Qian sudah mendengar semua cerita Inara yang membuatnya diam tak habis pikir dengan kejadian yang sudah dialami wanita itu karena keluarganya, terutama perbuatan ibunya. Qian hanya bisa diam menyetir mobil tanpa bisa menatap wajah wanita yang duduk diam di sampingnya itu karena merasa bersalah.
"Dengan apa aku membayar 1001 malam mu di gudang itu?" tanya Qian, prihatin."Itu tidak bisa dibayar meskipun dengan jutaan, miliaran, ataupun triliun uang. Bagiku kebebasan adalah kebahagiaan. Dan, kebahagiaan itu tidak bisa diukur dengan uang," terang Inara sambil tersenyum ringan."Benar. Aku juga berpikir hal yang sama. Hmm … bagaimana kalau kita memperbaiki hubungan kita?" tanya Qian, memasang wajah ragu."Kamu tahu Mama mu seperti apa. Dia tidak akan setuju dan akan memikirkan banyak cara untuk menyingkirkan ku darimu. Dia bahkan sudah membuat kedua orang tuaku pindah dari kota ini dan mereka entah di mana sekarang," ungkap Inara."Aku punya satu cara. Aku harap kamu setuju. Ini sedikit dramatis, tapi ini bisa membuat Mama tidak bisa berbuat banyak untuk menyakitimu," kata Qian, menatap Inara dengan wajah serius.Inara diam, menatap Qian dengan raut wajah ragu.***Inara berdiri di pintu kamar hotel Edelweis, ia memutar bola mata memandangi seisi kamar hotel yang akan mereka tempati malam ini. Lalu, ia memandangi Qian yang duduk di tepi kasur sambil melepaskan jas dan dasinya. Qian tersenyum simpul melihat cara Inara menatapnya, seolah ia seorang penjahat yang ditakuti."Kamu pernah mendengar cerita pengembala dan sapi-sapinya?" Qian berdiri, berjalan menghampirinya sambil melepaskan kancing pergelangan tangan kiri dan kanan.Inara menggeleng, tidak tahu dengan pertanyaan Qian yang membuatnya sedikit berpikir, menunjukkan wajah polos."Ketika si pengembala memukul pantat si sapi, hewan berkaki empat itu akan berjalan dari diamnya. Apa aku harus melakukan hal yang sama padamu? Masuklah! Bukankah kita sudah merundingkannya?" tanya Qian, berjalan menepi, memberikan ruang untuk Inara berjalan masuk ke kamar dengan angka 10 itu yang terpampang di depan pintu."Apa hubungannya denganku?" tanya Inara, masih polos."Tidak ada. Masuk!" Qian menarik tangannya masuk ke dalam kamar dan menutup pintu.Inara mulai merasa sesak untuk bernapas karena suasana canggung dalam kesunyian. Jantungnya berdetak kencang melihat Qian membuka kemeja putihnya dan melemparkannya ke atas sofa. Setelah itu, Qian meletakkan ponselnya ke atas meja dan ia lanjut berjalan menuju kamar mandi. Sejenak Inara bisa bernapas karena pria itu tidak tampak di matanya, ia duduk di tepi kasur sambil memikirkan rencana yang dibicarakannya bersama Qian ketika berada di mobil.Deringan ponsel Qian membuat Inara kaget, matanya langsung mengarah ke ponsel yang ada di atas meja itu. Sudah lama ia tidak mendengar bunyi telepon masuk, karena selama ini hanya kesunyian dan kesepian yang dirasakannya. Kakinya berjalan mendekati meja dan melihat layar ponsel, di sana tertulis 'Mama' yang menjelaskan kalau penghubung ialah Sarina."Mama. Ini Mama Sarina? Apa aku biarkan saja?" Inara bingung."Tolong jawab teleponnya! Bilang aku di luar kota!" Qian berseru dari kamar mandi, berbicara di bawah derasnya air yang turun dari shower.Tangan Inara mengambil ponsel itu dengan perasaan tegang diselimuti ketakutan. Ia menggeser layar, menjawab sambungan telepon dan diam, membiarkan Sarina bersuara."Qian! Kamu di mana? Jangan bilang sama Mama kalau kamu kabur. Mau ditaruh di mana muka Mama? Semua tamu undangan sudah datang, Cici juga menunggumu sejak tadi. Kembali ke gedung, sesegera mungkin!" desak Sarina.Suara Sarina membuat Inara mengingat masa lalu, saat ia diseret ke dalam gudang dan dimaki habis-habisan karena miskin. Tubuhnya mulai gemetar, terutama tangannya yang menggenggam ponsel. Tangan kirinya menutup mulut dengan air mata mengalir membasahi pipinya. Wanita itu terlihat begitu trauma dengan masa lalunya."Qian?" panggil Sarina, bingung."Ma-maaf. Qi-Qian ada di lu-luar kota." Inara berbicara gagap karena rasa takutnya."Kamu siapa?" tanya Sarina, lugas.Inara diam seribu bahasa. Kebingungannya membuatnya memilih diam daripada salah bicara. Ia memutuskan sambungan telepon dan meletakkan ponsel itu kembali ke atas meja bersamaan dengan tubuhnya duduk di sofa."Si …." Qian menggantungkan perkataannya setelah melihat Inara duduk menangis.Qian menutup pintu kamar mandi dan berjalan menghampiri wanita itu dengan raut wajah bingung. Ia merendahkan tubuh dan mengambil ponselnya untuk melihat panggilan terakhir."Jika ceritanya tadi benar, tentunya dia akan trauma ketika Mama berbicara padanya. Mengapa aku merasa bersalah begini?" Qian berbicara dalam hati sambil menggenggam ponsel dan menatap Inara dengan raut wajah prihatin."Kamu akan baik-baik saja. Sementara waktu kamu tinggal di sini. Ketika ada waktu luang ku dari kantor, aku akan mengajakmu ke psikolog untuk berkonsultasi. Sekarang kamu mendingan mandi. Sebentar lagi pelayan hotel akan membawakan pakaian yang aku pesan untukmu," ujar Qian sambil membantunya berdiri."Terima kasih karena sudah baik padaku," ucap Inara.Qian mengangguk-angguk sambil tersenyum ringan.Setelah Inara masuk ke kamar mandi, bergantian Qian duduk di sofa dalam balutan handuk kimono putih sambil memainkan ponsel. Setelah beberapa saat duduk, pelayan hotel mengetuk pintu kamar dan membawa masuk pakaian pesannya untuk Inara dan dirinya. Selain itu, juga ada makanan."Terima kasih," ucap Qian dan menutup pintu kamar.Selagi Inara berada di kamar mandi, Qian memakai pakaiannya dalam setelah baju tidur warna hitam.Setelah setelan baju tidur itu terpasang di tubuhnya, Inara keluar dari kamar dengan wajah terlihat segar. Qian menyodorkan baju tidur dengan warna yang sama kepadanya dan menyuruhnya kembali masuk ke kamar mandi untuk mengenakannya.Inara seperti budak yang patuh pada tuannya. Ia mengikuti perkataan Qian dan menjadi orang yang paling dipercayai oleh-nya.Penampilan Inara membuat Qian pangling setelah wanita itu keluar dari kamar mandi untuk kedua kalinya. Wanita lusuh yang dekil tadi menghilang dan berubah menjadi wanita cantik. Kaki Inara berlanjut jalan menuju ranjang setelah berdiri di pintu kamar mandi, memperhatikan Qian dengan wajah gugup."Kalau kamu merasa tidak nyaman, kita bisa mengundur rencana sampai kamu sanggup. Sekarang tidur saja di kasur, aku akan tidur di sofa." Qian berdiri dari kasur dan berjalan ke sofa sambil memeluk bantal.Inara sedikit lega mendengar perkataan Qian. Ia membaringkan tubuh dan menarik selimut menutupi tubuhnya. Posisi tubuhnya terlentang dengan kedua mata menatap langit-langit kamar, tapi suasana canggung itu masih terasa. Matanya tidak bisa dipejam, ia tidak nyaman untuk tidur karena cahaya lampu. Selama dua tahun lebih ia tidur tanpa penerang di gudang itu membuatnya terbiasa tidur dalam kegelapan."Kenapa?" tanya Qian."Lampu."Qian mengerti maksud Inara. Ia berdiri dan berjalan menuju saklar lampu yang berada di sisi kiri pintu."Terima kasih," ucap Inara.Lampu utama di kamar itu dimatikan, menyisakan dua lampu berdiri di sudut kamar yang menciptakan keredupan.Qian terbangun dari tidurnya. Dadanya terasa sesak dan sulit bernapas karena redupnya cahaya kamar. Sebenarnya, pria itu terbiasa tidur dengan cahaya lampu yang terang. Qian berlari sampai terdengar langkah kakinya menuju saklar lampu dan menghidupkan lampu di kamar itu. Perlahan napasnya mulai stabil setelah menarik napas dalam-dalam dan membuangnya secara perlahan.Qian menoleh ke samping. Tampak olehnya Inara tidur dalam keadaan menangis. Di kedua sudut mata wanita itu mengalir air mata yang deras dalam kondisi mata yang masih tertutup. Qian jadi khawatir, ia duduk di tepi kasur dan menepis bahu Inara untuk membangunkannya.Tubuh Inara bereaksi kaget, bahkan sampai duduk dan menarik tubuh menjauh dari Qian, seolah pria itu penjahat."Huff ...! Maaf," ucap Inara dengan kepala tertunduk.Qian menganggukkan kepala dengan wajah bingung memperhatikan wanita itu menghapus air mata di pipinya, seakan ia sudah terbiasa dengan hal itu."Kamu baik-baik saja?" tanya Qian, menatapnya."Aku men
Hampir setengah jam Inara berada di kamar mandi. Setelah keluar, ia melihat kekosongan. Pelayan yang tadi berada di kamar telah pergi. Inara menujukan mata ke pakaian yang ada di atas kasur, dress biru muda dengan corak bunga berwarna putih dan memiliki panjang hingga betisnya. Kaki Inara berjalan mendekati kasur untuk mengambil pakaian itu. Tidak hanya ada dress, di sana juga ada pakaian dalam. Ia mengenakan semua yang telah disediakan pelayan itu dan berdiri di depan cermin besar meja rias, melihat penampilannya setelah terlepas dari dress putih yang selalu dikenakannya di gudang. Matanya mendapati beberapa kosmetik di atas meja. Inara meyakini pelayan itu yang membawanya karena semalam belum ada. Ia duduk di bangku rias dan mengeringkan rambutnya menggunakan hair dryer. Setelah mengeringkan rambut, Inara menyisirnya. Tangannya bergerak pelan menyisir rambutnya ke bawah dalam beban pikiran mengingat perkataan Qian yang berencana membuatkannya tinggal di hotel itu sampai kondisi b
Qian meletakkan ponsel ke laci mobil bagian depan. Kemudian, tangannya lengkap menggenggam setir mobil, mengendalikannya dengan kecepatan sedang. Perasaan kacau menarik keresahan di hati dan pikirannya. Rencana yang sempat diceritakan kepada Inara mulai diragukan akan keberhasilannya. Ia juga merasa bersalah karena kembali melibatkan wanita yang sudah disiksa oleh ibunya itu.. "Kenapa aku terlalu gegabah? Seharusnya aku tidak lagi melibatkan Inara." Qian kesal pada dirinya sendiri. Ponselnya kembali berdering. Orang yang menghubunginya kali ini adalah Lohan, sang kakak yang kini berdiri di teras rumah sambil memperhatikan kepergian Narsih yang diusir dari rumah itu. Qian kembali meletakkan ponsel itu ke laci, ia enggan menjawabnya sambungan telepon Lohan karena hubungan mereka juga tidak harmonis. Ia berasumsi dengan tebakan kalau Lohan akan memarahinya."Dia pasti senang karena memiliki bahan untuk diperdebatkan denganku," kata Qian sambil menatap fokus ke depan.Lohan tidak menyer
'Kamu pembawa sial!'Suara Sarina terekam jelas saat memakinya.Inara membuka mata secara pelan dan memandangi langit-langit kamar rumah sakit. Kemudian, matanya beralih menatap Lohan yang duduk dengan kedua tangan menyilang di samping kasur yang ditidurinya. Wanita dalam setelan baju rumah sakit warna biru itu sangat mengenalinya wajah Lohan karena pernah melihatnya di foto keluarga besar Wirananda. "Kenapa kakaknya Qian ada di sini? Kenapa aku di sini?" tanya Inara sambil mengingat kejadian pagi ini. Ekspresinya berubah kaget setelah ingat kalau dirinya tertabrak mobil karena syok mendengar kabar kecelakaan Qian dan ingin ke kediaman Wirananda sesegera mungkin untuk mencari tahu keberadaan Qian yang dibawa ke rumah sakit mana? "Kondisi Qian, bagaimana? Dia …." Inara bertanya sambil duduk dengan Lohan yang ikut sontak ingin membantu. Tapi, ia kembali duduk dan menarik kecemasan setelah melihat wanita itu baik-baik saja. "Dia baik-baik saja. Kamu bersamanya semalam?" tanya Lohan.
Dua Minggu Kemudian ….Inara menyelinap masuk ke kamar Qian setelah melihat Irawan keluar dari kamar itu dalam setelan baju kerja. Pria paruh baya itu menyempatkan diri ke rumah sakit untuk melihat kondisi Qian di waktu jam istirahat siangnya. Kaki Inara melangkah masuk ke kamar Qian dan menutup pintu secara perlahan. Lalu, ia menghampiri tubuh sang suami yang sudah koma selama dua Minggu itu. "Bagaimana kabarmu hari ini? Hari ini aku membawakan bunga mawar baru agar suasana kamar mu lebih nyaman," ucap Inara sambil mengganti tiga tangkai bunga mawar yang ada di dalam vas bunga kecil dan panjang yang ada di atas meja di samping kasur.Sejak keluar dari rumah sakit, ia selalu mengunjungi Qian dengan membawakan bunga mawar putih dan menaruhnya di atas meja di kamar itu. Sekali dua hari ia mengganti bunga itu. "Aku selalu berdoa kamu secepatnya sadar. Kamu tahu, aku hamil. Anak kita membutuhkanmu," ucap Inara sambil mendarat tangan Qian ke perutnya. Jari-jari tangan Qian yang mendara
Keluar dari kamar Qian, Inara berjalan di lorong menuju lift yang akan mengantarkannya ke lobi rumah sakit. Sebelum mencapai lift, pintu lift itu terbuka, Cici keluar sambil menenteng plastik yang berisi makanan dan buahan yang disiapkan untuk Qian. Cici tersenyum ringan padanya karena tidak tahu kalau wanita yang saat ini berpapasan dengannya ialah istri sah pria yang akan meninggalkan pernikahan malam itu. Inara menoleh ke belakang, memperhatikan Cici memasuki kamar Qian. "Bagaimana nasib anakku ini nanti? Kasihan sekali, belum tumbuh sudah mati," kata Inara, berbicara dengan senyuman miris dan air mata yang menetes. Inara lanjut memasuki lift. Setelah keluar dari lift, ia melihat Sarina sedang berbicara bersama seorang wanita seusianya di tengah lobi. Inara bergegas bersembunyi, ia keluar dari rumah sakit itu melalui jalan lain.Di halaman rumah sakit ia bertemu Ditya, pemuda itu tidak sengaja berpapasan dengannya. "Kamu yang waktu itu, kan? Sudah keluar dari rumah sakit?" Dity
Ditya mengemudikan mobil dengan earphone bluetooth yang menempel di telinganya. Ia sedang berbicara di dalam mobil bersama temannya, sedangkan Qian duduk memikirkan ekspresi orang-orang disekitarnya saat ia bertanya mengenai kenangan selama beberapa tahun terakhir yang dilupakannya."Baiklah. Kalau begitu, kita ngumpul di restoran seafood itu. Malam ini, kan? Oke."Ditya memutuskan sambungan telepon dan menoleh ke samping, fokus pada kakaknya yang diam dalam kebingungan. Ia bisa membaca apa yang sedang dipikirkan kakaknya itu. "Kak, mau ikut ngumpul bareng teman-teman ku malam ini? Sesekali, buang suntuk," kata Ditya. "Aku pikirkan dulu. Kita berhenti di depan dulu, aku ingin membeli sesuatu di minimarket," kata Qian. Ditya menganggukkan kepala, ia menepikan mobil di tepi jalan, di mana ada minimarket di sampingnya. Qian menyuruh Ditya membelikan sebotol minuman kaleng dingin. "Cuaca hari ini panas sekali," kata Qian. "Baiklah. Tunggu di sini. Biar otak kakak dingin dan tidak berp
Satu Minggu Kemudian ….Qian merapikan dasi kupu-kupu yang sudah menempel di lehernya sambil memperhatikan penampilan di depan cermin di ruang ganti sebuah gedung besar yang dijadikan sebagai tempat penyelenggaraan pernikahan. Hari ini tepatnya hari di mana ia akan menikah bersama Cici yang saat ini sedang dirias di kamar lain. "Kakak ku memang yang terbaik. Setiap wanita yang melihat kakak pasti klepek-klepek," puji Ditya sambil berjalan masuk ke ruangan ganti, mendekati Qian. "Tentunya. Siapa dulu?" Qian tersenyum, membanggakan diri sendiri sambil memutar badan ke belakang. "Kalau begitu kita ke bawah. Semua orang sudah menunggu raja malam ini," kata Ditya dan memeluk tangan kanan Qian, mengajak kakaknya itu menuju ruang rumah penyelenggaraan pernikahan.Keluarnya Qian dari kamar itu, disambut meriah oleh para tamu undangan yang menyorotinya. Mereka terkesima dengan ketampanan putra kedua Wirananda itu sampai enggan memalingkan pandangan. Qian sesekali menundukkan kepala dan melay