Mobil yang dikemudikan Ditya berhenti di parkiran mobil gedung Embelas yang menjorok langsung ke jalan raya. Ditya keluar dari mobil dan menghampiri pria yang berdiri menunggunya di halaman gedung. Pria dengan tinggi yang sama seperti Ditya itu, pria dalam balutan jas putih itu bernama Qianzie Wirananda, putra kedua keluarga Wirananda.
"Pinjam mobilmu. Kakak ingin ke rumah sebentar, ada barang yang tertinggal," ucapnya sambil menyodorkan tangan, meminta kunci mobil pada Ditya."Biar aku saja. Bukannya kakak akan menikah? Pergilah! Aku yang akan menjemput barang itu.""Tidak. Kakak saja. Cepat! Jangan buat semua orang menunggu," desak Qian.Ditya memberikan kunci mobil itu ke tangan Qian dan melanjutkan perjalan masuk ke dalam gedung.Qian menoleh ke belakang, memperhatikan kepergian adiknya itu sambil tersenyum licik. Qian melambungkan kunci mobil ke atas dan menangkapnya sambil tersenyum seringai berjalan menuju mobil. Qian mengemudikan mobil mewah kesayangan adiknya itu dengan kelajuan di atas rata-rata, begitu kencang ia mengemudikan mobil itu sampai membuat kepala Inara terbentur ke dinding mobil."Setelah memaksaku menikah dengan wanita gila, mereka malah memaksaku menikah dengan wanita itu," celoteh Qian, kesal."Qian. Apa dia putra kedua keluarga Wirananda yang menikahiku beberapa tahun lalu? Bagaimana parasnya. Apa benar dia tampan? Mengapa aku memikirkan itu. Jangan pernah terlibat lagi dengan keluarga itu. Aku harus bisa membebaskan diri dari mereka," kata Inara, dalam hati.Mobil yang dikemudikan Qian menepi di sebuah jembatan. Pria itu bergegas keluar dari mobil dan berdiri di tepi jembatan sambil berteriak untuk melepaskan amarahnya. Di antara tiga bersaudara, hanya dirinya yang selalu ditekan dan dituntut sempurna oleh Sarina.Inara mendorong bagasi dan keluar dari mobil itu. Ia berjalan menyeberangi jalan dengan sesekali menoleh ke belakang, memperhatikan Qian yang berteriak."Apa menjadi kaya salah …? Mengapa aku harus dituntut sempurna dalam segalanya …?" Qian berteriak, kesal.Ketika Inara mempertanyakan kemiskinannya, Qian malah mempertanyakan kekayaannya. Dua hal berbeda, dalam satu konsep masalah yang sama.Seketika kaki Inara berhenti berjalan di tengah situasi jalan yang sunyi, ia memperhatikan pria itu yang berada dalam kekacauan karena tekanan Sarina yang membuatnya ikut terbawa dalam suasana sedih. Bunyi klakson mobil terdengar keras dari kejauhan. Inara menoleh ke sisi kanan, lampu mobil menyoroti matanya sampai tidak bisa melihat apa pun. Mobil itu melaju dengan kecepatan kencang dan akan menabraknya.Seseorang menarik tangannya sebelum mobil itu menabraknya. Tarikan orang itu hanya berselisih beberapa detik dari todongan mobil menabrak tubuhnya. Jika terlambat sedikit saja, mungkin nyawanya direnggut oleh kecelakaan itu.Perlahan Inara membuka mata yang sempat dipejam dalam ketakutan. Kedua bola mata indahnya menatap kedua bola mata pria yang membantunya secara bergantian. Pria itu berekspresi bingung menatapnya."Bosan hidup? Kalau mau mati, terjun dari jembatan saja agar tidak menyusahkan orang lain." Qian memarahinya.Orang yang menolongnya adalah Qian. Bibir Inara mencibir menahan tangis. Ia memeluk tubuh Qian dan akhirnya menangis juga, tapi dalam keharuan. Kedua tangannya memeluk erat tubuh pria itu."Qian," lirih Inara."Kamu mengenalku?" Qian melepaskan pelukan Inara secara paksa.Inara memalingkan pandangan menjauh dari tatapan Qian. Ia berlari menjauh dari pria itu setelah ingat bagaimana dirinya dikurung selama ini. Ia memantapkan hati untuk tidak berhubungan lagi dengan keluarga Wirananda, terutama Qian yang menjadi putra kesayangan Sarina."Mengapa hidupku begini?" Inara menangis sambil berjalan menyusuri tepian jalan yang dilewati beberapa transportasi.Inara berjalan seperti gelandangan, ia tidak memakai sandal dan rambutnya yang panjang sedikit acak, tidak terurus. Warna baju putihnya juga tampak lusuh, sudah lama tidak dicuci."Aku harus ke mana sekarang? Ibu dan Ayah di mana? Mama Sarina bilang kalau mereka sudah pindah," isak Inara dalam tangisnya seperti anak kecil yang kehilangan ibunya."Bukankah itu wanita tadi?" Qian melambatkan kelajuan mobil setelah melihat Inara berjalan membelakangi mobilnya.Rem mobil diinjak, Qian memberhentikan mobil itu tepat di samping Inara. Wanita itu berhenti berjalan dan menoleh ke samping, memperlihatkan kesedihan yang masih terukir di wajahnya."Masuk!" suruh Qian.Inara menggelengkan kepala. Ia tidak mau pengorbanan Narsih sia-sia membantunya bebas dari gudang. Ia lanjut berjalan dan mengabaikan Qian meski pria itu terus menyuruhnya masuk."Dia benar orang atau hantu? Mengapa aku mulai merinding melihatnya menangis?" Qian memperhatikan Inara, bingung.Qian membuka pintu mobil, ia berlari menghampirinya dan menarik wanita itu masuk ke dalam mobil. Lalu, ia masuk dan mengemudikan mobil sebelum Inara itu keluar dari mobil."Di mana rumahmu? Aku akan mengantarmu pulang. Tidak baik wanita pulang sendirian di malam hari dengan penampilan begini. Kamu tinggal di daerah mana?" tanya Qian sambil menyetir."Aku tidak punya rumah," jawab Inara, dingin."Maaf. Maksudnya, kamu tinggal di bawah kolong jembatan?" Qian berbicara sedikit tidak enak karena takut menyinggung perasaan Inara."Penampilanku tampak membuatmu berpikir begitu? Iya. Terserah kamu," respon Inara, masih dingin."Bukan maksudnya begitu. Maaf, jika aku menyinggung perasaanmu," ucap Qian, merasa bersalah.Seketika Inara berpikir kalau Qian tidak seperti Sarina. Ia menatap pria itu setelah mendengar permintaan maafnya. Beralih, ia memperhatikan penampilan Qian dari ujung kepala hingga ujung kaki dan mengambil bunga yang terselip di saku kemeja putih pria itu dan berkata, "Kamu kabur dari pernikahan? Mama Sarina memaksamu menikah?""Mama? Kamu mengenal Mama?" Raut wajah Qian berubah bingung."Kamu salah dengar." Inara mengalihkan pandangan keluar jendela agar tidak ketahuan berbohong."Siapa kamu sebenarnya?" tanya Qian setelah diam sejenak menatap Inara yang tidak sanggup menatapnya."Jika aku mengatakan kalau aku Inara Mustika, wanita yang kamu nikahi dulu, bagaimana?"Inara berkata karena ingin melihat tanggapan Qian. Pria itu sontak kaget dan lanjut tertawa ringan merasa tidak percaya mendengarnya. Ia hanya tahu wanita yang dinikahinya beberapa tahun yang lalu adalah wanita yang tidak waras, itu sebabnya ia menikahinya tanpa bertemu dengan wanita itu. Bahkan, ia tidak pernah bertemu dengannya sampai tidak tahu rupa wanita itu."Tidak mungkin kalau dia adalah kamu. Dia berada di rumah sakit jiwa. Selain gila, dia juga tidak bisa berbicara. Mana mungkin dia adalah kamu. Jangan bercanda," respon Qian, merasa tidak percaya sedikitpun.Raut wajah Inara berubah kecewa. Qian melunturkan tawanya setelah melihat ekspresi itu, ia malah merasa bersalah. Qian berdehem dan meminta maaf atas sikapnya."Jangan begitu. Jika kamu benar dia, itu bagus. Setidaknya, Mama tidak akan memaksaku lagi menikah karena aku sudah punya istri. Kamu tahu, sebenarnya aku pria yang tidak peduli dengan seorang wanita. Sebenarnya, menikah dengan siapapun, aku tidak masalah. Akan tetapi, aku juga tidak bisa dipaksa," jelas Qian, sedikit curhat."Aku tidak berbohong. Aku Inara Mustika, yang kamu nikahi tepat di awal bulan september saat kamu sakit. Wanita yang hanya berdiam diri, duduk di kamar saat itu adalah aku," terang Inara, menceritakan kebenarannya dengan raut wajah serius."Benarkah?" respon Qian, kaget.Qian sudah mendengar semua cerita Inara yang membuatnya diam tak habis pikir dengan kejadian yang sudah dialami wanita itu karena keluarganya, terutama perbuatan ibunya. Qian hanya bisa diam menyetir mobil tanpa bisa menatap wajah wanita yang duduk diam di sampingnya itu karena merasa bersalah."Dengan apa aku membayar 1001 malam mu di gudang itu?" tanya Qian, prihatin."Itu tidak bisa dibayar meskipun dengan jutaan, miliaran, ataupun triliun uang. Bagiku kebebasan adalah kebahagiaan. Dan, kebahagiaan itu tidak bisa diukur dengan uang," terang Inara sambil tersenyum ringan."Benar. Aku juga berpikir hal yang sama. Hmm … bagaimana kalau kita memperbaiki hubungan kita?" tanya Qian, memasang wajah ragu."Kamu tahu Mama mu seperti apa. Dia tidak akan setuju dan akan memikirkan banyak cara untuk menyingkirkan ku darimu. Dia bahkan sudah membuat kedua orang tuaku pindah dari kota ini dan mereka entah di mana sekarang," ungkap Inara."Aku punya satu cara. Aku harap kamu setuju. Ini sedikit dr
Qian terbangun dari tidurnya. Dadanya terasa sesak dan sulit bernapas karena redupnya cahaya kamar. Sebenarnya, pria itu terbiasa tidur dengan cahaya lampu yang terang. Qian berlari sampai terdengar langkah kakinya menuju saklar lampu dan menghidupkan lampu di kamar itu. Perlahan napasnya mulai stabil setelah menarik napas dalam-dalam dan membuangnya secara perlahan.Qian menoleh ke samping. Tampak olehnya Inara tidur dalam keadaan menangis. Di kedua sudut mata wanita itu mengalir air mata yang deras dalam kondisi mata yang masih tertutup. Qian jadi khawatir, ia duduk di tepi kasur dan menepis bahu Inara untuk membangunkannya.Tubuh Inara bereaksi kaget, bahkan sampai duduk dan menarik tubuh menjauh dari Qian, seolah pria itu penjahat."Huff ...! Maaf," ucap Inara dengan kepala tertunduk.Qian menganggukkan kepala dengan wajah bingung memperhatikan wanita itu menghapus air mata di pipinya, seakan ia sudah terbiasa dengan hal itu."Kamu baik-baik saja?" tanya Qian, menatapnya."Aku men
Hampir setengah jam Inara berada di kamar mandi. Setelah keluar, ia melihat kekosongan. Pelayan yang tadi berada di kamar telah pergi. Inara menujukan mata ke pakaian yang ada di atas kasur, dress biru muda dengan corak bunga berwarna putih dan memiliki panjang hingga betisnya. Kaki Inara berjalan mendekati kasur untuk mengambil pakaian itu. Tidak hanya ada dress, di sana juga ada pakaian dalam. Ia mengenakan semua yang telah disediakan pelayan itu dan berdiri di depan cermin besar meja rias, melihat penampilannya setelah terlepas dari dress putih yang selalu dikenakannya di gudang. Matanya mendapati beberapa kosmetik di atas meja. Inara meyakini pelayan itu yang membawanya karena semalam belum ada. Ia duduk di bangku rias dan mengeringkan rambutnya menggunakan hair dryer. Setelah mengeringkan rambut, Inara menyisirnya. Tangannya bergerak pelan menyisir rambutnya ke bawah dalam beban pikiran mengingat perkataan Qian yang berencana membuatkannya tinggal di hotel itu sampai kondisi b
Qian meletakkan ponsel ke laci mobil bagian depan. Kemudian, tangannya lengkap menggenggam setir mobil, mengendalikannya dengan kecepatan sedang. Perasaan kacau menarik keresahan di hati dan pikirannya. Rencana yang sempat diceritakan kepada Inara mulai diragukan akan keberhasilannya. Ia juga merasa bersalah karena kembali melibatkan wanita yang sudah disiksa oleh ibunya itu.. "Kenapa aku terlalu gegabah? Seharusnya aku tidak lagi melibatkan Inara." Qian kesal pada dirinya sendiri. Ponselnya kembali berdering. Orang yang menghubunginya kali ini adalah Lohan, sang kakak yang kini berdiri di teras rumah sambil memperhatikan kepergian Narsih yang diusir dari rumah itu. Qian kembali meletakkan ponsel itu ke laci, ia enggan menjawabnya sambungan telepon Lohan karena hubungan mereka juga tidak harmonis. Ia berasumsi dengan tebakan kalau Lohan akan memarahinya."Dia pasti senang karena memiliki bahan untuk diperdebatkan denganku," kata Qian sambil menatap fokus ke depan.Lohan tidak menyer
'Kamu pembawa sial!'Suara Sarina terekam jelas saat memakinya.Inara membuka mata secara pelan dan memandangi langit-langit kamar rumah sakit. Kemudian, matanya beralih menatap Lohan yang duduk dengan kedua tangan menyilang di samping kasur yang ditidurinya. Wanita dalam setelan baju rumah sakit warna biru itu sangat mengenalinya wajah Lohan karena pernah melihatnya di foto keluarga besar Wirananda. "Kenapa kakaknya Qian ada di sini? Kenapa aku di sini?" tanya Inara sambil mengingat kejadian pagi ini. Ekspresinya berubah kaget setelah ingat kalau dirinya tertabrak mobil karena syok mendengar kabar kecelakaan Qian dan ingin ke kediaman Wirananda sesegera mungkin untuk mencari tahu keberadaan Qian yang dibawa ke rumah sakit mana? "Kondisi Qian, bagaimana? Dia …." Inara bertanya sambil duduk dengan Lohan yang ikut sontak ingin membantu. Tapi, ia kembali duduk dan menarik kecemasan setelah melihat wanita itu baik-baik saja. "Dia baik-baik saja. Kamu bersamanya semalam?" tanya Lohan.
Dua Minggu Kemudian ….Inara menyelinap masuk ke kamar Qian setelah melihat Irawan keluar dari kamar itu dalam setelan baju kerja. Pria paruh baya itu menyempatkan diri ke rumah sakit untuk melihat kondisi Qian di waktu jam istirahat siangnya. Kaki Inara melangkah masuk ke kamar Qian dan menutup pintu secara perlahan. Lalu, ia menghampiri tubuh sang suami yang sudah koma selama dua Minggu itu. "Bagaimana kabarmu hari ini? Hari ini aku membawakan bunga mawar baru agar suasana kamar mu lebih nyaman," ucap Inara sambil mengganti tiga tangkai bunga mawar yang ada di dalam vas bunga kecil dan panjang yang ada di atas meja di samping kasur.Sejak keluar dari rumah sakit, ia selalu mengunjungi Qian dengan membawakan bunga mawar putih dan menaruhnya di atas meja di kamar itu. Sekali dua hari ia mengganti bunga itu. "Aku selalu berdoa kamu secepatnya sadar. Kamu tahu, aku hamil. Anak kita membutuhkanmu," ucap Inara sambil mendarat tangan Qian ke perutnya. Jari-jari tangan Qian yang mendara
Keluar dari kamar Qian, Inara berjalan di lorong menuju lift yang akan mengantarkannya ke lobi rumah sakit. Sebelum mencapai lift, pintu lift itu terbuka, Cici keluar sambil menenteng plastik yang berisi makanan dan buahan yang disiapkan untuk Qian. Cici tersenyum ringan padanya karena tidak tahu kalau wanita yang saat ini berpapasan dengannya ialah istri sah pria yang akan meninggalkan pernikahan malam itu. Inara menoleh ke belakang, memperhatikan Cici memasuki kamar Qian. "Bagaimana nasib anakku ini nanti? Kasihan sekali, belum tumbuh sudah mati," kata Inara, berbicara dengan senyuman miris dan air mata yang menetes. Inara lanjut memasuki lift. Setelah keluar dari lift, ia melihat Sarina sedang berbicara bersama seorang wanita seusianya di tengah lobi. Inara bergegas bersembunyi, ia keluar dari rumah sakit itu melalui jalan lain.Di halaman rumah sakit ia bertemu Ditya, pemuda itu tidak sengaja berpapasan dengannya. "Kamu yang waktu itu, kan? Sudah keluar dari rumah sakit?" Dity
Ditya mengemudikan mobil dengan earphone bluetooth yang menempel di telinganya. Ia sedang berbicara di dalam mobil bersama temannya, sedangkan Qian duduk memikirkan ekspresi orang-orang disekitarnya saat ia bertanya mengenai kenangan selama beberapa tahun terakhir yang dilupakannya."Baiklah. Kalau begitu, kita ngumpul di restoran seafood itu. Malam ini, kan? Oke."Ditya memutuskan sambungan telepon dan menoleh ke samping, fokus pada kakaknya yang diam dalam kebingungan. Ia bisa membaca apa yang sedang dipikirkan kakaknya itu. "Kak, mau ikut ngumpul bareng teman-teman ku malam ini? Sesekali, buang suntuk," kata Ditya. "Aku pikirkan dulu. Kita berhenti di depan dulu, aku ingin membeli sesuatu di minimarket," kata Qian. Ditya menganggukkan kepala, ia menepikan mobil di tepi jalan, di mana ada minimarket di sampingnya. Qian menyuruh Ditya membelikan sebotol minuman kaleng dingin. "Cuaca hari ini panas sekali," kata Qian. "Baiklah. Tunggu di sini. Biar otak kakak dingin dan tidak berp