Qian menyodorkan selembar uang pecahan lima puluh ribu kepada tukang ojek yang sudah mengantarnya hingga ke depan gerbang rumah. Ketika tukang ojek itu tengah merogoh saku celananya, Qian sudah berlari masuk ke dalam rumah, menarik suara tukang ojek itu memanggilnya. Qian menyuruh pria itu mengambil kembaliannya. Inara tengah kesakitan, kondisinya tidak baik, tetapi mengapa Qian terlihat begitu senang? Setelah membuka pintu rumah, Qian melihat ibunya duduk berbincang bersama Cici di ruang tamu bersama cemilan dan minuman dingin di atas meja. “Qian. Kamu sudah kembali,” kata Cici, berdiri, dan berjalan menghampiri Qian yang memusnahkan wajah bahagianya. Sebelum Cici sampai di hadapannya, Qian lanjut berjalan menuju kamarnya dan Inara. Setelah pintu kamar dibuka, Qian melihat Inara tidak sadarkan diri di samping ranjang. Qian mulai cemas, ia membopong tubuh istrinya itu, membawanya keluar dari kamar. Sarina berdiri, senyumannya memudar terhadap Cici dan beralih bingung memperhatik
Inara mengucek kedua bola mata setelah merasa cahaya matahari pagi menembus wajahnya. Perlahan mata dibuka, menunjukkan kejelasan setelah samar didapatinya benda-benda yang ada di hadapannya, termasuk keberadaan Qian yang tengah berdiri di depan meja rias bersama ponsel berada dalam genggaman tangan kanan yang menempel di telinga pria itu. “Baik, Pa. Sekarang aku akan bergegas ke bandara. Kalau begitu, aku bersiap-siap dulu,” ucap Qian. Sambungan telepon dimatikan Qian, lalu memasukkan gawainya itu ke dalam saku celana, dan memutar badan ke belakang, hendak melihat Inara yang dikira masih tidur. “Kamu sudah bangun? Bagaimana? Badanmu enakan dari kemarin?” tanya Qian sambil duduk di tepi kasur, membantu Inara duduk dari baringan wanita itu yang menyamping ke arah kanan. “Lumayan,” jawab Inara, tersenyum ringan. “Hmm … kamu mau ke mana ? Aku tidak sengaja mendengarmu mengatakan kamu akan ke bandara,” kata Inara dengan wajah sedikit sedih karena berpikir akan ditinggikan. “Maaf … se
Inara menghampiri Elmi, membantu ibunya itu berdiri dan mengajaknya duduk di sofa ruang tamu. Kemudian, ia bergegas memasuki kamarnya, mengambil kotak P3K di sana, lalu beranjak menuju dapur, mengambil segelas air putih setelah mendengar Elmi merasa pusing. “Minum dulu, Bu,” ucap Inara sambil duduk dan membantu merekatkan gelas di tangannya ke bibir Elmi. Setelah itu, Inara menaruh gelas itu di atas meja, lanjut mengobati luka Elmi yang bisa diobati secara mandiri di rumah, tidak perlu ke rumah sakit karena lukanya tidak terlalu parah. Sarina masih di posisinya, memperhatikan cekatan Inara saat mengobati Elmi dengan perasaan merasa bersalah mulai memudar. Kecemasannya karena takut disalahkan atas kondisi Elmi, menghilang, memunculkan senyuman ringan yang licik di bibirnya. “Gara-gara kamu suami saya meninggal! Tidak puas? Ingin melenyapkan saya juga?” tanya Elmi, emosi menyadari senyuman licik Sarina. “Ayah meninggal?” tanya Inara, kaget, baru mengetahuinya. Elmi menoleh ke sisi
Inara mengetuk pintu kamar setelah mendiami Qian selama dua jam. Kemudian, ia membuka pintu, mengintip dari celah pintu sebelum akhirnya membuka lebar pintu itu, memasuki kamar. Ia melihat Qian berdiri di depan jendela, tampak sedang berpikir. Kaki Inara melangkah pelan menghampiri Qian, berdiri di samping suaminya itu yang tampak memiliki volume kemarahan tinggi, belum merendah.“Maaf …,” ucap Inara, memeluk Qian dari samping dengan bersikap manja. “Jangan pernah mendorongku pada wanita itu, itu membuatku bingung dan merasa kacau. Aku tau kalau aku bersikap salah padanya. Tapi, aku memang tidak bisa bersikap semestinya padanya,” terang Qian, berusaha berbicara tenang dengan pandangan masih mengarah ke luar jendela. “Kenapa?” tanya Inara, menahan senyuman. “Karena aku ….” Qian menggantungkan perkataannya sambil memutar badan ke arah Inara, menatap wanita itu yang tengah berdiri menahan senyum. “Kamu mencintaiku?” tanya Inara, ragu. “Mungkin,” jawab Qian, merasa malu. “Entahlah.
Tias menangis sambil mengikuti jejak petugas rumah sakit mendorong brankar memasuki ruang darurat. Qian mengikuti mereka dari belakang dengan perasaan masih tidak menduga, Cici bisa-bisanya melompat dari atap rumah sebegitu tingginya hanya karena dirinya. Ia sudah mendengar cerita kejadian itu dari Irawan, sang ayah saat mereka berada di perjalanan di mobil yang sama menuju rumah sakit, mengikuti mobil Erlanda. Semua orang dicegah perawat untuk memasuki ruangan darurat karena Cici akan ditangani oleh mereka tanpa gangguan siapapun. Jadi, mereka hanya bisa menunggu di luar ruangan, menunggu hasil lanjutan dari penanganan itu. “Semua gara-gara mu. Kamu mengabaikan putri kami dan membuatnya frustasi,” kata Tias, memarahi Qian yang hanya bisa diam dengan kepala tertunduk, sadar sikapnya selama ini salah. “Istrimu bukan hanya Inara, Cici juga!” teriak Erlanda dalam kemarahan. “Kamu keluar dulu. Biarkan kemarahan mereka mereda dulu,” ucap Irawan pada Qian dengan suara kecil. Qian menur
Cici meneteskan air mata dengan bibir tersenyum ringan saat melihat Qian yang ditunggu-tunggunya setelah sadar berdiri di pintu kamar di mana dirinya berada. Ia terharu suami yang tidak memikirkannya itu menjenguknya dan membuatnya beranggapan pria itu masih peduli padanya yang berarti masih ada peluang bagi Qian mencintainya. Tias dan Erlanda menoleh ke belakang setelah melihat perubahan di wajah wanita itu. Mereka berdua, terutama Erlanda menatap sinis Qian dan tatapan pria paruh baya itu bisa dimaklumi Qian padanya. Siapapun orang tua yang berada di posisi mereka, pasti akan marah, begitupun dengan dirinya sendiri. "Kamu sudah datang. Aku menunggumu sejak aku sadar," kata Cici dengan suara berat. Qian menganggukkan kepala dengan senyuman, lalu mendekati Cici setelah kedua mertuanya itu memberikan ruang untuk bisa berdiri di samping Cici. Wanita yang terbaring di atas kasur tidak bisa menggerakkan badannya, hanya tangan sebelah kanan saja karena tangan kirinya patah sementara, beg
Inara merasakan sesuatu menyentuh beberapa helai rambut di dekat pelipisnya, perlahan Inara membuka mata dan menemukan Qian duduk bersandar di sampingnya. Bergegas Inara duduk, dibantu Qian yang tidak ingin sang istri kesulitan. Bibir Inara tersenyum ringan menatap sang suami, perasaannya bahagia. “Kapan kembali?” tanya Inara. Wanita itu menoleh ke sisi kanan, menatap jam di atas meja yang menunjukkan pukul dua belas malam. Bukannya menjawab, pria itu memeluknya, mendarat kepala ke pundak kiri Inara dengan tangan memeluk tubuh Inara dari samping. “Kenapa?” tanya Inara, penasaran dengan tingkah Qian. “Hanya rindu.” Tangan kiri Qian mengelus perut Inara, bertingkah seperti anak kecil. “Bagaimana kondisi Cici?” tanya Inara, penasaran. “Setelah dia tidur, aku ke sini,” jawab Qian dan diam, tampak memikirkan sesuatu. Diamnya Qian menarik perhatian Inara, wanita itu menurunkan pandangan setelah menoleh ke kiri, menatap wajah Qian yang melamunkan sesuatu. Inara membetulkan posisi du
Keluarnya Qian dari kamar Cici yang ditempati oleh wanita itu selama beberapa hari ini, bersambut masuknya seorang pria ke sana. Pria itu adalah orang yang sempat berdebat bersama Qian di taman rumah sakit. Sendi, pria itu teman dekat Cici yang tidak diketahui Qian orang yang selalu menghubungi istri keduanya itu. Sendi tempat curhat Cici mengenai hubungan rumah tangganya bersama Qian dan tidak diketahui oleh wanita itu kalau Sendi menyukainya secara diam-diam, itu sebabnya pria itu marah besar kepada Qian yang menjadi penyebab Cici masuk rumah sakit. Pria itu masuk tidak hanya dengan tangan kosong, ada buket bunga mawar indah di tangan kanannya. Sendi sengaja mengambil peluang memasuki kamar Cici setelah Qian keluar. “Bagaimana kabarmu?” tanya Sendi sambil melangkah masuk setelah menutup pintu. Buket bunga mawar merah itu disodorkan ke arah Cici yang duduk bersandar di atas ranjang kamar itu. Cici tercengang kaget, bersama perasaan takut mulai muncul di jiwanya. “Kamu bertemu Qia