Sarina merasa seseorang berdiri di belakangnya, perlahan ia menoleh ke belakang dan bereaksi kaget saat melihat sang suami berdiri dengan senyuman ringan. Ia berpostur tubuh santai dan berjalan menuju sofa, duduk di sana, sedangkan Irawan melihat sejenak apa yang di diintip oleh istrinya itu. Senyuman terukir di bibir pria paruh baya itu dan menghampiri istrinya, duduk di samping Sarina dan menyandarkan badan pada bahu istrinya itu. “Jangan begini. Malu dilihat anak-anak.” Sarina bersikap dingin karena tidak ingin dipandang lemah, meskipun di hadapan suaminya sendiri. Irawan paham betul dengan istrinya itu, ibarat kerang, di luar keras, di dalam lembek. “Jangan begini terus … kita sudah tua dan harus menghabiskan waktu bersama.” Irawan memeluk sang istri dengan manja. “Ehem!” Qian berdehem dari pintu dapur, membuat mereka berdua duduk tegak. “Sudahlah Ma … Pa … wajar kalian begitu. Tapi, lihat tempat, ya,” celetuk Qian dan berjalan menuju tangga, menaikinya untuk pergi ke kamar u
Sarina berdiri di pintu kamar Qian, memperhatikan Inara dari pintu wanita itu yang terbuka lebar dan menunjukkan ranjang yang dibaringi oleh wanita itu. Lohan dan Ditya ada di sana, mereka menunggu wanita itu siuman dari ketidaksadaran. Pelupuk mata Inara bergerak, lanjut kedua matanya terbuka, menatap loteng kamar dengan rasa nyeri. Ia sedikit berdesis, mengundang perhatian Ditya yang berdiri bersandar di dinding sambil memainkan ponsel dan Lohan duduk di bangku besuk dengan kedua tangan menyilang di dada dan mata dipejam dalam ketenangan kamar itu. “Bagaimana dengan kondisi Qian?” tanya Inara, tidak memikirkan dirinya. Sarina beralih, memantau mereka dari pintu kamar Inara. “Kamu memikirkan orang lain, tetapi meluapkan diri sendiri,” ujar Lohan, tampak kesal. “Ba- bagaimana dengan janinku?” tanya Inara, baru ingat. “Menurutmu?” Perlahan Inara menurun pandangan ke lantai dengan wajah murung, sudah bisa menebak apa yang telah terjadi. Air mata mengalir membasahi pipi dalam kebi
Qian dibuat risau dengan perkataan Cici. Hal lain ditakutkan olehnya, wanita itu dibuat kesulitan oleh sang ibu yang dikenal cukup tidak bertoleransi. Ia bangkit dari kasur sambil menghubungi nomor Lohan, pria yang saat ini berada di ruang rapat. Sambungan telepon dari Qian tidak terdengar oleh pria itu karena berada dalam mode diam.Merasa tidak bisa mengandalkan siapapun, Qian berencana akan menghandle kerisauannya itu sendiri. Ia memutuskan pergi ke rumah sakit sendirian. “Kamu mau ke mana? Jangan bekerja dulu, istirahat saja,” tegur Sarina dengan senyuman yang dijadikan topeng baik di hadapan teman-temannya.Wanita paruh baya itu menegur sang anak yang melewati keberadaannya dan teman-temannya di ruang tamu. Sarina menafsirkan sang anak akan ke kantor karena melihat Qian berada dalam setelah kemeja dan celana hitam panjang, seperti biasa ketika hendak ke kantor. “Hanya sebentar. Jangan khawatir, aku akan ke sana menggunakan taksi,” ucap Qian dan lanjut berjalan meninggalkan rum
Qian menarik keras tangannya dari genggaman tangan sang ibu setelah mereka berada di luar gedung itu, di halaman depan rumah sakit. Raut wajah Qian tampak kesal dan marah pada Sarina yang banyak mengatur hidupnya selama ini. “Kenapa? Kenapa Mama melakukan ini padaku dan pada mereka?” tanya Qian dengan nada sedikit keras. “Mama menikahkan ku dengan wanita tua itu, yang sudah memiliki anak seusia denganku. Mama tidak malu?” Qian meluapkan kemarahannya. “Jadi, Qian berpikir dirinya menikahi Elmi, bukannya Inara?” tanya Sarina, dalam hati dengan senyuman bodoh. “Dasar! Tidak mungkin juga aku menikahkannya dengan orang tua,” kata Sarina, masih dalam hati. “Siapa yang menikahkan mu dengan wanita tua itu? Bukan dia,” terang Sarina, tersenyum. “Lalu?” Qian kaget, dugaannya salah dengan kemarahan mulai berkurang. “Mengapa perawat itu bilang kalau Mama memasukkan wanita itu dua tahun lalu ke rumah sakit jiwa? Bukankah Mama juga memasukkan wanita itu ke sana? Ditya yang mengatakannya,” kata Q
Qian bergegas menaiki tangga setelah mobil yang dikemudikan sang ibu sampai di rumah. Sedang Sarina duduk di sofa ruang tamu, menyandarkan punggung ke sandaran sofa sambil memijit kecil pangkal hidungnya sendiri dengan mengabaikan kemarahan yang ada pada anaknya itu. Kepalanya terasa sakit memikirkan perkataan Lohan tadi, ditambah dengan berdebat bersama Qian yang tidak usai sejak mobil berjalan hingga sampai di rumah. “Mama … Mama kenapa? Lalu, kenapa Qian sampai ngamuk begitu?” tanya Cici sambil menghampiri sang mertua dan duduk di samping wanita paruh baya itu. “Jaga suamimu. Jangan biarkan dia dekat dengan wanita itu. Satu lagi, secepatnya kalian urus masalah Ibu pengganti untuk mengandung anak kalian,” kata Sarina. “Iya, Ma,” ucap Cici. “Mau ke mana lagi? Jangan berulah,” tegur Sarina, melihat Qian melewati keberadaan mereka, akan keluar dari rumah dengan kemeja baru yang tampak sudah berganti. “Aku bukan anak kecil lagi, Ma. Jangan melarangku,” timpal Qian dan melanjutkan k
Inara memperhatikan Yuda memeriksa kondisi Irawan di sebuah kamar. Ia berdiri di seberang ranjang yang dibaringin Irawan, di mana tengah memainkan alat medisnya dengan teliti di tubuh pria paruh baya yang berbaring di atas ranjang itu. Ekspresi cemas masih tergambar di wajah Inara, membuat Yuda semakin penasaran, siapa sebenarnya wanita yang selalu tampak bersama keluarga kakaknya itu akhir-akhir ini.“Jangan khawatir, dia baik-baik saja,” kata Yuda kepada Inara. Inara menganggukkan kepala beberapa kali, berusaha tenang. Yuda membetulkan selimut di tubuh Irawan dan berjalan meninggalkan kamar itu sambil memainkan ponsel yang baru dikeluarkan dari saku jas dokternya. Ia akan menghubungi Sarina, memberitahu kakak iparnya itu bahwa Irawan berada di rumah sakit. Setelah Yuda pergi, tidak berselang lama, Irawan membuka mata, sadar. Inar duduk di bangku besuk, bertanya-tanya kepada pria itu mengenai kondis
Lohan dan Qian berjalan beriringan kembali ke kamar Irawan. Qian diam bersama perasaan kesal mengingat kakaknya itu berbohong, berpura-pura menjadi suami Inara. Berbeda dari Lohan, pria itu malah senang melihat Qian tampak terganggu. Matanya sesekali melirik Qian yang berjalan dengan wajah mengkerut kesal, dingin.Qian akhirnya berhenti berjalan dan menatap Lohan. “Kenapa?” tanya Lohan dengan salah satu alis naik. “Kenapa Kakak berbohong? Kenapa mengakui diri Kakak sebagai suaminya?” tanya Qian.“Aku bisa berbuat apa? Kamu mau mengakuinya sebagai istrimu? Lalu, bagaimana dengan Cici?” Qian terdiam. Lohan melanjutkan kaki melangkah menuju kamar Irawan yang berjarak beberapa meter dari keberadaan mereka saat ini. ***Dua hari kemudian, Elmi sudah bisa di bawa keluar dari rumah sakit, begitu juga dengan Irawan. Kebetulan, mereka sama-sama akan meninggalkan gedung itu dan bertemu di lobi rumah sakit. Elmi melepaskan rangkulan tangan Inara dan berlari menghampiri Sarina, mendorong wan
Inara membetulkan posisi duduk dan mengarahkan pandangan ke depan, menatap gerbang rumah yang dilewati oleh mobil di mana dirinya dan Lohan berada. Matanya menatap tidak tenang rumah itu dengan mobil pria itu memasuki pekarangan rumah kediaman Wirananda, yang baru disadari Inara dirinya diajak Lohan ke tempat itu. Sepanjang jalan pikirannya melayang jauh, memikirkan kondisi ibunya dan pekerjaan untuk menghasilkan uang dan tidak sadar dengan tujuan Lohan mengajaknya yang sejak tadi menjadi misteri. “Kenapa ke sini?” tanya Inara, mulai tidak tenang. Lohan menginjak rem, memberhentikan mobil itu di halaman rumah bak istana milik keluarga Wirananda itu. “Ikuti saja aku,” kata Lohan dan membuka sabuk pengaman di badannya, begitu juga dengan Inara. Mereka sama-sama keluar dari mobil, berjalan memasuki pintu rumah yang terbuka lebar, di mana semua orang duduk dalam suasana riang dalam pembicaraan mereka di sana. “Inara!” panggil Tias, antusias melihat Inara baru memasuki rumah itu. Ked
Usai makan, usai melepaskan kepulangan keluarga mereka, Inara dan Qian memasuki kamar yang sudah disiapkan Tias dan Erlanda untuk mereka di kediaman mereka, di mana mereka bisa tempati saat berkunjung seperti malam ini. Inara dan Qian tidak kembali ke kediaman mereka. Untuk pertama kalinya mereka menginap di rumah itu untuk menghargai Tias dan Erlanda yang selalu meminta mereka menginap. “Melelahkan,” ucap Inara sambil duduk di tepi kasur yang empuk di kamar itu. Pintu kamar ditutup Qian dan pria itu bergegas melepaskan kancing kemeja sambil memutar badan ke belakang dan tangannya berhenti lanjut melepaskan kancing baju itu setelah melihat Inara duduk dalam kelelahan. Ekspresi pria itu mulai menampakkan kekecewaan dan kembali memasang kancing bajunya. Sesuatu muncul di benak kalian terhadap apa yang ingin dilakukan Qian sebelumnya? Benar, itu benar. Pria itu duduk di samping Inara dan memijat kedua pundak istrinya itu dari belakang. Tampak wanita itu menikmati dan membetulkan posi
LIMA BULAN KEMUDIAN ….Qian mengemudikan mobil di mana Inara duduk di sampingnya, mereka akan menghabiskan waktu seharian di hari Minggu yang kebetulan cerah. Mereka akan ke taman, menikmati suasana taman yang biasa dikunjungi oleh anak-anak. Wanita yang kini sudah hamil lima bulan lebih itu mengidam ingin melihat suasana taman yang dipenuhi oleh anak-anak kecil. Setelah mobil terparkir, Qian merangkul pinggang istrinya itu keluar dari mobil, membimbing memasuki area taman dengan kehati-hatian sampai duduk di bangku salah satu taman yang kebetulan berada di bawah pohon yang rindang. “Kamu duduk di sini dulu. Biar aku belikan beberapa minuman dan makanan di minimarket seberang,” pesan Qian yang takut Inara ke mana-mana. Pria itu berlalu pergi setelah Inara menganggukkan kepala. Baru beberapa menit Qian pergi, deringan telepon terdengar dari tas yang ditaruh di sisi kanannya. Dirogoh olehnya tas jinjing itu dan mengeluarkan ponsel kepemilikan Qian yang dititipkan suaminya itu ketika
Di hadapan semua orang, terutama di hadapan Inara yang sudah duduk di samping Elmi, mendengar semua cerita dari Devi dari awal sampai kejadian bayi tertukar itu terjadi. Sepanjang cerita itu berlangsung, Elmi dan Tias sama-sama menangis, satu karena kebenaran Inara bulan putri kandungnya dan satu lagi menangis karena rasa haru bisa bertemu putri yang dianggapnya telah meninggal selama ini. “Sekali lagi saya minta maaf,” ucap Devi dengan wajah meminta belas kasih mereka. “Wah … ini tidak bisa didiamkan. Harus dibawa ke jalur hukum, nih,” celetuk Ditya. “Diam,” tegur Lohan dengan suara kecil kepada sang adik.Inara jadi bingung sendiri, entah harus mengekspresikan hal tersebut dengan bahagia atau malah sedih. Tias bangkit dari tempat duduknya, tidak sabar ingin memeluk wanita itu setelah menahan diri sejak tadi. Dalam pelukan itu Inara masih diam, masih bingung untuk bertingkah. Ia malah menatap Elmi yang diam bersedih, yang membuat hatinya ikut bersedih. Bergegas Inara melepaskan p
Erlanda menggeleng-gelengkan kepala, tidak habis pikir dengan sikap Sarina terhadap putrinya. Berbeda dengan Tias, istri pria paruh baya itu malah memperhatikan Inara yang berjalan memunggunginya sampai wanita itu memasuki kamar. Ekspresi murung tergambar di wajah wanita itu. “Kami benar-benar kecewa, Bu Sarina,” ucap Erlanda dan hendak mengikuti jejak Cici. Namun, diamnya Tias dalam lamunan sedih wanita itu membuat Erlanda terhenti dan menggenggam pergelangan tangan kanan istrinya itu, menyadarkan Tias. Lanjut, membawa wanita itu keluar dari rumah itu dengan kepala Tias menoleh ke belakang, tidak memperhatikan jalannya saat berjalan. Tias menghentikan langkah kakinya di depan rumah tersebut setelah mendengar suara deringan telepon dari saku celananya. Itu ikut menghentikan langkah Erlanda dan pria itu memperhatikan Tias menerima sambungan telepon dari seseorang yang tampak membuat istrinya itu terharu sampai meneteskan air mata. “Suster tidak berbohong, kan?” tanya Tias. Sejenak
Ekspresi Sarina berubah sedih setelah mendengar penjelasan dokter di luar kamar Qian, di mana juga ada Inara yang berdiri di sisi kanannya. Sarina terperangah, merasa tidak percaya putra kesayangan itu melupakan dirinya dan hanya mengingat Inara karena hanya wanita itu yang berkesan di memorinya Qian. “Tolong jangan paksa pasien untuk mengingat. Karena cedera yang sebelumnya pernah dialaminya membuat otaknya cukup rusak. Jika dipaksa mengingat, pasien bisa kehilangan nyawa atau bodoh,” terang dokter berjenis kelamin laki-laki itu. Dokter paruh baya itu melewati keberadaan Sarina dan Inara, meninggalkan mereka di depan kamar itu. “Qian tidak mengingatku,” kata Sarina, menangis. Inara memperhatikan kesedihan di wajah mertuanya itu yang membuatnya ikut bersedih. Inara melangkah mendekati Sarina, memberanikan diri memeluk ibu mertuanya itu untuk menyalurkan energi agar wanita itu bisa lebih kuat dengan kesedihannya. “Qian pasti bisa mengingat Mama lagi. Orang yang paling disayanginya
Irawan memarahi Sarina habis-habisan setelah berhasil menyeret istrinya itu keluar dari gedung rumah sakit. Tidak hanya Irawan, kedua putranya juga ikut menyerbunya dengan kata-kata marah setelah melihat sikap dan ucapan kasar Sarina kesekian kalinya kepada Inara. “Mama kapan sadar kalau perbuatan Mama itu salah! Mama tidak pernah melihat sisi baik anak itu,” kata Irawan dalam kemarahan yang sebelumnya tidak pernah diperlihatkan kepada sang istri. “Kak Inara sudah banyak menderita karena Mama. Jika Mama yang berada di posisinya apa Mama sanggup menanggungnya?” Ditya ikut memarahi sang ibu. “Dia kehilangan anaknya karena Mama. Waktu, masa depannya hancur karena Mama dan sekarang Mama ingin memisahkannya dari Qian yang jelas-jelas putra Mama itu sangat mencintainya. Aku tidak tau masalah apa yang Mama alami di masa lalu, tapi tidak sepantasnya Mama memperlakukannya begitu,” ucap Lohan, di mana jiwa tenangnya ikut terguncang setelah jenuh melihat perbuatan ibunya itu kepada Inara. “M
Keluarnya Qian dari kamar Cici yang ditempati oleh wanita itu selama beberapa hari ini, bersambut masuknya seorang pria ke sana. Pria itu adalah orang yang sempat berdebat bersama Qian di taman rumah sakit. Sendi, pria itu teman dekat Cici yang tidak diketahui Qian orang yang selalu menghubungi istri keduanya itu. Sendi tempat curhat Cici mengenai hubungan rumah tangganya bersama Qian dan tidak diketahui oleh wanita itu kalau Sendi menyukainya secara diam-diam, itu sebabnya pria itu marah besar kepada Qian yang menjadi penyebab Cici masuk rumah sakit. Pria itu masuk tidak hanya dengan tangan kosong, ada buket bunga mawar indah di tangan kanannya. Sendi sengaja mengambil peluang memasuki kamar Cici setelah Qian keluar. “Bagaimana kabarmu?” tanya Sendi sambil melangkah masuk setelah menutup pintu. Buket bunga mawar merah itu disodorkan ke arah Cici yang duduk bersandar di atas ranjang kamar itu. Cici tercengang kaget, bersama perasaan takut mulai muncul di jiwanya. “Kamu bertemu Qia
Inara merasakan sesuatu menyentuh beberapa helai rambut di dekat pelipisnya, perlahan Inara membuka mata dan menemukan Qian duduk bersandar di sampingnya. Bergegas Inara duduk, dibantu Qian yang tidak ingin sang istri kesulitan. Bibir Inara tersenyum ringan menatap sang suami, perasaannya bahagia. “Kapan kembali?” tanya Inara. Wanita itu menoleh ke sisi kanan, menatap jam di atas meja yang menunjukkan pukul dua belas malam. Bukannya menjawab, pria itu memeluknya, mendarat kepala ke pundak kiri Inara dengan tangan memeluk tubuh Inara dari samping. “Kenapa?” tanya Inara, penasaran dengan tingkah Qian. “Hanya rindu.” Tangan kiri Qian mengelus perut Inara, bertingkah seperti anak kecil. “Bagaimana kondisi Cici?” tanya Inara, penasaran. “Setelah dia tidur, aku ke sini,” jawab Qian dan diam, tampak memikirkan sesuatu. Diamnya Qian menarik perhatian Inara, wanita itu menurunkan pandangan setelah menoleh ke kiri, menatap wajah Qian yang melamunkan sesuatu. Inara membetulkan posisi du
Cici meneteskan air mata dengan bibir tersenyum ringan saat melihat Qian yang ditunggu-tunggunya setelah sadar berdiri di pintu kamar di mana dirinya berada. Ia terharu suami yang tidak memikirkannya itu menjenguknya dan membuatnya beranggapan pria itu masih peduli padanya yang berarti masih ada peluang bagi Qian mencintainya. Tias dan Erlanda menoleh ke belakang setelah melihat perubahan di wajah wanita itu. Mereka berdua, terutama Erlanda menatap sinis Qian dan tatapan pria paruh baya itu bisa dimaklumi Qian padanya. Siapapun orang tua yang berada di posisi mereka, pasti akan marah, begitupun dengan dirinya sendiri. "Kamu sudah datang. Aku menunggumu sejak aku sadar," kata Cici dengan suara berat. Qian menganggukkan kepala dengan senyuman, lalu mendekati Cici setelah kedua mertuanya itu memberikan ruang untuk bisa berdiri di samping Cici. Wanita yang terbaring di atas kasur tidak bisa menggerakkan badannya, hanya tangan sebelah kanan saja karena tangan kirinya patah sementara, beg