Satu Minggu Kemudian ….Qian merapikan dasi kupu-kupu yang sudah menempel di lehernya sambil memperhatikan penampilan di depan cermin di ruang ganti sebuah gedung besar yang dijadikan sebagai tempat penyelenggaraan pernikahan. Hari ini tepatnya hari di mana ia akan menikah bersama Cici yang saat ini sedang dirias di kamar lain. "Kakak ku memang yang terbaik. Setiap wanita yang melihat kakak pasti klepek-klepek," puji Ditya sambil berjalan masuk ke ruangan ganti, mendekati Qian. "Tentunya. Siapa dulu?" Qian tersenyum, membanggakan diri sendiri sambil memutar badan ke belakang. "Kalau begitu kita ke bawah. Semua orang sudah menunggu raja malam ini," kata Ditya dan memeluk tangan kanan Qian, mengajak kakaknya itu menuju ruang rumah penyelenggaraan pernikahan.Keluarnya Qian dari kamar itu, disambut meriah oleh para tamu undangan yang menyorotinya. Mereka terkesima dengan ketampanan putra kedua Wirananda itu sampai enggan memalingkan pandangan. Qian sesekali menundukkan kepala dan melay
Kepergian Lohan meninggalkan banyak asumsi di benak Inara. Selain itu, ada beberapa pertanyaan yang diberikan pada benaknya itu, tetapi ia juga menjawabnya sendiri. Ekspresi wajahnya cukup serius memikirkan perkataan Lohan sampai tidak sadar ada seorang pria gelandangan menyodorkan tangan meminta sedekah padanya. Ia sadar setelah Lohan memberikan uang kepada pengemis itu."Di mana kamu tinggal selama ini?" tanya Lohan sambil berjalan masuk ke dalam mobil bersama rasa penasaran."Di kontrakan yang ada di belakang restoran seafood di dekat lampu merah. Aku bekerja di sana," kata Inara, berbicara sambil menatap Lohan yang fokus mengemudikan mobil tanpa membalas tatapan wajahnya.Lohan diam bersama karakter dinginnya. Sejak pertanyaan itu berjawab, Lohan diam seolah tidak ada orang yang duduk di sampingnya. Sikap dingin dan cueknya itu menjadi khas dari seorang Lohan Wirananda yang membuat para wanita terpikat tidak hanya dengan ketampanan dan materi gang dimilikinya.Sekitar sepuluh meni
Inara memainkan jari di laptop Lohan, ia sedang membuka internet, mencari lowongan pekerjaan yang bisa dilakukan secara online tanpa keluar rumah. Ia mendengarkan perkataan Lohan, tetapi ia juga tidak ingin hanya berdiam diri. Diam tidak ada aktivitas di rumah malah membuatnya bosan dan stress. Ia duduk di sofa ruangan tamu dengan televisi yang hidup, memperlihatkan film drama sinetron.Lohan masuk ke apartemen sambil melepas jas yang terpasang di tubuhnya dan berjalan masuk ke dalam kamarnya dengan ekspresi lelah. Inara hanya memperhatikannya, takut untuk menegur karena suasana hati pria itu tampak tidak bagus. "Kak Lohan kenapa?" Inara bingung. Inara meletakkan laptop yang ada di pangkuannya ke atas meja, lalu bangkit dari sofa dan berjalan menuju dapur. Inara membuat makan malam untuk Lohan. Suara sendok dan wajan penggorengan yang beradu terdengar di dapur yang langsung bersebelahan dengan ruang tamu itu. Dengan bahagia dan harapan Lohan menyukai masakannya membuatnya bersemanga
Lohan bergegas masuk dan menahan Qian, ia mendorong pelan adiknya itu keluar dari kamar bersama ocehan Qian yang menggodanya dengan keberadaan wanita yang tidak diketahuinya adalah sang istri yang dilupakannya. "Baru kali ini aku melihatmu membawa wanita sampai ke apartemen. Jangan bilang secara diam-diam kamu melakukannya?" goda Qian setelah berada di luar kamar. "Diam saja," tutur Lohan dengan wajah dinginnya dan menutup pintu kamar.Lohan mengunci pintu dan bergegas berjalan menuju Inara yang tidak sadar mengenai keberadaan Qian tadi. "Qian sudah pergi?" tanyanya. "Qian melihatmu, tetapi untungnya kamu tidak menoleh ke belakang dan menampakkan wajahmu. Untuk sementar kamu diam saja di sini, aku perlu bersandiwara karena dia tahu kamu wanitaku, maksudnya kekasihku. Diam saja di sini dan waspadai dia," ucap Lohan dan kembali meninggalkannya sendiri.Lohan memasuki kamar dan keluar dari kamar itu dengan mata memperhatikan Inara dari pintu kaca lebar menuju balkon. Wanita itu memand
Qian berjalan pelan menjaga langkah kaki memasuki kamarnya dan Cici yang ditinggalkannya semalam dengan alasan ada pekerjaan darurat yang harus diurus olehnya di perusahaan. Padahal, ia ke klub bersama Ditya, diajari minum oleh adiknya itu sampai teler hanya dengan beberapa tegukan.Ketika masuk ke kamar, Cici sedang berdandan di depan meja rias. Ia mencoba menghindari wanita itu , dari pertanyaan yang pasti ada, sudah di tebak olehnya. Ia berjalan menuju lemari, mengambil handuk dan mengubah arah ke kamar mandi. Suara pintu yang dibuka menarik indera pendengaran Cici untuk menoleh. Ia melihat tingkah dan ekspresi Qian yang tertangkap basah."Baru pulang? Semalam ke mana saja? Itu malam pertama kita, tetapi kamu meninggalkanku," kata Cici, kesal, sambil berjalan mendekatinya."Aku tertidur di kantor." Qian tersenyum cengengesan San untuk menutupi kebohongannya." Lelah sekali, aku mandi dulu dan setelah itu istirahat," alih Qian dan bergegas masuk."Tidak apa-apa, masih bisa dilakukan
Sarina menatap Qian dengan sorot mata dalam. Suara yang didengarnya dari sambungan telepon tadi menjadi topik utama di benaknya, membuatnya penasaran pemilik suara itu. Qian mengalihkan perhatian Sarina dengan mengajak ibunya itu duduk di tepi kasur dan menunjukkan beberapa destinasi wisata yang akan dijadikan sebagai tempat bulan madu melalui ponsel, ia meminta saran ibunya itu untuk memilih. “Menurut Mama mana tempat yang paling bagus?” Qian memperlihatkan layar ponselnya ke hadapan Sarina. “Jangan berusaha mengalihkan perhatian Mama. Apa yang kamu sembunyikan? Jangan pikir Mama tidak tahu gelagatmu berusaha untuk menyembunyikan sesuatu,” kata Sarina.Qian terdiam, ia menurunkan tangan yang menggenggam ponsel dan mengalihkan muka menjauh dari ibunya itu dengan ekspresi wajah bingung, mengingat ia sudah berjanji pada Lohan untuk menyembunyikan tentang wanita yang dilihatnya di apartemen kakaknya itu. “Apa?” tanya Sarina, lagi. “Kak Lohan menyembunyikan wanita di apartemennya. Mu
Malla keluar dari ruangannya, berdiri di antara Sarina dengan sorot mata tajam dan Inara dengan raut wajah masih kagetnya mendapati mertuanya yang kejam itu. “Buk Sarina,” kata Malla, amat mengenali wanita paruh baya itu.Sarina mengalihkan pandangan dari Inara kepada Malla. Melihat dokter kandungan itu membuatnya ingat tujuannya datang ke ruangan Malla untuk mendesak dokter itu agar segera menangani Cici yang muntah-muntah ruangan darurat. Inara dikesampingkan, ia mengabaikan menantu yang tidak diinginkannya itu dan mengajak Malla menemui Cici. “Periksa menantu saya dokter,” kata Sarina, berjalan cepat dengan tangan menggenggam pergelangan tangan Malla. Inara memperhatikan kecemasan yang tergambar di wajah mertuanya itu. Sedikit rasa iri terselip di hatinya, dirinya hanya bagikan setumpuk debu yang tidak berharga, sedangkan Cici bagaikan setumpuk emas yang bernilai tinggi. “Andaikan Mama bisa bersikap seperti itu padaku,” kata Inara, sejenak berkhayal bisa mendapatkan kasih sayang
Inara duduk di bangku dengan kedua tangan dan kaki diikat, kepala terteleng ke kanan dalam ketidaksadaran di ruangan tamu yang tidak terurus di rumah kosong yang ada di jalan Jahadi yang berada di area jalan tol yang sunyi. Seseorang membuka pintu rumah itu, Sarina adalah orangnya yang diikuti oleh dua pria yang tadi menculik Inara. Di waktu yang sama, wanita yang mereka culik sadarkan diri. Pandangan samar Inara berakhir jelas pada wujud sang ibu mertua yang membuat diam kaget. “Mama,” lirih Inara. “Mama? Aku akan merobek mulutmu itu jika aku mendengar mu memanggilku Mama lagi. Kamu hanya kucing liar bagiku,” hina Sarina dengan memperlihatkan wajah kesalnya. Sarina melangkah maju, mendekatkan diri pada Inara yang ketakutan padanya sampai tidak sanggup untuk menatap matanya. Wanita paruh baya itu menyodorkan telapak tangan kepada salah satu orang suruhannya yang memegang sebuah map biru di sini kanannya. Pria di sisi kanan wanita paruh baya itu menaruh map itu ke atas telapak tang