Matt sudah memulai belajar bahasa Indonesia dengan Lyra. Di setiap weekend Matt tidak lagi pergi ke club dan bermain wanita. Ia lebih memilih di apartemen bersama Lyra seharian. Lyra wanita yang cukup menyenangkan, tapi entah mengapa Matt tidak memiliki perasaan apapun padanya, justru perasaan ingin menjaga wanita itu lebih besar. Mungkin insting Matt yang sejak dulu ingin sekali memiliki adik perempuan pun timbul.
“Apa Ini? Jawab aku dengan bahasa Indonesia.” Kata Lyra menggunakan bahasa Inggris.
“Kursi.” Jawab Matt.
“Ini?” Tanya Lyra menunjuk benda yang ada di sekitarnya.
“Lemari.”
“Bola.”
“Gelas.”
“Sendok.”
“Garpu.”
“Pisau.”
Lyra terus menunjuk beberapa benda di sana dan Matt dengan cepat menjawab semua benda yang Lyra tunjuk dengan menggunakan bahasa Indonesia.
“That’s good.” Lyra tersenyum.
Matt baru menghafal dua puluh kata setiap harinya. Namun, ia sendiri yang menaikkan menjadi lima puluh kata perhari.
“Good. Kau cepat menghafal Matt.”
“Itu bukan hal yang sulit, Lyra.”
Keduanya pun tertawa dalam keadaan duduk di lantai yang di lapisi karpet dengan buu-bulu tebal. Lyra melipat kedua kakinya, sedangkan Matt bersandar pada sofa sambil menopangkan tangannya pada lututnya.
Ting Tong
Bel apartemen Matt berbunyi. Matt pun berdiri dan segera membuka pintu itu.
“Hah, kalian.” Desah Matt malas ketika melihat Mike dan Harry berdiri di luar pintu.
Mike memang ingin sekali bertemu dengan Lyra. Sedangkan Harry hanya mengikuti sahabatnya, karena kebetulan weekend ini ia tidak punya kegiatan apapun. Mike dan Harry langsung mengekori Matt dan masuk ke dalam.
Senyum Mike langsung mengembang tatkala melihat wanita yang memang ia ingin temui.
“Hai, Lyra.” Mike melambaikan tangannya pada Lyra.
“Hai.” Lyra pun tersenyum dan ikut melambaikan tangannya, membuat jantung Mike kembali berdetak kencang. sungguh senyum Lyra sangat menggoda Mike.
“Mereka teman-temanku.” Kata Matt memperkenalkan Mike dan Harry pada Lyra.
“Apa kami temanmu? Bohong, kami lebih dari sekedar teman.” Sanggah Mike.
“Ya, aku mellihat kalian di club waktu itu.” Jawab Lyra. Lalu Lyra menyambut uluran tangan Mike dan Harry bergantian.
“Jangan kau percaya pada mereka, Lyra. Mereka semua br*ngsek.” Ucap Matt pada Mike dan Harry.
“Tapi tidak sebr*ngsek dia.” Jawab Harry menunjuk ke arah Matt.
Lyra dan Mike tertawa. Namun, Matt membulatkan matanya sambil meneguk minuman kaleng yang tergeletak asal di meja itu.
“Aku br*ngsek dengan wanita yang memang senang di permainkan.” Jawab Matt santai.
“Jadi aku di kelilingi pria br*ngsek?” Tanya Lyra yang justru malah tersenyum dan tidak ada ketakutan sama sekali karena berada di sarang penyamun.
Ketiga pria itu pun tertawa.
Semakin hari Lyra pun semakin dekat dengan Mike dan Harry, terutama Harry karena ternyata Lyra adalah mahasiswa yang berkuliah di tempat Harry mengajar. Hanya saja Lyra berbeda fakulatas dari fakultas yang Harry ajarkan, sehingga mereka hampir tidak pernah bertemu kecuali jika janjian.
Satu tahun berlalu. Matt semakin mahir berbahasa Indonesia. Begitupun dengan Mike yang juga selalu ikut sesi belajar bersama Lyra. Sedangkan Harry hanya sesekali mengikuti, sehingga ia hanya bisa sedikit-sedikit saja.
“Matt, ada kabar gembira.” Kata Mike saat ia masuk ke ruang kerja Matt.
Malik menoleh ke arah sahabatnya itu, walau ia tengah fokus di layar laptopnya. “Ketuk dulu sebelum masuk.”
“Ada hotel bintang lima yang akan menjual sahamnya sebesar lima puluh persen. Kau pasti tertarik?”
“Tidak, aku tidak tertarik menginvestasikan uangku di bidang pariwisata. Bidang itu sudah banyak pemiliknya di sini dan orang-orang yang memilikinya pun cukup kuat.”
“Hei, bukan untuk di negeri kita. Tapi di Bali.” Ucap Mike dengan wajah berbinar.
Matt sangat senang. Wajahnya langsung berseri ketika Mike menyebut negara tempat Nina berada.
“Kau yakin?”
Mike mengangguk. “Sangat yakin. Kau tahu, pemilik hotel itu mengalami kebangkrutan dan sekarang dia membutuhkan investor. Jika kau mau, kita bisa membeli seluruh saham hotel itu nanti. Tapi sekarang kita beli lima puluh persen dulu.”
Matt berdiri dari kursi kebesarannya dan mengahampiri Mike. “Kerja bagus, Mike.”
“Deal.” Mike mengulurkan tangannya.
Matt tersenyum lebar. “Deal.” Tangannya ikut menjulur membalas uluran tangan Mike.
Matt tersenyum menyeringai, langkahnya kini semakin dekat dengan tujuan hidupnya.
“Oiya, Matt. Lyra tidak pernah lagi datang ke apartemenmu?” Tanya Mike, sebelum ia keluar dari ruangan Matt.
Matt kembali berjalan ke kursi kebesarannya. Ia mengangakat bahunya. “Entahlah, sepertinya ia sibuk kuliah.”
“Kau sudah selesai belajar bahasa Indonesia padanya?” Tanya Matt lagi.
Matt mengangguk. “Hanya di perlancar sedikit. Jika aku menetap lama di sana mungkin akan semakin lebih baik.”
“Ah, aku merindukan Lyra, Matt.”
“Awas, kau macam-macam dengannya.” Ancam Matt pada sahabatnya yang memang juga sering bergonta ganti wanita walau selalu menggunakan dengan cara aman.
“Aku berani sumpah Matt. Jika aku mendapatkan Lyra, aku tidak akan lagi berurusan dengan wanita-wanita yang lain.”
Matt mencibir.
“Kau tidak percaya? Bukankah kita sama, merindukan wanita yang akan membawa kita untuk selalu ingin pulang.”
Matt dan Mike tertawa. Mereka benar-benar sahabat sehidup semati. Mike keluar dari ruangan itu setelah bertos ria dengan sahabatnya.
“Mike.” Panggil Matt sesaat sebelum Mike membuka pintu ruangan itu.
“Kau harus benar-benar memastikan hotel itu jatuh ke tangan kita.”
“Siap, boss.” Jawab Mike dengan menaikkan alisnya.
Matt tersenyum.
Entah mengapa ia ingin sekali berada di negara itu. sepertinya ia pun ingin melepas lelah dan ingin berpindah. Karena berada di negara ini membuatnya terikat dengan perusahaan sang ayah yang sangat membosankan.
Satu tahun kemudian, Matt dan Mike akan terbang ke Bali, semula ia ingin terbang ke jakarta untuk menemui sang kakak, keponakan dan yang utama adalah Nina, asisten kakak iparnya yang sangat ia rindukan. Entah mengapa Matt sangat terobsesi oleh gadis Indonesia itu.Matt dan Mike berangkat dengan menggunakan jet pribadi milik keluarga Osborne. Sedangkan, Harry hanya mengantarkan kedua sahabatnya dan di temani oleh Lyra.“Harry, jaga Lyra untukku.” Ucap Mike berbisik pada pria berkacamata itu.Mike memang telah menyatakan cintanya pada Lyra, tetapi wanita itu. Namun, hingga saat ini Lyra belum menjawab pernyataan cinta Mike. Bukan karena Lyra tidak menyukai Mike. Namun, Lyra tahu betul bagaimana Mike, ia hanya takut. Mengingat Mike adalah pria yang sering melakukan one night stand. Ia hanya mencoba membentengi hatinya agar tidak sakit untuk kedua kalinya.“Hmm.. oke, Tapi kau tetap harus banyak berdoa, semoga aku tidak tergoda oleh wa
Ini koper siapa, Matt?” Tanya Mike, saat mereka berada di kamar Matt.Mike dan Matt tinggal di hotel yang telah mereka akuisisi. Setelah sampai di bandara tadi pagi, Matt langsung bertemu dengan bagian legal dan hotel ini resmi menjadi milik Matt karena ia sudah membeli lagi tiga puluh persennya. Sehingga saham hotel ini delapan puluh persen adalah miliknya.“Eumm..”Matt menopangkan kedua tangannya di dada sambil mengelus dagunya. Ia mencoba mengingat insiden itu.“Matt, lihatlah!"Mike tertawa saat ia menarik bra pink yang ada di dalam koper itu.“Sepertinya, koper ini milik wanita.” Ucap Mike lagi.Mike sangat antusias mengacak-acak pakaian yang tersusun rapih di dalam koper itu.“Apa ini miliknya?” Matt dan Mike bertanyaan bersamaan.“Aku rasa begitu.” Jawab Mike.“Bagaimana aku bisa bertemu lagi dengan gadis itu?” Tanya Matt.
Din, kita jadi ke Mall?” tanya Tasya.“Iya, jadi.” Dinda merapihkan peralatan medisnya, karena waktu bertugas mereka telah selesai.“Bokap lu udah transfer?” tanya Tasya.Lama berteman dengan Tasya membuat logat Jawa Dinda memudar, karena walau mereka tinggal di Surabaya, tetapi mahasiswa yang berasal dari jakarta sangat banyak.“Udah.”Dinda dan Tasya langsung menuju kota sebelum matahari tenggelam. Mereka menaiki taksi setelah berada di jalan raya.“Stop.” Tasya melambaikan tangannya pada mobil berwarna biru itu.Mereka pun membuka pintu mobil dan masuk.“Ke Mall xxx ya pak,” kata Dinda.“Itu di mana ya, Mba? Maaf saya baru ada di Bali, jadi masih belum tau jalan.”Dinda dan Tasya menghelakan nafasnya.“Ya udah, gue buka google map dulu,” kata Dinda. Lalu, mereka jalan.Di dalam mobil, Dinda dan Tasya merasa k
Keeseokan harinya, Matt sudah siap untuk berangkat ke Bandara. Ia di antar oleh Mike. Kali ini, ia tak di temani oleh sahabatnya, karena Mike menggantikan dirinya untuk menghandle pekerjaan selama ia pergi ke Jakarta.“Kau langsung akan menikahinya?” tanya Mike.“Kalau itu tidak mungkin Mike. Aku saja tidak tahu apa dia menyukaiku atau tidak,” jawab Matt saat mereka berjalan beriringan dan memasuki bandara I Gusti Ngurah Rai.“Hei tidak biasanya kau pesimis seperti ini. Mana Matthew si penakluk wanita yang aku kenal,” ledek Mike, membuat Matt tertawa.“Mungkin itu berlaku di tempatku.”Mike tertawa. “Jago kandang.”Matt ikut tertawa.“Tapi ku lihat, kau sekarang terlalu pemilih, Bro.” Mike menghentikan kakinya, karena ia hanya bisa mengantar sahabatnya sampai di sini.“Mungkin ini karena aku terlalu terobsesi untuk menggapai cintaku, sehingga aku tida
"Matt.” David memeluk tubuh sang adik, saat Matt sudah berada di depan rumah minimalis itu.“Hai, Matt.” Sapa Sari, istri David.“Hai.” Matt memeluk sang kakak dan menyalami istrinya.“Mana keponakanku.”“Uncle.” Melvin dan Quinza berlari ke arah pamannya.Matt langsung membentangkan kedua tangannya dan berjongkok untuk memeluk kedua keponakannya yang ganteng dan cantik itu.Matt mencium Melvin dan bergantian pada Quinza. Matt menggendong anak perempuan sang kakak.“Quinza, makin cantik saja kamu,” kata Matt sembari menciumi wajah anak perempuan David dan Sari.“Stop, jangan kau ciumi terus anak perempuanku. Nanti kau menyukainya,” kata David.“Apa aku gila? Menyukai keponakan sendiri.” Jawab Matt sambil berjalan ke dalam rumah minimalis tapi tetap mewah itu.“Zaman sekarang memang sudah gila, Matt. Bahkan ada ayah yang
Dinda bersama kedua orang tua dan Kakek Neneknya sedang menikmati makan malam.“Berapa lama kamu di Bali, Din?” tanya Baskoro, Kakek Dinda.“Kalau cepat dua tahun, Opa,” jawab Dinda.“Semoga cepat selesai ya, sayang. Terus kamu visa praktek di sini,” imbuh Risma, Nenek Dinda.“Belum, Oma. Perjalanan Dinda masih jauh kalau ingin praktek. Dinda belum ikut tes Ujian Kompetensi Dokter Indonesia. Setelah mendapatkan itu, baru Dinda bisa praktek dan benar-benar menjadi dokter,” jawab Dinda.“Memang untuk meraih cita-cita itu harus sabar dan penuh perjuangan, Din,” kata Wisnu, Ayah Dinda.Sejak kecil, ia memang ingin sekali menjadi seorang dokter. Dulu, ia sering main dokter-dokteran dengan sang paman dan beberapa kali Tristan meminta di periksa alat vitalnya kala itu. Dinda yang masih kecil pun hanya memegang dan memijat seperti arahan sang paman tanpa mengerti maksudnya.Tak lama
David beserta istri dan anaknya melajukan mobil menuju Panti asuhan milik ibu David yang kini di kelola oleh orang tua Sari. sedangkan Matt, mengikuti mobil sang kakak bersama Nina.“Rumahmu di mana Nin?” tanya Matt pada Nina, kerena di mobil ini hanya ada mereka berdua.“Di Bandung. Tapi di Desanya.”“Bandung itu di mana?” tanya Matt lagi.“Di Jawa Barat, tempatnya sejuk. Nanti akan aku ajak kamu ke sana.”“Boleh, kapan?”“Apanya?” Nina tadi yang mengajak Matt ke kampungnya, tapi dia juga yang bingung jika ternyata Matt benar-benar akan datang ke sana. Pasalnya tadi, Nina hanya sekedar berbasa basi.“Ke rumahmu.”“Untuk apa?” tanya Nina.“Bertemu keluargamu.”“Untuk apa?” tanya Nina lagi.“Kamu maunya untuk apa? Melamar?” Matt tersenyum jahil.Sontak Nina terkejut. Seda
Dinda masih belum pulang ke Bali. Ia meminta izin pada Tasya dan rekan-rekannya yang ada di sana untuk bermalam dua hari lagi di Jakarta, karena hari ini ia mengantarkan Ardi untuk berangkat ke Florida.“Matt, Supir Mas David tidak bisa ke sini karena sedang mengantarkan klien. Bisakah kau mengantarku untuk mengantarkan Ardi ke bandara?” tanya kakak iparnya.Matt mengangguk. “Apa Nina juga ikut?”Sari menggeleng. “Dia menjaga anak-anak saja di rumah, sekalian memberi arahan pada pengasuh baru yang akan menggantinya nanti.”Matt kembali menganggukkan kepalanya.Tak lama kemudian, Matt mengganti baju dan bersiap untuk mengantarkan Sari menjemput keluarganya di Panti asuhan, lalu mengantar Ardi ke Bandara. Sementara di tempat yang berbeda, Dinda pun bersiap ke Bandara untuk melepas kekasihnya di sana.“Din, Mama tidak bisa menemanimu ke Bandara, karena mendadak mama harus menemani papa, saudara jauh pap
Matt dan Nina berada di dalam mobil. Mereka hendak pergi ke Bandung untuk menemui orang tua dan keluarga Nina yag berada di desa itu.Sesekali Nina melirik ke arah Matt yang serius menyetir. Matt pun ikut melirik ke arah Nina, sesaat mereka saling berpandangan dan tersenyum.“Kenapa?” tanya Matt.Nina menggeleng. “Ngga apa-apa.”Matt mengeryitkan dahinya.“Aku tuh suka takut sama pria yang bertato.” Ucap Nina yang memang selalu melihat ke arah leher Matt yang terdapat garis berbentuk Z.“Keluargamu juga takut dengan pria bertato sepertiku?” tanya Matt.Nina mengangguk, tapi tetap tersenyum.“Tidak semua pria bertato itu jahat, Sayang,” ucap Matt.“Iya, tapi di tempatku itu desa banget. Tidak modern dan pastinya kamu adalah orang asing yang baru datang di desaku.”“Oh ya? Pasti seru,” ucap Matt santai.“Bye the way, kit
Pagi ini Dinda bersiap untuk kembali ke Bali. Ia tak melihat Tristan sejak semalam. Entah pamannya itu marah atau tidak padany, ia tak peduli. Untung, hari ini ia akan kembali ke Bali dan tak melihat pamannya lagi.“Ma, Tristan sudah berangkat?” tanya Melati pada ibunya saat di meja makan.“Sudah, dia berangkat dengan penerbangan paling pagi,” jawab Nenek Dinda.“Oh.”“Memang Om Trsitan kemana, Ma?” tanya Dinda ingin tahu..“Om mu sudah berangkat lagi ke Australia. Ternyata kantor pusatnya di sana, menarik dia kembali ke sana, karena teman yang menggantikan posisinya di sana kecelakaan,” jawab Kakek Dinda.Tristan memang berkuliah di Australia dan mendapatkan pekerjaan di sana. Sudah cukup lama Tristan bekerja di negara itu, hingga mendapatkan posisi yang bagus. Pernah ia mencoba untuk berhenti dari pekerjaannya dan ingin menetap di Malang saat Dinda lulus SMA, tapi akhirnya Tristan
Matt mengendarai mobilnya hingga sampai di halaman rumah sang kakak. Di sana, sudah terlihat mobil David yang terparkir. Matt masih tersenyum mengingat betapa anehnya wanita yang baru saja ia antar pulang dari bandara.Setelah mematikan mesin mobil, Matt keluar dan mendapati Nina tengah bermain bersama Melvin dan Quinza di halaman rumah itu.“Melvin mana ya.. Quinza cantik.” Nina di tutup kedua matanya dengan kain dan berusaha menangkap Melvin dan Quinza yang sedang berlarian mengelilinginya.Matt tersenyum ke arah gadis lembut itu.“Ssstt.” Matt menutup bibirnya dengan jari telunjuk ke arah Melvin dan Quinza.Melvin dan Quinza hanya tertawa cekikikan tanpa suara, pasalnya Matt sengaja berjongkok agar Nina mengira bahwa dirinya adalah Melvin.“Nah, ya. Melvin ke tangkepetangkep.” Nina memeluk kepala Matt yang ia kira adalah Melvin.Matt merasa di atas angin, karena Nina memeluknya kepalanya erat sam
Dinda masih belum pulang ke Bali. Ia meminta izin pada Tasya dan rekan-rekannya yang ada di sana untuk bermalam dua hari lagi di Jakarta, karena hari ini ia mengantarkan Ardi untuk berangkat ke Florida.“Matt, Supir Mas David tidak bisa ke sini karena sedang mengantarkan klien. Bisakah kau mengantarku untuk mengantarkan Ardi ke bandara?” tanya kakak iparnya.Matt mengangguk. “Apa Nina juga ikut?”Sari menggeleng. “Dia menjaga anak-anak saja di rumah, sekalian memberi arahan pada pengasuh baru yang akan menggantinya nanti.”Matt kembali menganggukkan kepalanya.Tak lama kemudian, Matt mengganti baju dan bersiap untuk mengantarkan Sari menjemput keluarganya di Panti asuhan, lalu mengantar Ardi ke Bandara. Sementara di tempat yang berbeda, Dinda pun bersiap ke Bandara untuk melepas kekasihnya di sana.“Din, Mama tidak bisa menemanimu ke Bandara, karena mendadak mama harus menemani papa, saudara jauh pap
David beserta istri dan anaknya melajukan mobil menuju Panti asuhan milik ibu David yang kini di kelola oleh orang tua Sari. sedangkan Matt, mengikuti mobil sang kakak bersama Nina.“Rumahmu di mana Nin?” tanya Matt pada Nina, kerena di mobil ini hanya ada mereka berdua.“Di Bandung. Tapi di Desanya.”“Bandung itu di mana?” tanya Matt lagi.“Di Jawa Barat, tempatnya sejuk. Nanti akan aku ajak kamu ke sana.”“Boleh, kapan?”“Apanya?” Nina tadi yang mengajak Matt ke kampungnya, tapi dia juga yang bingung jika ternyata Matt benar-benar akan datang ke sana. Pasalnya tadi, Nina hanya sekedar berbasa basi.“Ke rumahmu.”“Untuk apa?” tanya Nina.“Bertemu keluargamu.”“Untuk apa?” tanya Nina lagi.“Kamu maunya untuk apa? Melamar?” Matt tersenyum jahil.Sontak Nina terkejut. Seda
Dinda bersama kedua orang tua dan Kakek Neneknya sedang menikmati makan malam.“Berapa lama kamu di Bali, Din?” tanya Baskoro, Kakek Dinda.“Kalau cepat dua tahun, Opa,” jawab Dinda.“Semoga cepat selesai ya, sayang. Terus kamu visa praktek di sini,” imbuh Risma, Nenek Dinda.“Belum, Oma. Perjalanan Dinda masih jauh kalau ingin praktek. Dinda belum ikut tes Ujian Kompetensi Dokter Indonesia. Setelah mendapatkan itu, baru Dinda bisa praktek dan benar-benar menjadi dokter,” jawab Dinda.“Memang untuk meraih cita-cita itu harus sabar dan penuh perjuangan, Din,” kata Wisnu, Ayah Dinda.Sejak kecil, ia memang ingin sekali menjadi seorang dokter. Dulu, ia sering main dokter-dokteran dengan sang paman dan beberapa kali Tristan meminta di periksa alat vitalnya kala itu. Dinda yang masih kecil pun hanya memegang dan memijat seperti arahan sang paman tanpa mengerti maksudnya.Tak lama
"Matt.” David memeluk tubuh sang adik, saat Matt sudah berada di depan rumah minimalis itu.“Hai, Matt.” Sapa Sari, istri David.“Hai.” Matt memeluk sang kakak dan menyalami istrinya.“Mana keponakanku.”“Uncle.” Melvin dan Quinza berlari ke arah pamannya.Matt langsung membentangkan kedua tangannya dan berjongkok untuk memeluk kedua keponakannya yang ganteng dan cantik itu.Matt mencium Melvin dan bergantian pada Quinza. Matt menggendong anak perempuan sang kakak.“Quinza, makin cantik saja kamu,” kata Matt sembari menciumi wajah anak perempuan David dan Sari.“Stop, jangan kau ciumi terus anak perempuanku. Nanti kau menyukainya,” kata David.“Apa aku gila? Menyukai keponakan sendiri.” Jawab Matt sambil berjalan ke dalam rumah minimalis tapi tetap mewah itu.“Zaman sekarang memang sudah gila, Matt. Bahkan ada ayah yang
Keeseokan harinya, Matt sudah siap untuk berangkat ke Bandara. Ia di antar oleh Mike. Kali ini, ia tak di temani oleh sahabatnya, karena Mike menggantikan dirinya untuk menghandle pekerjaan selama ia pergi ke Jakarta.“Kau langsung akan menikahinya?” tanya Mike.“Kalau itu tidak mungkin Mike. Aku saja tidak tahu apa dia menyukaiku atau tidak,” jawab Matt saat mereka berjalan beriringan dan memasuki bandara I Gusti Ngurah Rai.“Hei tidak biasanya kau pesimis seperti ini. Mana Matthew si penakluk wanita yang aku kenal,” ledek Mike, membuat Matt tertawa.“Mungkin itu berlaku di tempatku.”Mike tertawa. “Jago kandang.”Matt ikut tertawa.“Tapi ku lihat, kau sekarang terlalu pemilih, Bro.” Mike menghentikan kakinya, karena ia hanya bisa mengantar sahabatnya sampai di sini.“Mungkin ini karena aku terlalu terobsesi untuk menggapai cintaku, sehingga aku tida
Din, kita jadi ke Mall?” tanya Tasya.“Iya, jadi.” Dinda merapihkan peralatan medisnya, karena waktu bertugas mereka telah selesai.“Bokap lu udah transfer?” tanya Tasya.Lama berteman dengan Tasya membuat logat Jawa Dinda memudar, karena walau mereka tinggal di Surabaya, tetapi mahasiswa yang berasal dari jakarta sangat banyak.“Udah.”Dinda dan Tasya langsung menuju kota sebelum matahari tenggelam. Mereka menaiki taksi setelah berada di jalan raya.“Stop.” Tasya melambaikan tangannya pada mobil berwarna biru itu.Mereka pun membuka pintu mobil dan masuk.“Ke Mall xxx ya pak,” kata Dinda.“Itu di mana ya, Mba? Maaf saya baru ada di Bali, jadi masih belum tau jalan.”Dinda dan Tasya menghelakan nafasnya.“Ya udah, gue buka google map dulu,” kata Dinda. Lalu, mereka jalan.Di dalam mobil, Dinda dan Tasya merasa k