Usai makan, usai melepaskan kepulangan keluarga mereka, Inara dan Qian memasuki kamar yang sudah disiapkan Tias dan Erlanda untuk mereka di kediaman mereka, di mana mereka bisa tempati saat berkunjung seperti malam ini. Inara dan Qian tidak kembali ke kediaman mereka. Untuk pertama kalinya mereka menginap di rumah itu untuk menghargai Tias dan Erlanda yang selalu meminta mereka menginap. “Melelahkan,” ucap Inara sambil duduk di tepi kasur yang empuk di kamar itu. Pintu kamar ditutup Qian dan pria itu bergegas melepaskan kancing kemeja sambil memutar badan ke belakang dan tangannya berhenti lanjut melepaskan kancing baju itu setelah melihat Inara duduk dalam kelelahan. Ekspresi pria itu mulai menampakkan kekecewaan dan kembali memasang kancing bajunya. Sesuatu muncul di benak kalian terhadap apa yang ingin dilakukan Qian sebelumnya? Benar, itu benar. Pria itu duduk di samping Inara dan memijat kedua pundak istrinya itu dari belakang. Tampak wanita itu menikmati dan membetulkan posi
Qian pantas mendapatkan wanita yang lebih baik darimu. Kamu tidak pantas berada di rumah Wirananda, kamu akan tinggal di sini sampai Qian menikah dengan wanita yang sempurna, bukannya wanita miskin sepertimu.Wanita paruh baya itu, ibu mertuanya, Sarina megaswara, membuatnya berpikir kalau dirinya bagaikan seekor ternak yang terkena wabah penyakit. Inara Mustika, wanita yang masih berusia 25 tahun itu dikurung dalam kondisi normal di gudang belakang rumah keluarga Wirananda, keluarga mertuanya. Sejak dirinya dibeli, sejak ia dinikahi oleh salah satu anak dikeluraga itu, Inara dikurung di gudang yang memiliki luas 4 m × 4 m itu seperti seorang tahan. Kadang ia berpikir. Apa salahku? Apa menjadi miskin adalah kesalahan? Benar. Bagi mereka, miskin itu ialah penyakit yang harus dijauhi, itulah pendapat Sarina.Inara duduk menekuk lutut di atas kasur batangan yang dibaringinya selama ini. Tubuhnya menghadap ke arah jendela kayu yang di luarnya terlihat halaman belakang rumah. Dari sanalah i
Mobil yang dikemudikan Ditya berhenti di parkiran mobil gedung Embelas yang menjorok langsung ke jalan raya. Ditya keluar dari mobil dan menghampiri pria yang berdiri menunggunya di halaman gedung. Pria dengan tinggi yang sama seperti Ditya itu, pria dalam balutan jas putih itu bernama Qianzie Wirananda, putra kedua keluarga Wirananda."Pinjam mobilmu. Kakak ingin ke rumah sebentar, ada barang yang tertinggal," ucapnya sambil menyodorkan tangan, meminta kunci mobil pada Ditya."Biar aku saja. Bukannya kakak akan menikah? Pergilah! Aku yang akan menjemput barang itu.""Tidak. Kakak saja. Cepat! Jangan buat semua orang menunggu," desak Qian.Ditya memberikan kunci mobil itu ke tangan Qian dan melanjutkan perjalan masuk ke dalam gedung.Qian menoleh ke belakang, memperhatikan kepergian adiknya itu sambil tersenyum licik. Qian melambungkan kunci mobil ke atas dan menangkapnya sambil tersenyum seringai berjalan menuju mobil. Qian mengemudikan mobil mewah kesayangan adiknya itu dengan kelaju
Qian sudah mendengar semua cerita Inara yang membuatnya diam tak habis pikir dengan kejadian yang sudah dialami wanita itu karena keluarganya, terutama perbuatan ibunya. Qian hanya bisa diam menyetir mobil tanpa bisa menatap wajah wanita yang duduk diam di sampingnya itu karena merasa bersalah."Dengan apa aku membayar 1001 malam mu di gudang itu?" tanya Qian, prihatin."Itu tidak bisa dibayar meskipun dengan jutaan, miliaran, ataupun triliun uang. Bagiku kebebasan adalah kebahagiaan. Dan, kebahagiaan itu tidak bisa diukur dengan uang," terang Inara sambil tersenyum ringan."Benar. Aku juga berpikir hal yang sama. Hmm … bagaimana kalau kita memperbaiki hubungan kita?" tanya Qian, memasang wajah ragu."Kamu tahu Mama mu seperti apa. Dia tidak akan setuju dan akan memikirkan banyak cara untuk menyingkirkan ku darimu. Dia bahkan sudah membuat kedua orang tuaku pindah dari kota ini dan mereka entah di mana sekarang," ungkap Inara."Aku punya satu cara. Aku harap kamu setuju. Ini sedikit dr
Qian terbangun dari tidurnya. Dadanya terasa sesak dan sulit bernapas karena redupnya cahaya kamar. Sebenarnya, pria itu terbiasa tidur dengan cahaya lampu yang terang. Qian berlari sampai terdengar langkah kakinya menuju saklar lampu dan menghidupkan lampu di kamar itu. Perlahan napasnya mulai stabil setelah menarik napas dalam-dalam dan membuangnya secara perlahan.Qian menoleh ke samping. Tampak olehnya Inara tidur dalam keadaan menangis. Di kedua sudut mata wanita itu mengalir air mata yang deras dalam kondisi mata yang masih tertutup. Qian jadi khawatir, ia duduk di tepi kasur dan menepis bahu Inara untuk membangunkannya.Tubuh Inara bereaksi kaget, bahkan sampai duduk dan menarik tubuh menjauh dari Qian, seolah pria itu penjahat."Huff ...! Maaf," ucap Inara dengan kepala tertunduk.Qian menganggukkan kepala dengan wajah bingung memperhatikan wanita itu menghapus air mata di pipinya, seakan ia sudah terbiasa dengan hal itu."Kamu baik-baik saja?" tanya Qian, menatapnya."Aku men
Hampir setengah jam Inara berada di kamar mandi. Setelah keluar, ia melihat kekosongan. Pelayan yang tadi berada di kamar telah pergi. Inara menujukan mata ke pakaian yang ada di atas kasur, dress biru muda dengan corak bunga berwarna putih dan memiliki panjang hingga betisnya. Kaki Inara berjalan mendekati kasur untuk mengambil pakaian itu. Tidak hanya ada dress, di sana juga ada pakaian dalam. Ia mengenakan semua yang telah disediakan pelayan itu dan berdiri di depan cermin besar meja rias, melihat penampilannya setelah terlepas dari dress putih yang selalu dikenakannya di gudang. Matanya mendapati beberapa kosmetik di atas meja. Inara meyakini pelayan itu yang membawanya karena semalam belum ada. Ia duduk di bangku rias dan mengeringkan rambutnya menggunakan hair dryer. Setelah mengeringkan rambut, Inara menyisirnya. Tangannya bergerak pelan menyisir rambutnya ke bawah dalam beban pikiran mengingat perkataan Qian yang berencana membuatkannya tinggal di hotel itu sampai kondisi b
Qian meletakkan ponsel ke laci mobil bagian depan. Kemudian, tangannya lengkap menggenggam setir mobil, mengendalikannya dengan kecepatan sedang. Perasaan kacau menarik keresahan di hati dan pikirannya. Rencana yang sempat diceritakan kepada Inara mulai diragukan akan keberhasilannya. Ia juga merasa bersalah karena kembali melibatkan wanita yang sudah disiksa oleh ibunya itu.. "Kenapa aku terlalu gegabah? Seharusnya aku tidak lagi melibatkan Inara." Qian kesal pada dirinya sendiri. Ponselnya kembali berdering. Orang yang menghubunginya kali ini adalah Lohan, sang kakak yang kini berdiri di teras rumah sambil memperhatikan kepergian Narsih yang diusir dari rumah itu. Qian kembali meletakkan ponsel itu ke laci, ia enggan menjawabnya sambungan telepon Lohan karena hubungan mereka juga tidak harmonis. Ia berasumsi dengan tebakan kalau Lohan akan memarahinya."Dia pasti senang karena memiliki bahan untuk diperdebatkan denganku," kata Qian sambil menatap fokus ke depan.Lohan tidak menyer
'Kamu pembawa sial!'Suara Sarina terekam jelas saat memakinya.Inara membuka mata secara pelan dan memandangi langit-langit kamar rumah sakit. Kemudian, matanya beralih menatap Lohan yang duduk dengan kedua tangan menyilang di samping kasur yang ditidurinya. Wanita dalam setelan baju rumah sakit warna biru itu sangat mengenalinya wajah Lohan karena pernah melihatnya di foto keluarga besar Wirananda. "Kenapa kakaknya Qian ada di sini? Kenapa aku di sini?" tanya Inara sambil mengingat kejadian pagi ini. Ekspresinya berubah kaget setelah ingat kalau dirinya tertabrak mobil karena syok mendengar kabar kecelakaan Qian dan ingin ke kediaman Wirananda sesegera mungkin untuk mencari tahu keberadaan Qian yang dibawa ke rumah sakit mana? "Kondisi Qian, bagaimana? Dia …." Inara bertanya sambil duduk dengan Lohan yang ikut sontak ingin membantu. Tapi, ia kembali duduk dan menarik kecemasan setelah melihat wanita itu baik-baik saja. "Dia baik-baik saja. Kamu bersamanya semalam?" tanya Lohan.