Share

Terang dan Redup

Penulis: Windersone
last update Terakhir Diperbarui: 2023-11-10 16:44:20

Qian terbangun dari tidurnya. Dadanya terasa sesak dan sulit bernapas karena redupnya cahaya kamar. Sebenarnya, pria itu terbiasa tidur dengan cahaya lampu yang terang. Qian berlari sampai terdengar langkah kakinya menuju saklar lampu dan menghidupkan lampu di kamar itu. Perlahan napasnya mulai stabil setelah menarik napas dalam-dalam dan membuangnya secara perlahan.

Qian menoleh ke samping. Tampak olehnya Inara tidur dalam keadaan menangis. Di kedua sudut mata wanita itu mengalir air mata yang deras dalam kondisi mata yang masih tertutup. Qian jadi khawatir, ia duduk di tepi kasur dan menepis bahu Inara untuk membangunkannya.

Tubuh Inara bereaksi kaget, bahkan sampai duduk dan menarik tubuh menjauh dari Qian, seolah pria itu penjahat.

"Huff ...! Maaf," ucap Inara dengan kepala tertunduk.

Qian menganggukkan kepala dengan wajah bingung memperhatikan wanita itu menghapus air mata di pipinya, seakan ia sudah terbiasa dengan hal itu.

"Kamu baik-baik saja?" tanya Qian, menatapnya.

"Aku mengigau? Maaf karena sudah mengganggu tidurmu. Ini kebiasaanku." Inara tertawa ringan.

"Insomnia? Itu bukan kebiasaan, tapi gangguan karena kecemasan ataupun stres. Coba duduk dengan tenang dan rileks kan pikiran juga tubuhmu," arah Qian sambil duduk bersila dan memegang kedua tangan Inara yang mengikuti posisi duduknya.

Qian bertingkah seperti infrastruktur yoga, ia membantu Inara untuk menenangkan diri dengan cara rileksasi. Inara mendengar haba-haba dari mulutnya, sampai wanita itu memejamkan mata dan menenangkan pikirannya yang masih mengingat kegelapannya selama tinggal di gudang. Qian menatap setiap bagian wajah Inara dengan sorot mata lembut. Ia tidak menyangkal kalau wanita itu tidak seburuk yang dibayangkannya. Bagian mata, alis, dan bibir wanita itu membuatnya menelan air liur.

Pelan, mata Inara terbuka dan langsung terkoneksi dengan tatapan Qian. Jantungnya berdetak kencang, wajahnya memucat karena gugup, dan tangannya itu sedikit gemetar. Qian merasakannya.

Inara menundukkan pandangan karena tidak sanggup terlalu lama saling menatap. Ia salah tingkah. Tangan Qian yang memegang tangannya perlahan menjalar ke bahu yang membuat tubuh Inara membeku.

Tangan Qian berhenti di kedua rahangnya. Mata Qian tidak beralih menatap bibirnya, betapa tergoda nya Qian melihat bibir kecil Inara yang menarik bibirnya untuk mendekat seperti magnet.

Akhirnya, bibir Qian mendarat di bibir kecil indah milik wanita itu. Perlahan ia melahap bibir itu secara bertahap, dari atas ke bawah, sisi kiri ke kanan dan menciptakan bunyi khas di kesunyian kamar. Inara memejamkan mata dan melilitkan tangannya di leher Qian, ia menikmati sentuhan bibir pria yang masih berstatus suaminya itu.

Inara kaget saat Qian mendorong tubuhnya ke kasur, menelentangkan tubuhnya. Sikap lembut Qian berubah sedikit ganas, tangannya memburu kancing baju Inara untuk membukanya karena tidak bisa mengendalikan diri dalam gairahnya. Inara mencengkram kedua pergelangan tangan Qian. Seketika pria itu diam dan mengarahkan mata menatap Inara yang ketakutan.

"Maaf. Aku akan bersikap lebih lembut lagi," ucap Qian, meyakinkan.

Qian menghela napas untuk menenangkan diri. Tangannya lanjut melepaskan kancing baju Inara dan kembali menikmati bibir istrinya itu sampai berlanjut ke leher, pundak, hingga dada wanita itu dengan kedua tangan mencengkram kedua tangan Inara yang mengarah ke atas, sejajar dengan kepalanya. Inara diam dengan mata terpejam, menikmati sentuhan yang membuatnya tertarik dalam jurang kenikmatan. Giginya mengingat bibir bawah untuk menahan suara kenikmatan keluar karena merasa malu untuk mengeksposnya.

Tangan Qian mulai bermain nakal memasuki bawahan Inara dari bagian pinggang. Ia meraba paha mulus Inara yang tidak ada sedikitpun goresan di sana.

Qian tidak bisa menahan dirinya lagi. Ia menarik selimut dan menutupi tubuh mereka, selimut itu melahap seluruh tubuh mereka tanpa ada satu bagian dari tubuh mereka yang tampak. Hanya ada gugusan dari tubuh Qian yang terlihat menonjol dari luar selimut karena sudah berada di atas tubuh Inara dan akan melakukan aksinya sebagai seorang suami dalam nafkah batin. Satu persatu pakai yang mereka kenakan di lempar keluar dari tepian selimut dan berserakan di lantai, termasuk pakaian dalam.

"Ini tidak sakit, kan?" Suara Inara terdengar kecil dari dalam selimut itu.

"Kita coba. Mungkin awalnya akan sakit. Tapi, aku akan berusaha pelan-pelan," balas Qian dengan volume suara yang sama.

Gerakan erotis mulai terlihat dari sisi luar selimut, dari tubuh Qian yang bergerak ke atas dan ke bawah. Erangan mereka perlahan terdengar setelah menikmati adegan itu beberapa menit. Selimut menjadi saksi bisu hubungan mereka. Lalu, dinding kamar menjadi telinga yang mendengar erangan mereka. Sampai akhirnya, mereka berada di ujung adegan erotis seperti gunung merapi yang meletus dan mengeluarkan laharnya.

***

Inara membuka mata dan mendapati langit-langit kamar hotel yang diterangi oleh cahaya matahari yang masuk dari jendela kaca. Beberapa menit tubuh Inara diam mematung tidak bisa bergerak kiri maupun kanan seperti orang lumpuh. Tubuhnya terasa remuk, ingin rubuh karena saking pegal dan nyeri.

Ingatan adegan bersama Qian semalam membayanginya. Bukannya senang, Inara malah sedikit gelisah. Keberanian bertemu Qian menciut karena malu.

"Di mana dia?" Kedua bola matanya menoleh ke kiri, di mana Qian berbaring semalam.

Di atas kasur hanya ada dirinya, bahkan di kamar itu juga hanya ada dirinya. Tidak ada tanda-tanda orang lain selain dirinya. Inara berusaha berdiri dari kasur dalam balutan selimut menutupi tubuhnya, ia berjalan menuju pintu kamar mandi dan mengetuk pintu sambil memanggil Qian.

"Kamu ada di dalam?" tanya Inara, ragu.

Namun, tidak ada suara yang menyahut. Ia membuka pintu kamar mandi dan melayangkan mata menjelajah ke setiap sisi kamar mandi yang menunjukkan kekosongan.

"Mbak sudah bangun?" Seorang pelayan wanita yang berdiri di ambang pintu kamar bertanya.

Tubuh dan ekspresi Inara berubah kaget. Ia menoleh ke belakang dan menutup pintu kamar mandi.

Pelayan yang datang kali ini adalah pelayan wanita selama yang membantu Qian membeli baju tidur untuk mereka. Pagi ini pelayan itu melakukan hal yang sama. Di tangannya ada nampan makanan dan tas belanja tergantung di pergelangan tangan kanannya.

"Mbak mandi saja. Saya akan bereskan kamar ini," kata pelayan yang tampak seusianya.

Pelayan itu berjalan masuk ke dalam kamar, ia menghampiri meja yang ada di depan sofa panjang yang tersandar ke dinding. Nampan yang membawa makanan dan minuman itu di letakkan di atas meja itu.

Wujud pelayan itu membuat Inara penasaran di mana Qian? Tapi, ia tidak ingin mempertahankannya kepada pelayan itu. Ia berjalan masuk ke kamar mandi, menutup pintu, dan lanjut berjalan menuju bathtub. Tubuhnya direndam di sana sambil mengingat kejadian semalam yang selalu membayanginya dengan perasaan bahagia. Tapi, disamping itu, ia juga diganggu oleh ketidaksenangan saat memikirkan Sarina. Rencana Qian mulai membuatnya ragu, ia tidak yakin rencana itu akan berhasil.

"Apa dengan aku hamil, Mama Sarina dan semua orang di rumah itu bisa baik padaku? Mengapa aku tidak yakin itu akan berhasil." Inara pesimis.

Suara desisan kecil keluar dari mulutnya. Wajahnya menunjukkan ekspresi kesakitan karena merasa organ vitalnya terasa nyeri karena hubungan semalam.

"Bagaimana jika rencana ini gagal? Kemarahan Mama Sarina bisa meruntuhkan rumah itu. Dia bisa membunuhku." Inara lanjut berbicara sendiri, meratapi dirinya yang dibenci oleh keluar Wirananda.

Bab terkait

  • Penantian Sang Istri Teraniaya   Kemarahan Sarina

    Hampir setengah jam Inara berada di kamar mandi. Setelah keluar, ia melihat kekosongan. Pelayan yang tadi berada di kamar telah pergi. Inara menujukan mata ke pakaian yang ada di atas kasur, dress biru muda dengan corak bunga berwarna putih dan memiliki panjang hingga betisnya. Kaki Inara berjalan mendekati kasur untuk mengambil pakaian itu. Tidak hanya ada dress, di sana juga ada pakaian dalam. Ia mengenakan semua yang telah disediakan pelayan itu dan berdiri di depan cermin besar meja rias, melihat penampilannya setelah terlepas dari dress putih yang selalu dikenakannya di gudang. Matanya mendapati beberapa kosmetik di atas meja. Inara meyakini pelayan itu yang membawanya karena semalam belum ada. Ia duduk di bangku rias dan mengeringkan rambutnya menggunakan hair dryer. Setelah mengeringkan rambut, Inara menyisirnya. Tangannya bergerak pelan menyisir rambutnya ke bawah dalam beban pikiran mengingat perkataan Qian yang berencana membuatkannya tinggal di hotel itu sampai kondisi b

    Terakhir Diperbarui : 2023-11-10
  • Penantian Sang Istri Teraniaya   Kecelakaan Di Pertigaan

    Qian meletakkan ponsel ke laci mobil bagian depan. Kemudian, tangannya lengkap menggenggam setir mobil, mengendalikannya dengan kecepatan sedang. Perasaan kacau menarik keresahan di hati dan pikirannya. Rencana yang sempat diceritakan kepada Inara mulai diragukan akan keberhasilannya. Ia juga merasa bersalah karena kembali melibatkan wanita yang sudah disiksa oleh ibunya itu.. "Kenapa aku terlalu gegabah? Seharusnya aku tidak lagi melibatkan Inara." Qian kesal pada dirinya sendiri. Ponselnya kembali berdering. Orang yang menghubunginya kali ini adalah Lohan, sang kakak yang kini berdiri di teras rumah sambil memperhatikan kepergian Narsih yang diusir dari rumah itu. Qian kembali meletakkan ponsel itu ke laci, ia enggan menjawabnya sambungan telepon Lohan karena hubungan mereka juga tidak harmonis. Ia berasumsi dengan tebakan kalau Lohan akan memarahinya."Dia pasti senang karena memiliki bahan untuk diperdebatkan denganku," kata Qian sambil menatap fokus ke depan.Lohan tidak menyer

    Terakhir Diperbarui : 2023-12-12
  • Penantian Sang Istri Teraniaya   Berusaha Menemuinya

    'Kamu pembawa sial!'Suara Sarina terekam jelas saat memakinya.Inara membuka mata secara pelan dan memandangi langit-langit kamar rumah sakit. Kemudian, matanya beralih menatap Lohan yang duduk dengan kedua tangan menyilang di samping kasur yang ditidurinya. Wanita dalam setelan baju rumah sakit warna biru itu sangat mengenalinya wajah Lohan karena pernah melihatnya di foto keluarga besar Wirananda. "Kenapa kakaknya Qian ada di sini? Kenapa aku di sini?" tanya Inara sambil mengingat kejadian pagi ini. Ekspresinya berubah kaget setelah ingat kalau dirinya tertabrak mobil karena syok mendengar kabar kecelakaan Qian dan ingin ke kediaman Wirananda sesegera mungkin untuk mencari tahu keberadaan Qian yang dibawa ke rumah sakit mana? "Kondisi Qian, bagaimana? Dia …." Inara bertanya sambil duduk dengan Lohan yang ikut sontak ingin membantu. Tapi, ia kembali duduk dan menarik kecemasan setelah melihat wanita itu baik-baik saja. "Dia baik-baik saja. Kamu bersamanya semalam?" tanya Lohan.

    Terakhir Diperbarui : 2023-12-13
  • Penantian Sang Istri Teraniaya   Hilang Ingatan

    Dua Minggu Kemudian ….Inara menyelinap masuk ke kamar Qian setelah melihat Irawan keluar dari kamar itu dalam setelan baju kerja. Pria paruh baya itu menyempatkan diri ke rumah sakit untuk melihat kondisi Qian di waktu jam istirahat siangnya. Kaki Inara melangkah masuk ke kamar Qian dan menutup pintu secara perlahan. Lalu, ia menghampiri tubuh sang suami yang sudah koma selama dua Minggu itu. "Bagaimana kabarmu hari ini? Hari ini aku membawakan bunga mawar baru agar suasana kamar mu lebih nyaman," ucap Inara sambil mengganti tiga tangkai bunga mawar yang ada di dalam vas bunga kecil dan panjang yang ada di atas meja di samping kasur.Sejak keluar dari rumah sakit, ia selalu mengunjungi Qian dengan membawakan bunga mawar putih dan menaruhnya di atas meja di kamar itu. Sekali dua hari ia mengganti bunga itu. "Aku selalu berdoa kamu secepatnya sadar. Kamu tahu, aku hamil. Anak kita membutuhkanmu," ucap Inara sambil mendarat tangan Qian ke perutnya. Jari-jari tangan Qian yang mendara

    Terakhir Diperbarui : 2023-12-14
  • Penantian Sang Istri Teraniaya   Berbadan Dua

    Keluar dari kamar Qian, Inara berjalan di lorong menuju lift yang akan mengantarkannya ke lobi rumah sakit. Sebelum mencapai lift, pintu lift itu terbuka, Cici keluar sambil menenteng plastik yang berisi makanan dan buahan yang disiapkan untuk Qian. Cici tersenyum ringan padanya karena tidak tahu kalau wanita yang saat ini berpapasan dengannya ialah istri sah pria yang akan meninggalkan pernikahan malam itu. Inara menoleh ke belakang, memperhatikan Cici memasuki kamar Qian. "Bagaimana nasib anakku ini nanti? Kasihan sekali, belum tumbuh sudah mati," kata Inara, berbicara dengan senyuman miris dan air mata yang menetes. Inara lanjut memasuki lift. Setelah keluar dari lift, ia melihat Sarina sedang berbicara bersama seorang wanita seusianya di tengah lobi. Inara bergegas bersembunyi, ia keluar dari rumah sakit itu melalui jalan lain.Di halaman rumah sakit ia bertemu Ditya, pemuda itu tidak sengaja berpapasan dengannya. "Kamu yang waktu itu, kan? Sudah keluar dari rumah sakit?" Dity

    Terakhir Diperbarui : 2023-12-16
  • Penantian Sang Istri Teraniaya   Bertemu Lagi

    Ditya mengemudikan mobil dengan earphone bluetooth yang menempel di telinganya. Ia sedang berbicara di dalam mobil bersama temannya, sedangkan Qian duduk memikirkan ekspresi orang-orang disekitarnya saat ia bertanya mengenai kenangan selama beberapa tahun terakhir yang dilupakannya."Baiklah. Kalau begitu, kita ngumpul di restoran seafood itu. Malam ini, kan? Oke."Ditya memutuskan sambungan telepon dan menoleh ke samping, fokus pada kakaknya yang diam dalam kebingungan. Ia bisa membaca apa yang sedang dipikirkan kakaknya itu. "Kak, mau ikut ngumpul bareng teman-teman ku malam ini? Sesekali, buang suntuk," kata Ditya. "Aku pikirkan dulu. Kita berhenti di depan dulu, aku ingin membeli sesuatu di minimarket," kata Qian. Ditya menganggukkan kepala, ia menepikan mobil di tepi jalan, di mana ada minimarket di sampingnya. Qian menyuruh Ditya membelikan sebotol minuman kaleng dingin. "Cuaca hari ini panas sekali," kata Qian. "Baiklah. Tunggu di sini. Biar otak kakak dingin dan tidak berp

    Terakhir Diperbarui : 2023-12-18
  • Penantian Sang Istri Teraniaya   Pernikahan Kedua Suami

    Satu Minggu Kemudian ….Qian merapikan dasi kupu-kupu yang sudah menempel di lehernya sambil memperhatikan penampilan di depan cermin di ruang ganti sebuah gedung besar yang dijadikan sebagai tempat penyelenggaraan pernikahan. Hari ini tepatnya hari di mana ia akan menikah bersama Cici yang saat ini sedang dirias di kamar lain. "Kakak ku memang yang terbaik. Setiap wanita yang melihat kakak pasti klepek-klepek," puji Ditya sambil berjalan masuk ke ruangan ganti, mendekati Qian. "Tentunya. Siapa dulu?" Qian tersenyum, membanggakan diri sendiri sambil memutar badan ke belakang. "Kalau begitu kita ke bawah. Semua orang sudah menunggu raja malam ini," kata Ditya dan memeluk tangan kanan Qian, mengajak kakaknya itu menuju ruang rumah penyelenggaraan pernikahan.Keluarnya Qian dari kamar itu, disambut meriah oleh para tamu undangan yang menyorotinya. Mereka terkesima dengan ketampanan putra kedua Wirananda itu sampai enggan memalingkan pandangan. Qian sesekali menundukkan kepala dan melay

    Terakhir Diperbarui : 2023-12-19
  • Penantian Sang Istri Teraniaya   Bertanggung Jawab

    Kepergian Lohan meninggalkan banyak asumsi di benak Inara. Selain itu, ada beberapa pertanyaan yang diberikan pada benaknya itu, tetapi ia juga menjawabnya sendiri. Ekspresi wajahnya cukup serius memikirkan perkataan Lohan sampai tidak sadar ada seorang pria gelandangan menyodorkan tangan meminta sedekah padanya. Ia sadar setelah Lohan memberikan uang kepada pengemis itu."Di mana kamu tinggal selama ini?" tanya Lohan sambil berjalan masuk ke dalam mobil bersama rasa penasaran."Di kontrakan yang ada di belakang restoran seafood di dekat lampu merah. Aku bekerja di sana," kata Inara, berbicara sambil menatap Lohan yang fokus mengemudikan mobil tanpa membalas tatapan wajahnya.Lohan diam bersama karakter dinginnya. Sejak pertanyaan itu berjawab, Lohan diam seolah tidak ada orang yang duduk di sampingnya. Sikap dingin dan cueknya itu menjadi khas dari seorang Lohan Wirananda yang membuat para wanita terpikat tidak hanya dengan ketampanan dan materi gang dimilikinya.Sekitar sepuluh meni

    Terakhir Diperbarui : 2023-12-22

Bab terbaru

  • Penantian Sang Istri Teraniaya   Bayinya Perempuan (Ending)

    Usai makan, usai melepaskan kepulangan keluarga mereka, Inara dan Qian memasuki kamar yang sudah disiapkan Tias dan Erlanda untuk mereka di kediaman mereka, di mana mereka bisa tempati saat berkunjung seperti malam ini. Inara dan Qian tidak kembali ke kediaman mereka. Untuk pertama kalinya mereka menginap di rumah itu untuk menghargai Tias dan Erlanda yang selalu meminta mereka menginap. “Melelahkan,” ucap Inara sambil duduk di tepi kasur yang empuk di kamar itu. Pintu kamar ditutup Qian dan pria itu bergegas melepaskan kancing kemeja sambil memutar badan ke belakang dan tangannya berhenti lanjut melepaskan kancing baju itu setelah melihat Inara duduk dalam kelelahan. Ekspresi pria itu mulai menampakkan kekecewaan dan kembali memasang kancing bajunya. Sesuatu muncul di benak kalian terhadap apa yang ingin dilakukan Qian sebelumnya? Benar, itu benar. Pria itu duduk di samping Inara dan memijat kedua pundak istrinya itu dari belakang. Tampak wanita itu menikmati dan membetulkan posi

  • Penantian Sang Istri Teraniaya   Tandatangani

    LIMA BULAN KEMUDIAN ….Qian mengemudikan mobil di mana Inara duduk di sampingnya, mereka akan menghabiskan waktu seharian di hari Minggu yang kebetulan cerah. Mereka akan ke taman, menikmati suasana taman yang biasa dikunjungi oleh anak-anak. Wanita yang kini sudah hamil lima bulan lebih itu mengidam ingin melihat suasana taman yang dipenuhi oleh anak-anak kecil. Setelah mobil terparkir, Qian merangkul pinggang istrinya itu keluar dari mobil, membimbing memasuki area taman dengan kehati-hatian sampai duduk di bangku salah satu taman yang kebetulan berada di bawah pohon yang rindang. “Kamu duduk di sini dulu. Biar aku belikan beberapa minuman dan makanan di minimarket seberang,” pesan Qian yang takut Inara ke mana-mana. Pria itu berlalu pergi setelah Inara menganggukkan kepala. Baru beberapa menit Qian pergi, deringan telepon terdengar dari tas yang ditaruh di sisi kanannya. Dirogoh olehnya tas jinjing itu dan mengeluarkan ponsel kepemilikan Qian yang dititipkan suaminya itu ketika

  • Penantian Sang Istri Teraniaya   Menapa Kalian Menatapku Begitu?

    Di hadapan semua orang, terutama di hadapan Inara yang sudah duduk di samping Elmi, mendengar semua cerita dari Devi dari awal sampai kejadian bayi tertukar itu terjadi. Sepanjang cerita itu berlangsung, Elmi dan Tias sama-sama menangis, satu karena kebenaran Inara bulan putri kandungnya dan satu lagi menangis karena rasa haru bisa bertemu putri yang dianggapnya telah meninggal selama ini. “Sekali lagi saya minta maaf,” ucap Devi dengan wajah meminta belas kasih mereka. “Wah … ini tidak bisa didiamkan. Harus dibawa ke jalur hukum, nih,” celetuk Ditya. “Diam,” tegur Lohan dengan suara kecil kepada sang adik.Inara jadi bingung sendiri, entah harus mengekspresikan hal tersebut dengan bahagia atau malah sedih. Tias bangkit dari tempat duduknya, tidak sabar ingin memeluk wanita itu setelah menahan diri sejak tadi. Dalam pelukan itu Inara masih diam, masih bingung untuk bertingkah. Ia malah menatap Elmi yang diam bersedih, yang membuat hatinya ikut bersedih. Bergegas Inara melepaskan p

  • Penantian Sang Istri Teraniaya   Jadi, Inara Anak Kita?

    Erlanda menggeleng-gelengkan kepala, tidak habis pikir dengan sikap Sarina terhadap putrinya. Berbeda dengan Tias, istri pria paruh baya itu malah memperhatikan Inara yang berjalan memunggunginya sampai wanita itu memasuki kamar. Ekspresi murung tergambar di wajah wanita itu. “Kami benar-benar kecewa, Bu Sarina,” ucap Erlanda dan hendak mengikuti jejak Cici. Namun, diamnya Tias dalam lamunan sedih wanita itu membuat Erlanda terhenti dan menggenggam pergelangan tangan kanan istrinya itu, menyadarkan Tias. Lanjut, membawa wanita itu keluar dari rumah itu dengan kepala Tias menoleh ke belakang, tidak memperhatikan jalannya saat berjalan. Tias menghentikan langkah kakinya di depan rumah tersebut setelah mendengar suara deringan telepon dari saku celananya. Itu ikut menghentikan langkah Erlanda dan pria itu memperhatikan Tias menerima sambungan telepon dari seseorang yang tampak membuat istrinya itu terharu sampai meneteskan air mata. “Suster tidak berbohong, kan?” tanya Tias. Sejenak

  • Penantian Sang Istri Teraniaya   Kamu Percaya, kan?

    Ekspresi Sarina berubah sedih setelah mendengar penjelasan dokter di luar kamar Qian, di mana juga ada Inara yang berdiri di sisi kanannya. Sarina terperangah, merasa tidak percaya putra kesayangan itu melupakan dirinya dan hanya mengingat Inara karena hanya wanita itu yang berkesan di memorinya Qian. “Tolong jangan paksa pasien untuk mengingat. Karena cedera yang sebelumnya pernah dialaminya membuat otaknya cukup rusak. Jika dipaksa mengingat, pasien bisa kehilangan nyawa atau bodoh,” terang dokter berjenis kelamin laki-laki itu. Dokter paruh baya itu melewati keberadaan Sarina dan Inara, meninggalkan mereka di depan kamar itu. “Qian tidak mengingatku,” kata Sarina, menangis. Inara memperhatikan kesedihan di wajah mertuanya itu yang membuatnya ikut bersedih. Inara melangkah mendekati Sarina, memberanikan diri memeluk ibu mertuanya itu untuk menyalurkan energi agar wanita itu bisa lebih kuat dengan kesedihannya. “Qian pasti bisa mengingat Mama lagi. Orang yang paling disayanginya

  • Penantian Sang Istri Teraniaya   Merenggut Hak Kebebasan

    Irawan memarahi Sarina habis-habisan setelah berhasil menyeret istrinya itu keluar dari gedung rumah sakit. Tidak hanya Irawan, kedua putranya juga ikut menyerbunya dengan kata-kata marah setelah melihat sikap dan ucapan kasar Sarina kesekian kalinya kepada Inara. “Mama kapan sadar kalau perbuatan Mama itu salah! Mama tidak pernah melihat sisi baik anak itu,” kata Irawan dalam kemarahan yang sebelumnya tidak pernah diperlihatkan kepada sang istri. “Kak Inara sudah banyak menderita karena Mama. Jika Mama yang berada di posisinya apa Mama sanggup menanggungnya?” Ditya ikut memarahi sang ibu. “Dia kehilangan anaknya karena Mama. Waktu, masa depannya hancur karena Mama dan sekarang Mama ingin memisahkannya dari Qian yang jelas-jelas putra Mama itu sangat mencintainya. Aku tidak tau masalah apa yang Mama alami di masa lalu, tapi tidak sepantasnya Mama memperlakukannya begitu,” ucap Lohan, di mana jiwa tenangnya ikut terguncang setelah jenuh melihat perbuatan ibunya itu kepada Inara. “M

  • Penantian Sang Istri Teraniaya   Tolong ...!

    Keluarnya Qian dari kamar Cici yang ditempati oleh wanita itu selama beberapa hari ini, bersambut masuknya seorang pria ke sana. Pria itu adalah orang yang sempat berdebat bersama Qian di taman rumah sakit. Sendi, pria itu teman dekat Cici yang tidak diketahui Qian orang yang selalu menghubungi istri keduanya itu. Sendi tempat curhat Cici mengenai hubungan rumah tangganya bersama Qian dan tidak diketahui oleh wanita itu kalau Sendi menyukainya secara diam-diam, itu sebabnya pria itu marah besar kepada Qian yang menjadi penyebab Cici masuk rumah sakit. Pria itu masuk tidak hanya dengan tangan kosong, ada buket bunga mawar indah di tangan kanannya. Sendi sengaja mengambil peluang memasuki kamar Cici setelah Qian keluar. “Bagaimana kabarmu?” tanya Sendi sambil melangkah masuk setelah menutup pintu. Buket bunga mawar merah itu disodorkan ke arah Cici yang duduk bersandar di atas ranjang kamar itu. Cici tercengang kaget, bersama perasaan takut mulai muncul di jiwanya. “Kamu bertemu Qia

  • Penantian Sang Istri Teraniaya   Aku Harus Berbuat Apa?

    Inara merasakan sesuatu menyentuh beberapa helai rambut di dekat pelipisnya, perlahan Inara membuka mata dan menemukan Qian duduk bersandar di sampingnya. Bergegas Inara duduk, dibantu Qian yang tidak ingin sang istri kesulitan. Bibir Inara tersenyum ringan menatap sang suami, perasaannya bahagia. “Kapan kembali?” tanya Inara. Wanita itu menoleh ke sisi kanan, menatap jam di atas meja yang menunjukkan pukul dua belas malam. Bukannya menjawab, pria itu memeluknya, mendarat kepala ke pundak kiri Inara dengan tangan memeluk tubuh Inara dari samping. “Kenapa?” tanya Inara, penasaran dengan tingkah Qian. “Hanya rindu.” Tangan kiri Qian mengelus perut Inara, bertingkah seperti anak kecil. “Bagaimana kondisi Cici?” tanya Inara, penasaran. “Setelah dia tidur, aku ke sini,” jawab Qian dan diam, tampak memikirkan sesuatu. Diamnya Qian menarik perhatian Inara, wanita itu menurunkan pandangan setelah menoleh ke kiri, menatap wajah Qian yang melamunkan sesuatu. Inara membetulkan posisi du

  • Penantian Sang Istri Teraniaya   Bersamanya

    Cici meneteskan air mata dengan bibir tersenyum ringan saat melihat Qian yang ditunggu-tunggunya setelah sadar berdiri di pintu kamar di mana dirinya berada. Ia terharu suami yang tidak memikirkannya itu menjenguknya dan membuatnya beranggapan pria itu masih peduli padanya yang berarti masih ada peluang bagi Qian mencintainya. Tias dan Erlanda menoleh ke belakang setelah melihat perubahan di wajah wanita itu. Mereka berdua, terutama Erlanda menatap sinis Qian dan tatapan pria paruh baya itu bisa dimaklumi Qian padanya. Siapapun orang tua yang berada di posisi mereka, pasti akan marah, begitupun dengan dirinya sendiri. "Kamu sudah datang. Aku menunggumu sejak aku sadar," kata Cici dengan suara berat. Qian menganggukkan kepala dengan senyuman, lalu mendekati Cici setelah kedua mertuanya itu memberikan ruang untuk bisa berdiri di samping Cici. Wanita yang terbaring di atas kasur tidak bisa menggerakkan badannya, hanya tangan sebelah kanan saja karena tangan kirinya patah sementara, beg

DMCA.com Protection Status