Share

Dia Juga Istrimu

Penulis: Windersone
last update Terakhir Diperbarui: 2024-03-05 00:30:12

Sarina mengunjungi kediaman baru Qian bersama Cici dengan langkah tidak sabaran beriringan dengan amarah. Mereka baru mendapat informasi itu dari Lohan yang sedang bercerita bersama Irawan di kantor. Sarina tidak sengaja mendengar pembicaraan mereka secara diam-diam.

"Mama," lirih Inara yang baru keluar dari dapur.

Sarina menghampiri Inara, berdiri di hadapan menantunya itu dan meraih pergelangan tangan Inara, menarik wanita itu keluar dari rumah itu.

"Jangan coba-coba menempatkan posisimu baik di rumah ini. Kamu tidak pantas mendapatkannya, yang pantas hanya Cici," kata Sarina, menatap buruk Inara yang terduduk di teras rumah karena dorongannya.

Qian yang baru menuruni tangga melihat perlakuan kasar ibunya pada istri pertamanya itu, ia berlari menghampiri Inara, membawa membantu wanita itu bangkit.

“Mama apa-apaan? Ini rumahku dan Mama tidak boleh bertindak seenaknya di sini,” bentak Qian, marah.

“Kamu membentak Mama?”

“Mam sellau tidak bisa menjaga sikap kepada Inara. Dia juga
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Penantian Sang Istri Teraniaya   Otakmu Perlu Dibersihkan

    Inara berdiri di depan meja rias, memperhatikan banyak variasi kosmetik di atas meja itu dengan raut wajah bingung. Produk kecantikan telah disiapkan Qian di sana, dipilih langsung oleh pria itu dengan bantuan teman wanitanya, pemilik brand kosmetik mahal itu. “Aku tidak tau apa yang harus digunakan. Banyak sekali macamnya. Aku hanya biasa menggunakan bedak padat dan handbody saja, lalu parfum,” kata Inara. Qian berdiri tegak pinggang di depan pintu kamar mandi, memperhatikan rasa bingung yang tergambar di wajah Inara. Ia mengikat erat tali piyama kimononya dan berjalan mendekati istrinya itu sambil mengusap rambut yang basah menggunakan handuk persegi panjang yang sebelumnya berada dalam genggaman tangan kanannya. “Apa yang membuatmu bingung wahai istriku?” tanya Qian sambil berjalan dan memeluk erat Inara dari belakang. Suaranya terdengar menggoda.Senyuman terukir indah di bibir Inara, ia menoleh ke samping, mendapati wajah sang suami yang memperhatikannya dengan senyuman yang s

    Terakhir Diperbarui : 2024-03-06
  • Penantian Sang Istri Teraniaya   Selamat, Istrinya Sedang Hamil

    Qian menyodorkan selembar uang pecahan lima puluh ribu kepada tukang ojek yang sudah mengantarnya hingga ke depan gerbang rumah. Ketika tukang ojek itu tengah merogoh saku celananya, Qian sudah berlari masuk ke dalam rumah, menarik suara tukang ojek itu memanggilnya. Qian menyuruh pria itu mengambil kembaliannya. Inara tengah kesakitan, kondisinya tidak baik, tetapi mengapa Qian terlihat begitu senang? Setelah membuka pintu rumah, Qian melihat ibunya duduk berbincang bersama Cici di ruang tamu bersama cemilan dan minuman dingin di atas meja. “Qian. Kamu sudah kembali,” kata Cici, berdiri, dan berjalan menghampiri Qian yang memusnahkan wajah bahagianya. Sebelum Cici sampai di hadapannya, Qian lanjut berjalan menuju kamarnya dan Inara. Setelah pintu kamar dibuka, Qian melihat Inara tidak sadarkan diri di samping ranjang. Qian mulai cemas, ia membopong tubuh istrinya itu, membawanya keluar dari kamar. Sarina berdiri, senyumannya memudar terhadap Cici dan beralih bingung memperhatik

    Terakhir Diperbarui : 2024-03-06
  • Penantian Sang Istri Teraniaya   Anak Siapa Yang Kamu Kandung?

    Inara mengucek kedua bola mata setelah merasa cahaya matahari pagi menembus wajahnya. Perlahan mata dibuka, menunjukkan kejelasan setelah samar didapatinya benda-benda yang ada di hadapannya, termasuk keberadaan Qian yang tengah berdiri di depan meja rias bersama ponsel berada dalam genggaman tangan kanan yang menempel di telinga pria itu. “Baik, Pa. Sekarang aku akan bergegas ke bandara. Kalau begitu, aku bersiap-siap dulu,” ucap Qian. Sambungan telepon dimatikan Qian, lalu memasukkan gawainya itu ke dalam saku celana, dan memutar badan ke belakang, hendak melihat Inara yang dikira masih tidur. “Kamu sudah bangun? Bagaimana? Badanmu enakan dari kemarin?” tanya Qian sambil duduk di tepi kasur, membantu Inara duduk dari baringan wanita itu yang menyamping ke arah kanan. “Lumayan,” jawab Inara, tersenyum ringan. “Hmm … kamu mau ke mana ? Aku tidak sengaja mendengarmu mengatakan kamu akan ke bandara,” kata Inara dengan wajah sedikit sedih karena berpikir akan ditinggikan. “Maaf … se

    Terakhir Diperbarui : 2024-03-09
  • Penantian Sang Istri Teraniaya   Aku Percaya Padamu

    Inara menghampiri Elmi, membantu ibunya itu berdiri dan mengajaknya duduk di sofa ruang tamu. Kemudian, ia bergegas memasuki kamarnya, mengambil kotak P3K di sana, lalu beranjak menuju dapur, mengambil segelas air putih setelah mendengar Elmi merasa pusing. “Minum dulu, Bu,” ucap Inara sambil duduk dan membantu merekatkan gelas di tangannya ke bibir Elmi. Setelah itu, Inara menaruh gelas itu di atas meja, lanjut mengobati luka Elmi yang bisa diobati secara mandiri di rumah, tidak perlu ke rumah sakit karena lukanya tidak terlalu parah. Sarina masih di posisinya, memperhatikan cekatan Inara saat mengobati Elmi dengan perasaan merasa bersalah mulai memudar. Kecemasannya karena takut disalahkan atas kondisi Elmi, menghilang, memunculkan senyuman ringan yang licik di bibirnya. “Gara-gara kamu suami saya meninggal! Tidak puas? Ingin melenyapkan saya juga?” tanya Elmi, emosi menyadari senyuman licik Sarina. “Ayah meninggal?” tanya Inara, kaget, baru mengetahuinya. Elmi menoleh ke sisi

    Terakhir Diperbarui : 2024-03-09
  • Penantian Sang Istri Teraniaya   Menjaganya Dengan Baik

    Inara mengetuk pintu kamar setelah mendiami Qian selama dua jam. Kemudian, ia membuka pintu, mengintip dari celah pintu sebelum akhirnya membuka lebar pintu itu, memasuki kamar. Ia melihat Qian berdiri di depan jendela, tampak sedang berpikir. Kaki Inara melangkah pelan menghampiri Qian, berdiri di samping suaminya itu yang tampak memiliki volume kemarahan tinggi, belum merendah.“Maaf …,” ucap Inara, memeluk Qian dari samping dengan bersikap manja. “Jangan pernah mendorongku pada wanita itu, itu membuatku bingung dan merasa kacau. Aku tau kalau aku bersikap salah padanya. Tapi, aku memang tidak bisa bersikap semestinya padanya,” terang Qian, berusaha berbicara tenang dengan pandangan masih mengarah ke luar jendela. “Kenapa?” tanya Inara, menahan senyuman. “Karena aku ….” Qian menggantungkan perkataannya sambil memutar badan ke arah Inara, menatap wanita itu yang tengah berdiri menahan senyum. “Kamu mencintaiku?” tanya Inara, ragu. “Mungkin,” jawab Qian, merasa malu. “Entahlah.

    Terakhir Diperbarui : 2024-03-18
  • Penantian Sang Istri Teraniaya   Sikapmu Melebihi Iblis

    Tias menangis sambil mengikuti jejak petugas rumah sakit mendorong brankar memasuki ruang darurat. Qian mengikuti mereka dari belakang dengan perasaan masih tidak menduga, Cici bisa-bisanya melompat dari atap rumah sebegitu tingginya hanya karena dirinya. Ia sudah mendengar cerita kejadian itu dari Irawan, sang ayah saat mereka berada di perjalanan di mobil yang sama menuju rumah sakit, mengikuti mobil Erlanda. Semua orang dicegah perawat untuk memasuki ruangan darurat karena Cici akan ditangani oleh mereka tanpa gangguan siapapun. Jadi, mereka hanya bisa menunggu di luar ruangan, menunggu hasil lanjutan dari penanganan itu. “Semua gara-gara mu. Kamu mengabaikan putri kami dan membuatnya frustasi,” kata Tias, memarahi Qian yang hanya bisa diam dengan kepala tertunduk, sadar sikapnya selama ini salah. “Istrimu bukan hanya Inara, Cici juga!” teriak Erlanda dalam kemarahan. “Kamu keluar dulu. Biarkan kemarahan mereka mereda dulu,” ucap Irawan pada Qian dengan suara kecil. Qian menur

    Terakhir Diperbarui : 2024-03-18
  • Penantian Sang Istri Teraniaya   Bersamanya

    Cici meneteskan air mata dengan bibir tersenyum ringan saat melihat Qian yang ditunggu-tunggunya setelah sadar berdiri di pintu kamar di mana dirinya berada. Ia terharu suami yang tidak memikirkannya itu menjenguknya dan membuatnya beranggapan pria itu masih peduli padanya yang berarti masih ada peluang bagi Qian mencintainya. Tias dan Erlanda menoleh ke belakang setelah melihat perubahan di wajah wanita itu. Mereka berdua, terutama Erlanda menatap sinis Qian dan tatapan pria paruh baya itu bisa dimaklumi Qian padanya. Siapapun orang tua yang berada di posisi mereka, pasti akan marah, begitupun dengan dirinya sendiri. "Kamu sudah datang. Aku menunggumu sejak aku sadar," kata Cici dengan suara berat. Qian menganggukkan kepala dengan senyuman, lalu mendekati Cici setelah kedua mertuanya itu memberikan ruang untuk bisa berdiri di samping Cici. Wanita yang terbaring di atas kasur tidak bisa menggerakkan badannya, hanya tangan sebelah kanan saja karena tangan kirinya patah sementara, beg

    Terakhir Diperbarui : 2024-03-20
  • Penantian Sang Istri Teraniaya   Aku Harus Berbuat Apa?

    Inara merasakan sesuatu menyentuh beberapa helai rambut di dekat pelipisnya, perlahan Inara membuka mata dan menemukan Qian duduk bersandar di sampingnya. Bergegas Inara duduk, dibantu Qian yang tidak ingin sang istri kesulitan. Bibir Inara tersenyum ringan menatap sang suami, perasaannya bahagia. “Kapan kembali?” tanya Inara. Wanita itu menoleh ke sisi kanan, menatap jam di atas meja yang menunjukkan pukul dua belas malam. Bukannya menjawab, pria itu memeluknya, mendarat kepala ke pundak kiri Inara dengan tangan memeluk tubuh Inara dari samping. “Kenapa?” tanya Inara, penasaran dengan tingkah Qian. “Hanya rindu.” Tangan kiri Qian mengelus perut Inara, bertingkah seperti anak kecil. “Bagaimana kondisi Cici?” tanya Inara, penasaran. “Setelah dia tidur, aku ke sini,” jawab Qian dan diam, tampak memikirkan sesuatu. Diamnya Qian menarik perhatian Inara, wanita itu menurunkan pandangan setelah menoleh ke kiri, menatap wajah Qian yang melamunkan sesuatu. Inara membetulkan posisi du

    Terakhir Diperbarui : 2024-04-26

Bab terbaru

  • Penantian Sang Istri Teraniaya   Bayinya Perempuan (Ending)

    Usai makan, usai melepaskan kepulangan keluarga mereka, Inara dan Qian memasuki kamar yang sudah disiapkan Tias dan Erlanda untuk mereka di kediaman mereka, di mana mereka bisa tempati saat berkunjung seperti malam ini. Inara dan Qian tidak kembali ke kediaman mereka. Untuk pertama kalinya mereka menginap di rumah itu untuk menghargai Tias dan Erlanda yang selalu meminta mereka menginap. “Melelahkan,” ucap Inara sambil duduk di tepi kasur yang empuk di kamar itu. Pintu kamar ditutup Qian dan pria itu bergegas melepaskan kancing kemeja sambil memutar badan ke belakang dan tangannya berhenti lanjut melepaskan kancing baju itu setelah melihat Inara duduk dalam kelelahan. Ekspresi pria itu mulai menampakkan kekecewaan dan kembali memasang kancing bajunya. Sesuatu muncul di benak kalian terhadap apa yang ingin dilakukan Qian sebelumnya? Benar, itu benar. Pria itu duduk di samping Inara dan memijat kedua pundak istrinya itu dari belakang. Tampak wanita itu menikmati dan membetulkan posi

  • Penantian Sang Istri Teraniaya   Tandatangani

    LIMA BULAN KEMUDIAN ….Qian mengemudikan mobil di mana Inara duduk di sampingnya, mereka akan menghabiskan waktu seharian di hari Minggu yang kebetulan cerah. Mereka akan ke taman, menikmati suasana taman yang biasa dikunjungi oleh anak-anak. Wanita yang kini sudah hamil lima bulan lebih itu mengidam ingin melihat suasana taman yang dipenuhi oleh anak-anak kecil. Setelah mobil terparkir, Qian merangkul pinggang istrinya itu keluar dari mobil, membimbing memasuki area taman dengan kehati-hatian sampai duduk di bangku salah satu taman yang kebetulan berada di bawah pohon yang rindang. “Kamu duduk di sini dulu. Biar aku belikan beberapa minuman dan makanan di minimarket seberang,” pesan Qian yang takut Inara ke mana-mana. Pria itu berlalu pergi setelah Inara menganggukkan kepala. Baru beberapa menit Qian pergi, deringan telepon terdengar dari tas yang ditaruh di sisi kanannya. Dirogoh olehnya tas jinjing itu dan mengeluarkan ponsel kepemilikan Qian yang dititipkan suaminya itu ketika

  • Penantian Sang Istri Teraniaya   Menapa Kalian Menatapku Begitu?

    Di hadapan semua orang, terutama di hadapan Inara yang sudah duduk di samping Elmi, mendengar semua cerita dari Devi dari awal sampai kejadian bayi tertukar itu terjadi. Sepanjang cerita itu berlangsung, Elmi dan Tias sama-sama menangis, satu karena kebenaran Inara bulan putri kandungnya dan satu lagi menangis karena rasa haru bisa bertemu putri yang dianggapnya telah meninggal selama ini. “Sekali lagi saya minta maaf,” ucap Devi dengan wajah meminta belas kasih mereka. “Wah … ini tidak bisa didiamkan. Harus dibawa ke jalur hukum, nih,” celetuk Ditya. “Diam,” tegur Lohan dengan suara kecil kepada sang adik.Inara jadi bingung sendiri, entah harus mengekspresikan hal tersebut dengan bahagia atau malah sedih. Tias bangkit dari tempat duduknya, tidak sabar ingin memeluk wanita itu setelah menahan diri sejak tadi. Dalam pelukan itu Inara masih diam, masih bingung untuk bertingkah. Ia malah menatap Elmi yang diam bersedih, yang membuat hatinya ikut bersedih. Bergegas Inara melepaskan p

  • Penantian Sang Istri Teraniaya   Jadi, Inara Anak Kita?

    Erlanda menggeleng-gelengkan kepala, tidak habis pikir dengan sikap Sarina terhadap putrinya. Berbeda dengan Tias, istri pria paruh baya itu malah memperhatikan Inara yang berjalan memunggunginya sampai wanita itu memasuki kamar. Ekspresi murung tergambar di wajah wanita itu. “Kami benar-benar kecewa, Bu Sarina,” ucap Erlanda dan hendak mengikuti jejak Cici. Namun, diamnya Tias dalam lamunan sedih wanita itu membuat Erlanda terhenti dan menggenggam pergelangan tangan kanan istrinya itu, menyadarkan Tias. Lanjut, membawa wanita itu keluar dari rumah itu dengan kepala Tias menoleh ke belakang, tidak memperhatikan jalannya saat berjalan. Tias menghentikan langkah kakinya di depan rumah tersebut setelah mendengar suara deringan telepon dari saku celananya. Itu ikut menghentikan langkah Erlanda dan pria itu memperhatikan Tias menerima sambungan telepon dari seseorang yang tampak membuat istrinya itu terharu sampai meneteskan air mata. “Suster tidak berbohong, kan?” tanya Tias. Sejenak

  • Penantian Sang Istri Teraniaya   Kamu Percaya, kan?

    Ekspresi Sarina berubah sedih setelah mendengar penjelasan dokter di luar kamar Qian, di mana juga ada Inara yang berdiri di sisi kanannya. Sarina terperangah, merasa tidak percaya putra kesayangan itu melupakan dirinya dan hanya mengingat Inara karena hanya wanita itu yang berkesan di memorinya Qian. “Tolong jangan paksa pasien untuk mengingat. Karena cedera yang sebelumnya pernah dialaminya membuat otaknya cukup rusak. Jika dipaksa mengingat, pasien bisa kehilangan nyawa atau bodoh,” terang dokter berjenis kelamin laki-laki itu. Dokter paruh baya itu melewati keberadaan Sarina dan Inara, meninggalkan mereka di depan kamar itu. “Qian tidak mengingatku,” kata Sarina, menangis. Inara memperhatikan kesedihan di wajah mertuanya itu yang membuatnya ikut bersedih. Inara melangkah mendekati Sarina, memberanikan diri memeluk ibu mertuanya itu untuk menyalurkan energi agar wanita itu bisa lebih kuat dengan kesedihannya. “Qian pasti bisa mengingat Mama lagi. Orang yang paling disayanginya

  • Penantian Sang Istri Teraniaya   Merenggut Hak Kebebasan

    Irawan memarahi Sarina habis-habisan setelah berhasil menyeret istrinya itu keluar dari gedung rumah sakit. Tidak hanya Irawan, kedua putranya juga ikut menyerbunya dengan kata-kata marah setelah melihat sikap dan ucapan kasar Sarina kesekian kalinya kepada Inara. “Mama kapan sadar kalau perbuatan Mama itu salah! Mama tidak pernah melihat sisi baik anak itu,” kata Irawan dalam kemarahan yang sebelumnya tidak pernah diperlihatkan kepada sang istri. “Kak Inara sudah banyak menderita karena Mama. Jika Mama yang berada di posisinya apa Mama sanggup menanggungnya?” Ditya ikut memarahi sang ibu. “Dia kehilangan anaknya karena Mama. Waktu, masa depannya hancur karena Mama dan sekarang Mama ingin memisahkannya dari Qian yang jelas-jelas putra Mama itu sangat mencintainya. Aku tidak tau masalah apa yang Mama alami di masa lalu, tapi tidak sepantasnya Mama memperlakukannya begitu,” ucap Lohan, di mana jiwa tenangnya ikut terguncang setelah jenuh melihat perbuatan ibunya itu kepada Inara. “M

  • Penantian Sang Istri Teraniaya   Tolong ...!

    Keluarnya Qian dari kamar Cici yang ditempati oleh wanita itu selama beberapa hari ini, bersambut masuknya seorang pria ke sana. Pria itu adalah orang yang sempat berdebat bersama Qian di taman rumah sakit. Sendi, pria itu teman dekat Cici yang tidak diketahui Qian orang yang selalu menghubungi istri keduanya itu. Sendi tempat curhat Cici mengenai hubungan rumah tangganya bersama Qian dan tidak diketahui oleh wanita itu kalau Sendi menyukainya secara diam-diam, itu sebabnya pria itu marah besar kepada Qian yang menjadi penyebab Cici masuk rumah sakit. Pria itu masuk tidak hanya dengan tangan kosong, ada buket bunga mawar indah di tangan kanannya. Sendi sengaja mengambil peluang memasuki kamar Cici setelah Qian keluar. “Bagaimana kabarmu?” tanya Sendi sambil melangkah masuk setelah menutup pintu. Buket bunga mawar merah itu disodorkan ke arah Cici yang duduk bersandar di atas ranjang kamar itu. Cici tercengang kaget, bersama perasaan takut mulai muncul di jiwanya. “Kamu bertemu Qia

  • Penantian Sang Istri Teraniaya   Aku Harus Berbuat Apa?

    Inara merasakan sesuatu menyentuh beberapa helai rambut di dekat pelipisnya, perlahan Inara membuka mata dan menemukan Qian duduk bersandar di sampingnya. Bergegas Inara duduk, dibantu Qian yang tidak ingin sang istri kesulitan. Bibir Inara tersenyum ringan menatap sang suami, perasaannya bahagia. “Kapan kembali?” tanya Inara. Wanita itu menoleh ke sisi kanan, menatap jam di atas meja yang menunjukkan pukul dua belas malam. Bukannya menjawab, pria itu memeluknya, mendarat kepala ke pundak kiri Inara dengan tangan memeluk tubuh Inara dari samping. “Kenapa?” tanya Inara, penasaran dengan tingkah Qian. “Hanya rindu.” Tangan kiri Qian mengelus perut Inara, bertingkah seperti anak kecil. “Bagaimana kondisi Cici?” tanya Inara, penasaran. “Setelah dia tidur, aku ke sini,” jawab Qian dan diam, tampak memikirkan sesuatu. Diamnya Qian menarik perhatian Inara, wanita itu menurunkan pandangan setelah menoleh ke kiri, menatap wajah Qian yang melamunkan sesuatu. Inara membetulkan posisi du

  • Penantian Sang Istri Teraniaya   Bersamanya

    Cici meneteskan air mata dengan bibir tersenyum ringan saat melihat Qian yang ditunggu-tunggunya setelah sadar berdiri di pintu kamar di mana dirinya berada. Ia terharu suami yang tidak memikirkannya itu menjenguknya dan membuatnya beranggapan pria itu masih peduli padanya yang berarti masih ada peluang bagi Qian mencintainya. Tias dan Erlanda menoleh ke belakang setelah melihat perubahan di wajah wanita itu. Mereka berdua, terutama Erlanda menatap sinis Qian dan tatapan pria paruh baya itu bisa dimaklumi Qian padanya. Siapapun orang tua yang berada di posisi mereka, pasti akan marah, begitupun dengan dirinya sendiri. "Kamu sudah datang. Aku menunggumu sejak aku sadar," kata Cici dengan suara berat. Qian menganggukkan kepala dengan senyuman, lalu mendekati Cici setelah kedua mertuanya itu memberikan ruang untuk bisa berdiri di samping Cici. Wanita yang terbaring di atas kasur tidak bisa menggerakkan badannya, hanya tangan sebelah kanan saja karena tangan kirinya patah sementara, beg

DMCA.com Protection Status