Inara membetulkan posisi duduk dan mengarahkan pandangan ke depan, menatap gerbang rumah yang dilewati oleh mobil di mana dirinya dan Lohan berada. Matanya menatap tidak tenang rumah itu dengan mobil pria itu memasuki pekarangan rumah kediaman Wirananda, yang baru disadari Inara dirinya diajak Lohan ke tempat itu. Sepanjang jalan pikirannya melayang jauh, memikirkan kondisi ibunya dan pekerjaan untuk menghasilkan uang dan tidak sadar dengan tujuan Lohan mengajaknya yang sejak tadi menjadi misteri. “Kenapa ke sini?” tanya Inara, mulai tidak tenang. Lohan menginjak rem, memberhentikan mobil itu di halaman rumah bak istana milik keluarga Wirananda itu. “Ikuti saja aku,” kata Lohan dan membuka sabuk pengaman di badannya, begitu juga dengan Inara. Mereka sama-sama keluar dari mobil, berjalan memasuki pintu rumah yang terbuka lebar, di mana semua orang duduk dalam suasana riang dalam pembicaraan mereka di sana. “Inara!” panggil Tias, antusias melihat Inara baru memasuki rumah itu. Ked
Inara berjalan memasuki kafe Raselo, di mana di sana sudah ada Brandon dan seorang pria sebaya dengannya duduk sambil memainkan ponsel di atas meja. Brandon menepuk pelan tangan pria itu, menyuruh pria itu menatap Inara yang berjalan menghampiri mereka. Teman Brandon tersenyum ringan, memperhatikan Inara dari ujung kepala sampai ujung kaki. Pandangan menjelaskan dirinya tertarik dengan wanita itu. Inara duduk dan memperhatikan sekitaran, melihat pengunjung kafe yang cukup banyak. Inara berpikir dirinya akan ditawari bekerja di kafe itu. “Lelan,” ucap pria itu sambil menyodorkan tangan, ingin Inara yang baru duduk bisa menjabat tangannya. Tangan pria itu ditatap Inara dengan raut wajah tahu. Brandon menarik tangan Inara yang duduk di sampingnya dan menautkan tangan mereka. “Inara,” balas Inara dengan sedikit takut, pria yang ada di hadapannya itu berniat buruk padanya setelah melihat mata pria itu yang sedikit aneh saat menatapnya.“Kata Brandon kamu mau bekerja? Saya punya satu p
Inara datang pagi-pagi ke kediaman Wirananda. Setelah sampai di sana, ia melihat Sarina sedang duduk di sofa dengan dua wanita berdiri di hadapan wanita paruh baya itu yang merupakan pembantu baru yang tengah diwawancarai oleh Sarina.Kedatangan Inara disambut dengan tatapan buruk oleh Sarina. “Kenapa ke sini? Kamu sudah tidak bekerja di sini,” kata Sarina, membuat dua wanita yang sedang diwawancarai olehnya menoleh ke belakang. “Saya hanya mengantarkan ini.” Inara menaruh plastik berisi obat yang disebut Qian semalam. "Itu apa?" tanya Sarina, enggan mengambil kertas tersebut dan memeriksanya. "Qian menyuruhku membeli obat itu." Inara berjalan hendak meninggalkan rumah itu. "Tunggu!" tahan Sarina. Inara memberhentikan kaki melangkah di depan pintu dan perlahan memutar badan ke belakang. Sarina berdiri dari posisinya, memainkan mata pada kedua wanita yang di hadapannya untuk minggir. Kedua wanita itu mengerti, mereka menepi, menonton tingkah Sarina yang belum diketahui apa adegan
Satu Bulan Kemudian ....Inara keluar dari restoran Seafood sambil melambaikan tangan kepada teman-teman satu kerjanya yang masuk shift malam. Seharian Inara menghabiskan waktu bekerja di tempat lamanya dengan bantuan Devi, sang teman yang ada untuknya ketika sedang membutuhkan bantuan. Keluar dari kontrak yang direkomendasikan oleh Lohan satu bulan lalu, Inara kembali ngontrak di samping kontrakan kecil yang ada di samping kontrakan Devi. Ia tinggal bersama Elmi yang perlahan membaik sejak dirawat rutin sebulan ini. "Satu bulan tanpa memasuki keluarga Wirananda itu rasanya lebih plong. Sudah lama aku tidak merasakan kebebasan dalam hidup ini," ucap Inara, berjalan di tepi jalan dengan senyuman senang yang terpancar di bibirnya.Dari tempat itu ia kembali ke kontrakan dengan menjinjing plastik makanan yang dibelikan untuk Elmi. Setelah sampai di kontrakan, Inara menghampiri sang Ibu yang duduk di tepi kasur, di dalam kamar. Wanita paruh baya itu sedang menatap foto keluarga kecil mer
Inara menaruh gelas air putih itu di atas meja, berlanjut duduk di tepi kasur dengan Qian duduk memperhatikannya sejak masuk ke kamar itu. Qian memeluk tubuh Inara erat, membuat wanita itu malah bingung. "Lepas." Inara melepaskan pelukan Qian, tidak ingin memiliki hubungan dekat dengan keluarga Wirananda, terutama suaminya itu. Qian kembali memeluk Inara. "Kamu istriku, kan?" tanya Qian. Inara melepaskan tangan yang sempat berusaha melepaskan pelukan Qian di tubuhnya. Sejenak tubuhnya diam kaku, kaget mendengar pertanyaannya pria itu. Setelah merasa pelukan Qian kendur, Inara melepaskan pelukan pria itu dan menatap Qian cukup dalam. "Aku bukan istrimu. Kamu mabuk, Tuan," bohong Inara, mengingat Sarina tidak akan pernah memberikan jalan untuk hubungan mereka dan yang akan ada hanya luka. "Kamu istriku," kata Qian, menarik tangan Inara yang hendak berdiri. Wanita itu kembali duduk di tepi kasur dan Qian memeluknya, tidak memberikan celah untuk Inara bisa meninggalkannya. "Mama b
"Mengapa hatiku begini? Hati ini rasanya sakit saat tahu Kak Lohan berhubungan bersama Inara. Ada apa denganku? Mengapa aku bisa berpikir Cici adalah Inara dan berhubungan dengannya? Mungkinkah aku telah jatuh hati pada pembantu itu?" Qian berkata-kata dalam hatinya sambil menggosok badannya di bawah shower air yang menjatuhkan derasnya air.Qian mengingat kembali kejadian beberapa jam lalu, saat dirinya berpikir telah meniduri Inara. Hatinya berkata kalau wanita itu benar Inara, bukan Cici. Meskipun memorinya tidak cukup baik mengingat kejadian itu, tetapi Qian sedikit ingat dengan jelas wanita yang ditidurinya itu tidak memakai anting, sedangkan Cici memakai anting tadinya. Qian bergegas mengakhiri mandinya. Ia keluar dari kamar mandi bersama handuk kimono terpasang di tubuhnya dan rambut masih basah. Kemudian, berlanjut keluar dari kamar, menemukan wujud Lohan sedang membuatkan minuman di dapur. Ia memasuki kamar Lohan tanpa disadari oleh kakaknya itu. Setelah pintu kamar Lohan d
Qian duduk di tepi kasur dengan mata berkeliling menatap setiap sisi kamar hotel dengan angka pintu sepuluh itu dengan otak berpikir keras sambil mengingat sesuatu yang membekas jelas dibenaknya, yaitu saat dirinya mengajak seorang wanita ke hotel malam itu yang tidak ketahui hari maupun tanggalnya. Ia tidak bisa melihat jelas wajah Inara yang digadang-gadang oleh Irawan. Beberapa saat lalu, Yuda memberikan Qian obat untuk memulihkan ingatannya. Selain itu, Irawan juga bercerita sedikit mengenai Inara, membongkar kebenaran kalau wanita itu adalah istri anaknya itu. Awalnya rencananya tidak begitu, tetapi mendengar Qian menyorot Inara, sanubari yang sudah tergabung sejak lama tidak bisa ditahan untuk diam lagi. Apalagi setelah melihat sikap Sarina semakin semena-mena terhadap Inara sampai menjadikan wanita itu ibu pengganti."Ternyata Inara benar wanita yang aku nikahi? Lalu, mengapa Mama berbohong? Malah wanita itu yang ada di rumah sakit jiwa. Mama begitu kejam padanya," kata Qian,
Inara tidak bisa tenang membiarkan Qian tidur di luar karena ia tahu bagaimana pria itu dimanjakan oleh kekayaan yang dimilikinya sampai tidak pernah tidur di lantai. Berulang kali Inara berjalan mondar-mandir di kamar yang ditempatinya bersama Elmi bersama kecemasan yang tidak berkesudahan dengan gigi menggigit jari. Inara mengambil ponsel di atas meja di samping kasur, ia menghubungi nomor Lohan untuk mempertanyakan mengapa Qian sampai minggat? Tetapi, sambungan teleponnya tidak berjawab, Lohan sengaja tidak menjawabnya karena Inara pasti mengadu mengenai Lohan. "Tanggung olehmu bocah itu," kata Lohan dan menaruh kembali ponsel yang sempat diambil dari atas meja yang ada di samping kasur. Inara menaruh ponselnya di atas meja dan keluar dari kamar, mengunjungi Qian di luar, dan melihat pria itu meringkuk kedinginan dalam baringannya meskipun sudah memakai selimut yang diberikannya. "Tuan ...," panggil Inara sambil menepis bahu kanan Qian. Qian membuka mata, duduk, dan memeluk In
Usai makan, usai melepaskan kepulangan keluarga mereka, Inara dan Qian memasuki kamar yang sudah disiapkan Tias dan Erlanda untuk mereka di kediaman mereka, di mana mereka bisa tempati saat berkunjung seperti malam ini. Inara dan Qian tidak kembali ke kediaman mereka. Untuk pertama kalinya mereka menginap di rumah itu untuk menghargai Tias dan Erlanda yang selalu meminta mereka menginap. “Melelahkan,” ucap Inara sambil duduk di tepi kasur yang empuk di kamar itu. Pintu kamar ditutup Qian dan pria itu bergegas melepaskan kancing kemeja sambil memutar badan ke belakang dan tangannya berhenti lanjut melepaskan kancing baju itu setelah melihat Inara duduk dalam kelelahan. Ekspresi pria itu mulai menampakkan kekecewaan dan kembali memasang kancing bajunya. Sesuatu muncul di benak kalian terhadap apa yang ingin dilakukan Qian sebelumnya? Benar, itu benar. Pria itu duduk di samping Inara dan memijat kedua pundak istrinya itu dari belakang. Tampak wanita itu menikmati dan membetulkan posi
LIMA BULAN KEMUDIAN ….Qian mengemudikan mobil di mana Inara duduk di sampingnya, mereka akan menghabiskan waktu seharian di hari Minggu yang kebetulan cerah. Mereka akan ke taman, menikmati suasana taman yang biasa dikunjungi oleh anak-anak. Wanita yang kini sudah hamil lima bulan lebih itu mengidam ingin melihat suasana taman yang dipenuhi oleh anak-anak kecil. Setelah mobil terparkir, Qian merangkul pinggang istrinya itu keluar dari mobil, membimbing memasuki area taman dengan kehati-hatian sampai duduk di bangku salah satu taman yang kebetulan berada di bawah pohon yang rindang. “Kamu duduk di sini dulu. Biar aku belikan beberapa minuman dan makanan di minimarket seberang,” pesan Qian yang takut Inara ke mana-mana. Pria itu berlalu pergi setelah Inara menganggukkan kepala. Baru beberapa menit Qian pergi, deringan telepon terdengar dari tas yang ditaruh di sisi kanannya. Dirogoh olehnya tas jinjing itu dan mengeluarkan ponsel kepemilikan Qian yang dititipkan suaminya itu ketika
Di hadapan semua orang, terutama di hadapan Inara yang sudah duduk di samping Elmi, mendengar semua cerita dari Devi dari awal sampai kejadian bayi tertukar itu terjadi. Sepanjang cerita itu berlangsung, Elmi dan Tias sama-sama menangis, satu karena kebenaran Inara bulan putri kandungnya dan satu lagi menangis karena rasa haru bisa bertemu putri yang dianggapnya telah meninggal selama ini. “Sekali lagi saya minta maaf,” ucap Devi dengan wajah meminta belas kasih mereka. “Wah … ini tidak bisa didiamkan. Harus dibawa ke jalur hukum, nih,” celetuk Ditya. “Diam,” tegur Lohan dengan suara kecil kepada sang adik.Inara jadi bingung sendiri, entah harus mengekspresikan hal tersebut dengan bahagia atau malah sedih. Tias bangkit dari tempat duduknya, tidak sabar ingin memeluk wanita itu setelah menahan diri sejak tadi. Dalam pelukan itu Inara masih diam, masih bingung untuk bertingkah. Ia malah menatap Elmi yang diam bersedih, yang membuat hatinya ikut bersedih. Bergegas Inara melepaskan p
Erlanda menggeleng-gelengkan kepala, tidak habis pikir dengan sikap Sarina terhadap putrinya. Berbeda dengan Tias, istri pria paruh baya itu malah memperhatikan Inara yang berjalan memunggunginya sampai wanita itu memasuki kamar. Ekspresi murung tergambar di wajah wanita itu. “Kami benar-benar kecewa, Bu Sarina,” ucap Erlanda dan hendak mengikuti jejak Cici. Namun, diamnya Tias dalam lamunan sedih wanita itu membuat Erlanda terhenti dan menggenggam pergelangan tangan kanan istrinya itu, menyadarkan Tias. Lanjut, membawa wanita itu keluar dari rumah itu dengan kepala Tias menoleh ke belakang, tidak memperhatikan jalannya saat berjalan. Tias menghentikan langkah kakinya di depan rumah tersebut setelah mendengar suara deringan telepon dari saku celananya. Itu ikut menghentikan langkah Erlanda dan pria itu memperhatikan Tias menerima sambungan telepon dari seseorang yang tampak membuat istrinya itu terharu sampai meneteskan air mata. “Suster tidak berbohong, kan?” tanya Tias. Sejenak
Ekspresi Sarina berubah sedih setelah mendengar penjelasan dokter di luar kamar Qian, di mana juga ada Inara yang berdiri di sisi kanannya. Sarina terperangah, merasa tidak percaya putra kesayangan itu melupakan dirinya dan hanya mengingat Inara karena hanya wanita itu yang berkesan di memorinya Qian. “Tolong jangan paksa pasien untuk mengingat. Karena cedera yang sebelumnya pernah dialaminya membuat otaknya cukup rusak. Jika dipaksa mengingat, pasien bisa kehilangan nyawa atau bodoh,” terang dokter berjenis kelamin laki-laki itu. Dokter paruh baya itu melewati keberadaan Sarina dan Inara, meninggalkan mereka di depan kamar itu. “Qian tidak mengingatku,” kata Sarina, menangis. Inara memperhatikan kesedihan di wajah mertuanya itu yang membuatnya ikut bersedih. Inara melangkah mendekati Sarina, memberanikan diri memeluk ibu mertuanya itu untuk menyalurkan energi agar wanita itu bisa lebih kuat dengan kesedihannya. “Qian pasti bisa mengingat Mama lagi. Orang yang paling disayanginya
Irawan memarahi Sarina habis-habisan setelah berhasil menyeret istrinya itu keluar dari gedung rumah sakit. Tidak hanya Irawan, kedua putranya juga ikut menyerbunya dengan kata-kata marah setelah melihat sikap dan ucapan kasar Sarina kesekian kalinya kepada Inara. “Mama kapan sadar kalau perbuatan Mama itu salah! Mama tidak pernah melihat sisi baik anak itu,” kata Irawan dalam kemarahan yang sebelumnya tidak pernah diperlihatkan kepada sang istri. “Kak Inara sudah banyak menderita karena Mama. Jika Mama yang berada di posisinya apa Mama sanggup menanggungnya?” Ditya ikut memarahi sang ibu. “Dia kehilangan anaknya karena Mama. Waktu, masa depannya hancur karena Mama dan sekarang Mama ingin memisahkannya dari Qian yang jelas-jelas putra Mama itu sangat mencintainya. Aku tidak tau masalah apa yang Mama alami di masa lalu, tapi tidak sepantasnya Mama memperlakukannya begitu,” ucap Lohan, di mana jiwa tenangnya ikut terguncang setelah jenuh melihat perbuatan ibunya itu kepada Inara. “M
Keluarnya Qian dari kamar Cici yang ditempati oleh wanita itu selama beberapa hari ini, bersambut masuknya seorang pria ke sana. Pria itu adalah orang yang sempat berdebat bersama Qian di taman rumah sakit. Sendi, pria itu teman dekat Cici yang tidak diketahui Qian orang yang selalu menghubungi istri keduanya itu. Sendi tempat curhat Cici mengenai hubungan rumah tangganya bersama Qian dan tidak diketahui oleh wanita itu kalau Sendi menyukainya secara diam-diam, itu sebabnya pria itu marah besar kepada Qian yang menjadi penyebab Cici masuk rumah sakit. Pria itu masuk tidak hanya dengan tangan kosong, ada buket bunga mawar indah di tangan kanannya. Sendi sengaja mengambil peluang memasuki kamar Cici setelah Qian keluar. “Bagaimana kabarmu?” tanya Sendi sambil melangkah masuk setelah menutup pintu. Buket bunga mawar merah itu disodorkan ke arah Cici yang duduk bersandar di atas ranjang kamar itu. Cici tercengang kaget, bersama perasaan takut mulai muncul di jiwanya. “Kamu bertemu Qia
Inara merasakan sesuatu menyentuh beberapa helai rambut di dekat pelipisnya, perlahan Inara membuka mata dan menemukan Qian duduk bersandar di sampingnya. Bergegas Inara duduk, dibantu Qian yang tidak ingin sang istri kesulitan. Bibir Inara tersenyum ringan menatap sang suami, perasaannya bahagia. “Kapan kembali?” tanya Inara. Wanita itu menoleh ke sisi kanan, menatap jam di atas meja yang menunjukkan pukul dua belas malam. Bukannya menjawab, pria itu memeluknya, mendarat kepala ke pundak kiri Inara dengan tangan memeluk tubuh Inara dari samping. “Kenapa?” tanya Inara, penasaran dengan tingkah Qian. “Hanya rindu.” Tangan kiri Qian mengelus perut Inara, bertingkah seperti anak kecil. “Bagaimana kondisi Cici?” tanya Inara, penasaran. “Setelah dia tidur, aku ke sini,” jawab Qian dan diam, tampak memikirkan sesuatu. Diamnya Qian menarik perhatian Inara, wanita itu menurunkan pandangan setelah menoleh ke kiri, menatap wajah Qian yang melamunkan sesuatu. Inara membetulkan posisi du
Cici meneteskan air mata dengan bibir tersenyum ringan saat melihat Qian yang ditunggu-tunggunya setelah sadar berdiri di pintu kamar di mana dirinya berada. Ia terharu suami yang tidak memikirkannya itu menjenguknya dan membuatnya beranggapan pria itu masih peduli padanya yang berarti masih ada peluang bagi Qian mencintainya. Tias dan Erlanda menoleh ke belakang setelah melihat perubahan di wajah wanita itu. Mereka berdua, terutama Erlanda menatap sinis Qian dan tatapan pria paruh baya itu bisa dimaklumi Qian padanya. Siapapun orang tua yang berada di posisi mereka, pasti akan marah, begitupun dengan dirinya sendiri. "Kamu sudah datang. Aku menunggumu sejak aku sadar," kata Cici dengan suara berat. Qian menganggukkan kepala dengan senyuman, lalu mendekati Cici setelah kedua mertuanya itu memberikan ruang untuk bisa berdiri di samping Cici. Wanita yang terbaring di atas kasur tidak bisa menggerakkan badannya, hanya tangan sebelah kanan saja karena tangan kirinya patah sementara, beg