Delapan tahun kemudian.
“Uuuu..” Semua orang bersorak, ketika Matt keluar dan hendak memasuki arena.
Ya, Matt memang beberapa kali ikut tinju liar. bukan karena jumlah uang yang di tawarkan, melainkan wanita yang menjadi taruhannya. Dalam pertandingan ini, pemenangnya akan mendapatkan wanita cantik yang duduk di antara juri itu. Si pemenang akan di layani oleh wanita itu hingga bosan.
“Matt, mana wanita yang menjadi taruhan?” Tanya Mike yang ikut berjalan di samping Matt.
“Itu.” Matt menunjuk pada gadis cantik dan sexy yang duduk di bangku paling depan.
“Uuu.. Wow bidadari dari surga.” Ucap Harry yang juga berada di samping Matt.
“Atau mungkin dia lebih cantik dari bidadari yang ada di surga.” Celetuk Mike.
Harry dan Mike menepuk pundak sahabatnya. “Kau pasti menang, Matt.”
Matt menjawab dengan mengangkat ibu jarinya ke atas. Lalu, ia mengedipkan satu matanya saat melewati wanita yang menjadi taruhannya itu.
Kini, Matt tengah berdiri berhadapan dengan lawan, di apit oleh wasit.
“Ladies and gentlement..” kata pria yang juga berdiri di antara Matt, lawannya, dan wasit.
Pria yang bertugas sebagai pembawa acara itu membuka acara pertandingan ini. ia memperkenalkan Matt dengan lawannya.
Setelah acara di buka, wanita yang berbusana setengah telanjang pun mengelilingi arena dengan mengangkat papan yang bertuliskan “Ronde 1”.
“Are you ready?” Tanya wasit pada Matt dan lawannya.
“Ready. Oke.”
Wasit pun mengayunkan tangannya di antara Matt dan lawannya itu.
Keduanya saling pasang kuda-kuda dan berhati-hati menyerang.
Bugh
Matt menyerang lebih dulu, walau belum kena lawannya.
Bugh. Matt mencoba peruntungannya lagi, tapi masih belum kena. Kebetulan Matt pun masih mengeluarkan separuh tenaganya saja. Hitung-hitung pemanasan.
Bugh
Kali ini si lawan yang menyerang. Hingga si lawan mengeluarkan pukulan yang cukup kuat. Namun, Matt tetap bisa menghindar. Dan, seketika Maat langsung membalas pukulan itu.
Bugh
Matt langsung memukul tepat di pipi kanan lawan. Pukulan yang sangat kuat itu, langsung membuat si laan berdarah.
“Uuuuhhh.. Matt, Go Matt! Go!” Ucap Mike dan Harry yang di ikuti pendukung Matt yang lain. Matt memang sering menjadi juara di sini, sehingga ia sudah cukup terkenal di arena liar ini.
Keduanya saling pukul, saling menyerang. Namun, Matt tidak terlihat kepayahan seperti lawannya saat ini. Wajah Matt pun masih bersih, tanpa ada darah yang menghiasi kulit putihnya.
Tring
Wasit menyudahi Matt yang ingin memukul lawannya lagi. Kali ini ia harus kembali beristirahat.
Wanita yang setengah telanjang itu pun kembali berjalan mengelilingi arena dengan mengangkat papan “Ronde 3”.
“Habiskan dia, Matt.” Ucap Mike di telinga sahabatnya itu.
Matt menatap lawannya dengan enyum menyeringai, sementara si lawan menatap Matt dengan tajam. Ia ingat sesaat sebelum pertandinga. Si lawan berkoar-koar akan mematahkan tangan Matt, tapi belum masuk ronde ketiga saja, ia sudah ngos-ngosan melawan pria liar ini.
Bugh
Pukulan trakhir Matt menumbangkan lawan. Pukulan pamungkas yang biasa ia lakukan di detik-detik terakhir, yaitu pukulan paling kuat yang di arahkan pada wajah si lawan, membuat orang itu seketika tumbang.
“One, two, three..” Ucap wasit yang tak melihat si lawan bergerak dan bangkit dari lantai itu.
“Yeay.. The king.”
Wasit dengan cepat mengangat tangan Matt ke atas.
“Uuuuhhhhh..” Sorak semua penonton, termasuk wanita yang menajdi taruhannya itu.
Wanita iu merasa senang bahwa Matt lah yang menang, karena wanita itu pun ingin menjadi alat pemuas Matt. Setiap wanita yang menjadi taruhan di sana pasti merasa bangga, karena wanita yang berhak menjadi taruhan itu bukan wanita sembarangan. Wanita yang di jadikan taruhan di sini rata-rata di ambil dari kalangan artis atau model terknal, anak pengusaha terkenal, atau bahkan dari anak anggota parlemen yang cukup tersohor di negeri ini. Gila memang!
Matt tersenyum licik ke arah wanita itu. wanita iu pun membalas tatapan Matt dengan senyum senang dan ia pun bangun dari duduknya, lalu pergi.
“Wah, aku yakin kau akan menang, Matt.”
Mike, Harry, dan Matt tertawa dan bertos ria.
“Kalau kau bosan, berikan wanita itu padaku.” Ucao Mike.
“Oya, tapi wanita itu yang tidak mau denganmu, Mike.” Celetuk Harry.
Matt kembali tertawa. Mereka kini sudah berada di ruang ganti. Tak lama, seorang wanita masuk ke ruang ganti itu.
Mike dan Harry menatap tak berkedip.
“Oke guys, aku pergi lebih dulu.” Ucap Matt sembari menggandeng pinggang ramping wanita itu.
“Fiuh..Fiuh...” Mike bersiul menatap kepergian sahabatnya yang akan bersenang-senang.
“Harry, saatnya kita yang bersenang-senang.” Kata Mike sembari merangkul Harry dan keluar untuk pergi ke club.
****
Satu bulan sudah Matt di temani oleh wanita yang ia menangkan di arena. Wanita itu tinggal di apartemen Matt. Setelah usia Matt menginjak dua puluh satu tahun, akhirnya ia memilih untuk tinggal di apartemen sendiri. Sementara ibunya tetap tinggal di kediaman Osborne.
Kini, Matt juga sudah mengambil alih bisnis Osborne, walau masih dengan bantuan sang Paman dan sahabatnya. Paman Sam, mengambil juga mengambil alih saham sang kakak. Ia mendapatkan amanat dari sang kakak untuk mengambil alih saham yang ia miliki.
Malam ini, Matt tengah bergelut dengan wanita itu. penyatuan yang sudah kesekian kalinya itu sudah tidak lagi menarik untuk Matt.
“Hmm.. Beib. Faster.." Ucap si wanita itu dengan mata yang sayu.
"Ah, Matt." Abigail terus meracau. Namun, Matt menghiraukan ocehan wanita itu.
Ia mulai tak berselera dengan tubuh yang telah ia gunakan lebih dari satu bulan itu. ia merasa wanita itu tak lagi menarik.
Setelah lama miliknya berada di dalam tubuh wanita itu, Matt belum juga merasakan pelepasan. Padahal wanita itu sudah akan sampai untuk ketiga kalinya. Namun dengan cepat Matt melepas miliknya.
“Ah, shit. Apa yang kau lakukan Matt?” Tanya wanita itu dengan marah. Pasalnya beberapa detik lagi ia akan merasakan pelepasan itu.
“Keluar. Aku bosan denganmu.”
Matt berdiri dan memakai kembali boxernya. Ia berjalan ke arah pintu balkon dan membukanya.
“Matt.”
Wanita itu menghampiri Matt dengan tubuh yang belum memakai pakaiannya. Ia memeluk tubuh kekar Matt dari belakang.
“Pergilah, Abigail. Aku bosan denganmu.”
Matt melepaskan tangan Abigail yang melingkar di perutnya. Ia mengibaskan tangannya tanpa menoleh. Malam ini, ia hanya ingin sendiri.
“Matt. Ah, shit.” Kesal wanita itu.
Ia memakai bajunya sembari menggerutu ke arah Matt yang sama sekali tak menoleh ke arahnya.
Bruk.
Abigail langsung keluar dan membanting pintu itu.Di balkon, Matt memantik korek api eletrik dan mendekatkannya pada rokok yang akan ia hisap. Ia mulai mengebulkan asap itu ke udara yang cukup dingin.
“Matt, kakakmu akan pulang. Ia akan ke sini. Ia sudah punya anak dan seorang istri asal Indonesia.”
Kata-kata dari Paman Sam, terngiang di kepala Matt. David yang terkenal bast*rd, sama seperti dirinya, kini telah memiliki istri dan seorang putra. Sungguh luar biasa. Ia penasaran seperti apa rupa istri sang kakak, yang katanya membuat sang kakak bertekuk lutut, bahkan meninggalkan semua kebiasaan buruknya.
Seperti biasa, Matt duduk di sebuah kursi bar bersama Mike dan Harry. Namun saat ini, Mike tengah asyik di pojokan bersama seorang wanita. Sepertinya ia sedang one night stand di tempat terbuka, karena di club ini, hampir semua orang sedang bercumbu, entah itu dengan pacarnya atau hanya baru bertemu beberapa menit yang lalu.Matt menoleh ke arah Mike. “Kapan dia bertemu wanita itu?"Harry meneguk minuman alkohol yang kadarnya cukup tinggi, mengingat udara London malam ini benar-benar dingin.“Baru satu jam sebelum kau datang.” Jawab Harry.Harry juga pria normal, terkadang ia juga melakukan hal yang sama seperti Mike dan Matt. Namun, Mike dan Matt lebih gila darinya. Jika Mike menggunakan wanita dari kalangan mana saja, berbeda dengan Matt, ia hanya mau dengan wanita yang berkelas.Matt dan Harry sedang asyik menikmati minuman yang membuat suhu tubuh mereka menghangat. Lalu, mereka di kejutkan oleh suara bising, suara riuh seperti
Dor Dor DorMatt sedang berlatih menembak di pekarangan rumahnya. Sudah dua hari, ia pulng ke Villa untuk menemani sang ibu.“Hai, Matt, kau di sini?” Tanya Mike yang langsung menghampiri sahabatya, setelah memarkirkan mobilnya asal.Mike cuek dan tetap memfokuskan diri dengan terus menembakkan peluru ke arah target. Kali ini targetnya adalah botol-botol kaleng yang di letakkannya cukup jauh darinya.DorMatt menumbangkan satu botol kaleng yang tersisa.Prok.. Prok..“Luar biasa, bidikanmu semakin oke.” Kata Mike.Kemudian, Matt melepaskan semua atribut menebaknya dan meminum botol bir yang tersedia di meja santai.“Aku membawa kabar, kakakmu akan datang ke sini minggu depan.” Ucap Mike yang kini menjadi asisten pribadi Matt di perusahaan ayahnya.Hari ini, Matt memang tidak ke kantor. Ia ingin menemani sang ibu yang terus merengek minta untuk tidak di tinggalkan. Oleh karenanya
"Matt.” Panggil Mike yang melihat sahabatnya terus menegukkan minuman ke tenggorokan.“Jangan mabuk, Matt!”Harry pun memperingatkan sahabatnya itu. Pasalnya Matt pria paling ribet jika mabuk, ia akan banyak bicara dan sangat menyusahkan.“No, aku tidak mabuk.” Ucap Matt.“Kau memang tidak boleh mabuk. Bukankah malam ini, kau ingin ke rumah besar keluarga Osborne?” Tanya Mike.Mereka berbicara dalam bahasa Inggris.“Hmm.” Jawab Matt singkat.Ia memang belum mabuk sepenuhnya, hanya sedikit berat di bagian kepala.“Sepertinya, kau mabuk Matt. Lebih baik kau ke apartemenku.” Kata Harry yang kini sudah menjadi dosen di sebuah universitas ternama di London.Pria berkacamata itu hendak membantu Matt untuk berdiri.“Come on, Harry. Aku tidak mabuk.” Kata Matt yang berdiri sendiri saja sampai terjatuh-jatuh.“Seperti ini kau bilang
Sejak semalam, kedua mata Matt tak bisa di pejamkan. Sosok wajah Nina selalu membayangi pikirannya. Entah mengapa, gadis itu mampu mmbuatnya tertarik, padahal perawakan Nina sangat jauh wanita-wanita yang selama ini mengisi waktu luang Matt.Matthew menginap di rumah besar keluarga Osborne bersama David dan keluarganya. Ia bangun, lalu membuka jendela kamar. Matanya berkeliling menikmati matahari yang bersinar dan hamparan bunga serta rumput yang tertata rapih di halaman belakang rumah itu. Halaman belakang yang luas seperti sebuah taman.Kemudian, mata Matt terdiam lama pada sosok wanita yang dari semalam wajahnya berseliweran dalam pikiran. Gadis itu terlihat sedang menyuapi bayi berusia sembilan bulan. Matt tersenyum sambil bersidekap memegang dagunya. Ia melihat senyum yang tulus dari seorang pengasuh. Melvin yang tengah duduk di stroler itu pun tertawa bersama pengasuhnya sambil menikmati sarapan pagi.Matt bergegas memakai pakaiannya. Ia turun dan menghamp
“Hai, Matt.” Sapa Harry yang langsung duduk di sebelah Matt.“Musim panas nanti, kau akan kemana?” Tanya Harry.Matt menggeleng. “Belum terpikir.”“Bagaimana jika kita berkeliling Asia.” Ucap Mike sembari merangkul kedua sahabatnya yang tengah duduk di meja bar.“Setuju.” Ucap Harry.“Bagaimana denganmu?” Tanya Mike pada Matt.“Ide bagus.”“Aku penasaran dengan wanita Asia.” Kata Mike.“Thailand.” Kata Mike lagi. “Wanita di sana berkulit eksotik dan berbadan sekal.”“Korea.” Sahut Harry. “Aku suka mereka yang berkulit putih bersih.”“Kau Matt?” Tanya Mike dan Harry sembari menggoyangkan tubuh sahabatnya itu.Seketika Matt terbayang wajah Nina, membuatnya terdiam sesaat sambil tetap memutar ujung gelas yang ada di depannya.“Matt.”
Perlahan, wanita itu terbangun. Kepalanya sangat berat. Ia terkejut dan mengecek dirinya.“Ah, pakaianku masih utuh.” Gumamnya.‘Aku bukan pria yang memanfaatkan wanita yang sedang mabuk berat.” Suara itu muncul di hadapannya.“Kau.” Wanita itu mencoba mengingat apa yang terjadi semalam.“Kau berhutang padaku. Kau kalah dan harus menemaniku tidur selama satu bulan.” Ucap Matt sembari mendaratkan dirinya di samping wanita itu.Wanita itu masih diam.“Mattew, biasa di panggil Matt.” Matt mengulurkan tangannya di hadapan wanita itu.“Lyra.” Wanita itu membalas uluran tangan Matt.Matt tersenyum. “Well, apa aktifitasmu?”“Aku mahasiswa di Universitas XX.”Matt terus memperhatikan wajah wanita itu. Mat, hidung, dan bibirnya sama persis dengan yang di miliki Nina.“Sorenya, aku bekerja part time di sebuah cafe.&r
Keesokan harinya, sepulang dari kantor, Matt sengaja mampir ke kediaman Osborne. Entah mengapa ia pun merasakan kehangatan keluarga itu.“Hai, ada perayaan tak mengundangku. Kejam sekali kau, Kak.” Ucap Mat yang tiba-tiba datang.“Aku ingin mengundangmu, tapi sepertinya kau sibuk.” Jawab David santai.“Aku tidak sibuk, jika untuk urusan keluarga. Keluarga nomor satu, bukan begitu?”Sejak kepergian ibunya, Matt merasa sangat kesepian. Walau sebelumnya pun, ia sudah merasa kesepian. Ia ingin seperti kakaknya dan memiliki keluarga.Matt menghampiri Nina yang berada di dapur. Ia pun melihat seorang pria yang menemani gadis itu di sini. Dia adalah Ardi, Ardiansyah Nugroho, adik dari Sari yang sedang menempuh pendidikan militer, tapi kali ini ia sedang libur sehingga bisa bersama keluarganya berlibur.“Hai cantik. Ini kamu yang membuat? Hmm.. manis, sama sepertimu.” Matt meneguk minuman dingin berwar
Matt sudah memulai belajar bahasa Indonesia dengan Lyra. Di setiap weekend Matt tidak lagi pergi ke club dan bermain wanita. Ia lebih memilih di apartemen bersama Lyra seharian. Lyra wanita yang cukup menyenangkan, tapi entah mengapa Matt tidak memiliki perasaan apapun padanya, justru perasaan ingin menjaga wanita itu lebih besar. Mungkin insting Matt yang sejak dulu ingin sekali memiliki adik perempuan pun timbul.“Apa Ini? Jawab aku dengan bahasa Indonesia.” Kata Lyra menggunakan bahasa Inggris.“Kursi.” Jawab Matt.“Ini?” Tanya Lyra menunjuk benda yang ada di sekitarnya.“Lemari.”“Bola.”“Gelas.”“Sendok.”“Garpu.”“Pisau.”Lyra terus menunjuk beberapa benda di sana dan Matt dengan cepat menjawab semua benda yang Lyra tunjuk dengan menggunakan bahasa Indonesia.“That’s good.” Lyr
Matt dan Nina berada di dalam mobil. Mereka hendak pergi ke Bandung untuk menemui orang tua dan keluarga Nina yag berada di desa itu.Sesekali Nina melirik ke arah Matt yang serius menyetir. Matt pun ikut melirik ke arah Nina, sesaat mereka saling berpandangan dan tersenyum.“Kenapa?” tanya Matt.Nina menggeleng. “Ngga apa-apa.”Matt mengeryitkan dahinya.“Aku tuh suka takut sama pria yang bertato.” Ucap Nina yang memang selalu melihat ke arah leher Matt yang terdapat garis berbentuk Z.“Keluargamu juga takut dengan pria bertato sepertiku?” tanya Matt.Nina mengangguk, tapi tetap tersenyum.“Tidak semua pria bertato itu jahat, Sayang,” ucap Matt.“Iya, tapi di tempatku itu desa banget. Tidak modern dan pastinya kamu adalah orang asing yang baru datang di desaku.”“Oh ya? Pasti seru,” ucap Matt santai.“Bye the way, kit
Pagi ini Dinda bersiap untuk kembali ke Bali. Ia tak melihat Tristan sejak semalam. Entah pamannya itu marah atau tidak padany, ia tak peduli. Untung, hari ini ia akan kembali ke Bali dan tak melihat pamannya lagi.“Ma, Tristan sudah berangkat?” tanya Melati pada ibunya saat di meja makan.“Sudah, dia berangkat dengan penerbangan paling pagi,” jawab Nenek Dinda.“Oh.”“Memang Om Trsitan kemana, Ma?” tanya Dinda ingin tahu..“Om mu sudah berangkat lagi ke Australia. Ternyata kantor pusatnya di sana, menarik dia kembali ke sana, karena teman yang menggantikan posisinya di sana kecelakaan,” jawab Kakek Dinda.Tristan memang berkuliah di Australia dan mendapatkan pekerjaan di sana. Sudah cukup lama Tristan bekerja di negara itu, hingga mendapatkan posisi yang bagus. Pernah ia mencoba untuk berhenti dari pekerjaannya dan ingin menetap di Malang saat Dinda lulus SMA, tapi akhirnya Tristan
Matt mengendarai mobilnya hingga sampai di halaman rumah sang kakak. Di sana, sudah terlihat mobil David yang terparkir. Matt masih tersenyum mengingat betapa anehnya wanita yang baru saja ia antar pulang dari bandara.Setelah mematikan mesin mobil, Matt keluar dan mendapati Nina tengah bermain bersama Melvin dan Quinza di halaman rumah itu.“Melvin mana ya.. Quinza cantik.” Nina di tutup kedua matanya dengan kain dan berusaha menangkap Melvin dan Quinza yang sedang berlarian mengelilinginya.Matt tersenyum ke arah gadis lembut itu.“Ssstt.” Matt menutup bibirnya dengan jari telunjuk ke arah Melvin dan Quinza.Melvin dan Quinza hanya tertawa cekikikan tanpa suara, pasalnya Matt sengaja berjongkok agar Nina mengira bahwa dirinya adalah Melvin.“Nah, ya. Melvin ke tangkepetangkep.” Nina memeluk kepala Matt yang ia kira adalah Melvin.Matt merasa di atas angin, karena Nina memeluknya kepalanya erat sam
Dinda masih belum pulang ke Bali. Ia meminta izin pada Tasya dan rekan-rekannya yang ada di sana untuk bermalam dua hari lagi di Jakarta, karena hari ini ia mengantarkan Ardi untuk berangkat ke Florida.“Matt, Supir Mas David tidak bisa ke sini karena sedang mengantarkan klien. Bisakah kau mengantarku untuk mengantarkan Ardi ke bandara?” tanya kakak iparnya.Matt mengangguk. “Apa Nina juga ikut?”Sari menggeleng. “Dia menjaga anak-anak saja di rumah, sekalian memberi arahan pada pengasuh baru yang akan menggantinya nanti.”Matt kembali menganggukkan kepalanya.Tak lama kemudian, Matt mengganti baju dan bersiap untuk mengantarkan Sari menjemput keluarganya di Panti asuhan, lalu mengantar Ardi ke Bandara. Sementara di tempat yang berbeda, Dinda pun bersiap ke Bandara untuk melepas kekasihnya di sana.“Din, Mama tidak bisa menemanimu ke Bandara, karena mendadak mama harus menemani papa, saudara jauh pap
David beserta istri dan anaknya melajukan mobil menuju Panti asuhan milik ibu David yang kini di kelola oleh orang tua Sari. sedangkan Matt, mengikuti mobil sang kakak bersama Nina.“Rumahmu di mana Nin?” tanya Matt pada Nina, kerena di mobil ini hanya ada mereka berdua.“Di Bandung. Tapi di Desanya.”“Bandung itu di mana?” tanya Matt lagi.“Di Jawa Barat, tempatnya sejuk. Nanti akan aku ajak kamu ke sana.”“Boleh, kapan?”“Apanya?” Nina tadi yang mengajak Matt ke kampungnya, tapi dia juga yang bingung jika ternyata Matt benar-benar akan datang ke sana. Pasalnya tadi, Nina hanya sekedar berbasa basi.“Ke rumahmu.”“Untuk apa?” tanya Nina.“Bertemu keluargamu.”“Untuk apa?” tanya Nina lagi.“Kamu maunya untuk apa? Melamar?” Matt tersenyum jahil.Sontak Nina terkejut. Seda
Dinda bersama kedua orang tua dan Kakek Neneknya sedang menikmati makan malam.“Berapa lama kamu di Bali, Din?” tanya Baskoro, Kakek Dinda.“Kalau cepat dua tahun, Opa,” jawab Dinda.“Semoga cepat selesai ya, sayang. Terus kamu visa praktek di sini,” imbuh Risma, Nenek Dinda.“Belum, Oma. Perjalanan Dinda masih jauh kalau ingin praktek. Dinda belum ikut tes Ujian Kompetensi Dokter Indonesia. Setelah mendapatkan itu, baru Dinda bisa praktek dan benar-benar menjadi dokter,” jawab Dinda.“Memang untuk meraih cita-cita itu harus sabar dan penuh perjuangan, Din,” kata Wisnu, Ayah Dinda.Sejak kecil, ia memang ingin sekali menjadi seorang dokter. Dulu, ia sering main dokter-dokteran dengan sang paman dan beberapa kali Tristan meminta di periksa alat vitalnya kala itu. Dinda yang masih kecil pun hanya memegang dan memijat seperti arahan sang paman tanpa mengerti maksudnya.Tak lama
"Matt.” David memeluk tubuh sang adik, saat Matt sudah berada di depan rumah minimalis itu.“Hai, Matt.” Sapa Sari, istri David.“Hai.” Matt memeluk sang kakak dan menyalami istrinya.“Mana keponakanku.”“Uncle.” Melvin dan Quinza berlari ke arah pamannya.Matt langsung membentangkan kedua tangannya dan berjongkok untuk memeluk kedua keponakannya yang ganteng dan cantik itu.Matt mencium Melvin dan bergantian pada Quinza. Matt menggendong anak perempuan sang kakak.“Quinza, makin cantik saja kamu,” kata Matt sembari menciumi wajah anak perempuan David dan Sari.“Stop, jangan kau ciumi terus anak perempuanku. Nanti kau menyukainya,” kata David.“Apa aku gila? Menyukai keponakan sendiri.” Jawab Matt sambil berjalan ke dalam rumah minimalis tapi tetap mewah itu.“Zaman sekarang memang sudah gila, Matt. Bahkan ada ayah yang
Keeseokan harinya, Matt sudah siap untuk berangkat ke Bandara. Ia di antar oleh Mike. Kali ini, ia tak di temani oleh sahabatnya, karena Mike menggantikan dirinya untuk menghandle pekerjaan selama ia pergi ke Jakarta.“Kau langsung akan menikahinya?” tanya Mike.“Kalau itu tidak mungkin Mike. Aku saja tidak tahu apa dia menyukaiku atau tidak,” jawab Matt saat mereka berjalan beriringan dan memasuki bandara I Gusti Ngurah Rai.“Hei tidak biasanya kau pesimis seperti ini. Mana Matthew si penakluk wanita yang aku kenal,” ledek Mike, membuat Matt tertawa.“Mungkin itu berlaku di tempatku.”Mike tertawa. “Jago kandang.”Matt ikut tertawa.“Tapi ku lihat, kau sekarang terlalu pemilih, Bro.” Mike menghentikan kakinya, karena ia hanya bisa mengantar sahabatnya sampai di sini.“Mungkin ini karena aku terlalu terobsesi untuk menggapai cintaku, sehingga aku tida
Din, kita jadi ke Mall?” tanya Tasya.“Iya, jadi.” Dinda merapihkan peralatan medisnya, karena waktu bertugas mereka telah selesai.“Bokap lu udah transfer?” tanya Tasya.Lama berteman dengan Tasya membuat logat Jawa Dinda memudar, karena walau mereka tinggal di Surabaya, tetapi mahasiswa yang berasal dari jakarta sangat banyak.“Udah.”Dinda dan Tasya langsung menuju kota sebelum matahari tenggelam. Mereka menaiki taksi setelah berada di jalan raya.“Stop.” Tasya melambaikan tangannya pada mobil berwarna biru itu.Mereka pun membuka pintu mobil dan masuk.“Ke Mall xxx ya pak,” kata Dinda.“Itu di mana ya, Mba? Maaf saya baru ada di Bali, jadi masih belum tau jalan.”Dinda dan Tasya menghelakan nafasnya.“Ya udah, gue buka google map dulu,” kata Dinda. Lalu, mereka jalan.Di dalam mobil, Dinda dan Tasya merasa k