Qian pantas mendapatkan wanita yang lebih baik darimu. Kamu tidak pantas berada di rumah Wirananda, kamu akan tinggal di sini sampai Qian menikah dengan wanita yang sempurna, bukannya wanita miskin sepertimu.
Wanita paruh baya itu, ibu mertuanya, Sarina megaswara, membuatnya berpikir kalau dirinya bagaikan seekor ternak yang terkena wabah penyakit. Inara Mustika, wanita yang masih berusia 25 tahun itu dikurung dalam kondisi normal di gudang belakang rumah keluarga Wirananda, keluarga mertuanya. Sejak dirinya dibeli, sejak ia dinikahi oleh salah satu anak dikeluraga itu, Inara dikurung di gudang yang memiliki luas 4 m × 4 m itu seperti seorang tahan. Kadang ia berpikir. Apa salahku? Apa menjadi miskin adalah kesalahan? Benar. Bagi mereka, miskin itu ialah penyakit yang harus dijauhi, itulah pendapat Sarina.Inara duduk menekuk lutut di atas kasur batangan yang dibaringinya selama ini. Tubuhnya menghadap ke arah jendela kayu yang di luarnya terlihat halaman belakang rumah. Dari sanalah ia mendapatkan cahaya matahari ataupun cahaya bulan untuk menerangi ruangan itu karena tidak ada lampunya. Cahaya penerang dari langit itu akan masuk dari celah jendela kayu yang masih terlihat kuno itu.Suara gembol pintu terdengar dibuka. Inara bergegas membaringkan tubuh di atas kasur dan memejamkan mata, berpura-pura tidur siang. Narsih masuk mengantarkan makan siang untuknya, si pembantu rumah, orang yang selalu dijumpainya di gudang itu. Tiga kali sehari Narsih datang untuk mengantarkan makanan. Pagi, siang, dan malam."Non Inara, ini makananmu. Sekalian untuk nanti malam. Nanti malam Tuan dan Nyonya tidak ada di rumah. Semua orang akan meninggalkan rumah dan kembali besok. Bibi juga ikut bersama mereka."Wanita paruh baya dalam setelan daster itu meletakkan mangkuk, gelas, dan piring yang ada di atas nampan ke atas meja."Mereka ke mana?" tanya Inara setelah melihat Narsih akan keluar dari pintu.Narsih berhenti melangkah, ia menoleh ke belakang dan dengan memperlihatkan raut wajah kaget mendengar Inara mengeluarkan suara. Selama ini Inara hanya diam setiap kali ia datang dan berbicara. Mengapa? Karena Inara digelagarkan sebagai wanita bisu dan gila oleh Sarina."Non bisa bicara?" Narsih berjalan mendekati Inara sambil tersenyum senang."Bibi sudah menduganya." Narsih bergegas duduk di tepi kasur sambil membantu Inara duduk dari baringan."Harus bagaimana lagi? Orang miskin bisa dibeli oleh orang kaya. Kehormatan mereka, harga diri mereka, dan tubuh mereka. Aku disebut sebagai wanita bisu, wanita gila, sampai aku diasingkan di tempat ini. Sudah dua tahun lebih aku dikurung di tempat ini." Inara menoleh ke dinding, menatap garis kecil yang digoreskan menggunakan kapur putih di dinding untuk menghitung berapa lamanya ia di sana."1001 malam aku habiskan di sini. Entah sampai kapan aku akan dikurung. Apakah orang miskin tidak memiliki kesempatan untuk menikmati hidup mereka?" Air mata Inara menetes, hingga ia merasa telah mengalir ke dadanya karena saking kencangnya tetesan air mata itu."Tidak. Setiap orang memiliki hak untuk menikmati hidup mereka. Begini saja, Bibi akan membantu Non keluar dari gudang ini. Malam ini semua orang ke gedung Embelas, mereka menyaksikan pernikahan Den Qian. Saat itu, Non Inara bisa keluar dari gudang ini." Narsih memberikan solusi padanya.Solusi itu sudah dipikirkan Inara sejak masuk ke gudang itu. Tapi, ia tidak mau siapapun menjadi korban karena dirinya. Sarina tidak akan mengampuni orang yang membebaskannya, sedangkan Narsih menjadi orang yang bertanggung jawab atas dirinya di gudang itu."Tidak. Bibi akan disalahkan. Aku yakin Mama Sarina akan berbuat buruk kepada Bibi jika dia mengetahuinya," ucap Inara sambil menggelengkan kepala."Narsih! Narsih!" teriakan Sarina terdengar keras dari pintu belakang rumah.Tangan Inara mendorong kecil tubuh Narsih agar segera keluar dari gudang. Wanita paruh baya itu tampak berat meninggalkannya, tapi ia tahu kalau dirinya juga harus diselamatkan dari kemarahan Sarina.Di keluarga itu, semua orang takut pada Sarina.Narsih menutup pintu. Lalu, berdiri diam di depan pintu sambil mengingat perkataan Inara yang membuatnya merasa iba. Narsih sengaja tidak menggembok gudang itu, berharap Inara sadar dan bisa kabur malam ini.***Suara binatang malam hadir dalam kesunyian malam. Inara berjalan menuju pintu dan meraba pintu itu dengan harapan dirinya akan dikeluarkan oleh Sarina. Pintu terdorong saat tangannya masih meraba, ia sadar pintu tidak dikunci. Inara diam mengingat perkataan Narsih tadi siang, ia sadar wanita paruh baya itu sengaja tidak menguncinya agar dirinya bisa keluar."Apa yang harus aku lakukan? Ini kesempatanku. Jika tidak hari ini, aku tidak akan bisa keluar. Jika aku keluar, Bi Narsih berada dalam masalah." Inara berdiri sambil menggigit jari dan memikirkan konsekuensi dari pilihannya.Inara memantapkan diri untuk meninggalkan gudang itu. Ia menarik kedua genggaman pintu untuk membukanya. Jantungnya berdetak kencang dalam ketakutan dengan aksi kabur yang akan dilakukan. Inara menggembok pintu itu dan berangsur menyelinap keluar dari taman samping rumah dalam balutan dress putih polos hingga lutut tanpa memakai alas kaki. Kakinya menapak langsung di atas rumput dan tanah.Perkataan Narsih benar, semua orang meninggalkan rumah, termasuk penjaga rumah."Penantian ku selama 1001 malam di gudang itu akhirnya berakhir juga." Inara menangis haru.Inara berlari mendekati gerbang rumah yang digembok. Matanya memperhatikan sekeliling rumah yang dikelilingi oleh pagar besi setinggi dua meter."Bagaimana caranya aku bisa melewati pagar ini?" Mata Inara memperhatikan gerbang rumah dan terpikir untuk memanjatnya.Inara mendengar suara orang bicara. Ia menoleh ke belakang dan melihat seorang pria bertubuh jangkung dalam setelah pakaian jas hitam menutup pintu rumah sambil memegang gawai di tangan kirinya. Pria itu sedang berbicara melalui sambungan telepon bersama seseorang.Inara sadar belum semua orang keluar dari rumah itu. Inara berlari ke arah mobil yang terparkir di halaman rumah, ia bersembunyi di bagian depan mobil dan merangkak sampai ke bagian belakang mobil seperti pencuri ketika melihat pria itu berjalan ke arah mobil dan memasukinya. Tangannya perlahan membuka bagasi mobil dan bersembunyi di sana, agar ia juga bisa keluar dari rumah itu tanpa diketahui oleh siapapun."Oke. Sekarang aku OTW ke sana. Aku ketinggalan, Bro. Semua orang sudah ke acara, tinggal aku saja," kata pria itu berbicara melalui sambungan telepon.Pria itu keluar dari mobil setelah mengemudi beberapa meter. Ia membuka gembok gerbang rumah dan kembali menguncinya setelah membawa mobil itu keluar dari gerbang.Ditya Wirananda. Pemuda itu anak bungsu keluarga Wirananda.Pemuda yang baru berusia 21 tahun itu tertinggal oleh semua orang karena tertidur sejak sore, setelah pulang dari kampus."Ditya. Ternyata dia," kata Inara, berbicara dalam hati.Sesuatu terasa menjalar di kakinya. Inara tidak tahu binatang apakah itu, tapi firasatnya mengatakan kalau itu laba-laba. Ia sangat takut dengan serangga berkaki banyak itu. Kedua tangannya menutup mulut agar tidak berteriak, ia menahan ketakutan itu sambil memejam mata.Mobil yang dikemudikan Ditya berhenti di parkiran mobil gedung Embelas yang menjorok langsung ke jalan raya. Ditya keluar dari mobil dan menghampiri pria yang berdiri menunggunya di halaman gedung. Pria dengan tinggi yang sama seperti Ditya itu, pria dalam balutan jas putih itu bernama Qianzie Wirananda, putra kedua keluarga Wirananda."Pinjam mobilmu. Kakak ingin ke rumah sebentar, ada barang yang tertinggal," ucapnya sambil menyodorkan tangan, meminta kunci mobil pada Ditya."Biar aku saja. Bukannya kakak akan menikah? Pergilah! Aku yang akan menjemput barang itu.""Tidak. Kakak saja. Cepat! Jangan buat semua orang menunggu," desak Qian.Ditya memberikan kunci mobil itu ke tangan Qian dan melanjutkan perjalan masuk ke dalam gedung.Qian menoleh ke belakang, memperhatikan kepergian adiknya itu sambil tersenyum licik. Qian melambungkan kunci mobil ke atas dan menangkapnya sambil tersenyum seringai berjalan menuju mobil. Qian mengemudikan mobil mewah kesayangan adiknya itu dengan kelaju
Qian sudah mendengar semua cerita Inara yang membuatnya diam tak habis pikir dengan kejadian yang sudah dialami wanita itu karena keluarganya, terutama perbuatan ibunya. Qian hanya bisa diam menyetir mobil tanpa bisa menatap wajah wanita yang duduk diam di sampingnya itu karena merasa bersalah."Dengan apa aku membayar 1001 malam mu di gudang itu?" tanya Qian, prihatin."Itu tidak bisa dibayar meskipun dengan jutaan, miliaran, ataupun triliun uang. Bagiku kebebasan adalah kebahagiaan. Dan, kebahagiaan itu tidak bisa diukur dengan uang," terang Inara sambil tersenyum ringan."Benar. Aku juga berpikir hal yang sama. Hmm … bagaimana kalau kita memperbaiki hubungan kita?" tanya Qian, memasang wajah ragu."Kamu tahu Mama mu seperti apa. Dia tidak akan setuju dan akan memikirkan banyak cara untuk menyingkirkan ku darimu. Dia bahkan sudah membuat kedua orang tuaku pindah dari kota ini dan mereka entah di mana sekarang," ungkap Inara."Aku punya satu cara. Aku harap kamu setuju. Ini sedikit dr
Qian terbangun dari tidurnya. Dadanya terasa sesak dan sulit bernapas karena redupnya cahaya kamar. Sebenarnya, pria itu terbiasa tidur dengan cahaya lampu yang terang. Qian berlari sampai terdengar langkah kakinya menuju saklar lampu dan menghidupkan lampu di kamar itu. Perlahan napasnya mulai stabil setelah menarik napas dalam-dalam dan membuangnya secara perlahan.Qian menoleh ke samping. Tampak olehnya Inara tidur dalam keadaan menangis. Di kedua sudut mata wanita itu mengalir air mata yang deras dalam kondisi mata yang masih tertutup. Qian jadi khawatir, ia duduk di tepi kasur dan menepis bahu Inara untuk membangunkannya.Tubuh Inara bereaksi kaget, bahkan sampai duduk dan menarik tubuh menjauh dari Qian, seolah pria itu penjahat."Huff ...! Maaf," ucap Inara dengan kepala tertunduk.Qian menganggukkan kepala dengan wajah bingung memperhatikan wanita itu menghapus air mata di pipinya, seakan ia sudah terbiasa dengan hal itu."Kamu baik-baik saja?" tanya Qian, menatapnya."Aku men
Hampir setengah jam Inara berada di kamar mandi. Setelah keluar, ia melihat kekosongan. Pelayan yang tadi berada di kamar telah pergi. Inara menujukan mata ke pakaian yang ada di atas kasur, dress biru muda dengan corak bunga berwarna putih dan memiliki panjang hingga betisnya. Kaki Inara berjalan mendekati kasur untuk mengambil pakaian itu. Tidak hanya ada dress, di sana juga ada pakaian dalam. Ia mengenakan semua yang telah disediakan pelayan itu dan berdiri di depan cermin besar meja rias, melihat penampilannya setelah terlepas dari dress putih yang selalu dikenakannya di gudang. Matanya mendapati beberapa kosmetik di atas meja. Inara meyakini pelayan itu yang membawanya karena semalam belum ada. Ia duduk di bangku rias dan mengeringkan rambutnya menggunakan hair dryer. Setelah mengeringkan rambut, Inara menyisirnya. Tangannya bergerak pelan menyisir rambutnya ke bawah dalam beban pikiran mengingat perkataan Qian yang berencana membuatkannya tinggal di hotel itu sampai kondisi b
Qian meletakkan ponsel ke laci mobil bagian depan. Kemudian, tangannya lengkap menggenggam setir mobil, mengendalikannya dengan kecepatan sedang. Perasaan kacau menarik keresahan di hati dan pikirannya. Rencana yang sempat diceritakan kepada Inara mulai diragukan akan keberhasilannya. Ia juga merasa bersalah karena kembali melibatkan wanita yang sudah disiksa oleh ibunya itu.. "Kenapa aku terlalu gegabah? Seharusnya aku tidak lagi melibatkan Inara." Qian kesal pada dirinya sendiri. Ponselnya kembali berdering. Orang yang menghubunginya kali ini adalah Lohan, sang kakak yang kini berdiri di teras rumah sambil memperhatikan kepergian Narsih yang diusir dari rumah itu. Qian kembali meletakkan ponsel itu ke laci, ia enggan menjawabnya sambungan telepon Lohan karena hubungan mereka juga tidak harmonis. Ia berasumsi dengan tebakan kalau Lohan akan memarahinya."Dia pasti senang karena memiliki bahan untuk diperdebatkan denganku," kata Qian sambil menatap fokus ke depan.Lohan tidak menyer
'Kamu pembawa sial!'Suara Sarina terekam jelas saat memakinya.Inara membuka mata secara pelan dan memandangi langit-langit kamar rumah sakit. Kemudian, matanya beralih menatap Lohan yang duduk dengan kedua tangan menyilang di samping kasur yang ditidurinya. Wanita dalam setelan baju rumah sakit warna biru itu sangat mengenalinya wajah Lohan karena pernah melihatnya di foto keluarga besar Wirananda. "Kenapa kakaknya Qian ada di sini? Kenapa aku di sini?" tanya Inara sambil mengingat kejadian pagi ini. Ekspresinya berubah kaget setelah ingat kalau dirinya tertabrak mobil karena syok mendengar kabar kecelakaan Qian dan ingin ke kediaman Wirananda sesegera mungkin untuk mencari tahu keberadaan Qian yang dibawa ke rumah sakit mana? "Kondisi Qian, bagaimana? Dia …." Inara bertanya sambil duduk dengan Lohan yang ikut sontak ingin membantu. Tapi, ia kembali duduk dan menarik kecemasan setelah melihat wanita itu baik-baik saja. "Dia baik-baik saja. Kamu bersamanya semalam?" tanya Lohan.
Dua Minggu Kemudian ….Inara menyelinap masuk ke kamar Qian setelah melihat Irawan keluar dari kamar itu dalam setelan baju kerja. Pria paruh baya itu menyempatkan diri ke rumah sakit untuk melihat kondisi Qian di waktu jam istirahat siangnya. Kaki Inara melangkah masuk ke kamar Qian dan menutup pintu secara perlahan. Lalu, ia menghampiri tubuh sang suami yang sudah koma selama dua Minggu itu. "Bagaimana kabarmu hari ini? Hari ini aku membawakan bunga mawar baru agar suasana kamar mu lebih nyaman," ucap Inara sambil mengganti tiga tangkai bunga mawar yang ada di dalam vas bunga kecil dan panjang yang ada di atas meja di samping kasur.Sejak keluar dari rumah sakit, ia selalu mengunjungi Qian dengan membawakan bunga mawar putih dan menaruhnya di atas meja di kamar itu. Sekali dua hari ia mengganti bunga itu. "Aku selalu berdoa kamu secepatnya sadar. Kamu tahu, aku hamil. Anak kita membutuhkanmu," ucap Inara sambil mendarat tangan Qian ke perutnya. Jari-jari tangan Qian yang mendara
Keluar dari kamar Qian, Inara berjalan di lorong menuju lift yang akan mengantarkannya ke lobi rumah sakit. Sebelum mencapai lift, pintu lift itu terbuka, Cici keluar sambil menenteng plastik yang berisi makanan dan buahan yang disiapkan untuk Qian. Cici tersenyum ringan padanya karena tidak tahu kalau wanita yang saat ini berpapasan dengannya ialah istri sah pria yang akan meninggalkan pernikahan malam itu. Inara menoleh ke belakang, memperhatikan Cici memasuki kamar Qian. "Bagaimana nasib anakku ini nanti? Kasihan sekali, belum tumbuh sudah mati," kata Inara, berbicara dengan senyuman miris dan air mata yang menetes. Inara lanjut memasuki lift. Setelah keluar dari lift, ia melihat Sarina sedang berbicara bersama seorang wanita seusianya di tengah lobi. Inara bergegas bersembunyi, ia keluar dari rumah sakit itu melalui jalan lain.Di halaman rumah sakit ia bertemu Ditya, pemuda itu tidak sengaja berpapasan dengannya. "Kamu yang waktu itu, kan? Sudah keluar dari rumah sakit?" Dity