Inara masih belum sadarkan diri setelah mengalami pendarahan. Sarina, Cici, Lohan, dan Qian berdiri mengelilinginya dengan kedua pria itu berdiri berdampingan di sisi kanan ranjang rumah sakit yang ditiduri Inara. Tubuh Inara tersentak kaget. Matanya terbuka dan mendapati samar wajah-wajah orang disekelilingnya hingga akhirnya menatap jelas wajah Qian, orang pertama dalam pandangannya. Perhatiannya beralih pada janin yang ada di perutnya, dengan cepat kedua tangan mendarat di perut itu bersama rasa takut kehilangan janin tersebut. “Dia masih ada. Jangan khawatir,” ucap Lohan. Inara lega. “Apa sebenarnya yang terjadi?” tanya Qian. Inara mengingat kejadian tadi, juga mengingat pembicaraan yang terjadi antara Sarina dan Cici yang membawanya mengarahkan pandangan pada kedua wanita itu dengan wajah sedikit rasa takut. Qian dan Lohan mengarahkan pandangan kepada kedua wanita itu. Sarina dan Cici jadi bingung.“Mengapa kamu menatap kami begitu?” tanya Cici, tersenyum cengengesan. “Kam
Wanita paruh baya itu berdiri sambil menggeram foto yang ada di tangannya, sehingga Qian tidak melihat ada wujud Inara di sana. Wanita itu menatap tajam Qian dan memukul dada pria itu sambil berkata, “Pergi! Dasar orang kaya sombong. Lebih baik kalian musnah dari muka bumi ini.”Perawat yang mengantar Qian memasuki kamar itu, menahan wanita itu untuk tidak bertingkah kasar. “Buk Elmi … tolong tenang. Jangan menyakiti orang, ya?” bujuk perawat itu, tampak akrab dengan tingkah wanita itu. Perawat tersebut membantu wanita paruh baya bernama Elmi itu berdiri. Mengajaknya ke kasur, membaringkannya dan menyuntikkannya cairan penenang, membuat wanita itu tertidur dengan begitu cepat. “Elmi? Jadi, Ibuk, maksudnya wanita itu namanya Elmi?” tanya Qian, merasa sedikit geli membayangkan dirinya menikahi wanita tua. “Iya. Buk Sarina memasukkannya dua tahun lalu. Dia selalu menyebut anaknya, meminta kami untuk menyelamatkan anaknya. Entah apa yang terjadi kepada anaknya, tetapi Bu Sarina bilan
Sarina merasa seseorang berdiri di belakangnya, perlahan ia menoleh ke belakang dan bereaksi kaget saat melihat sang suami berdiri dengan senyuman ringan. Ia berpostur tubuh santai dan berjalan menuju sofa, duduk di sana, sedangkan Irawan melihat sejenak apa yang di diintip oleh istrinya itu. Senyuman terukir di bibir pria paruh baya itu dan menghampiri istrinya, duduk di samping Sarina dan menyandarkan badan pada bahu istrinya itu. “Jangan begini. Malu dilihat anak-anak.” Sarina bersikap dingin karena tidak ingin dipandang lemah, meskipun di hadapan suaminya sendiri. Irawan paham betul dengan istrinya itu, ibarat kerang, di luar keras, di dalam lembek. “Jangan begini terus … kita sudah tua dan harus menghabiskan waktu bersama.” Irawan memeluk sang istri dengan manja. “Ehem!” Qian berdehem dari pintu dapur, membuat mereka berdua duduk tegak. “Sudahlah Ma … Pa … wajar kalian begitu. Tapi, lihat tempat, ya,” celetuk Qian dan berjalan menuju tangga, menaikinya untuk pergi ke kamar u
Sarina berdiri di pintu kamar Qian, memperhatikan Inara dari pintu wanita itu yang terbuka lebar dan menunjukkan ranjang yang dibaringi oleh wanita itu. Lohan dan Ditya ada di sana, mereka menunggu wanita itu siuman dari ketidaksadaran. Pelupuk mata Inara bergerak, lanjut kedua matanya terbuka, menatap loteng kamar dengan rasa nyeri. Ia sedikit berdesis, mengundang perhatian Ditya yang berdiri bersandar di dinding sambil memainkan ponsel dan Lohan duduk di bangku besuk dengan kedua tangan menyilang di dada dan mata dipejam dalam ketenangan kamar itu. “Bagaimana dengan kondisi Qian?” tanya Inara, tidak memikirkan dirinya. Sarina beralih, memantau mereka dari pintu kamar Inara. “Kamu memikirkan orang lain, tetapi meluapkan diri sendiri,” ujar Lohan, tampak kesal. “Ba- bagaimana dengan janinku?” tanya Inara, baru ingat. “Menurutmu?” Perlahan Inara menurun pandangan ke lantai dengan wajah murung, sudah bisa menebak apa yang telah terjadi. Air mata mengalir membasahi pipi dalam kebi
Qian dibuat risau dengan perkataan Cici. Hal lain ditakutkan olehnya, wanita itu dibuat kesulitan oleh sang ibu yang dikenal cukup tidak bertoleransi. Ia bangkit dari kasur sambil menghubungi nomor Lohan, pria yang saat ini berada di ruang rapat. Sambungan telepon dari Qian tidak terdengar oleh pria itu karena berada dalam mode diam.Merasa tidak bisa mengandalkan siapapun, Qian berencana akan menghandle kerisauannya itu sendiri. Ia memutuskan pergi ke rumah sakit sendirian. “Kamu mau ke mana? Jangan bekerja dulu, istirahat saja,” tegur Sarina dengan senyuman yang dijadikan topeng baik di hadapan teman-temannya.Wanita paruh baya itu menegur sang anak yang melewati keberadaannya dan teman-temannya di ruang tamu. Sarina menafsirkan sang anak akan ke kantor karena melihat Qian berada dalam setelah kemeja dan celana hitam panjang, seperti biasa ketika hendak ke kantor. “Hanya sebentar. Jangan khawatir, aku akan ke sana menggunakan taksi,” ucap Qian dan lanjut berjalan meninggalkan rum
Qian menarik keras tangannya dari genggaman tangan sang ibu setelah mereka berada di luar gedung itu, di halaman depan rumah sakit. Raut wajah Qian tampak kesal dan marah pada Sarina yang banyak mengatur hidupnya selama ini. “Kenapa? Kenapa Mama melakukan ini padaku dan pada mereka?” tanya Qian dengan nada sedikit keras. “Mama menikahkan ku dengan wanita tua itu, yang sudah memiliki anak seusia denganku. Mama tidak malu?” Qian meluapkan kemarahannya. “Jadi, Qian berpikir dirinya menikahi Elmi, bukannya Inara?” tanya Sarina, dalam hati dengan senyuman bodoh. “Dasar! Tidak mungkin juga aku menikahkannya dengan orang tua,” kata Sarina, masih dalam hati. “Siapa yang menikahkan mu dengan wanita tua itu? Bukan dia,” terang Sarina, tersenyum. “Lalu?” Qian kaget, dugaannya salah dengan kemarahan mulai berkurang. “Mengapa perawat itu bilang kalau Mama memasukkan wanita itu dua tahun lalu ke rumah sakit jiwa? Bukankah Mama juga memasukkan wanita itu ke sana? Ditya yang mengatakannya,” kata Q
Qian bergegas menaiki tangga setelah mobil yang dikemudikan sang ibu sampai di rumah. Sedang Sarina duduk di sofa ruang tamu, menyandarkan punggung ke sandaran sofa sambil memijit kecil pangkal hidungnya sendiri dengan mengabaikan kemarahan yang ada pada anaknya itu. Kepalanya terasa sakit memikirkan perkataan Lohan tadi, ditambah dengan berdebat bersama Qian yang tidak usai sejak mobil berjalan hingga sampai di rumah. “Mama … Mama kenapa? Lalu, kenapa Qian sampai ngamuk begitu?” tanya Cici sambil menghampiri sang mertua dan duduk di samping wanita paruh baya itu. “Jaga suamimu. Jangan biarkan dia dekat dengan wanita itu. Satu lagi, secepatnya kalian urus masalah Ibu pengganti untuk mengandung anak kalian,” kata Sarina. “Iya, Ma,” ucap Cici. “Mau ke mana lagi? Jangan berulah,” tegur Sarina, melihat Qian melewati keberadaan mereka, akan keluar dari rumah dengan kemeja baru yang tampak sudah berganti. “Aku bukan anak kecil lagi, Ma. Jangan melarangku,” timpal Qian dan melanjutkan k
Inara memperhatikan Yuda memeriksa kondisi Irawan di sebuah kamar. Ia berdiri di seberang ranjang yang dibaringin Irawan, di mana tengah memainkan alat medisnya dengan teliti di tubuh pria paruh baya yang berbaring di atas ranjang itu. Ekspresi cemas masih tergambar di wajah Inara, membuat Yuda semakin penasaran, siapa sebenarnya wanita yang selalu tampak bersama keluarga kakaknya itu akhir-akhir ini.“Jangan khawatir, dia baik-baik saja,” kata Yuda kepada Inara. Inara menganggukkan kepala beberapa kali, berusaha tenang. Yuda membetulkan selimut di tubuh Irawan dan berjalan meninggalkan kamar itu sambil memainkan ponsel yang baru dikeluarkan dari saku jas dokternya. Ia akan menghubungi Sarina, memberitahu kakak iparnya itu bahwa Irawan berada di rumah sakit. Setelah Yuda pergi, tidak berselang lama, Irawan membuka mata, sadar. Inar duduk di bangku besuk, bertanya-tanya kepada pria itu mengenai kondis