Qian menarik keras tangannya dari genggaman tangan sang ibu setelah mereka berada di luar gedung itu, di halaman depan rumah sakit. Raut wajah Qian tampak kesal dan marah pada Sarina yang banyak mengatur hidupnya selama ini. “Kenapa? Kenapa Mama melakukan ini padaku dan pada mereka?” tanya Qian dengan nada sedikit keras. “Mama menikahkan ku dengan wanita tua itu, yang sudah memiliki anak seusia denganku. Mama tidak malu?” Qian meluapkan kemarahannya. “Jadi, Qian berpikir dirinya menikahi Elmi, bukannya Inara?” tanya Sarina, dalam hati dengan senyuman bodoh. “Dasar! Tidak mungkin juga aku menikahkannya dengan orang tua,” kata Sarina, masih dalam hati. “Siapa yang menikahkan mu dengan wanita tua itu? Bukan dia,” terang Sarina, tersenyum. “Lalu?” Qian kaget, dugaannya salah dengan kemarahan mulai berkurang. “Mengapa perawat itu bilang kalau Mama memasukkan wanita itu dua tahun lalu ke rumah sakit jiwa? Bukankah Mama juga memasukkan wanita itu ke sana? Ditya yang mengatakannya,” kata Q
Qian bergegas menaiki tangga setelah mobil yang dikemudikan sang ibu sampai di rumah. Sedang Sarina duduk di sofa ruang tamu, menyandarkan punggung ke sandaran sofa sambil memijit kecil pangkal hidungnya sendiri dengan mengabaikan kemarahan yang ada pada anaknya itu. Kepalanya terasa sakit memikirkan perkataan Lohan tadi, ditambah dengan berdebat bersama Qian yang tidak usai sejak mobil berjalan hingga sampai di rumah. “Mama … Mama kenapa? Lalu, kenapa Qian sampai ngamuk begitu?” tanya Cici sambil menghampiri sang mertua dan duduk di samping wanita paruh baya itu. “Jaga suamimu. Jangan biarkan dia dekat dengan wanita itu. Satu lagi, secepatnya kalian urus masalah Ibu pengganti untuk mengandung anak kalian,” kata Sarina. “Iya, Ma,” ucap Cici. “Mau ke mana lagi? Jangan berulah,” tegur Sarina, melihat Qian melewati keberadaan mereka, akan keluar dari rumah dengan kemeja baru yang tampak sudah berganti. “Aku bukan anak kecil lagi, Ma. Jangan melarangku,” timpal Qian dan melanjutkan k
Inara memperhatikan Yuda memeriksa kondisi Irawan di sebuah kamar. Ia berdiri di seberang ranjang yang dibaringin Irawan, di mana tengah memainkan alat medisnya dengan teliti di tubuh pria paruh baya yang berbaring di atas ranjang itu. Ekspresi cemas masih tergambar di wajah Inara, membuat Yuda semakin penasaran, siapa sebenarnya wanita yang selalu tampak bersama keluarga kakaknya itu akhir-akhir ini.“Jangan khawatir, dia baik-baik saja,” kata Yuda kepada Inara. Inara menganggukkan kepala beberapa kali, berusaha tenang. Yuda membetulkan selimut di tubuh Irawan dan berjalan meninggalkan kamar itu sambil memainkan ponsel yang baru dikeluarkan dari saku jas dokternya. Ia akan menghubungi Sarina, memberitahu kakak iparnya itu bahwa Irawan berada di rumah sakit. Setelah Yuda pergi, tidak berselang lama, Irawan membuka mata, sadar. Inar duduk di bangku besuk, bertanya-tanya kepada pria itu mengenai kondis
Lohan dan Qian berjalan beriringan kembali ke kamar Irawan. Qian diam bersama perasaan kesal mengingat kakaknya itu berbohong, berpura-pura menjadi suami Inara. Berbeda dari Lohan, pria itu malah senang melihat Qian tampak terganggu. Matanya sesekali melirik Qian yang berjalan dengan wajah mengkerut kesal, dingin.Qian akhirnya berhenti berjalan dan menatap Lohan. “Kenapa?” tanya Lohan dengan salah satu alis naik. “Kenapa Kakak berbohong? Kenapa mengakui diri Kakak sebagai suaminya?” tanya Qian.“Aku bisa berbuat apa? Kamu mau mengakuinya sebagai istrimu? Lalu, bagaimana dengan Cici?” Qian terdiam. Lohan melanjutkan kaki melangkah menuju kamar Irawan yang berjarak beberapa meter dari keberadaan mereka saat ini. ***Dua hari kemudian, Elmi sudah bisa di bawa keluar dari rumah sakit, begitu juga dengan Irawan. Kebetulan, mereka sama-sama akan meninggalkan gedung itu dan bertemu di lobi rumah sakit. Elmi melepaskan rangkulan tangan Inara dan berlari menghampiri Sarina, mendorong wan
Inara membetulkan posisi duduk dan mengarahkan pandangan ke depan, menatap gerbang rumah yang dilewati oleh mobil di mana dirinya dan Lohan berada. Matanya menatap tidak tenang rumah itu dengan mobil pria itu memasuki pekarangan rumah kediaman Wirananda, yang baru disadari Inara dirinya diajak Lohan ke tempat itu. Sepanjang jalan pikirannya melayang jauh, memikirkan kondisi ibunya dan pekerjaan untuk menghasilkan uang dan tidak sadar dengan tujuan Lohan mengajaknya yang sejak tadi menjadi misteri. “Kenapa ke sini?” tanya Inara, mulai tidak tenang. Lohan menginjak rem, memberhentikan mobil itu di halaman rumah bak istana milik keluarga Wirananda itu. “Ikuti saja aku,” kata Lohan dan membuka sabuk pengaman di badannya, begitu juga dengan Inara. Mereka sama-sama keluar dari mobil, berjalan memasuki pintu rumah yang terbuka lebar, di mana semua orang duduk dalam suasana riang dalam pembicaraan mereka di sana. “Inara!” panggil Tias, antusias melihat Inara baru memasuki rumah itu. Ked
Inara berjalan memasuki kafe Raselo, di mana di sana sudah ada Brandon dan seorang pria sebaya dengannya duduk sambil memainkan ponsel di atas meja. Brandon menepuk pelan tangan pria itu, menyuruh pria itu menatap Inara yang berjalan menghampiri mereka. Teman Brandon tersenyum ringan, memperhatikan Inara dari ujung kepala sampai ujung kaki. Pandangan menjelaskan dirinya tertarik dengan wanita itu. Inara duduk dan memperhatikan sekitaran, melihat pengunjung kafe yang cukup banyak. Inara berpikir dirinya akan ditawari bekerja di kafe itu. “Lelan,” ucap pria itu sambil menyodorkan tangan, ingin Inara yang baru duduk bisa menjabat tangannya. Tangan pria itu ditatap Inara dengan raut wajah tahu. Brandon menarik tangan Inara yang duduk di sampingnya dan menautkan tangan mereka. “Inara,” balas Inara dengan sedikit takut, pria yang ada di hadapannya itu berniat buruk padanya setelah melihat mata pria itu yang sedikit aneh saat menatapnya.“Kata Brandon kamu mau bekerja? Saya punya satu p
Inara datang pagi-pagi ke kediaman Wirananda. Setelah sampai di sana, ia melihat Sarina sedang duduk di sofa dengan dua wanita berdiri di hadapan wanita paruh baya itu yang merupakan pembantu baru yang tengah diwawancarai oleh Sarina.Kedatangan Inara disambut dengan tatapan buruk oleh Sarina. “Kenapa ke sini? Kamu sudah tidak bekerja di sini,” kata Sarina, membuat dua wanita yang sedang diwawancarai olehnya menoleh ke belakang. “Saya hanya mengantarkan ini.” Inara menaruh plastik berisi obat yang disebut Qian semalam. "Itu apa?" tanya Sarina, enggan mengambil kertas tersebut dan memeriksanya. "Qian menyuruhku membeli obat itu." Inara berjalan hendak meninggalkan rumah itu. "Tunggu!" tahan Sarina. Inara memberhentikan kaki melangkah di depan pintu dan perlahan memutar badan ke belakang. Sarina berdiri dari posisinya, memainkan mata pada kedua wanita yang di hadapannya untuk minggir. Kedua wanita itu mengerti, mereka menepi, menonton tingkah Sarina yang belum diketahui apa adegan
Satu Bulan Kemudian ....Inara keluar dari restoran Seafood sambil melambaikan tangan kepada teman-teman satu kerjanya yang masuk shift malam. Seharian Inara menghabiskan waktu bekerja di tempat lamanya dengan bantuan Devi, sang teman yang ada untuknya ketika sedang membutuhkan bantuan. Keluar dari kontrak yang direkomendasikan oleh Lohan satu bulan lalu, Inara kembali ngontrak di samping kontrakan kecil yang ada di samping kontrakan Devi. Ia tinggal bersama Elmi yang perlahan membaik sejak dirawat rutin sebulan ini. "Satu bulan tanpa memasuki keluarga Wirananda itu rasanya lebih plong. Sudah lama aku tidak merasakan kebebasan dalam hidup ini," ucap Inara, berjalan di tepi jalan dengan senyuman senang yang terpancar di bibirnya.Dari tempat itu ia kembali ke kontrakan dengan menjinjing plastik makanan yang dibelikan untuk Elmi. Setelah sampai di kontrakan, Inara menghampiri sang Ibu yang duduk di tepi kasur, di dalam kamar. Wanita paruh baya itu sedang menatap foto keluarga kecil mer