Inara menaruh gelas air putih itu di atas meja, berlanjut duduk di tepi kasur dengan Qian duduk memperhatikannya sejak masuk ke kamar itu. Qian memeluk tubuh Inara erat, membuat wanita itu malah bingung. "Lepas." Inara melepaskan pelukan Qian, tidak ingin memiliki hubungan dekat dengan keluarga Wirananda, terutama suaminya itu. Qian kembali memeluk Inara. "Kamu istriku, kan?" tanya Qian. Inara melepaskan tangan yang sempat berusaha melepaskan pelukan Qian di tubuhnya. Sejenak tubuhnya diam kaku, kaget mendengar pertanyaannya pria itu. Setelah merasa pelukan Qian kendur, Inara melepaskan pelukan pria itu dan menatap Qian cukup dalam. "Aku bukan istrimu. Kamu mabuk, Tuan," bohong Inara, mengingat Sarina tidak akan pernah memberikan jalan untuk hubungan mereka dan yang akan ada hanya luka. "Kamu istriku," kata Qian, menarik tangan Inara yang hendak berdiri. Wanita itu kembali duduk di tepi kasur dan Qian memeluknya, tidak memberikan celah untuk Inara bisa meninggalkannya. "Mama b
"Mengapa hatiku begini? Hati ini rasanya sakit saat tahu Kak Lohan berhubungan bersama Inara. Ada apa denganku? Mengapa aku bisa berpikir Cici adalah Inara dan berhubungan dengannya? Mungkinkah aku telah jatuh hati pada pembantu itu?" Qian berkata-kata dalam hatinya sambil menggosok badannya di bawah shower air yang menjatuhkan derasnya air.Qian mengingat kembali kejadian beberapa jam lalu, saat dirinya berpikir telah meniduri Inara. Hatinya berkata kalau wanita itu benar Inara, bukan Cici. Meskipun memorinya tidak cukup baik mengingat kejadian itu, tetapi Qian sedikit ingat dengan jelas wanita yang ditidurinya itu tidak memakai anting, sedangkan Cici memakai anting tadinya. Qian bergegas mengakhiri mandinya. Ia keluar dari kamar mandi bersama handuk kimono terpasang di tubuhnya dan rambut masih basah. Kemudian, berlanjut keluar dari kamar, menemukan wujud Lohan sedang membuatkan minuman di dapur. Ia memasuki kamar Lohan tanpa disadari oleh kakaknya itu. Setelah pintu kamar Lohan d
Qian duduk di tepi kasur dengan mata berkeliling menatap setiap sisi kamar hotel dengan angka pintu sepuluh itu dengan otak berpikir keras sambil mengingat sesuatu yang membekas jelas dibenaknya, yaitu saat dirinya mengajak seorang wanita ke hotel malam itu yang tidak ketahui hari maupun tanggalnya. Ia tidak bisa melihat jelas wajah Inara yang digadang-gadang oleh Irawan. Beberapa saat lalu, Yuda memberikan Qian obat untuk memulihkan ingatannya. Selain itu, Irawan juga bercerita sedikit mengenai Inara, membongkar kebenaran kalau wanita itu adalah istri anaknya itu. Awalnya rencananya tidak begitu, tetapi mendengar Qian menyorot Inara, sanubari yang sudah tergabung sejak lama tidak bisa ditahan untuk diam lagi. Apalagi setelah melihat sikap Sarina semakin semena-mena terhadap Inara sampai menjadikan wanita itu ibu pengganti."Ternyata Inara benar wanita yang aku nikahi? Lalu, mengapa Mama berbohong? Malah wanita itu yang ada di rumah sakit jiwa. Mama begitu kejam padanya," kata Qian,
Inara tidak bisa tenang membiarkan Qian tidur di luar karena ia tahu bagaimana pria itu dimanjakan oleh kekayaan yang dimilikinya sampai tidak pernah tidur di lantai. Berulang kali Inara berjalan mondar-mandir di kamar yang ditempatinya bersama Elmi bersama kecemasan yang tidak berkesudahan dengan gigi menggigit jari. Inara mengambil ponsel di atas meja di samping kasur, ia menghubungi nomor Lohan untuk mempertanyakan mengapa Qian sampai minggat? Tetapi, sambungan teleponnya tidak berjawab, Lohan sengaja tidak menjawabnya karena Inara pasti mengadu mengenai Lohan. "Tanggung olehmu bocah itu," kata Lohan dan menaruh kembali ponsel yang sempat diambil dari atas meja yang ada di samping kasur. Inara menaruh ponselnya di atas meja dan keluar dari kamar, mengunjungi Qian di luar, dan melihat pria itu meringkuk kedinginan dalam baringannya meskipun sudah memakai selimut yang diberikannya. "Tuan ...," panggil Inara sambil menepis bahu kanan Qian. Qian membuka mata, duduk, dan memeluk In
Qian berdiri di tepi jalan, menunggu Inara yang sedang memesan beberapa bungkus makanan yang akan mereka makan untuk makan malam bersama Elmi nantinya di rumah. Setelah menerima plastik berisikan makanan yang dipesannya, Inara menghampiri Qian, mereka berjalan beriringan bersama menuju kontrakan. Dalam perjalanan mereka hanya diam, canggung rasanya bagi Inara untuk berbicara dengan suaminya itu. "Hmm ... kamu bekerja seperti ini setiap hari?" tanya Qian, hanya ingin mengisi ruang kosong yang mencanggungkan itu. "Benar," balas Inara, menoleh ke samping, menatap Qian saat menjawab pertanyaan pria itu dengan senyuman. Qian meraih tangan kiri Inara yang kosong, tidak memegang apa pun. Ia menggandeng tangan wanita itu, seperti pasangan. "Tuan ...," tegur Inara, berhenti berjalan dan berusaha menarik tangannya yang akhirnya bisa dilepaskan. . "Kenapa?" Dengan wajah merasa tidak bersalah Qian menghadapi sikap Inara. "Tidak apa-apa," ucap Qian, menggenggam tangan Inara dan mengajak wani
Di hari libur, Qian dan Inara mengajak Sarina ke taman untuk merefresh pikiran dari kejenuhan bekerja. Dua minggu lamanya mereka menghabiskan waktu bersama dan selama ini Qian juga mengambil pekerjaan lain, yaitu membuat website menggunakan ponsel Inara yang diberikan olehnya dulu. Keahlian dalam IT dimanfaatkan Qian, memberikan pemasukan yang cukup banyak meskipun tidak memiliki laptop. Kadang, ia pergi ke warnet jika memang membutuhkan laptop. "Kamu dan Ibu di sini, aku mau beli minuman," kata Qian, membantu Elmi duduk di bangku taman bersama Inara. "Jangan lama-lama," pesan Inara. "Siap," balas Qian. Qian menghampiri penjual di tepi jalan taman, di bagian luar taman itu. "Puas menghabiskan waktu bersama wanita itu?" tanya seseorang dari belakang, membuat Qian memutar badan. "Mama," lirih Qian, kaget. Inara memperhatikan mereka dari kejauhan. Ia berdiri dalam rasa tegang dan takut Qian akan dirampas dari dirinya setelah hidup nyaman bersama dua minggu terakhir bersama pria it
Sarina mengunjungi kediaman baru Qian bersama Cici dengan langkah tidak sabaran beriringan dengan amarah. Mereka baru mendapat informasi itu dari Lohan yang sedang bercerita bersama Irawan di kantor. Sarina tidak sengaja mendengar pembicaraan mereka secara diam-diam. "Mama," lirih Inara yang baru keluar dari dapur. Sarina menghampiri Inara, berdiri di hadapan menantunya itu dan meraih pergelangan tangan Inara, menarik wanita itu keluar dari rumah itu. "Jangan coba-coba menempatkan posisimu baik di rumah ini. Kamu tidak pantas mendapatkannya, yang pantas hanya Cici," kata Sarina, menatap buruk Inara yang terduduk di teras rumah karena dorongannya.Qian yang baru menuruni tangga melihat perlakuan kasar ibunya pada istri pertamanya itu, ia berlari menghampiri Inara, membawa membantu wanita itu bangkit. “Mama apa-apaan? Ini rumahku dan Mama tidak boleh bertindak seenaknya di sini,” bentak Qian, marah. “Kamu membentak Mama?”“Mam sellau tidak bisa menjaga sikap kepada Inara. Dia juga
Inara berdiri di depan meja rias, memperhatikan banyak variasi kosmetik di atas meja itu dengan raut wajah bingung. Produk kecantikan telah disiapkan Qian di sana, dipilih langsung oleh pria itu dengan bantuan teman wanitanya, pemilik brand kosmetik mahal itu. “Aku tidak tau apa yang harus digunakan. Banyak sekali macamnya. Aku hanya biasa menggunakan bedak padat dan handbody saja, lalu parfum,” kata Inara. Qian berdiri tegak pinggang di depan pintu kamar mandi, memperhatikan rasa bingung yang tergambar di wajah Inara. Ia mengikat erat tali piyama kimononya dan berjalan mendekati istrinya itu sambil mengusap rambut yang basah menggunakan handuk persegi panjang yang sebelumnya berada dalam genggaman tangan kanannya. “Apa yang membuatmu bingung wahai istriku?” tanya Qian sambil berjalan dan memeluk erat Inara dari belakang. Suaranya terdengar menggoda.Senyuman terukir indah di bibir Inara, ia menoleh ke samping, mendapati wajah sang suami yang memperhatikannya dengan senyuman yang s