Malla keluar dari ruangannya, berdiri di antara Sarina dengan sorot mata tajam dan Inara dengan raut wajah masih kagetnya mendapati mertuanya yang kejam itu. “Buk Sarina,” kata Malla, amat mengenali wanita paruh baya itu.Sarina mengalihkan pandangan dari Inara kepada Malla. Melihat dokter kandungan itu membuatnya ingat tujuannya datang ke ruangan Malla untuk mendesak dokter itu agar segera menangani Cici yang muntah-muntah ruangan darurat. Inara dikesampingkan, ia mengabaikan menantu yang tidak diinginkannya itu dan mengajak Malla menemui Cici. “Periksa menantu saya dokter,” kata Sarina, berjalan cepat dengan tangan menggenggam pergelangan tangan Malla. Inara memperhatikan kecemasan yang tergambar di wajah mertuanya itu. Sedikit rasa iri terselip di hatinya, dirinya hanya bagikan setumpuk debu yang tidak berharga, sedangkan Cici bagaikan setumpuk emas yang bernilai tinggi. “Andaikan Mama bisa bersikap seperti itu padaku,” kata Inara, sejenak berkhayal bisa mendapatkan kasih sayang
Inara duduk di bangku dengan kedua tangan dan kaki diikat, kepala terteleng ke kanan dalam ketidaksadaran di ruangan tamu yang tidak terurus di rumah kosong yang ada di jalan Jahadi yang berada di area jalan tol yang sunyi. Seseorang membuka pintu rumah itu, Sarina adalah orangnya yang diikuti oleh dua pria yang tadi menculik Inara. Di waktu yang sama, wanita yang mereka culik sadarkan diri. Pandangan samar Inara berakhir jelas pada wujud sang ibu mertua yang membuat diam kaget. “Mama,” lirih Inara. “Mama? Aku akan merobek mulutmu itu jika aku mendengar mu memanggilku Mama lagi. Kamu hanya kucing liar bagiku,” hina Sarina dengan memperlihatkan wajah kesalnya. Sarina melangkah maju, mendekatkan diri pada Inara yang ketakutan padanya sampai tidak sanggup untuk menatap matanya. Wanita paruh baya itu menyodorkan telapak tangan kepada salah satu orang suruhannya yang memegang sebuah map biru di sini kanannya. Pria di sisi kanan wanita paruh baya itu menaruh map itu ke atas telapak tang
Sarina tidak tahu kalau putra sulungnya itu berbohong. Perkataan Lohan memberikannya sebuah ide yang cukup menarik. Ia tersenyum ringan dan menganggukan kepala beberapa kali. “Bawa dia ke rumah. Mulai hari ini dia akan bekerja di rumah,” kata Sarina dan berjalan menuju mobil dikemudikan sendiri olehnya. Lohan sedikit bingung dengan respons ibunya itu, tidak biasanya ia melihat Sarina menyetujui sesuatu begitu cepatnya, tentunya ada hal yang menguntungkan baginya. Lohan merasakan hal itu. Bukan hanya dirinya, Ditya juga merasakan keanehan Sarina yang sedikit baik. Biasanya Sarina cukup terbilang sangar dan sulit untuk ditaklukkan meskipun hanya merekrut seseorang sebagai pembantu di rumah. Sebelumnya pernah terjadi pencarian pembantu di bidang pekerja luaran rumah, mereka yang melamar pekerjaan harus menghadapi banyak rintangan termasuk ocehan pedas Sarina. “Baru kali ini aku melihat Mama cukup simpel saat diajak berkomunikasi,” kata Ditya. “Tentu, dia pasti memiliki rencana,” kat
Qian duduk bersandar dengan kedua kaki dipanjangkan ke depan di atas kasur. Ia baru sembuh dari rasa sakit yang sempat mengguncang otaknya. Sarina datang membawakan segelas air putih, memberikannya kepada anaknya itu sambil duduk di tepi kasur.“Jangan berpikir terlalu keras. Otakmu itu masih rapuh,” kata Sarina, sedikit marah. “Wanita tadi, siapa? Aku pernah bertemu dengannya setelah pulang dari rumah sakit,” cerita Qian. “Lalu, dia bilang apa sama mu?” tanya Sarina, penasaran.“Tidak ada. Memangnya dia siapa? Kenapa ada di sini?”“Pembantu baru. Kakakmu menemukannya di jalan dan merasa kasihan. Jadi, dia merekomendasikannya kepada Mama karena kebetulan Mama membutuhkan seorang pembantu,” kata Sarina. Qian manggut-manggut paham. “Kamu istirahat saja. Nanti malam ke rumah sakit untuk menjaga Cici. Operasinya berjalan lancar. Kedepannya jangan bahas mengenai anak dengannya, nanti kita pikirkan cara untuk mendapatkan anak untuk kalian,” pesan Sarina. “Tidak memiliki anak pun, tidak
Setelah pulang kerja di tengah malam, Lohan menyempatkan diri mampir di apartemen untuk mengambil barang-barang Inara yang masih tinggal di apartemennya itu. Setelah sampai di rumah, ia langsung ke kamar Inara yang ada di belakang, bersebelahan dengan dapur. Punggung tangannya beberapa kali mengetuk pintu sambil memanggil wanita itu. Karena Inara tidak ada di dalam, pintu tersebut tidak dibuka. “Pastinya dia sudah tidur. Tapi, barang-barang ini harus aku berikan kepada,” kata Lohan sambil memandangi tas di jinjingan tangannya. Lohan mengeluarkan ponsel dari saku celana dan menghubungi nomor Inara. Ponsel Inara berdering dari dalam. Lohan memiliki firasat yang kurang mengenakan yang membuatnya memberanikan diri membuka pintu kamar itu yang baru disadari tidak dikunci.Kekosongan ditemukan. Lohan menaruh tas itu ke lantai dan keluar dari kamar itu, ia mencari Inara di dapur. “Tidak ada juga. Ini sudah larut malam. Di mana dia?” tanya Lohan, bingung dan penasaran. Lohan keluar dari
Beberapa Hari Kemudian ....Qian kembali ke rumah bersama Cici yang baru keluar dari rumah sakit, ia membopong istrinya itu memasuki rumah, di hadapan kedua orang tuanya dan orang tua istrinya itu. Inara memperhatikan mereka dari pintu dapur, hanya mengintip dengan rasa cemburu. Air matanya menetes melihat kedekatan mereka, sedangkan dirinya diabaikan, meski tahu Qian tidak bersalah karena tidak mengingatnya. “Kapan semua ini akan berakhir?” tanya Inara, dalam hati. “Inara …! Bawakan ke sini minumannya!” Suara Sarina terdengar keras memanggil Inara. Qian berhenti melangkah di tengah anak tangga, ia menoleh ke bawah, melihat Inara berjalan membawa beberapa gelas minuman di atas nampan. “Sesuatu yang familiar ada di benakku saat melihat wanita itu. Siapa dia sebenarnya?” tanya Qian, berkata dalam hati dengan kaki lanjut berjalan menaiki tangga. “Mari minum, Jeng! Pak Erlanda,” kata Sarina dengan ramahnya. Tias dan Erlanda menganggukkan kepala sambil memperhatikan wanita sopan yang
Qian melanjutkan kaki berjalan keluar dari teras rumah bersama ekspresi datarnya, menyembunyikan rasa senang yang tadi singgah sejenak di hatinya. Lohan tersenyum ringan melihat tingkah adiknya itu yang angkuh. Lohan bergantian memperhatikan Inara, ia juga dibuat terpesona oleh wanita itu. "Dia adik iparmu, Lohan," kata Lohan, berkata dalam hati dan lanjut berjalan memasuki rumah. Masuknya Lohan ke dalam rumah tidak dengan ekspresi sebelumnya, ia tampak menahan kemarahan. Gelagat marahnya itu membuat Sarina berdiri dari dudukannya."Kenapa?" tanya Sarina, sedikit cemas. "Di mana Pak Rinto dan Bi Dini? Mereka yang sudah mengambil perhiasan Mama. CCTV di ruang tamu mereka palsukan dengan bantuan hacker. Mereka sudah menjadikan Inara kambing hitamnya. Kamera tersembunyi aku taruh di kamar mereka karena aku curiga pada mereka. Ternyata dugaanku benar," kata Lohan dengan emosi yang sedikit terlihat di wajahnya. "Mereka? Tidak mungkin." Sarina masih tidak percaya.Lohan merogoh saku ce
Qian dan Lohan duduk berhadapan dalam kesunyian ruangan setelah Qian melayangkan pertanyaan. Ruangan itu milik Qian dan orang yang ajaknya bertemu adalah Lohan, kakak yang diyakini pasti tahu semua yang terjadi beberapa tahun terakhir. “Kamu pasti tahu jawabannya, kan? Hari ini aku mendengarnya kalau aku pernah menikah sebelumnya. Itu benar?” tanya Qian. “Mengapa kamu bertanya padaku? Masih ada Mama dan Papa. Jika kamu tidak bisa mendapatkan jawabannya dari mereka, cari sendiri. Untuk apa juga kamu membahas hal itu? Bukankah kamu tidak menginginkan wanita gila dan bisu itu?” tanya Lohan dengan senyuman remeh dan duduk menyilangkan kaki dengan santainya.“Kamu tau sendiri mereka tidak bisa diandalkan,” balas Qian. “Aku tidak tau. Kalau begitu, aku pergi dulu,” ucap Lohan sambil berdiri dan meningkatkan ruangan itu tanpa memberikan kebenarannya. Tingkah Lohan membuat Qian kesal. Tangannya memukul meja untuk melampiaskan emosionalny