'Kamu pembawa sial!'
Suara Sarina terekam jelas saat memakinya.Inara membuka mata secara pelan dan memandangi langit-langit kamar rumah sakit. Kemudian, matanya beralih menatap Lohan yang duduk dengan kedua tangan menyilang di samping kasur yang ditidurinya. Wanita dalam setelan baju rumah sakit warna biru itu sangat mengenalinya wajah Lohan karena pernah melihatnya di foto keluarga besar Wirananda. "Kenapa kakaknya Qian ada di sini? Kenapa aku di sini?" tanya Inara sambil mengingat kejadian pagi ini. Ekspresinya berubah kaget setelah ingat kalau dirinya tertabrak mobil karena syok mendengar kabar kecelakaan Qian dan ingin ke kediaman Wirananda sesegera mungkin untuk mencari tahu keberadaan Qian yang dibawa ke rumah sakit mana? "Kondisi Qian, bagaimana? Dia …." Inara bertanya sambil duduk dengan Lohan yang ikut sontak ingin membantu. Tapi, ia kembali duduk dan menarik kecemasan setelah melihat wanita itu baik-baik saja. "Dia baik-baik saja. Kamu bersamanya semalam?" tanya Lohan. Inara menganggukkan kepala dengan wajah sedikit takut sampai ia menarik wajah ke belakang dan menundukkan kepala. "Untuk beberapa hari kedepan kamu di sini dulu dan jangan pergi ke mana-mana. Jika Mama sampai menemukanmu, aku tidak bisa menahan kemarahannya. Jangan khawatirkan Qian, dia baik-baik saja," kata Lohan, dingin."Dia di mana? Aku ingin bertemu dengannya sebentar saja," balas Inara, cemas. "Kamu tidak bisa menemuinya saat ini. Tolong mengertilah." Lohan mencoba untuk membuatnya paham. "Baik," turut Inara.Dokter wanita masuk bersama seorang perawat, mereka memeriksa kondisinya lebih lanjut. "Kamu baik-baik saja. Hanya butuh pemulihan beberapa hari di sini," kata dokter. "Terima kasih, dokter," ucap Inara. "Sama-sama," balas dokter itu. "Pak Lohan, saya melihat Bu Sarina sedang mencari Anda di lobi," lanjut dokter itu berbicara.Lohan berdiri sambil mengeluarkan ponsel dari saku celana dan berjalan keluar dari kamar itu tanpa berpamitan pada Inara, ia hanya menatap wanita itu dengan raut wajah datarnya. Dokter dan perawat menganggukkan kepala sambil tersenyum kepada Inara dan ikut meninggalkan kamar itu. "Mama Sarina ada di sini karena tahu aku ada di sini juga atau … Qian juga dirawat di sini? Kalau begitu, aku harus melihatnya. Tapi, bagaimana kalau perkataan Kak Lohan benar kalau Mama menemukanku dan memperlakukanku dengan kasar lagi?" Inara jadi ragu. "Kalau begitu, aku akan cari waktu luang untuk menjenguknya saat Mama tidak ada," kata Inara. Sore hari berganti malam, Inara masih terpikir pada Qian dan mencemaskan kondisinya. Setelah menahan diri sejak pagi, kali ini ia tidak bisa menahan diri lagi. Inara bangkit dari kasur rumah sakit dan berjalan keluar setelah melepaskan tempelan selang impus yang menusuk pergelangan tangannya. Ia berjalan dengan langkah lambat karena kakinya masih terasa sakit, ia sedikit menyeret kaki kirinya dengan tangan bergantung ke dinding karena takut jatuh. "Di mana Qian berada? Aku ke resepsionis rumah sakit saja untuk bertemu. Ini sudah malam, Mama pasti sudah pulang," asumsi Inara. Inara melanjutkan kaki berjalan di lorong rumah sakit yang diapit oleh beberapa ruangan pasien kelas bawah yang berada di lantai satu. Ia lanjut berjalan menuju lobi, berdiri di hadapan resepsionis untuk bertanya mengenai keberadaan Qian."Pak Qian ada di lantai lima ruangan VIP 2," kata resepsionis rumah sakit berjenis kelamin perempuan itu.Inara senang mendengarnya. Ia lanjut melangkah menuju lift yang akan mengantarkannya ke lantai lima. Langkah kakinya itu beriringan dengan perasaan bahagia bisa bertemu pria yang membuatnya jatuh cinta dengan hanya menghabiskan waktu satu malam saja bersamanya. Selain itu, ia mengagumi seorang Qian yang terlihat berpikir lebih logis dan lembut daripada anggota keluarga lain yang ditemuinya.Setelah sampai di depan kamar VIP, Inara diam menenangkan perasaan dengan berharap Sarina tidak ada di dalam. Perlahan tangannya menarik turun handle pintu dan mendorongnya masuk dengan mata mencuri suasana di dalam ruangan itu melalui celah yang sedikit dibuat olehnya. Ia melihat kekosongan di sana, hanya ada sebatang tubuh Qian terbaring dalam balutan perban yang menempel di dahinya."Qian …," panggil Inara dengan suara kecil sambil menghampiri tubuh pria yang tidak sadarkan diri itu. "Pantas saja perasaanku tiba-tiba tidak sebaik sebelumnya tadi. Ternyata kamu mengalami semua ini. Maafkan aku," ucap Inara, merasa bersalah sambil menangis pria itu dengan tangan menggenggam erat tangan kanan suaminya itu."Kamu di sini?" tanya Lohan, membuatnya terkejut karena baru masuk. "I-iya. Aku tidak bisa diam saja di kamar. Maaf karena aku tidak bisa menahan diri untuk tidak bertemu dengannya," ucap Inara, mencoba menjelaskan perasaannya pada Lohan."Jika Mama yang memergokimu, entah apa yang akan terjadi. Untung saja aku yang bertugas menjaganya malam ini. Cepat kembali ke kamarmu sebelum Ditya masuk. Dia mungkin tidak mengenalmu, tetapi akan menjadikanmu sebagai topik utama dalam pembicaraannya bersama Mama saat mendapatimu di sini. Cepatlah!" suruh Lohan. "Iya." Inara menuruti perkataan kakak suaminya itu. Inara memperhatikan wajah Qian sambil mengingat setiap perkataan yang dilontarkan suaminya itu semalam. Kakinya melangkah mundur dengan raut wajah sedih dan prihatin yang tergambar melihat kondisi Qian yang cukup memprihatinkan. Pintu kamar kembali ditutup, Inara harus bersusah payah berjalan kembali ke kamarnya karena kesulitan berjalan akibat kakinya yang cedera. Ia sempat terjatuh setelah keluar dari lift. "Hati-hati, Kak," ucap Ditya sambil membantunya. Sejenak Inara terdiam dengan tubuh kembali berdiri berkat bantuan Ditya. Pria nakal dari tiga bersaudara itu memapahnya sambil bertanya letak kamarnya agar bisa diantarkan langsung ke sana setelah melihatnya yang terlihat kesulitan untuk berjalan. Inara menjawab pertanyaan itu dengan suasana hati masih tercengang melihat dan menyadari satu persatu keluarga Wirananda bertemu dengannya. "Kamar ini? Kakak dari mana tadi? Sudah tau sakit, mendingan istirahat saja sampai pulih, baru keluar. Mau memeriksa kondisi setiap pasien di sini?" tanya Ditya sambil bercanda. "Terima kasih," ucap Inara sambil tersenyum mendengar candaan ringan Ditya. "Bagi seorang Ditya, balasan ucapan terima kasih bukan sama-sama. Tetapi, balas nanti," ucap Ditya sambil menaikkan kedua alisnya dan tersenyum tipis kepada Inara. Inara tertawa ringan melihat tingkahnya. "Semoga lekas sembuh. Kalau begitu, saya pergi dulu," pamit Ditya, berjalan meninggalkan kamar itu. "Mereka bertiga memiliki sifat dan karakter masing-masing. Kak Lohan bersama karakter dingin dan cueknya, Qian orang yang sangat lembut dan romantis, sedangkan Ditya orang yang ramah dan humoris. Mengapa Mama Sarina begitu galak, ya? Semua anak-anaknya orang baik," kata Inara, memasang raut wajah letih.Inara kembali berbaring sambil berdoa dalam diam dan sunyinya kamar kalau suaminya itu baik-baik saja. "Semoga Qian bisa sadar dan kami bisa bersama lagi. Perkataannya malam itu sungguh memberikan secercah harapan dan nyawa bagiku untuk bisa menjalani kehidupan berikutnya dengan bahagia," kata Inara, menaruh harapan pada Qian.Dua Minggu Kemudian ….Inara menyelinap masuk ke kamar Qian setelah melihat Irawan keluar dari kamar itu dalam setelan baju kerja. Pria paruh baya itu menyempatkan diri ke rumah sakit untuk melihat kondisi Qian di waktu jam istirahat siangnya. Kaki Inara melangkah masuk ke kamar Qian dan menutup pintu secara perlahan. Lalu, ia menghampiri tubuh sang suami yang sudah koma selama dua Minggu itu. "Bagaimana kabarmu hari ini? Hari ini aku membawakan bunga mawar baru agar suasana kamar mu lebih nyaman," ucap Inara sambil mengganti tiga tangkai bunga mawar yang ada di dalam vas bunga kecil dan panjang yang ada di atas meja di samping kasur.Sejak keluar dari rumah sakit, ia selalu mengunjungi Qian dengan membawakan bunga mawar putih dan menaruhnya di atas meja di kamar itu. Sekali dua hari ia mengganti bunga itu. "Aku selalu berdoa kamu secepatnya sadar. Kamu tahu, aku hamil. Anak kita membutuhkanmu," ucap Inara sambil mendarat tangan Qian ke perutnya. Jari-jari tangan Qian yang mendara
Keluar dari kamar Qian, Inara berjalan di lorong menuju lift yang akan mengantarkannya ke lobi rumah sakit. Sebelum mencapai lift, pintu lift itu terbuka, Cici keluar sambil menenteng plastik yang berisi makanan dan buahan yang disiapkan untuk Qian. Cici tersenyum ringan padanya karena tidak tahu kalau wanita yang saat ini berpapasan dengannya ialah istri sah pria yang akan meninggalkan pernikahan malam itu. Inara menoleh ke belakang, memperhatikan Cici memasuki kamar Qian. "Bagaimana nasib anakku ini nanti? Kasihan sekali, belum tumbuh sudah mati," kata Inara, berbicara dengan senyuman miris dan air mata yang menetes. Inara lanjut memasuki lift. Setelah keluar dari lift, ia melihat Sarina sedang berbicara bersama seorang wanita seusianya di tengah lobi. Inara bergegas bersembunyi, ia keluar dari rumah sakit itu melalui jalan lain.Di halaman rumah sakit ia bertemu Ditya, pemuda itu tidak sengaja berpapasan dengannya. "Kamu yang waktu itu, kan? Sudah keluar dari rumah sakit?" Dity
Ditya mengemudikan mobil dengan earphone bluetooth yang menempel di telinganya. Ia sedang berbicara di dalam mobil bersama temannya, sedangkan Qian duduk memikirkan ekspresi orang-orang disekitarnya saat ia bertanya mengenai kenangan selama beberapa tahun terakhir yang dilupakannya."Baiklah. Kalau begitu, kita ngumpul di restoran seafood itu. Malam ini, kan? Oke."Ditya memutuskan sambungan telepon dan menoleh ke samping, fokus pada kakaknya yang diam dalam kebingungan. Ia bisa membaca apa yang sedang dipikirkan kakaknya itu. "Kak, mau ikut ngumpul bareng teman-teman ku malam ini? Sesekali, buang suntuk," kata Ditya. "Aku pikirkan dulu. Kita berhenti di depan dulu, aku ingin membeli sesuatu di minimarket," kata Qian. Ditya menganggukkan kepala, ia menepikan mobil di tepi jalan, di mana ada minimarket di sampingnya. Qian menyuruh Ditya membelikan sebotol minuman kaleng dingin. "Cuaca hari ini panas sekali," kata Qian. "Baiklah. Tunggu di sini. Biar otak kakak dingin dan tidak berp
Satu Minggu Kemudian ….Qian merapikan dasi kupu-kupu yang sudah menempel di lehernya sambil memperhatikan penampilan di depan cermin di ruang ganti sebuah gedung besar yang dijadikan sebagai tempat penyelenggaraan pernikahan. Hari ini tepatnya hari di mana ia akan menikah bersama Cici yang saat ini sedang dirias di kamar lain. "Kakak ku memang yang terbaik. Setiap wanita yang melihat kakak pasti klepek-klepek," puji Ditya sambil berjalan masuk ke ruangan ganti, mendekati Qian. "Tentunya. Siapa dulu?" Qian tersenyum, membanggakan diri sendiri sambil memutar badan ke belakang. "Kalau begitu kita ke bawah. Semua orang sudah menunggu raja malam ini," kata Ditya dan memeluk tangan kanan Qian, mengajak kakaknya itu menuju ruang rumah penyelenggaraan pernikahan.Keluarnya Qian dari kamar itu, disambut meriah oleh para tamu undangan yang menyorotinya. Mereka terkesima dengan ketampanan putra kedua Wirananda itu sampai enggan memalingkan pandangan. Qian sesekali menundukkan kepala dan melay
Kepergian Lohan meninggalkan banyak asumsi di benak Inara. Selain itu, ada beberapa pertanyaan yang diberikan pada benaknya itu, tetapi ia juga menjawabnya sendiri. Ekspresi wajahnya cukup serius memikirkan perkataan Lohan sampai tidak sadar ada seorang pria gelandangan menyodorkan tangan meminta sedekah padanya. Ia sadar setelah Lohan memberikan uang kepada pengemis itu."Di mana kamu tinggal selama ini?" tanya Lohan sambil berjalan masuk ke dalam mobil bersama rasa penasaran."Di kontrakan yang ada di belakang restoran seafood di dekat lampu merah. Aku bekerja di sana," kata Inara, berbicara sambil menatap Lohan yang fokus mengemudikan mobil tanpa membalas tatapan wajahnya.Lohan diam bersama karakter dinginnya. Sejak pertanyaan itu berjawab, Lohan diam seolah tidak ada orang yang duduk di sampingnya. Sikap dingin dan cueknya itu menjadi khas dari seorang Lohan Wirananda yang membuat para wanita terpikat tidak hanya dengan ketampanan dan materi gang dimilikinya.Sekitar sepuluh meni
Inara memainkan jari di laptop Lohan, ia sedang membuka internet, mencari lowongan pekerjaan yang bisa dilakukan secara online tanpa keluar rumah. Ia mendengarkan perkataan Lohan, tetapi ia juga tidak ingin hanya berdiam diri. Diam tidak ada aktivitas di rumah malah membuatnya bosan dan stress. Ia duduk di sofa ruangan tamu dengan televisi yang hidup, memperlihatkan film drama sinetron.Lohan masuk ke apartemen sambil melepas jas yang terpasang di tubuhnya dan berjalan masuk ke dalam kamarnya dengan ekspresi lelah. Inara hanya memperhatikannya, takut untuk menegur karena suasana hati pria itu tampak tidak bagus. "Kak Lohan kenapa?" Inara bingung. Inara meletakkan laptop yang ada di pangkuannya ke atas meja, lalu bangkit dari sofa dan berjalan menuju dapur. Inara membuat makan malam untuk Lohan. Suara sendok dan wajan penggorengan yang beradu terdengar di dapur yang langsung bersebelahan dengan ruang tamu itu. Dengan bahagia dan harapan Lohan menyukai masakannya membuatnya bersemanga
Lohan bergegas masuk dan menahan Qian, ia mendorong pelan adiknya itu keluar dari kamar bersama ocehan Qian yang menggodanya dengan keberadaan wanita yang tidak diketahuinya adalah sang istri yang dilupakannya. "Baru kali ini aku melihatmu membawa wanita sampai ke apartemen. Jangan bilang secara diam-diam kamu melakukannya?" goda Qian setelah berada di luar kamar. "Diam saja," tutur Lohan dengan wajah dinginnya dan menutup pintu kamar.Lohan mengunci pintu dan bergegas berjalan menuju Inara yang tidak sadar mengenai keberadaan Qian tadi. "Qian sudah pergi?" tanyanya. "Qian melihatmu, tetapi untungnya kamu tidak menoleh ke belakang dan menampakkan wajahmu. Untuk sementar kamu diam saja di sini, aku perlu bersandiwara karena dia tahu kamu wanitaku, maksudnya kekasihku. Diam saja di sini dan waspadai dia," ucap Lohan dan kembali meninggalkannya sendiri.Lohan memasuki kamar dan keluar dari kamar itu dengan mata memperhatikan Inara dari pintu kaca lebar menuju balkon. Wanita itu memand
Qian berjalan pelan menjaga langkah kaki memasuki kamarnya dan Cici yang ditinggalkannya semalam dengan alasan ada pekerjaan darurat yang harus diurus olehnya di perusahaan. Padahal, ia ke klub bersama Ditya, diajari minum oleh adiknya itu sampai teler hanya dengan beberapa tegukan.Ketika masuk ke kamar, Cici sedang berdandan di depan meja rias. Ia mencoba menghindari wanita itu , dari pertanyaan yang pasti ada, sudah di tebak olehnya. Ia berjalan menuju lemari, mengambil handuk dan mengubah arah ke kamar mandi. Suara pintu yang dibuka menarik indera pendengaran Cici untuk menoleh. Ia melihat tingkah dan ekspresi Qian yang tertangkap basah."Baru pulang? Semalam ke mana saja? Itu malam pertama kita, tetapi kamu meninggalkanku," kata Cici, kesal, sambil berjalan mendekatinya."Aku tertidur di kantor." Qian tersenyum cengengesan San untuk menutupi kebohongannya." Lelah sekali, aku mandi dulu dan setelah itu istirahat," alih Qian dan bergegas masuk."Tidak apa-apa, masih bisa dilakukan