Beberapa Hari Kemudian ....Qian kembali ke rumah bersama Cici yang baru keluar dari rumah sakit, ia membopong istrinya itu memasuki rumah, di hadapan kedua orang tuanya dan orang tua istrinya itu. Inara memperhatikan mereka dari pintu dapur, hanya mengintip dengan rasa cemburu. Air matanya menetes melihat kedekatan mereka, sedangkan dirinya diabaikan, meski tahu Qian tidak bersalah karena tidak mengingatnya. “Kapan semua ini akan berakhir?” tanya Inara, dalam hati. “Inara …! Bawakan ke sini minumannya!” Suara Sarina terdengar keras memanggil Inara. Qian berhenti melangkah di tengah anak tangga, ia menoleh ke bawah, melihat Inara berjalan membawa beberapa gelas minuman di atas nampan. “Sesuatu yang familiar ada di benakku saat melihat wanita itu. Siapa dia sebenarnya?” tanya Qian, berkata dalam hati dengan kaki lanjut berjalan menaiki tangga. “Mari minum, Jeng! Pak Erlanda,” kata Sarina dengan ramahnya. Tias dan Erlanda menganggukkan kepala sambil memperhatikan wanita sopan yang
Qian melanjutkan kaki berjalan keluar dari teras rumah bersama ekspresi datarnya, menyembunyikan rasa senang yang tadi singgah sejenak di hatinya. Lohan tersenyum ringan melihat tingkah adiknya itu yang angkuh. Lohan bergantian memperhatikan Inara, ia juga dibuat terpesona oleh wanita itu. "Dia adik iparmu, Lohan," kata Lohan, berkata dalam hati dan lanjut berjalan memasuki rumah. Masuknya Lohan ke dalam rumah tidak dengan ekspresi sebelumnya, ia tampak menahan kemarahan. Gelagat marahnya itu membuat Sarina berdiri dari dudukannya."Kenapa?" tanya Sarina, sedikit cemas. "Di mana Pak Rinto dan Bi Dini? Mereka yang sudah mengambil perhiasan Mama. CCTV di ruang tamu mereka palsukan dengan bantuan hacker. Mereka sudah menjadikan Inara kambing hitamnya. Kamera tersembunyi aku taruh di kamar mereka karena aku curiga pada mereka. Ternyata dugaanku benar," kata Lohan dengan emosi yang sedikit terlihat di wajahnya. "Mereka? Tidak mungkin." Sarina masih tidak percaya.Lohan merogoh saku ce
Qian dan Lohan duduk berhadapan dalam kesunyian ruangan setelah Qian melayangkan pertanyaan. Ruangan itu milik Qian dan orang yang ajaknya bertemu adalah Lohan, kakak yang diyakini pasti tahu semua yang terjadi beberapa tahun terakhir. “Kamu pasti tahu jawabannya, kan? Hari ini aku mendengarnya kalau aku pernah menikah sebelumnya. Itu benar?” tanya Qian. “Mengapa kamu bertanya padaku? Masih ada Mama dan Papa. Jika kamu tidak bisa mendapatkan jawabannya dari mereka, cari sendiri. Untuk apa juga kamu membahas hal itu? Bukankah kamu tidak menginginkan wanita gila dan bisu itu?” tanya Lohan dengan senyuman remeh dan duduk menyilangkan kaki dengan santainya.“Kamu tau sendiri mereka tidak bisa diandalkan,” balas Qian. “Aku tidak tau. Kalau begitu, aku pergi dulu,” ucap Lohan sambil berdiri dan meningkatkan ruangan itu tanpa memberikan kebenarannya. Tingkah Lohan membuat Qian kesal. Tangannya memukul meja untuk melampiaskan emosionalny
Inara masih belum sadarkan diri setelah mengalami pendarahan. Sarina, Cici, Lohan, dan Qian berdiri mengelilinginya dengan kedua pria itu berdiri berdampingan di sisi kanan ranjang rumah sakit yang ditiduri Inara. Tubuh Inara tersentak kaget. Matanya terbuka dan mendapati samar wajah-wajah orang disekelilingnya hingga akhirnya menatap jelas wajah Qian, orang pertama dalam pandangannya. Perhatiannya beralih pada janin yang ada di perutnya, dengan cepat kedua tangan mendarat di perut itu bersama rasa takut kehilangan janin tersebut. “Dia masih ada. Jangan khawatir,” ucap Lohan. Inara lega. “Apa sebenarnya yang terjadi?” tanya Qian. Inara mengingat kejadian tadi, juga mengingat pembicaraan yang terjadi antara Sarina dan Cici yang membawanya mengarahkan pandangan pada kedua wanita itu dengan wajah sedikit rasa takut. Qian dan Lohan mengarahkan pandangan kepada kedua wanita itu. Sarina dan Cici jadi bingung.“Mengapa kamu menatap kami begitu?” tanya Cici, tersenyum cengengesan. “Kam
Wanita paruh baya itu berdiri sambil menggeram foto yang ada di tangannya, sehingga Qian tidak melihat ada wujud Inara di sana. Wanita itu menatap tajam Qian dan memukul dada pria itu sambil berkata, “Pergi! Dasar orang kaya sombong. Lebih baik kalian musnah dari muka bumi ini.”Perawat yang mengantar Qian memasuki kamar itu, menahan wanita itu untuk tidak bertingkah kasar. “Buk Elmi … tolong tenang. Jangan menyakiti orang, ya?” bujuk perawat itu, tampak akrab dengan tingkah wanita itu. Perawat tersebut membantu wanita paruh baya bernama Elmi itu berdiri. Mengajaknya ke kasur, membaringkannya dan menyuntikkannya cairan penenang, membuat wanita itu tertidur dengan begitu cepat. “Elmi? Jadi, Ibuk, maksudnya wanita itu namanya Elmi?” tanya Qian, merasa sedikit geli membayangkan dirinya menikahi wanita tua. “Iya. Buk Sarina memasukkannya dua tahun lalu. Dia selalu menyebut anaknya, meminta kami untuk menyelamatkan anaknya. Entah apa yang terjadi kepada anaknya, tetapi Bu Sarina bilan
Sarina merasa seseorang berdiri di belakangnya, perlahan ia menoleh ke belakang dan bereaksi kaget saat melihat sang suami berdiri dengan senyuman ringan. Ia berpostur tubuh santai dan berjalan menuju sofa, duduk di sana, sedangkan Irawan melihat sejenak apa yang di diintip oleh istrinya itu. Senyuman terukir di bibir pria paruh baya itu dan menghampiri istrinya, duduk di samping Sarina dan menyandarkan badan pada bahu istrinya itu. “Jangan begini. Malu dilihat anak-anak.” Sarina bersikap dingin karena tidak ingin dipandang lemah, meskipun di hadapan suaminya sendiri. Irawan paham betul dengan istrinya itu, ibarat kerang, di luar keras, di dalam lembek. “Jangan begini terus … kita sudah tua dan harus menghabiskan waktu bersama.” Irawan memeluk sang istri dengan manja. “Ehem!” Qian berdehem dari pintu dapur, membuat mereka berdua duduk tegak. “Sudahlah Ma … Pa … wajar kalian begitu. Tapi, lihat tempat, ya,” celetuk Qian dan berjalan menuju tangga, menaikinya untuk pergi ke kamar u
Sarina berdiri di pintu kamar Qian, memperhatikan Inara dari pintu wanita itu yang terbuka lebar dan menunjukkan ranjang yang dibaringi oleh wanita itu. Lohan dan Ditya ada di sana, mereka menunggu wanita itu siuman dari ketidaksadaran. Pelupuk mata Inara bergerak, lanjut kedua matanya terbuka, menatap loteng kamar dengan rasa nyeri. Ia sedikit berdesis, mengundang perhatian Ditya yang berdiri bersandar di dinding sambil memainkan ponsel dan Lohan duduk di bangku besuk dengan kedua tangan menyilang di dada dan mata dipejam dalam ketenangan kamar itu. “Bagaimana dengan kondisi Qian?” tanya Inara, tidak memikirkan dirinya. Sarina beralih, memantau mereka dari pintu kamar Inara. “Kamu memikirkan orang lain, tetapi meluapkan diri sendiri,” ujar Lohan, tampak kesal. “Ba- bagaimana dengan janinku?” tanya Inara, baru ingat. “Menurutmu?” Perlahan Inara menurun pandangan ke lantai dengan wajah murung, sudah bisa menebak apa yang telah terjadi. Air mata mengalir membasahi pipi dalam kebi
Qian dibuat risau dengan perkataan Cici. Hal lain ditakutkan olehnya, wanita itu dibuat kesulitan oleh sang ibu yang dikenal cukup tidak bertoleransi. Ia bangkit dari kasur sambil menghubungi nomor Lohan, pria yang saat ini berada di ruang rapat. Sambungan telepon dari Qian tidak terdengar oleh pria itu karena berada dalam mode diam.Merasa tidak bisa mengandalkan siapapun, Qian berencana akan menghandle kerisauannya itu sendiri. Ia memutuskan pergi ke rumah sakit sendirian. “Kamu mau ke mana? Jangan bekerja dulu, istirahat saja,” tegur Sarina dengan senyuman yang dijadikan topeng baik di hadapan teman-temannya.Wanita paruh baya itu menegur sang anak yang melewati keberadaannya dan teman-temannya di ruang tamu. Sarina menafsirkan sang anak akan ke kantor karena melihat Qian berada dalam setelah kemeja dan celana hitam panjang, seperti biasa ketika hendak ke kantor. “Hanya sebentar. Jangan khawatir, aku akan ke sana menggunakan taksi,” ucap Qian dan lanjut berjalan meninggalkan rum