Lohan dan Qian berjalan beriringan kembali ke kamar Irawan. Qian diam bersama perasaan kesal mengingat kakaknya itu berbohong, berpura-pura menjadi suami Inara. Berbeda dari Lohan, pria itu malah senang melihat Qian tampak terganggu. Matanya sesekali melirik Qian yang berjalan dengan wajah mengkerut kesal, dingin.Qian akhirnya berhenti berjalan dan menatap Lohan. “Kenapa?” tanya Lohan dengan salah satu alis naik. “Kenapa Kakak berbohong? Kenapa mengakui diri Kakak sebagai suaminya?” tanya Qian.“Aku bisa berbuat apa? Kamu mau mengakuinya sebagai istrimu? Lalu, bagaimana dengan Cici?” Qian terdiam. Lohan melanjutkan kaki melangkah menuju kamar Irawan yang berjarak beberapa meter dari keberadaan mereka saat ini. ***Dua hari kemudian, Elmi sudah bisa di bawa keluar dari rumah sakit, begitu juga dengan Irawan. Kebetulan, mereka sama-sama akan meninggalkan gedung itu dan bertemu di lobi rumah sakit. Elmi melepaskan rangkulan tangan Inara dan berlari menghampiri Sarina, mendorong wan
Inara membetulkan posisi duduk dan mengarahkan pandangan ke depan, menatap gerbang rumah yang dilewati oleh mobil di mana dirinya dan Lohan berada. Matanya menatap tidak tenang rumah itu dengan mobil pria itu memasuki pekarangan rumah kediaman Wirananda, yang baru disadari Inara dirinya diajak Lohan ke tempat itu. Sepanjang jalan pikirannya melayang jauh, memikirkan kondisi ibunya dan pekerjaan untuk menghasilkan uang dan tidak sadar dengan tujuan Lohan mengajaknya yang sejak tadi menjadi misteri. “Kenapa ke sini?” tanya Inara, mulai tidak tenang. Lohan menginjak rem, memberhentikan mobil itu di halaman rumah bak istana milik keluarga Wirananda itu. “Ikuti saja aku,” kata Lohan dan membuka sabuk pengaman di badannya, begitu juga dengan Inara. Mereka sama-sama keluar dari mobil, berjalan memasuki pintu rumah yang terbuka lebar, di mana semua orang duduk dalam suasana riang dalam pembicaraan mereka di sana. “Inara!” panggil Tias, antusias melihat Inara baru memasuki rumah itu. Ked
Inara berjalan memasuki kafe Raselo, di mana di sana sudah ada Brandon dan seorang pria sebaya dengannya duduk sambil memainkan ponsel di atas meja. Brandon menepuk pelan tangan pria itu, menyuruh pria itu menatap Inara yang berjalan menghampiri mereka. Teman Brandon tersenyum ringan, memperhatikan Inara dari ujung kepala sampai ujung kaki. Pandangan menjelaskan dirinya tertarik dengan wanita itu. Inara duduk dan memperhatikan sekitaran, melihat pengunjung kafe yang cukup banyak. Inara berpikir dirinya akan ditawari bekerja di kafe itu. “Lelan,” ucap pria itu sambil menyodorkan tangan, ingin Inara yang baru duduk bisa menjabat tangannya. Tangan pria itu ditatap Inara dengan raut wajah tahu. Brandon menarik tangan Inara yang duduk di sampingnya dan menautkan tangan mereka. “Inara,” balas Inara dengan sedikit takut, pria yang ada di hadapannya itu berniat buruk padanya setelah melihat mata pria itu yang sedikit aneh saat menatapnya.“Kata Brandon kamu mau bekerja? Saya punya satu p
Inara datang pagi-pagi ke kediaman Wirananda. Setelah sampai di sana, ia melihat Sarina sedang duduk di sofa dengan dua wanita berdiri di hadapan wanita paruh baya itu yang merupakan pembantu baru yang tengah diwawancarai oleh Sarina.Kedatangan Inara disambut dengan tatapan buruk oleh Sarina. “Kenapa ke sini? Kamu sudah tidak bekerja di sini,” kata Sarina, membuat dua wanita yang sedang diwawancarai olehnya menoleh ke belakang. “Saya hanya mengantarkan ini.” Inara menaruh plastik berisi obat yang disebut Qian semalam. "Itu apa?" tanya Sarina, enggan mengambil kertas tersebut dan memeriksanya. "Qian menyuruhku membeli obat itu." Inara berjalan hendak meninggalkan rumah itu. "Tunggu!" tahan Sarina. Inara memberhentikan kaki melangkah di depan pintu dan perlahan memutar badan ke belakang. Sarina berdiri dari posisinya, memainkan mata pada kedua wanita yang di hadapannya untuk minggir. Kedua wanita itu mengerti, mereka menepi, menonton tingkah Sarina yang belum diketahui apa adegan
Satu Bulan Kemudian ....Inara keluar dari restoran Seafood sambil melambaikan tangan kepada teman-teman satu kerjanya yang masuk shift malam. Seharian Inara menghabiskan waktu bekerja di tempat lamanya dengan bantuan Devi, sang teman yang ada untuknya ketika sedang membutuhkan bantuan. Keluar dari kontrak yang direkomendasikan oleh Lohan satu bulan lalu, Inara kembali ngontrak di samping kontrakan kecil yang ada di samping kontrakan Devi. Ia tinggal bersama Elmi yang perlahan membaik sejak dirawat rutin sebulan ini. "Satu bulan tanpa memasuki keluarga Wirananda itu rasanya lebih plong. Sudah lama aku tidak merasakan kebebasan dalam hidup ini," ucap Inara, berjalan di tepi jalan dengan senyuman senang yang terpancar di bibirnya.Dari tempat itu ia kembali ke kontrakan dengan menjinjing plastik makanan yang dibelikan untuk Elmi. Setelah sampai di kontrakan, Inara menghampiri sang Ibu yang duduk di tepi kasur, di dalam kamar. Wanita paruh baya itu sedang menatap foto keluarga kecil mer
Inara menaruh gelas air putih itu di atas meja, berlanjut duduk di tepi kasur dengan Qian duduk memperhatikannya sejak masuk ke kamar itu. Qian memeluk tubuh Inara erat, membuat wanita itu malah bingung. "Lepas." Inara melepaskan pelukan Qian, tidak ingin memiliki hubungan dekat dengan keluarga Wirananda, terutama suaminya itu. Qian kembali memeluk Inara. "Kamu istriku, kan?" tanya Qian. Inara melepaskan tangan yang sempat berusaha melepaskan pelukan Qian di tubuhnya. Sejenak tubuhnya diam kaku, kaget mendengar pertanyaannya pria itu. Setelah merasa pelukan Qian kendur, Inara melepaskan pelukan pria itu dan menatap Qian cukup dalam. "Aku bukan istrimu. Kamu mabuk, Tuan," bohong Inara, mengingat Sarina tidak akan pernah memberikan jalan untuk hubungan mereka dan yang akan ada hanya luka. "Kamu istriku," kata Qian, menarik tangan Inara yang hendak berdiri. Wanita itu kembali duduk di tepi kasur dan Qian memeluknya, tidak memberikan celah untuk Inara bisa meninggalkannya. "Mama b
"Mengapa hatiku begini? Hati ini rasanya sakit saat tahu Kak Lohan berhubungan bersama Inara. Ada apa denganku? Mengapa aku bisa berpikir Cici adalah Inara dan berhubungan dengannya? Mungkinkah aku telah jatuh hati pada pembantu itu?" Qian berkata-kata dalam hatinya sambil menggosok badannya di bawah shower air yang menjatuhkan derasnya air.Qian mengingat kembali kejadian beberapa jam lalu, saat dirinya berpikir telah meniduri Inara. Hatinya berkata kalau wanita itu benar Inara, bukan Cici. Meskipun memorinya tidak cukup baik mengingat kejadian itu, tetapi Qian sedikit ingat dengan jelas wanita yang ditidurinya itu tidak memakai anting, sedangkan Cici memakai anting tadinya. Qian bergegas mengakhiri mandinya. Ia keluar dari kamar mandi bersama handuk kimono terpasang di tubuhnya dan rambut masih basah. Kemudian, berlanjut keluar dari kamar, menemukan wujud Lohan sedang membuatkan minuman di dapur. Ia memasuki kamar Lohan tanpa disadari oleh kakaknya itu. Setelah pintu kamar Lohan d
Qian duduk di tepi kasur dengan mata berkeliling menatap setiap sisi kamar hotel dengan angka pintu sepuluh itu dengan otak berpikir keras sambil mengingat sesuatu yang membekas jelas dibenaknya, yaitu saat dirinya mengajak seorang wanita ke hotel malam itu yang tidak ketahui hari maupun tanggalnya. Ia tidak bisa melihat jelas wajah Inara yang digadang-gadang oleh Irawan. Beberapa saat lalu, Yuda memberikan Qian obat untuk memulihkan ingatannya. Selain itu, Irawan juga bercerita sedikit mengenai Inara, membongkar kebenaran kalau wanita itu adalah istri anaknya itu. Awalnya rencananya tidak begitu, tetapi mendengar Qian menyorot Inara, sanubari yang sudah tergabung sejak lama tidak bisa ditahan untuk diam lagi. Apalagi setelah melihat sikap Sarina semakin semena-mena terhadap Inara sampai menjadikan wanita itu ibu pengganti."Ternyata Inara benar wanita yang aku nikahi? Lalu, mengapa Mama berbohong? Malah wanita itu yang ada di rumah sakit jiwa. Mama begitu kejam padanya," kata Qian,