Keeseokan harinya, Matt sudah siap untuk berangkat ke Bandara. Ia di antar oleh Mike. Kali ini, ia tak di temani oleh sahabatnya, karena Mike menggantikan dirinya untuk menghandle pekerjaan selama ia pergi ke Jakarta.
“Kau langsung akan menikahinya?” tanya Mike.
“Kalau itu tidak mungkin Mike. Aku saja tidak tahu apa dia menyukaiku atau tidak,” jawab Matt saat mereka berjalan beriringan dan memasuki bandara I Gusti Ngurah Rai.
“Hei tidak biasanya kau pesimis seperti ini. Mana Matthew si penakluk wanita yang aku kenal,” ledek Mike, membuat Matt tertawa.
“Mungkin itu berlaku di tempatku.”
Mike tertawa. “Jago kandang.”
Matt ikut tertawa.
“Tapi ku lihat, kau sekarang terlalu pemilih, Bro.” Mike menghentikan kakinya, karena ia hanya bisa mengantar sahabatnya sampai di sini.
“Mungkin ini karena aku terlalu terobsesi untuk menggapai cintaku, sehingga aku tida
"Matt.” David memeluk tubuh sang adik, saat Matt sudah berada di depan rumah minimalis itu.“Hai, Matt.” Sapa Sari, istri David.“Hai.” Matt memeluk sang kakak dan menyalami istrinya.“Mana keponakanku.”“Uncle.” Melvin dan Quinza berlari ke arah pamannya.Matt langsung membentangkan kedua tangannya dan berjongkok untuk memeluk kedua keponakannya yang ganteng dan cantik itu.Matt mencium Melvin dan bergantian pada Quinza. Matt menggendong anak perempuan sang kakak.“Quinza, makin cantik saja kamu,” kata Matt sembari menciumi wajah anak perempuan David dan Sari.“Stop, jangan kau ciumi terus anak perempuanku. Nanti kau menyukainya,” kata David.“Apa aku gila? Menyukai keponakan sendiri.” Jawab Matt sambil berjalan ke dalam rumah minimalis tapi tetap mewah itu.“Zaman sekarang memang sudah gila, Matt. Bahkan ada ayah yang
Dinda bersama kedua orang tua dan Kakek Neneknya sedang menikmati makan malam.“Berapa lama kamu di Bali, Din?” tanya Baskoro, Kakek Dinda.“Kalau cepat dua tahun, Opa,” jawab Dinda.“Semoga cepat selesai ya, sayang. Terus kamu visa praktek di sini,” imbuh Risma, Nenek Dinda.“Belum, Oma. Perjalanan Dinda masih jauh kalau ingin praktek. Dinda belum ikut tes Ujian Kompetensi Dokter Indonesia. Setelah mendapatkan itu, baru Dinda bisa praktek dan benar-benar menjadi dokter,” jawab Dinda.“Memang untuk meraih cita-cita itu harus sabar dan penuh perjuangan, Din,” kata Wisnu, Ayah Dinda.Sejak kecil, ia memang ingin sekali menjadi seorang dokter. Dulu, ia sering main dokter-dokteran dengan sang paman dan beberapa kali Tristan meminta di periksa alat vitalnya kala itu. Dinda yang masih kecil pun hanya memegang dan memijat seperti arahan sang paman tanpa mengerti maksudnya.Tak lama
David beserta istri dan anaknya melajukan mobil menuju Panti asuhan milik ibu David yang kini di kelola oleh orang tua Sari. sedangkan Matt, mengikuti mobil sang kakak bersama Nina.“Rumahmu di mana Nin?” tanya Matt pada Nina, kerena di mobil ini hanya ada mereka berdua.“Di Bandung. Tapi di Desanya.”“Bandung itu di mana?” tanya Matt lagi.“Di Jawa Barat, tempatnya sejuk. Nanti akan aku ajak kamu ke sana.”“Boleh, kapan?”“Apanya?” Nina tadi yang mengajak Matt ke kampungnya, tapi dia juga yang bingung jika ternyata Matt benar-benar akan datang ke sana. Pasalnya tadi, Nina hanya sekedar berbasa basi.“Ke rumahmu.”“Untuk apa?” tanya Nina.“Bertemu keluargamu.”“Untuk apa?” tanya Nina lagi.“Kamu maunya untuk apa? Melamar?” Matt tersenyum jahil.Sontak Nina terkejut. Seda
Dinda masih belum pulang ke Bali. Ia meminta izin pada Tasya dan rekan-rekannya yang ada di sana untuk bermalam dua hari lagi di Jakarta, karena hari ini ia mengantarkan Ardi untuk berangkat ke Florida.“Matt, Supir Mas David tidak bisa ke sini karena sedang mengantarkan klien. Bisakah kau mengantarku untuk mengantarkan Ardi ke bandara?” tanya kakak iparnya.Matt mengangguk. “Apa Nina juga ikut?”Sari menggeleng. “Dia menjaga anak-anak saja di rumah, sekalian memberi arahan pada pengasuh baru yang akan menggantinya nanti.”Matt kembali menganggukkan kepalanya.Tak lama kemudian, Matt mengganti baju dan bersiap untuk mengantarkan Sari menjemput keluarganya di Panti asuhan, lalu mengantar Ardi ke Bandara. Sementara di tempat yang berbeda, Dinda pun bersiap ke Bandara untuk melepas kekasihnya di sana.“Din, Mama tidak bisa menemanimu ke Bandara, karena mendadak mama harus menemani papa, saudara jauh pap
Matt mengendarai mobilnya hingga sampai di halaman rumah sang kakak. Di sana, sudah terlihat mobil David yang terparkir. Matt masih tersenyum mengingat betapa anehnya wanita yang baru saja ia antar pulang dari bandara.Setelah mematikan mesin mobil, Matt keluar dan mendapati Nina tengah bermain bersama Melvin dan Quinza di halaman rumah itu.“Melvin mana ya.. Quinza cantik.” Nina di tutup kedua matanya dengan kain dan berusaha menangkap Melvin dan Quinza yang sedang berlarian mengelilinginya.Matt tersenyum ke arah gadis lembut itu.“Ssstt.” Matt menutup bibirnya dengan jari telunjuk ke arah Melvin dan Quinza.Melvin dan Quinza hanya tertawa cekikikan tanpa suara, pasalnya Matt sengaja berjongkok agar Nina mengira bahwa dirinya adalah Melvin.“Nah, ya. Melvin ke tangkepetangkep.” Nina memeluk kepala Matt yang ia kira adalah Melvin.Matt merasa di atas angin, karena Nina memeluknya kepalanya erat sam
Pagi ini Dinda bersiap untuk kembali ke Bali. Ia tak melihat Tristan sejak semalam. Entah pamannya itu marah atau tidak padany, ia tak peduli. Untung, hari ini ia akan kembali ke Bali dan tak melihat pamannya lagi.“Ma, Tristan sudah berangkat?” tanya Melati pada ibunya saat di meja makan.“Sudah, dia berangkat dengan penerbangan paling pagi,” jawab Nenek Dinda.“Oh.”“Memang Om Trsitan kemana, Ma?” tanya Dinda ingin tahu..“Om mu sudah berangkat lagi ke Australia. Ternyata kantor pusatnya di sana, menarik dia kembali ke sana, karena teman yang menggantikan posisinya di sana kecelakaan,” jawab Kakek Dinda.Tristan memang berkuliah di Australia dan mendapatkan pekerjaan di sana. Sudah cukup lama Tristan bekerja di negara itu, hingga mendapatkan posisi yang bagus. Pernah ia mencoba untuk berhenti dari pekerjaannya dan ingin menetap di Malang saat Dinda lulus SMA, tapi akhirnya Tristan
Matt dan Nina berada di dalam mobil. Mereka hendak pergi ke Bandung untuk menemui orang tua dan keluarga Nina yag berada di desa itu.Sesekali Nina melirik ke arah Matt yang serius menyetir. Matt pun ikut melirik ke arah Nina, sesaat mereka saling berpandangan dan tersenyum.“Kenapa?” tanya Matt.Nina menggeleng. “Ngga apa-apa.”Matt mengeryitkan dahinya.“Aku tuh suka takut sama pria yang bertato.” Ucap Nina yang memang selalu melihat ke arah leher Matt yang terdapat garis berbentuk Z.“Keluargamu juga takut dengan pria bertato sepertiku?” tanya Matt.Nina mengangguk, tapi tetap tersenyum.“Tidak semua pria bertato itu jahat, Sayang,” ucap Matt.“Iya, tapi di tempatku itu desa banget. Tidak modern dan pastinya kamu adalah orang asing yang baru datang di desaku.”“Oh ya? Pasti seru,” ucap Matt santai.“Bye the way, kit
Di inggris, seorang pria berusia delapan belas tahun sedang menangis tersedu-sedu di pusaran makam sang ayah. Ia merupakan anak dari hasil perselingkuhan antara sang milyarder dengan mantan kekasihnya yang bernama Caroline.Pria yang baru beranjak dewasa ini, masih menangis sembari berjongkok. Sedangkan sang ibu hanya berdiri di belakangnya.“Dad, mengapa kau begitu cepat meninggalkanku?” (dalam bahasa inggris)Pria itu bernama Mattew Osborne. Sang ayah mengalami kecelakan tunggal saat bersama ibunya atau sang GranMa. Mattew dan Caroline baru bisa mengujungi makam sang ayah, setelah keluarga Osborne benar-benar pergi.“Bagaimana aku menjalani hidup ini tanpamu, Dad.” Ucap Matt menangis.Kakak lelaki Matt yang bernama David sudah pulang lebih dulu bersama rombongan keluarga besar Osborne yang lainnya. Sejak kecil David tidak pernah tahu bahwa sang ayah yang baru saja tiada ini telah menikah lagi bahkan memiliki seorang anak.
Matt dan Nina berada di dalam mobil. Mereka hendak pergi ke Bandung untuk menemui orang tua dan keluarga Nina yag berada di desa itu.Sesekali Nina melirik ke arah Matt yang serius menyetir. Matt pun ikut melirik ke arah Nina, sesaat mereka saling berpandangan dan tersenyum.“Kenapa?” tanya Matt.Nina menggeleng. “Ngga apa-apa.”Matt mengeryitkan dahinya.“Aku tuh suka takut sama pria yang bertato.” Ucap Nina yang memang selalu melihat ke arah leher Matt yang terdapat garis berbentuk Z.“Keluargamu juga takut dengan pria bertato sepertiku?” tanya Matt.Nina mengangguk, tapi tetap tersenyum.“Tidak semua pria bertato itu jahat, Sayang,” ucap Matt.“Iya, tapi di tempatku itu desa banget. Tidak modern dan pastinya kamu adalah orang asing yang baru datang di desaku.”“Oh ya? Pasti seru,” ucap Matt santai.“Bye the way, kit
Pagi ini Dinda bersiap untuk kembali ke Bali. Ia tak melihat Tristan sejak semalam. Entah pamannya itu marah atau tidak padany, ia tak peduli. Untung, hari ini ia akan kembali ke Bali dan tak melihat pamannya lagi.“Ma, Tristan sudah berangkat?” tanya Melati pada ibunya saat di meja makan.“Sudah, dia berangkat dengan penerbangan paling pagi,” jawab Nenek Dinda.“Oh.”“Memang Om Trsitan kemana, Ma?” tanya Dinda ingin tahu..“Om mu sudah berangkat lagi ke Australia. Ternyata kantor pusatnya di sana, menarik dia kembali ke sana, karena teman yang menggantikan posisinya di sana kecelakaan,” jawab Kakek Dinda.Tristan memang berkuliah di Australia dan mendapatkan pekerjaan di sana. Sudah cukup lama Tristan bekerja di negara itu, hingga mendapatkan posisi yang bagus. Pernah ia mencoba untuk berhenti dari pekerjaannya dan ingin menetap di Malang saat Dinda lulus SMA, tapi akhirnya Tristan
Matt mengendarai mobilnya hingga sampai di halaman rumah sang kakak. Di sana, sudah terlihat mobil David yang terparkir. Matt masih tersenyum mengingat betapa anehnya wanita yang baru saja ia antar pulang dari bandara.Setelah mematikan mesin mobil, Matt keluar dan mendapati Nina tengah bermain bersama Melvin dan Quinza di halaman rumah itu.“Melvin mana ya.. Quinza cantik.” Nina di tutup kedua matanya dengan kain dan berusaha menangkap Melvin dan Quinza yang sedang berlarian mengelilinginya.Matt tersenyum ke arah gadis lembut itu.“Ssstt.” Matt menutup bibirnya dengan jari telunjuk ke arah Melvin dan Quinza.Melvin dan Quinza hanya tertawa cekikikan tanpa suara, pasalnya Matt sengaja berjongkok agar Nina mengira bahwa dirinya adalah Melvin.“Nah, ya. Melvin ke tangkepetangkep.” Nina memeluk kepala Matt yang ia kira adalah Melvin.Matt merasa di atas angin, karena Nina memeluknya kepalanya erat sam
Dinda masih belum pulang ke Bali. Ia meminta izin pada Tasya dan rekan-rekannya yang ada di sana untuk bermalam dua hari lagi di Jakarta, karena hari ini ia mengantarkan Ardi untuk berangkat ke Florida.“Matt, Supir Mas David tidak bisa ke sini karena sedang mengantarkan klien. Bisakah kau mengantarku untuk mengantarkan Ardi ke bandara?” tanya kakak iparnya.Matt mengangguk. “Apa Nina juga ikut?”Sari menggeleng. “Dia menjaga anak-anak saja di rumah, sekalian memberi arahan pada pengasuh baru yang akan menggantinya nanti.”Matt kembali menganggukkan kepalanya.Tak lama kemudian, Matt mengganti baju dan bersiap untuk mengantarkan Sari menjemput keluarganya di Panti asuhan, lalu mengantar Ardi ke Bandara. Sementara di tempat yang berbeda, Dinda pun bersiap ke Bandara untuk melepas kekasihnya di sana.“Din, Mama tidak bisa menemanimu ke Bandara, karena mendadak mama harus menemani papa, saudara jauh pap
David beserta istri dan anaknya melajukan mobil menuju Panti asuhan milik ibu David yang kini di kelola oleh orang tua Sari. sedangkan Matt, mengikuti mobil sang kakak bersama Nina.“Rumahmu di mana Nin?” tanya Matt pada Nina, kerena di mobil ini hanya ada mereka berdua.“Di Bandung. Tapi di Desanya.”“Bandung itu di mana?” tanya Matt lagi.“Di Jawa Barat, tempatnya sejuk. Nanti akan aku ajak kamu ke sana.”“Boleh, kapan?”“Apanya?” Nina tadi yang mengajak Matt ke kampungnya, tapi dia juga yang bingung jika ternyata Matt benar-benar akan datang ke sana. Pasalnya tadi, Nina hanya sekedar berbasa basi.“Ke rumahmu.”“Untuk apa?” tanya Nina.“Bertemu keluargamu.”“Untuk apa?” tanya Nina lagi.“Kamu maunya untuk apa? Melamar?” Matt tersenyum jahil.Sontak Nina terkejut. Seda
Dinda bersama kedua orang tua dan Kakek Neneknya sedang menikmati makan malam.“Berapa lama kamu di Bali, Din?” tanya Baskoro, Kakek Dinda.“Kalau cepat dua tahun, Opa,” jawab Dinda.“Semoga cepat selesai ya, sayang. Terus kamu visa praktek di sini,” imbuh Risma, Nenek Dinda.“Belum, Oma. Perjalanan Dinda masih jauh kalau ingin praktek. Dinda belum ikut tes Ujian Kompetensi Dokter Indonesia. Setelah mendapatkan itu, baru Dinda bisa praktek dan benar-benar menjadi dokter,” jawab Dinda.“Memang untuk meraih cita-cita itu harus sabar dan penuh perjuangan, Din,” kata Wisnu, Ayah Dinda.Sejak kecil, ia memang ingin sekali menjadi seorang dokter. Dulu, ia sering main dokter-dokteran dengan sang paman dan beberapa kali Tristan meminta di periksa alat vitalnya kala itu. Dinda yang masih kecil pun hanya memegang dan memijat seperti arahan sang paman tanpa mengerti maksudnya.Tak lama
"Matt.” David memeluk tubuh sang adik, saat Matt sudah berada di depan rumah minimalis itu.“Hai, Matt.” Sapa Sari, istri David.“Hai.” Matt memeluk sang kakak dan menyalami istrinya.“Mana keponakanku.”“Uncle.” Melvin dan Quinza berlari ke arah pamannya.Matt langsung membentangkan kedua tangannya dan berjongkok untuk memeluk kedua keponakannya yang ganteng dan cantik itu.Matt mencium Melvin dan bergantian pada Quinza. Matt menggendong anak perempuan sang kakak.“Quinza, makin cantik saja kamu,” kata Matt sembari menciumi wajah anak perempuan David dan Sari.“Stop, jangan kau ciumi terus anak perempuanku. Nanti kau menyukainya,” kata David.“Apa aku gila? Menyukai keponakan sendiri.” Jawab Matt sambil berjalan ke dalam rumah minimalis tapi tetap mewah itu.“Zaman sekarang memang sudah gila, Matt. Bahkan ada ayah yang
Keeseokan harinya, Matt sudah siap untuk berangkat ke Bandara. Ia di antar oleh Mike. Kali ini, ia tak di temani oleh sahabatnya, karena Mike menggantikan dirinya untuk menghandle pekerjaan selama ia pergi ke Jakarta.“Kau langsung akan menikahinya?” tanya Mike.“Kalau itu tidak mungkin Mike. Aku saja tidak tahu apa dia menyukaiku atau tidak,” jawab Matt saat mereka berjalan beriringan dan memasuki bandara I Gusti Ngurah Rai.“Hei tidak biasanya kau pesimis seperti ini. Mana Matthew si penakluk wanita yang aku kenal,” ledek Mike, membuat Matt tertawa.“Mungkin itu berlaku di tempatku.”Mike tertawa. “Jago kandang.”Matt ikut tertawa.“Tapi ku lihat, kau sekarang terlalu pemilih, Bro.” Mike menghentikan kakinya, karena ia hanya bisa mengantar sahabatnya sampai di sini.“Mungkin ini karena aku terlalu terobsesi untuk menggapai cintaku, sehingga aku tida
Din, kita jadi ke Mall?” tanya Tasya.“Iya, jadi.” Dinda merapihkan peralatan medisnya, karena waktu bertugas mereka telah selesai.“Bokap lu udah transfer?” tanya Tasya.Lama berteman dengan Tasya membuat logat Jawa Dinda memudar, karena walau mereka tinggal di Surabaya, tetapi mahasiswa yang berasal dari jakarta sangat banyak.“Udah.”Dinda dan Tasya langsung menuju kota sebelum matahari tenggelam. Mereka menaiki taksi setelah berada di jalan raya.“Stop.” Tasya melambaikan tangannya pada mobil berwarna biru itu.Mereka pun membuka pintu mobil dan masuk.“Ke Mall xxx ya pak,” kata Dinda.“Itu di mana ya, Mba? Maaf saya baru ada di Bali, jadi masih belum tau jalan.”Dinda dan Tasya menghelakan nafasnya.“Ya udah, gue buka google map dulu,” kata Dinda. Lalu, mereka jalan.Di dalam mobil, Dinda dan Tasya merasa k