Dua Minggu Kemudian ….
Inara menyelinap masuk ke kamar Qian setelah melihat Irawan keluar dari kamar itu dalam setelan baju kerja. Pria paruh baya itu menyempatkan diri ke rumah sakit untuk melihat kondisi Qian di waktu jam istirahat siangnya. Kaki Inara melangkah masuk ke kamar Qian dan menutup pintu secara perlahan. Lalu, ia menghampiri tubuh sang suami yang sudah koma selama dua Minggu itu. "Bagaimana kabarmu hari ini? Hari ini aku membawakan bunga mawar baru agar suasana kamar mu lebih nyaman," ucap Inara sambil mengganti tiga tangkai bunga mawar yang ada di dalam vas bunga kecil dan panjang yang ada di atas meja di samping kasur.Sejak keluar dari rumah sakit, ia selalu mengunjungi Qian dengan membawakan bunga mawar putih dan menaruhnya di atas meja di kamar itu. Sekali dua hari ia mengganti bunga itu. "Aku selalu berdoa kamu secepatnya sadar. Kamu tahu, aku hamil. Anak kita membutuhkanmu," ucap Inara sambil mendarat tangan Qian ke perutnya. Jari-jari tangan Qian yang mendarat di perut Inara bergerak. Inara menyadarinya, ia menaruh kembali tangan itu ke sisi tubuh suaminya itu dan duduk di bangku tunggu sambil memegang tangan Qian sambil tersenyum. "Qian … kamu bangun? Qian …!" panggil Inara dengan suara kecil. Suara Inara terdengar samar di telinga Qian. Kesadaran pria itu mulai muncul, tetapi matanya masih merapat. Suara Sarina yang terdengar di luar kamar menarik kecemasan dan ketakutan Inara, ia bangkit dari bangku dan mencari tempat persembunyian sebelum mertuanya itu masuk. Inara bersembunyi di toilet kamar itu. Sarina masuk bersama Cici, wanita yang ditinggal nikah malam itu oleh Qian. Cici memegang tangan Qian yang sebelumnya dipegang Inara, ia merasakan jari jemari pria itu bergerak, membuat Sarina beranggapan wanita itu yang menarik kesadaran Qian."Mama tidak salah mengajakmu ke sini. Qian langsung sadar," kata Sarina.Perlahan mata Qian terbuka, diawali dengan sorot mata samar menyoroti Inara yang mengintip dari toilet. Setelah pandangannya jelas, Qian hanya mendapati wujud pintu toilet karena Inara menutup pintu itu."Qian …," panggil Sarina dengan suara pelan. Qian mengalihkan mata mengarah kepada Sarina, menatap wajah sang ibu dengan wajah datar. Lalu, memperhatikan Cici yang tersenyum padanya."Syukurlah, kamu sudah sadar. Cici, tolong panggil dokter," suruh Sarina."Iya, Ma," ucap Cici sambil melepaskan tangan Qian dan beranjak meninggalkan kamar. "Ma … aku di mana?" tanya Qian sambil beranjak duduk. "Rumah sakit. Dua Minggu yang lalu kamu kecelakaan dan koma. Bagaimana kondisimu? Kamu merasakan sesuatu yang sakit?" tanya Sarina sambil duduk di bangku yang sebelumnya diduduki Inara. "Kepalaku saja," balas Qian. Qian menoleh ke sisi kanan, memperhatikan pintu toilet di mana ia merasa melihat ada orang yang memandanginya tadi dari sana. Kedatangan Cici bersama dokter mengalihkan perhatiannya. Ia kembali berbaring karena dokter menyuruhnya. Dokter berjenis kelamin pria itu mengaplikasikan alat medisnya di dada dan pergelangan tangan Qian. "Wahh … ini memang ajaib. Saya mengira dia akan bangun cukup lama, bahkan tidak akan bangun lagi karena kerusakan parah di bagian kepalanya," kata dokter itu."Kamu siapa?" tanya Qian kepada Cici yang berdiri sambil tersenyum dan tangan memegangi tangannya.Raut wajah senang Cici berubah kaget mendengar pertanyaannya itu. Cici langsung menoleh ke arah Sarina. "Saya sudah menduganya. Biasanya pasien dengan kecelakaan yang merusak parah bagian kepalanya, maksud otaknya, kebanyakan mengalami lupa ingatan. Kadang ada yang lupa sebagian ingatannya, bahkan secara menyeluruh dalam waktu yang kadang hanya singkat, bahkan selamanya," terang dokter itu."Tapi, dia mengingat saya, Dok. Tadi dia memanggil saya Mama," jelas Sarina."Berarti memorinya menghilang sebagian," yakin dokter. "Saya mengenalinya lima tahun lalu. Apa dia melupakan ingatan lima tahun hingga kini?" tanya Cici."Bisa jadi," kata dokter itu. Sarina diam mendengar pembicaraan Cici dan dokter itu. Bibirnya tersenyum ringan karena mendapatkan ide bagus di benaknya. Menghilangnya ingatan Qian malah membuatnya merasa bersyukur, dengan mudah ia bisa menghapus jejak keberadaan Inara sebelumnya dalam hidup anaknya itu."Tidak apa-apa, dokter. Yang terpenting dia selamat. Terima kasih," ucap Sarina. Perkataan Sarina membuat Cici semakin kecewa karena pria yang disukainya itu tidak mengingatnya. "Sama-sama. Kalau begitu, saya pergi dulu. Oh iya, jangan memaksanya untuk mengingat memori yang dilupakannya, biarkan semuanya kembali secara sendiri," pesan dokter itu.Sarina menganggukkan kepala sambil tersenyum.Setelah kepergian dokter itu, Cici mengeluhkan situasi yang membuatnya kecewa itu. Sarina memegang kedua tangan Cici dan memainkan mata, menyuruhnya tenang."Kamu bertanya mengenai Cici? Dia ini calon istrimu. Kalian akan menikah dalam waktu dekat," kata Sarina, berbohong dengan menyembunyikan kebenaran kalau sang anak tidak menyetujui pernikahan itu dan itu sebabnya Qian kabur di hari pernikahannya saat itu. "Calon istri?" tanya Qian sambil mengalihkan mata menatap Cici. Cici menganggukkan kepala sambil tersenyum, sedangkan Inara berada dalam guncangan hati yang terusik mengetahui suaminya itu hilang ingatan dan beranggapan pasti ikut melupakannya karena mereka baru bertemu saling menatap dua Minggu yang lalu. Kedua bola mata Inara berkaca-kaca dengan tangan mendarat di perutnya, ia memikirkan janin yang baru berkembang di rahimnya itu. Cici memeluk Qian, menepuk pelan punggung pria itu dengan perasaan senang. Meskipun Qian tidak mengingat dirinya, tetapi mereka tetap akan bersama. Dua jam kemudian, Qian ditinggalkan di kamarnya sendiri. Pria itu berusaha mengingat ingatan yang dilupakannya karena hatinya merasa ganjal, ada yang aneh dan sedikit membuat hatinya berat menerima perkataan Sarina mengenai pernikahannya bersama Cici. "Dia masih belum tidur? Bagaimana aku bisa keluar dari di sini?" tanya Inara dalam hati. Di tengah sedang berpikir, Qian merasa ingin buang air kecil. Ia berusaha bangkit sendiri menuruni kasur dan berjalan sambil mendorong tiang impus ke pintu toilet. Suara langkah kakinya terdengar jelas di telinga Inara dalam kesunyian toilet. Kedua bola matanya terbelalak kaget menatap pintu. "Apa yang harus aku lakukan? Dia akan menemukanku jika masuk," kata Inara dalam hati bersama ketakutannya.Qian membuka pintu toilet dan menutupnya dengan pandangan mengarahkan ke belakang, jika ia menunjukan mata ke depan, ia akan melihat Inara yang berdiri bersembunyi di balik pintu dengan mata dipejam dalam harap tidak dilihat. Ketika Qian sedang buang air kecil, Inara perlahan melangkah kaki secara pelan keluar dari toilet yang sedikit di dibuka, dengan mata sesekali menoleh ke belakang. "Syukurlah, dia tidak melihatku," ucap Inara setelah keluar dari kamar Qian. "Kamu di sini? Kenapa mengendap-endap seperti pencuri? Bukankah Qian bersikap baik padamu?" tanya Lohan yang berdiri di hadapannya. Inara mengangkat pandangan, menatap pemilik tubuh jangkung yang ada di hadapannya itu. "Tidak apa-apa. Jangan bilang sama Qian kalau aku tadi di kamarnya. Percuma," ucap Inara dan melanjutkan kaki berjalan meninggalkan keberadaan tubuhnya berdiri dengan raut wajah sedih yang menarik rasa bingung di pikiran Lohan. Lohan masuk dan melihat Qian baru keluar dari toilet. Ia membantu adiknya itu ke kasur sampai Qian duduk bersandar ke kepala tempat tidur dengan bantal persegi yang menghadang punggungnya langsung menyentuh ranjang rumah sakit itu.Keluar dari kamar Qian, Inara berjalan di lorong menuju lift yang akan mengantarkannya ke lobi rumah sakit. Sebelum mencapai lift, pintu lift itu terbuka, Cici keluar sambil menenteng plastik yang berisi makanan dan buahan yang disiapkan untuk Qian. Cici tersenyum ringan padanya karena tidak tahu kalau wanita yang saat ini berpapasan dengannya ialah istri sah pria yang akan meninggalkan pernikahan malam itu. Inara menoleh ke belakang, memperhatikan Cici memasuki kamar Qian. "Bagaimana nasib anakku ini nanti? Kasihan sekali, belum tumbuh sudah mati," kata Inara, berbicara dengan senyuman miris dan air mata yang menetes. Inara lanjut memasuki lift. Setelah keluar dari lift, ia melihat Sarina sedang berbicara bersama seorang wanita seusianya di tengah lobi. Inara bergegas bersembunyi, ia keluar dari rumah sakit itu melalui jalan lain.Di halaman rumah sakit ia bertemu Ditya, pemuda itu tidak sengaja berpapasan dengannya. "Kamu yang waktu itu, kan? Sudah keluar dari rumah sakit?" Dity
Ditya mengemudikan mobil dengan earphone bluetooth yang menempel di telinganya. Ia sedang berbicara di dalam mobil bersama temannya, sedangkan Qian duduk memikirkan ekspresi orang-orang disekitarnya saat ia bertanya mengenai kenangan selama beberapa tahun terakhir yang dilupakannya."Baiklah. Kalau begitu, kita ngumpul di restoran seafood itu. Malam ini, kan? Oke."Ditya memutuskan sambungan telepon dan menoleh ke samping, fokus pada kakaknya yang diam dalam kebingungan. Ia bisa membaca apa yang sedang dipikirkan kakaknya itu. "Kak, mau ikut ngumpul bareng teman-teman ku malam ini? Sesekali, buang suntuk," kata Ditya. "Aku pikirkan dulu. Kita berhenti di depan dulu, aku ingin membeli sesuatu di minimarket," kata Qian. Ditya menganggukkan kepala, ia menepikan mobil di tepi jalan, di mana ada minimarket di sampingnya. Qian menyuruh Ditya membelikan sebotol minuman kaleng dingin. "Cuaca hari ini panas sekali," kata Qian. "Baiklah. Tunggu di sini. Biar otak kakak dingin dan tidak berp
Satu Minggu Kemudian ….Qian merapikan dasi kupu-kupu yang sudah menempel di lehernya sambil memperhatikan penampilan di depan cermin di ruang ganti sebuah gedung besar yang dijadikan sebagai tempat penyelenggaraan pernikahan. Hari ini tepatnya hari di mana ia akan menikah bersama Cici yang saat ini sedang dirias di kamar lain. "Kakak ku memang yang terbaik. Setiap wanita yang melihat kakak pasti klepek-klepek," puji Ditya sambil berjalan masuk ke ruangan ganti, mendekati Qian. "Tentunya. Siapa dulu?" Qian tersenyum, membanggakan diri sendiri sambil memutar badan ke belakang. "Kalau begitu kita ke bawah. Semua orang sudah menunggu raja malam ini," kata Ditya dan memeluk tangan kanan Qian, mengajak kakaknya itu menuju ruang rumah penyelenggaraan pernikahan.Keluarnya Qian dari kamar itu, disambut meriah oleh para tamu undangan yang menyorotinya. Mereka terkesima dengan ketampanan putra kedua Wirananda itu sampai enggan memalingkan pandangan. Qian sesekali menundukkan kepala dan melay
Kepergian Lohan meninggalkan banyak asumsi di benak Inara. Selain itu, ada beberapa pertanyaan yang diberikan pada benaknya itu, tetapi ia juga menjawabnya sendiri. Ekspresi wajahnya cukup serius memikirkan perkataan Lohan sampai tidak sadar ada seorang pria gelandangan menyodorkan tangan meminta sedekah padanya. Ia sadar setelah Lohan memberikan uang kepada pengemis itu."Di mana kamu tinggal selama ini?" tanya Lohan sambil berjalan masuk ke dalam mobil bersama rasa penasaran."Di kontrakan yang ada di belakang restoran seafood di dekat lampu merah. Aku bekerja di sana," kata Inara, berbicara sambil menatap Lohan yang fokus mengemudikan mobil tanpa membalas tatapan wajahnya.Lohan diam bersama karakter dinginnya. Sejak pertanyaan itu berjawab, Lohan diam seolah tidak ada orang yang duduk di sampingnya. Sikap dingin dan cueknya itu menjadi khas dari seorang Lohan Wirananda yang membuat para wanita terpikat tidak hanya dengan ketampanan dan materi gang dimilikinya.Sekitar sepuluh meni
Inara memainkan jari di laptop Lohan, ia sedang membuka internet, mencari lowongan pekerjaan yang bisa dilakukan secara online tanpa keluar rumah. Ia mendengarkan perkataan Lohan, tetapi ia juga tidak ingin hanya berdiam diri. Diam tidak ada aktivitas di rumah malah membuatnya bosan dan stress. Ia duduk di sofa ruangan tamu dengan televisi yang hidup, memperlihatkan film drama sinetron.Lohan masuk ke apartemen sambil melepas jas yang terpasang di tubuhnya dan berjalan masuk ke dalam kamarnya dengan ekspresi lelah. Inara hanya memperhatikannya, takut untuk menegur karena suasana hati pria itu tampak tidak bagus. "Kak Lohan kenapa?" Inara bingung. Inara meletakkan laptop yang ada di pangkuannya ke atas meja, lalu bangkit dari sofa dan berjalan menuju dapur. Inara membuat makan malam untuk Lohan. Suara sendok dan wajan penggorengan yang beradu terdengar di dapur yang langsung bersebelahan dengan ruang tamu itu. Dengan bahagia dan harapan Lohan menyukai masakannya membuatnya bersemanga
Lohan bergegas masuk dan menahan Qian, ia mendorong pelan adiknya itu keluar dari kamar bersama ocehan Qian yang menggodanya dengan keberadaan wanita yang tidak diketahuinya adalah sang istri yang dilupakannya. "Baru kali ini aku melihatmu membawa wanita sampai ke apartemen. Jangan bilang secara diam-diam kamu melakukannya?" goda Qian setelah berada di luar kamar. "Diam saja," tutur Lohan dengan wajah dinginnya dan menutup pintu kamar.Lohan mengunci pintu dan bergegas berjalan menuju Inara yang tidak sadar mengenai keberadaan Qian tadi. "Qian sudah pergi?" tanyanya. "Qian melihatmu, tetapi untungnya kamu tidak menoleh ke belakang dan menampakkan wajahmu. Untuk sementar kamu diam saja di sini, aku perlu bersandiwara karena dia tahu kamu wanitaku, maksudnya kekasihku. Diam saja di sini dan waspadai dia," ucap Lohan dan kembali meninggalkannya sendiri.Lohan memasuki kamar dan keluar dari kamar itu dengan mata memperhatikan Inara dari pintu kaca lebar menuju balkon. Wanita itu memand
Qian berjalan pelan menjaga langkah kaki memasuki kamarnya dan Cici yang ditinggalkannya semalam dengan alasan ada pekerjaan darurat yang harus diurus olehnya di perusahaan. Padahal, ia ke klub bersama Ditya, diajari minum oleh adiknya itu sampai teler hanya dengan beberapa tegukan.Ketika masuk ke kamar, Cici sedang berdandan di depan meja rias. Ia mencoba menghindari wanita itu , dari pertanyaan yang pasti ada, sudah di tebak olehnya. Ia berjalan menuju lemari, mengambil handuk dan mengubah arah ke kamar mandi. Suara pintu yang dibuka menarik indera pendengaran Cici untuk menoleh. Ia melihat tingkah dan ekspresi Qian yang tertangkap basah."Baru pulang? Semalam ke mana saja? Itu malam pertama kita, tetapi kamu meninggalkanku," kata Cici, kesal, sambil berjalan mendekatinya."Aku tertidur di kantor." Qian tersenyum cengengesan San untuk menutupi kebohongannya." Lelah sekali, aku mandi dulu dan setelah itu istirahat," alih Qian dan bergegas masuk."Tidak apa-apa, masih bisa dilakukan
Sarina menatap Qian dengan sorot mata dalam. Suara yang didengarnya dari sambungan telepon tadi menjadi topik utama di benaknya, membuatnya penasaran pemilik suara itu. Qian mengalihkan perhatian Sarina dengan mengajak ibunya itu duduk di tepi kasur dan menunjukkan beberapa destinasi wisata yang akan dijadikan sebagai tempat bulan madu melalui ponsel, ia meminta saran ibunya itu untuk memilih. “Menurut Mama mana tempat yang paling bagus?” Qian memperlihatkan layar ponselnya ke hadapan Sarina. “Jangan berusaha mengalihkan perhatian Mama. Apa yang kamu sembunyikan? Jangan pikir Mama tidak tahu gelagatmu berusaha untuk menyembunyikan sesuatu,” kata Sarina.Qian terdiam, ia menurunkan tangan yang menggenggam ponsel dan mengalihkan muka menjauh dari ibunya itu dengan ekspresi wajah bingung, mengingat ia sudah berjanji pada Lohan untuk menyembunyikan tentang wanita yang dilihatnya di apartemen kakaknya itu. “Apa?” tanya Sarina, lagi. “Kak Lohan menyembunyikan wanita di apartemennya. Mu