sinis dari wanita paruh baya itu tertuju padanya.
Liam yang menerima pesan dari ibunya untuk pulang ke rumah keluarga. Hal itu yang membuat wajahnya mengeras.
Liam tampak acuh, terus melangkah melewati ibunya tanpa memperdulikannya.
“Kau tidak akan mendapatkan apa-apa dengan menikahi keluarga Danuarta! Apalagi tua bangka itu sudah mati. Apa yang akan kau dapatkan, Liam?” Wanita itu mengalihkan tatapannya kepada Saras yang masih tertegun atas teriakan yang diterimanya.
Saras menggigit bibirnya, merasakan nyeri di dadanya mendengar hinaan tentang kematian sang ayahnya. Namun, dia tak berani berkata apa-apa. Setibanya di lantai atas, Liam berhenti dan berbalik menatap tajam ke arah Saras.
“Jangan berharap mendapatkan pembelaan dariku.” Ucapannya dingin, membuat Saras menahan napas.
Mereka berdua terdiam cukup lama, hingga akhirnya Saras memberanikan diri bertanya, “Sampai kapan aku harus menikah dengamnu?”
Liam meraih dagu Saras, mencengkeramnya tanpa kekerasan tetapi membuat Saras merasa diperlakukan tidak hormat. Tanpa menjawab, dia melepaskan pegangannya dan berbalik pergi begitu saja, meninggalkan Saras dengan perasaan sesak. Ia hanya bisa berdiri di sana, mengusap air mata yang tak terbendung.
**
Keesokan paginya, Saras mulai menyiapkan sarapan untuk Ibu Liam yang saat ini sudah menjadi Ibu mertuanya, dengan hati-hati dan memanggil Liam untuk dapat bergabung, “S-sarapannya sudah siap.”
Namun, tidak ada respon.
Akhirnya Saras kembali ke meja makan, ia hanya makan sendirian tanpa ditemani Ibu mertua dan suaminya. Sikap Liam dingin dan tidak tersentuh, membuat Saras terus berputus asa bagaimana caranya untuk keluar dari belenggu ini.
Ketika dia hendak meninggalkan meja makan, suara piring pecah membuatnya berbalik. Di hadapannya, piring yang telah ia tata dengan rapi kini berserakan di lantai. Saras mematung, sejak kapan Liam berada di hadapannya, dan juga merasa bingung dengan sikap Liam.
Tak lama setelah itu, terdengar ketukan di pintu utama. Sebelum Saras bisa melihat siapa yang datang, seorang wanita berkulit putih masuk begitu saja. Wanita itu tersenyum angkuh dan langsung menghampiri Liam.
“Bukankah kau merindukanku, sayang?” ucapnya sambil memeluk Liam tanpa sungkan. Liam tidak memberikan respon, hanya menatap dingin ke arah Saras yang terkejut melihat keberanian wanita itu.
“Aku sangat merindukanmu, sayang …” Wanita itu kemudian mencium Liam dengan bebas. Saras berdiri di dekatnya, terkejut hingga nyaris berteriak. Pemandangan itu hanya pernah ia lihat di layar ponsel dan televisi, tapi melihatnya terjadi di depan mata membuat dadanya sesak. Dia hendak pergi dari situ, tetapi langkahnya terhenti ketika Liam menarik tangannya.
“Mau kemana?” Liam menatapnya dingin.
Saras mundur dengan gugup dan tidak sengaja menginjak pecahan piring yang berserakan, melukai telapak kakinya. “A-aku harus membersihkan kolam renang,” katanya, mencari alasan untuk pergi dari situasi yang membuat kepalanya pusing. Namun, Liam hanya tersenyum remeh dan kembali duduk tanpa memedulikan Saras yang terluka.
Saat Saras akhirnya pergi, Liam berbalik pada wanita tadi, “Kenapa kau kembali, Luna?”
“Karena sudah sepantasnya aku berada di sisimu, Liam Anjaswara.”
Sementara itu, Saras duduk di dekat kolam renang sambil menarik pecahan piring dari kakinya yang berdarah. Dia kembali menangis dalam diam, meratapi nasibnya yang begitu jauh berbeda sejak ayahnya tiada.
Malam harinya, Saras sengaja menunggu kedatangan Liam untuk makan malam. walaupun jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, gadis itu berusaha untuk tetap terjaga dan tidak tidur saat Liam pulang. selang beberapa saat kemudian, terdengar suara pintu terbuka.“Kau sudah datang? Akan aku panaskan masakannya, tunggu—”Pria itu terlihat tidak berminat sama sekali. Liam hanya diam tanpa melihat ke arah Saras dan melanjutkan langkahnya menuju ke kamarnya. Saras hanya mampu tersenyum masam menatap makanan yang sudah ia siapkan akan terbuang percuma. Saras mengusap kasar air matanya, rasa benci dan cinta yang ia rasakan bersamaan sungguh membuat hatinya begitu terluka. merasa hal yang dilakukannya dianggap tidak berarti apa-apa bagi Liam, Saras memutuskan untuk kembali ke kamarnya.“Malam ini, kau harus ikut denganku.” ucap Liam saat memasuki kamar Saras yang masih terbuka lebar. walaupun mereka sudah menikah, tapi keduanya tidak pernah berada di kamar yang sama. Liam memutuskan untuk tidak
“M-menikah?” cicit Saras, melepas pelukan. Ia menatap wajah ayahnya yang terlihat begitu pucat, dan perasaan yang tidak ia pahami kembali merayap, menyesakkan dada. Kegelisahan itu bertambah saat matanya menyapu raut lelah sang ayah.“Tapi, Ayah ... kenapa begitu mendadak?” Suaranya bergetar, mencari jawaban yang terasa semakin sulit ia pahami. “Aku ... aku belum siap, Ayah.”Bagas hanya diam, memegang bahu Saras dengan tatapan penuh kepedihan, seolah setiap kata yang keluar adalah luka tersendiri baginya. “Ini sudah menjadi keputusan Ayah, Saras.” Kerutan di kening Saras semakin dalam. “Aku nggak mengerti ... Kenapa harus menikah? Apa karena—?” Tanyanya, dengan kebingungan dan ketakutan yang bercampur dalam dadanya.Bagas memegang erat tangan Saras, memotong perkataan Saras dan menuntunnya duduk di sofa. “Ayah hanya ingin memastikan kau aman. Kau harus menikah dengan pria yang bisa melindungi, yang bisa menggantikan Ayah kalau ... kalau terjadi sesuatu.”Saras terdiam. Kata-kata aya
“Menikah? Malam ini?” Saras nyaris tak percaya mendengar keputusan ayahnya yang begitu mendadak. Ia merasakan benaknya berputar-putar, menolak kenyataan yang bahkan belum bisa ia cerna sepenuhnya.Namun akhirnya, Saras hanya bisa menurut. Liam membawanya keluar dari rumah sakit, tetapi ke sebuah kantor pemerintahan yang telah disiapkan secara khusus malam itu untuk mengesahkan pernikahan mereka.Saras merasa seperti dalam mimpi, bahwa dirinya akan menjadi seorang istri, bahkan angan-angan untuk menikah saja tidak ia miliki, dan saat ini ia berjalan di belakang tubuh kekar Liam untuk menuju ruang pendaftaran. Di ruang itu, ia dan Liam dan Saras diminta untuk menandatangani berkas-berkas penting di hadapan seorang petugas. Setiap goresan tanda tangannya terasa berat, seolah ada bagian dari dirinya yang perlahan-lahan hilang. Namun, demi ayahnya, Saras mencoba memantapkan hati, mengikuti setiap prosedur yang diminta.Setelah semuanya rampung, mereka diarahkan ke ruang lain untuk sesi fo
Saat Liam keluar dari kamar mandi dengan wajah segar, ia langsung mengambil sebuah berkas tebal dari laci di samping tempat tidur dan menyerahkannya pada Saras yang masih berdiri bingung di tengah kamar.Saras yang melihatnya pun tertegun, Liam hanya mengenakan handuk yang menutupi bagian bawahnya, dengan air yang masih mengalir di tubuh kekarnya.“Pahami dan tanda tangani,” ucap Liam datar, membuyarkan pikiran kotor Saras. Liam berbicara dengan tatapan serius yang nyaris menembus pertahanan Saras.Saras ragu saat membuka halaman pertama. Tulisan di kontrak itu terasa sangat formal, kaku, dan jauh dari pernikahan yang selama ini ia bayangkan. Tanpa menyentuh tempat tidur, ia berdiri sambil membaca beberapa poin awal.Saras mengerutkan kening, merasa sedikit lega karena ia pikir pernikahan ini tidak akan melibatkan hal yang lebih jauh. Namun, semakin ia membaca, perasaannya berubah menjadi semakin bingung dan tidak nyaman. Saras kira, setelah menikah, Liam akan meminta mereka untuk tid