Qian meletakkan ponsel ke laci mobil bagian depan. Kemudian, tangannya lengkap menggenggam setir mobil, mengendalikannya dengan kecepatan sedang. Perasaan kacau menarik keresahan di hati dan pikirannya. Rencana yang sempat diceritakan kepada Inara mulai diragukan akan keberhasilannya. Ia juga merasa bersalah karena kembali melibatkan wanita yang sudah disiksa oleh ibunya itu..
"Kenapa aku terlalu gegabah? Seharusnya aku tidak lagi melibatkan Inara." Qian kesal pada dirinya sendiri.Ponselnya kembali berdering. Orang yang menghubunginya kali ini adalah Lohan, sang kakak yang kini berdiri di teras rumah sambil memperhatikan kepergian Narsih yang diusir dari rumah itu.Qian kembali meletakkan ponsel itu ke laci, ia enggan menjawabnya sambungan telepon Lohan karena hubungan mereka juga tidak harmonis. Ia berasumsi dengan tebakan kalau Lohan akan memarahinya."Dia pasti senang karena memiliki bahan untuk diperdebatkan denganku," kata Qian sambil menatap fokus ke depan.Lohan tidak menyerah, ia kembali menghubungi nomor teleponnya sampai panggilan tidak terjawab terdata sebaya sepuluh kali sampai membuat Qian kesal dan akhirnya menjawab sambungan teleponnya."Apa?" tanya Qian, judes."Kamu di mana? Gara-gara kamu, semua orang dimarahi. Bi Narsih juga sudah diusir Mama," ujar Lohan, emosi, tapi cara bicaranya masih menunjukkan sisi ketenangan."Kenapa? Oh ... aku mengerti." Cerita Inara semalam teringat oleh-nya.Qian memutuskan sambungan telepon dan meletakkan ponsel kembali ke laci mobil. Tapi, ponsel itu jatuh ke lantai, ia meraih alat komunikasi itu dengan sesekali memperhatikan jalan.Suara klakson mobil lain terdengar nyaring di telinganya, matanya beralih tertuju ke sisi kanan dan melihat truk melaju dengan kecepatan kencang dari sisi kanan tepat di pertigaan jalan. Truk itu menodong mobil bagian samping Qian sampai mobil itu terdorong ke depan dan belong ke samping mengenai tiang listrik di tepi jalan. Kondisi mobil hancur parah di setiap sisi kanan dan kiri.Pandangan Qian mulai buram dengan indera pendengaran menangkap suara keramaian di luar mobil. Darah mengalir di pelipis, juga dari hidungnya. Pandangan yang buram itu akhirnya menjadi gelap, ia tidak sadarkan diri. Tapi, sebelum kesadaran itu hilang, suara Inara terngiang di telinganya.***Setelah mendapatkan berita kecelakaan, mereka langsung ke rumah sakit. Seluruh anggota keluarga Wirananda berlari di salah satu lorong rumah sakit yang mengantarkan mereka ke ruang operasi berada. Yuda, sang paman yang merupakan seorang dokter sudah menindaklanjuti kondisi keponakannya itu yang harus segera dioperasi."Qian. Qian ...." Sarina memukul pintu ruang operasi karena tidak sabar untuk melihat wujud sang anak."Diam dan tenang. Biarkan Yuda yang menangani kondisinya," kata Irawan sambil memeluk Sarina dari belakang.Wanita paruh baya itu menangis tersedu-sedu dan tidak terkendali melihat putra yang paling disayang olehnya sekarat di meja operasi. Irawan sampai memeluknya dari belakang agar Sarina tidak memukul pintu ruang operasi yang bisa mengacaukan konsentrasi dokter dan perawat dalam. Lohan memperhatikan kesedihan Sarina yang membuatnya selalu iri karena ibunya itu yang pilih kasih dan membeda-bedakan kasih sayang antara dirinya dan Qian.Meskipun sering bertikai, Lohan tetap sedih dengan musibah yang menimpa sang adik. Perasaannya ikut tidak tenang, itu terukir jelas di ekspresi wajahnya.Perasaan Inara juga tidak tenang, ia duduk di tepi kasur dengan mata menatap ponsel di atas meja. Inara ragu untuk menghubungi Qian karena takut mengganggu. Namun, pada akhirnya ia melakukan panggilan telepon ke nomor pria yang menidurinya semalam itu. Nomor yang dihubunginya tidak aktif. Jelas, ponsel Qian mati karena rusak dalam kecelakaan itu. Ponsel itu berada di salah satu tangan polisi yang menangani kecelakaan dan sedang berjalan di lorong rumah sakit, mengantarkan ponsel itu kepada anggota keluarga Qian."Permisi. Ini barang milik korban." Pria dengan seragam polisi lalu lintas itu memberikan ponsel dalam keadaan rusak itu kepada Lohan."Terima kasih, Pak. Bagaimana kasusnya? Murni kecelakaan?" tanya Lohan."Setelah memeriksa TKP. Semua alami kecelakaan. Truk yang menabrak mobil Pak Qian remnya blong," jelas polisi itu. "Kau begitu, saya pamit," ucap pria itu dan pergi setelah memberikan hormat kepada mereka."Semua pasti gara-gara wanita itu. Ini kesialan darinya. Dia pasti sudah bertemu dengan Qian dan dia yang menularkan kesialan itu," kata Sarina, menyalahkan Inara.Perkataan Sarina masih membuat Lohan bingung dan penasaran. Apa hubungannya adik iparnya itu dengan gudang di belakang rumah? Isi benaknya masih mengungkit pertanyaan tadi, saat di mana Sarina tampak marah setelah membuka gudang yang isinya kosong.Lohan memutuskan meninggalkan tempat itu dan berjalan keluar rumah sakit. Ia menghubungi nomor Narsih untuk berbicara mengenai gudang dan Inara, wanita yang hanya diketahui namanya saja, tidak dengan wajahnya."Halo, Bi? Ini benar-benar penting. Ceritakan kepadaku mengenai gudang itu dan Inara. Bukannya adik ipar ku itu berada di rumah sakit jiwa? Mengapa Mama bertingkah seolah Inara berada di gudang itu?" tanya Lohan."Benar, Den. Non Inara dikurung di gudang belakang rumah selama ini. Dia tidak gila dan tidak bisu, dia wanita normal yang sengaja diasingkan oleh Nyonya Sarina karena berasal dari keluarga miskin. Keluarga Non Inara juga sudah dipindahkan ke kota lain. Semuanya rencana Nyonya Sarina. Karena takut Den Qian yang sakit-sakitan tidak menikah dan menjadi bahan pembicaraan teman-temannya, dia menikahkannya bersama Non Inara dengan rumor tidak benar itu."Narsih menceritakan semua yang terjadi secara rinci dengan perasaan yang sebenarnya masih takut untuk mengungkapkan kebenaran itu. Tapi, ia berani karena tidak akan bertemu Sarina lagi, ia akan kembali ke kampung halamannya dengan menaiki bus. Sekarang ia berada di terminal."Bisa kirimkan foto Inara kepadaku? Aku tidak tahu wajahnya," kata Lohan."Baik, Den."Sambungan telepon mereka berakhir. Narsih langsung membuka sebuah aplikasi pesan dan mengirimkan satu-satunya foto Inara yang dimiliki di ponselnya.Bunyi notifikasi pesan mengalihkan tujuan mata Lohan dari ambulans yang memasuki gerbang rumah sakit menuju layar ponselnya. Ia melihat foto Inara dalam balutan dress biru warna putih dengan rambut terurai bergelombang panjang dengan bibir tersenyum. Lohan tidak memungkiri adik ipar itu cantik, tetapi ia merasa prihatin setelah mendengar cerita singkat Narsih mengenai dirinya."Mama benar-benar mengambil hak kebebasan orang lain. Seharusnya wanita itu bisa menikmati hidupnya dalam kebebasan, tapi Mama malah mengurungnya seperti burung. Kasihan sekali," kata Lohan, memasang wajah prihatin, dan melayangkan mata ke arah mobil ambulans yang dikelilingi beberapa perawat dan petugas rumah sakit yang sedang mengeluarkan brankar dari dalamnya.Wajah Inara yang ada di layar ponselnya tampak mirip dengan wajah wanita yang ada di atas brankar yang baru keluar dari mobil ambulans itu. Kedua bola mata Lohan melebar kaget dan meyakini kalau wanita itu benarlah Inara. Lohan berlari mengikuti brankar yang didorong masuk ke dalam rumah sakit."Dia kenapa?" tanya Lohan kepada salah satu petugas."Dia ditabrak motor di depan hotel Edelweis," jawab pria berseragam putih itu."Hotel Edelweis? Qian juga tidak pulang semalam. Lalu, dia menyebut istrinya kepada Mama. Mungkinkah dia bersama wanita ini berada di hotel? Tidak mungkin wanita yang tidak memiliki apa pun ini bisa menginap di sana," kata Lohan dalam hati bersama asumsi-asumsinya.'Kamu pembawa sial!'Suara Sarina terekam jelas saat memakinya.Inara membuka mata secara pelan dan memandangi langit-langit kamar rumah sakit. Kemudian, matanya beralih menatap Lohan yang duduk dengan kedua tangan menyilang di samping kasur yang ditidurinya. Wanita dalam setelan baju rumah sakit warna biru itu sangat mengenalinya wajah Lohan karena pernah melihatnya di foto keluarga besar Wirananda. "Kenapa kakaknya Qian ada di sini? Kenapa aku di sini?" tanya Inara sambil mengingat kejadian pagi ini. Ekspresinya berubah kaget setelah ingat kalau dirinya tertabrak mobil karena syok mendengar kabar kecelakaan Qian dan ingin ke kediaman Wirananda sesegera mungkin untuk mencari tahu keberadaan Qian yang dibawa ke rumah sakit mana? "Kondisi Qian, bagaimana? Dia …." Inara bertanya sambil duduk dengan Lohan yang ikut sontak ingin membantu. Tapi, ia kembali duduk dan menarik kecemasan setelah melihat wanita itu baik-baik saja. "Dia baik-baik saja. Kamu bersamanya semalam?" tanya Lohan.
Dua Minggu Kemudian ….Inara menyelinap masuk ke kamar Qian setelah melihat Irawan keluar dari kamar itu dalam setelan baju kerja. Pria paruh baya itu menyempatkan diri ke rumah sakit untuk melihat kondisi Qian di waktu jam istirahat siangnya. Kaki Inara melangkah masuk ke kamar Qian dan menutup pintu secara perlahan. Lalu, ia menghampiri tubuh sang suami yang sudah koma selama dua Minggu itu. "Bagaimana kabarmu hari ini? Hari ini aku membawakan bunga mawar baru agar suasana kamar mu lebih nyaman," ucap Inara sambil mengganti tiga tangkai bunga mawar yang ada di dalam vas bunga kecil dan panjang yang ada di atas meja di samping kasur.Sejak keluar dari rumah sakit, ia selalu mengunjungi Qian dengan membawakan bunga mawar putih dan menaruhnya di atas meja di kamar itu. Sekali dua hari ia mengganti bunga itu. "Aku selalu berdoa kamu secepatnya sadar. Kamu tahu, aku hamil. Anak kita membutuhkanmu," ucap Inara sambil mendarat tangan Qian ke perutnya. Jari-jari tangan Qian yang mendara
Keluar dari kamar Qian, Inara berjalan di lorong menuju lift yang akan mengantarkannya ke lobi rumah sakit. Sebelum mencapai lift, pintu lift itu terbuka, Cici keluar sambil menenteng plastik yang berisi makanan dan buahan yang disiapkan untuk Qian. Cici tersenyum ringan padanya karena tidak tahu kalau wanita yang saat ini berpapasan dengannya ialah istri sah pria yang akan meninggalkan pernikahan malam itu. Inara menoleh ke belakang, memperhatikan Cici memasuki kamar Qian. "Bagaimana nasib anakku ini nanti? Kasihan sekali, belum tumbuh sudah mati," kata Inara, berbicara dengan senyuman miris dan air mata yang menetes. Inara lanjut memasuki lift. Setelah keluar dari lift, ia melihat Sarina sedang berbicara bersama seorang wanita seusianya di tengah lobi. Inara bergegas bersembunyi, ia keluar dari rumah sakit itu melalui jalan lain.Di halaman rumah sakit ia bertemu Ditya, pemuda itu tidak sengaja berpapasan dengannya. "Kamu yang waktu itu, kan? Sudah keluar dari rumah sakit?" Dity
Ditya mengemudikan mobil dengan earphone bluetooth yang menempel di telinganya. Ia sedang berbicara di dalam mobil bersama temannya, sedangkan Qian duduk memikirkan ekspresi orang-orang disekitarnya saat ia bertanya mengenai kenangan selama beberapa tahun terakhir yang dilupakannya."Baiklah. Kalau begitu, kita ngumpul di restoran seafood itu. Malam ini, kan? Oke."Ditya memutuskan sambungan telepon dan menoleh ke samping, fokus pada kakaknya yang diam dalam kebingungan. Ia bisa membaca apa yang sedang dipikirkan kakaknya itu. "Kak, mau ikut ngumpul bareng teman-teman ku malam ini? Sesekali, buang suntuk," kata Ditya. "Aku pikirkan dulu. Kita berhenti di depan dulu, aku ingin membeli sesuatu di minimarket," kata Qian. Ditya menganggukkan kepala, ia menepikan mobil di tepi jalan, di mana ada minimarket di sampingnya. Qian menyuruh Ditya membelikan sebotol minuman kaleng dingin. "Cuaca hari ini panas sekali," kata Qian. "Baiklah. Tunggu di sini. Biar otak kakak dingin dan tidak berp
Satu Minggu Kemudian ….Qian merapikan dasi kupu-kupu yang sudah menempel di lehernya sambil memperhatikan penampilan di depan cermin di ruang ganti sebuah gedung besar yang dijadikan sebagai tempat penyelenggaraan pernikahan. Hari ini tepatnya hari di mana ia akan menikah bersama Cici yang saat ini sedang dirias di kamar lain. "Kakak ku memang yang terbaik. Setiap wanita yang melihat kakak pasti klepek-klepek," puji Ditya sambil berjalan masuk ke ruangan ganti, mendekati Qian. "Tentunya. Siapa dulu?" Qian tersenyum, membanggakan diri sendiri sambil memutar badan ke belakang. "Kalau begitu kita ke bawah. Semua orang sudah menunggu raja malam ini," kata Ditya dan memeluk tangan kanan Qian, mengajak kakaknya itu menuju ruang rumah penyelenggaraan pernikahan.Keluarnya Qian dari kamar itu, disambut meriah oleh para tamu undangan yang menyorotinya. Mereka terkesima dengan ketampanan putra kedua Wirananda itu sampai enggan memalingkan pandangan. Qian sesekali menundukkan kepala dan melay
Kepergian Lohan meninggalkan banyak asumsi di benak Inara. Selain itu, ada beberapa pertanyaan yang diberikan pada benaknya itu, tetapi ia juga menjawabnya sendiri. Ekspresi wajahnya cukup serius memikirkan perkataan Lohan sampai tidak sadar ada seorang pria gelandangan menyodorkan tangan meminta sedekah padanya. Ia sadar setelah Lohan memberikan uang kepada pengemis itu."Di mana kamu tinggal selama ini?" tanya Lohan sambil berjalan masuk ke dalam mobil bersama rasa penasaran."Di kontrakan yang ada di belakang restoran seafood di dekat lampu merah. Aku bekerja di sana," kata Inara, berbicara sambil menatap Lohan yang fokus mengemudikan mobil tanpa membalas tatapan wajahnya.Lohan diam bersama karakter dinginnya. Sejak pertanyaan itu berjawab, Lohan diam seolah tidak ada orang yang duduk di sampingnya. Sikap dingin dan cueknya itu menjadi khas dari seorang Lohan Wirananda yang membuat para wanita terpikat tidak hanya dengan ketampanan dan materi gang dimilikinya.Sekitar sepuluh meni
Inara memainkan jari di laptop Lohan, ia sedang membuka internet, mencari lowongan pekerjaan yang bisa dilakukan secara online tanpa keluar rumah. Ia mendengarkan perkataan Lohan, tetapi ia juga tidak ingin hanya berdiam diri. Diam tidak ada aktivitas di rumah malah membuatnya bosan dan stress. Ia duduk di sofa ruangan tamu dengan televisi yang hidup, memperlihatkan film drama sinetron.Lohan masuk ke apartemen sambil melepas jas yang terpasang di tubuhnya dan berjalan masuk ke dalam kamarnya dengan ekspresi lelah. Inara hanya memperhatikannya, takut untuk menegur karena suasana hati pria itu tampak tidak bagus. "Kak Lohan kenapa?" Inara bingung. Inara meletakkan laptop yang ada di pangkuannya ke atas meja, lalu bangkit dari sofa dan berjalan menuju dapur. Inara membuat makan malam untuk Lohan. Suara sendok dan wajan penggorengan yang beradu terdengar di dapur yang langsung bersebelahan dengan ruang tamu itu. Dengan bahagia dan harapan Lohan menyukai masakannya membuatnya bersemanga
Lohan bergegas masuk dan menahan Qian, ia mendorong pelan adiknya itu keluar dari kamar bersama ocehan Qian yang menggodanya dengan keberadaan wanita yang tidak diketahuinya adalah sang istri yang dilupakannya. "Baru kali ini aku melihatmu membawa wanita sampai ke apartemen. Jangan bilang secara diam-diam kamu melakukannya?" goda Qian setelah berada di luar kamar. "Diam saja," tutur Lohan dengan wajah dinginnya dan menutup pintu kamar.Lohan mengunci pintu dan bergegas berjalan menuju Inara yang tidak sadar mengenai keberadaan Qian tadi. "Qian sudah pergi?" tanyanya. "Qian melihatmu, tetapi untungnya kamu tidak menoleh ke belakang dan menampakkan wajahmu. Untuk sementar kamu diam saja di sini, aku perlu bersandiwara karena dia tahu kamu wanitaku, maksudnya kekasihku. Diam saja di sini dan waspadai dia," ucap Lohan dan kembali meninggalkannya sendiri.Lohan memasuki kamar dan keluar dari kamar itu dengan mata memperhatikan Inara dari pintu kaca lebar menuju balkon. Wanita itu memand
Usai makan, usai melepaskan kepulangan keluarga mereka, Inara dan Qian memasuki kamar yang sudah disiapkan Tias dan Erlanda untuk mereka di kediaman mereka, di mana mereka bisa tempati saat berkunjung seperti malam ini. Inara dan Qian tidak kembali ke kediaman mereka. Untuk pertama kalinya mereka menginap di rumah itu untuk menghargai Tias dan Erlanda yang selalu meminta mereka menginap. “Melelahkan,” ucap Inara sambil duduk di tepi kasur yang empuk di kamar itu. Pintu kamar ditutup Qian dan pria itu bergegas melepaskan kancing kemeja sambil memutar badan ke belakang dan tangannya berhenti lanjut melepaskan kancing baju itu setelah melihat Inara duduk dalam kelelahan. Ekspresi pria itu mulai menampakkan kekecewaan dan kembali memasang kancing bajunya. Sesuatu muncul di benak kalian terhadap apa yang ingin dilakukan Qian sebelumnya? Benar, itu benar. Pria itu duduk di samping Inara dan memijat kedua pundak istrinya itu dari belakang. Tampak wanita itu menikmati dan membetulkan posi
LIMA BULAN KEMUDIAN ….Qian mengemudikan mobil di mana Inara duduk di sampingnya, mereka akan menghabiskan waktu seharian di hari Minggu yang kebetulan cerah. Mereka akan ke taman, menikmati suasana taman yang biasa dikunjungi oleh anak-anak. Wanita yang kini sudah hamil lima bulan lebih itu mengidam ingin melihat suasana taman yang dipenuhi oleh anak-anak kecil. Setelah mobil terparkir, Qian merangkul pinggang istrinya itu keluar dari mobil, membimbing memasuki area taman dengan kehati-hatian sampai duduk di bangku salah satu taman yang kebetulan berada di bawah pohon yang rindang. “Kamu duduk di sini dulu. Biar aku belikan beberapa minuman dan makanan di minimarket seberang,” pesan Qian yang takut Inara ke mana-mana. Pria itu berlalu pergi setelah Inara menganggukkan kepala. Baru beberapa menit Qian pergi, deringan telepon terdengar dari tas yang ditaruh di sisi kanannya. Dirogoh olehnya tas jinjing itu dan mengeluarkan ponsel kepemilikan Qian yang dititipkan suaminya itu ketika
Di hadapan semua orang, terutama di hadapan Inara yang sudah duduk di samping Elmi, mendengar semua cerita dari Devi dari awal sampai kejadian bayi tertukar itu terjadi. Sepanjang cerita itu berlangsung, Elmi dan Tias sama-sama menangis, satu karena kebenaran Inara bulan putri kandungnya dan satu lagi menangis karena rasa haru bisa bertemu putri yang dianggapnya telah meninggal selama ini. “Sekali lagi saya minta maaf,” ucap Devi dengan wajah meminta belas kasih mereka. “Wah … ini tidak bisa didiamkan. Harus dibawa ke jalur hukum, nih,” celetuk Ditya. “Diam,” tegur Lohan dengan suara kecil kepada sang adik.Inara jadi bingung sendiri, entah harus mengekspresikan hal tersebut dengan bahagia atau malah sedih. Tias bangkit dari tempat duduknya, tidak sabar ingin memeluk wanita itu setelah menahan diri sejak tadi. Dalam pelukan itu Inara masih diam, masih bingung untuk bertingkah. Ia malah menatap Elmi yang diam bersedih, yang membuat hatinya ikut bersedih. Bergegas Inara melepaskan p
Erlanda menggeleng-gelengkan kepala, tidak habis pikir dengan sikap Sarina terhadap putrinya. Berbeda dengan Tias, istri pria paruh baya itu malah memperhatikan Inara yang berjalan memunggunginya sampai wanita itu memasuki kamar. Ekspresi murung tergambar di wajah wanita itu. “Kami benar-benar kecewa, Bu Sarina,” ucap Erlanda dan hendak mengikuti jejak Cici. Namun, diamnya Tias dalam lamunan sedih wanita itu membuat Erlanda terhenti dan menggenggam pergelangan tangan kanan istrinya itu, menyadarkan Tias. Lanjut, membawa wanita itu keluar dari rumah itu dengan kepala Tias menoleh ke belakang, tidak memperhatikan jalannya saat berjalan. Tias menghentikan langkah kakinya di depan rumah tersebut setelah mendengar suara deringan telepon dari saku celananya. Itu ikut menghentikan langkah Erlanda dan pria itu memperhatikan Tias menerima sambungan telepon dari seseorang yang tampak membuat istrinya itu terharu sampai meneteskan air mata. “Suster tidak berbohong, kan?” tanya Tias. Sejenak
Ekspresi Sarina berubah sedih setelah mendengar penjelasan dokter di luar kamar Qian, di mana juga ada Inara yang berdiri di sisi kanannya. Sarina terperangah, merasa tidak percaya putra kesayangan itu melupakan dirinya dan hanya mengingat Inara karena hanya wanita itu yang berkesan di memorinya Qian. “Tolong jangan paksa pasien untuk mengingat. Karena cedera yang sebelumnya pernah dialaminya membuat otaknya cukup rusak. Jika dipaksa mengingat, pasien bisa kehilangan nyawa atau bodoh,” terang dokter berjenis kelamin laki-laki itu. Dokter paruh baya itu melewati keberadaan Sarina dan Inara, meninggalkan mereka di depan kamar itu. “Qian tidak mengingatku,” kata Sarina, menangis. Inara memperhatikan kesedihan di wajah mertuanya itu yang membuatnya ikut bersedih. Inara melangkah mendekati Sarina, memberanikan diri memeluk ibu mertuanya itu untuk menyalurkan energi agar wanita itu bisa lebih kuat dengan kesedihannya. “Qian pasti bisa mengingat Mama lagi. Orang yang paling disayanginya
Irawan memarahi Sarina habis-habisan setelah berhasil menyeret istrinya itu keluar dari gedung rumah sakit. Tidak hanya Irawan, kedua putranya juga ikut menyerbunya dengan kata-kata marah setelah melihat sikap dan ucapan kasar Sarina kesekian kalinya kepada Inara. “Mama kapan sadar kalau perbuatan Mama itu salah! Mama tidak pernah melihat sisi baik anak itu,” kata Irawan dalam kemarahan yang sebelumnya tidak pernah diperlihatkan kepada sang istri. “Kak Inara sudah banyak menderita karena Mama. Jika Mama yang berada di posisinya apa Mama sanggup menanggungnya?” Ditya ikut memarahi sang ibu. “Dia kehilangan anaknya karena Mama. Waktu, masa depannya hancur karena Mama dan sekarang Mama ingin memisahkannya dari Qian yang jelas-jelas putra Mama itu sangat mencintainya. Aku tidak tau masalah apa yang Mama alami di masa lalu, tapi tidak sepantasnya Mama memperlakukannya begitu,” ucap Lohan, di mana jiwa tenangnya ikut terguncang setelah jenuh melihat perbuatan ibunya itu kepada Inara. “M
Keluarnya Qian dari kamar Cici yang ditempati oleh wanita itu selama beberapa hari ini, bersambut masuknya seorang pria ke sana. Pria itu adalah orang yang sempat berdebat bersama Qian di taman rumah sakit. Sendi, pria itu teman dekat Cici yang tidak diketahui Qian orang yang selalu menghubungi istri keduanya itu. Sendi tempat curhat Cici mengenai hubungan rumah tangganya bersama Qian dan tidak diketahui oleh wanita itu kalau Sendi menyukainya secara diam-diam, itu sebabnya pria itu marah besar kepada Qian yang menjadi penyebab Cici masuk rumah sakit. Pria itu masuk tidak hanya dengan tangan kosong, ada buket bunga mawar indah di tangan kanannya. Sendi sengaja mengambil peluang memasuki kamar Cici setelah Qian keluar. “Bagaimana kabarmu?” tanya Sendi sambil melangkah masuk setelah menutup pintu. Buket bunga mawar merah itu disodorkan ke arah Cici yang duduk bersandar di atas ranjang kamar itu. Cici tercengang kaget, bersama perasaan takut mulai muncul di jiwanya. “Kamu bertemu Qia
Inara merasakan sesuatu menyentuh beberapa helai rambut di dekat pelipisnya, perlahan Inara membuka mata dan menemukan Qian duduk bersandar di sampingnya. Bergegas Inara duduk, dibantu Qian yang tidak ingin sang istri kesulitan. Bibir Inara tersenyum ringan menatap sang suami, perasaannya bahagia. “Kapan kembali?” tanya Inara. Wanita itu menoleh ke sisi kanan, menatap jam di atas meja yang menunjukkan pukul dua belas malam. Bukannya menjawab, pria itu memeluknya, mendarat kepala ke pundak kiri Inara dengan tangan memeluk tubuh Inara dari samping. “Kenapa?” tanya Inara, penasaran dengan tingkah Qian. “Hanya rindu.” Tangan kiri Qian mengelus perut Inara, bertingkah seperti anak kecil. “Bagaimana kondisi Cici?” tanya Inara, penasaran. “Setelah dia tidur, aku ke sini,” jawab Qian dan diam, tampak memikirkan sesuatu. Diamnya Qian menarik perhatian Inara, wanita itu menurunkan pandangan setelah menoleh ke kiri, menatap wajah Qian yang melamunkan sesuatu. Inara membetulkan posisi du
Cici meneteskan air mata dengan bibir tersenyum ringan saat melihat Qian yang ditunggu-tunggunya setelah sadar berdiri di pintu kamar di mana dirinya berada. Ia terharu suami yang tidak memikirkannya itu menjenguknya dan membuatnya beranggapan pria itu masih peduli padanya yang berarti masih ada peluang bagi Qian mencintainya. Tias dan Erlanda menoleh ke belakang setelah melihat perubahan di wajah wanita itu. Mereka berdua, terutama Erlanda menatap sinis Qian dan tatapan pria paruh baya itu bisa dimaklumi Qian padanya. Siapapun orang tua yang berada di posisi mereka, pasti akan marah, begitupun dengan dirinya sendiri. "Kamu sudah datang. Aku menunggumu sejak aku sadar," kata Cici dengan suara berat. Qian menganggukkan kepala dengan senyuman, lalu mendekati Cici setelah kedua mertuanya itu memberikan ruang untuk bisa berdiri di samping Cici. Wanita yang terbaring di atas kasur tidak bisa menggerakkan badannya, hanya tangan sebelah kanan saja karena tangan kirinya patah sementara, beg