Qian berdiri di tepi jalan, menunggu Inara yang sedang memesan beberapa bungkus makanan yang akan mereka makan untuk makan malam bersama Elmi nantinya di rumah. Setelah menerima plastik berisikan makanan yang dipesannya, Inara menghampiri Qian, mereka berjalan beriringan bersama menuju kontrakan. Dalam perjalanan mereka hanya diam, canggung rasanya bagi Inara untuk berbicara dengan suaminya itu. "Hmm ... kamu bekerja seperti ini setiap hari?" tanya Qian, hanya ingin mengisi ruang kosong yang mencanggungkan itu. "Benar," balas Inara, menoleh ke samping, menatap Qian saat menjawab pertanyaan pria itu dengan senyuman. Qian meraih tangan kiri Inara yang kosong, tidak memegang apa pun. Ia menggandeng tangan wanita itu, seperti pasangan. "Tuan ...," tegur Inara, berhenti berjalan dan berusaha menarik tangannya yang akhirnya bisa dilepaskan. . "Kenapa?" Dengan wajah merasa tidak bersalah Qian menghadapi sikap Inara. "Tidak apa-apa," ucap Qian, menggenggam tangan Inara dan mengajak wani
Di hari libur, Qian dan Inara mengajak Sarina ke taman untuk merefresh pikiran dari kejenuhan bekerja. Dua minggu lamanya mereka menghabiskan waktu bersama dan selama ini Qian juga mengambil pekerjaan lain, yaitu membuat website menggunakan ponsel Inara yang diberikan olehnya dulu. Keahlian dalam IT dimanfaatkan Qian, memberikan pemasukan yang cukup banyak meskipun tidak memiliki laptop. Kadang, ia pergi ke warnet jika memang membutuhkan laptop. "Kamu dan Ibu di sini, aku mau beli minuman," kata Qian, membantu Elmi duduk di bangku taman bersama Inara. "Jangan lama-lama," pesan Inara. "Siap," balas Qian. Qian menghampiri penjual di tepi jalan taman, di bagian luar taman itu. "Puas menghabiskan waktu bersama wanita itu?" tanya seseorang dari belakang, membuat Qian memutar badan. "Mama," lirih Qian, kaget. Inara memperhatikan mereka dari kejauhan. Ia berdiri dalam rasa tegang dan takut Qian akan dirampas dari dirinya setelah hidup nyaman bersama dua minggu terakhir bersama pria it
Sarina mengunjungi kediaman baru Qian bersama Cici dengan langkah tidak sabaran beriringan dengan amarah. Mereka baru mendapat informasi itu dari Lohan yang sedang bercerita bersama Irawan di kantor. Sarina tidak sengaja mendengar pembicaraan mereka secara diam-diam. "Mama," lirih Inara yang baru keluar dari dapur. Sarina menghampiri Inara, berdiri di hadapan menantunya itu dan meraih pergelangan tangan Inara, menarik wanita itu keluar dari rumah itu. "Jangan coba-coba menempatkan posisimu baik di rumah ini. Kamu tidak pantas mendapatkannya, yang pantas hanya Cici," kata Sarina, menatap buruk Inara yang terduduk di teras rumah karena dorongannya.Qian yang baru menuruni tangga melihat perlakuan kasar ibunya pada istri pertamanya itu, ia berlari menghampiri Inara, membawa membantu wanita itu bangkit. “Mama apa-apaan? Ini rumahku dan Mama tidak boleh bertindak seenaknya di sini,” bentak Qian, marah. “Kamu membentak Mama?”“Mam sellau tidak bisa menjaga sikap kepada Inara. Dia juga
Inara berdiri di depan meja rias, memperhatikan banyak variasi kosmetik di atas meja itu dengan raut wajah bingung. Produk kecantikan telah disiapkan Qian di sana, dipilih langsung oleh pria itu dengan bantuan teman wanitanya, pemilik brand kosmetik mahal itu. “Aku tidak tau apa yang harus digunakan. Banyak sekali macamnya. Aku hanya biasa menggunakan bedak padat dan handbody saja, lalu parfum,” kata Inara. Qian berdiri tegak pinggang di depan pintu kamar mandi, memperhatikan rasa bingung yang tergambar di wajah Inara. Ia mengikat erat tali piyama kimononya dan berjalan mendekati istrinya itu sambil mengusap rambut yang basah menggunakan handuk persegi panjang yang sebelumnya berada dalam genggaman tangan kanannya. “Apa yang membuatmu bingung wahai istriku?” tanya Qian sambil berjalan dan memeluk erat Inara dari belakang. Suaranya terdengar menggoda.Senyuman terukir indah di bibir Inara, ia menoleh ke samping, mendapati wajah sang suami yang memperhatikannya dengan senyuman yang s
Qian menyodorkan selembar uang pecahan lima puluh ribu kepada tukang ojek yang sudah mengantarnya hingga ke depan gerbang rumah. Ketika tukang ojek itu tengah merogoh saku celananya, Qian sudah berlari masuk ke dalam rumah, menarik suara tukang ojek itu memanggilnya. Qian menyuruh pria itu mengambil kembaliannya. Inara tengah kesakitan, kondisinya tidak baik, tetapi mengapa Qian terlihat begitu senang? Setelah membuka pintu rumah, Qian melihat ibunya duduk berbincang bersama Cici di ruang tamu bersama cemilan dan minuman dingin di atas meja. “Qian. Kamu sudah kembali,” kata Cici, berdiri, dan berjalan menghampiri Qian yang memusnahkan wajah bahagianya. Sebelum Cici sampai di hadapannya, Qian lanjut berjalan menuju kamarnya dan Inara. Setelah pintu kamar dibuka, Qian melihat Inara tidak sadarkan diri di samping ranjang. Qian mulai cemas, ia membopong tubuh istrinya itu, membawanya keluar dari kamar. Sarina berdiri, senyumannya memudar terhadap Cici dan beralih bingung memperhatik
Inara mengucek kedua bola mata setelah merasa cahaya matahari pagi menembus wajahnya. Perlahan mata dibuka, menunjukkan kejelasan setelah samar didapatinya benda-benda yang ada di hadapannya, termasuk keberadaan Qian yang tengah berdiri di depan meja rias bersama ponsel berada dalam genggaman tangan kanan yang menempel di telinga pria itu. “Baik, Pa. Sekarang aku akan bergegas ke bandara. Kalau begitu, aku bersiap-siap dulu,” ucap Qian. Sambungan telepon dimatikan Qian, lalu memasukkan gawainya itu ke dalam saku celana, dan memutar badan ke belakang, hendak melihat Inara yang dikira masih tidur. “Kamu sudah bangun? Bagaimana? Badanmu enakan dari kemarin?” tanya Qian sambil duduk di tepi kasur, membantu Inara duduk dari baringan wanita itu yang menyamping ke arah kanan. “Lumayan,” jawab Inara, tersenyum ringan. “Hmm … kamu mau ke mana ? Aku tidak sengaja mendengarmu mengatakan kamu akan ke bandara,” kata Inara dengan wajah sedikit sedih karena berpikir akan ditinggikan. “Maaf … se
Inara menghampiri Elmi, membantu ibunya itu berdiri dan mengajaknya duduk di sofa ruang tamu. Kemudian, ia bergegas memasuki kamarnya, mengambil kotak P3K di sana, lalu beranjak menuju dapur, mengambil segelas air putih setelah mendengar Elmi merasa pusing. “Minum dulu, Bu,” ucap Inara sambil duduk dan membantu merekatkan gelas di tangannya ke bibir Elmi. Setelah itu, Inara menaruh gelas itu di atas meja, lanjut mengobati luka Elmi yang bisa diobati secara mandiri di rumah, tidak perlu ke rumah sakit karena lukanya tidak terlalu parah. Sarina masih di posisinya, memperhatikan cekatan Inara saat mengobati Elmi dengan perasaan merasa bersalah mulai memudar. Kecemasannya karena takut disalahkan atas kondisi Elmi, menghilang, memunculkan senyuman ringan yang licik di bibirnya. “Gara-gara kamu suami saya meninggal! Tidak puas? Ingin melenyapkan saya juga?” tanya Elmi, emosi menyadari senyuman licik Sarina. “Ayah meninggal?” tanya Inara, kaget, baru mengetahuinya. Elmi menoleh ke sisi
Inara mengetuk pintu kamar setelah mendiami Qian selama dua jam. Kemudian, ia membuka pintu, mengintip dari celah pintu sebelum akhirnya membuka lebar pintu itu, memasuki kamar. Ia melihat Qian berdiri di depan jendela, tampak sedang berpikir. Kaki Inara melangkah pelan menghampiri Qian, berdiri di samping suaminya itu yang tampak memiliki volume kemarahan tinggi, belum merendah.“Maaf …,” ucap Inara, memeluk Qian dari samping dengan bersikap manja. “Jangan pernah mendorongku pada wanita itu, itu membuatku bingung dan merasa kacau. Aku tau kalau aku bersikap salah padanya. Tapi, aku memang tidak bisa bersikap semestinya padanya,” terang Qian, berusaha berbicara tenang dengan pandangan masih mengarah ke luar jendela. “Kenapa?” tanya Inara, menahan senyuman. “Karena aku ….” Qian menggantungkan perkataannya sambil memutar badan ke arah Inara, menatap wanita itu yang tengah berdiri menahan senyum. “Kamu mencintaiku?” tanya Inara, ragu. “Mungkin,” jawab Qian, merasa malu. “Entahlah.