Satu tahun kemudian, Matt dan Mike akan terbang ke Bali, semula ia ingin terbang ke jakarta untuk menemui sang kakak, keponakan dan yang utama adalah Nina, asisten kakak iparnya yang sangat ia rindukan. Entah mengapa Matt sangat terobsesi oleh gadis Indonesia itu.
Matt dan Mike berangkat dengan menggunakan jet pribadi milik keluarga Osborne. Sedangkan, Harry hanya mengantarkan kedua sahabatnya dan di temani oleh Lyra.
“Harry, jaga Lyra untukku.” Ucap Mike berbisik pada pria berkacamata itu.
Mike memang telah menyatakan cintanya pada Lyra, tetapi wanita itu. Namun, hingga saat ini Lyra belum menjawab pernyataan cinta Mike. Bukan karena Lyra tidak menyukai Mike. Namun, Lyra tahu betul bagaimana Mike, ia hanya takut. Mengingat Mike adalah pria yang sering melakukan one night stand. Ia hanya mencoba membentengi hatinya agar tidak sakit untuk kedua kalinya.
“Hmm.. oke, Tapi kau tetap harus banyak berdoa, semoga aku tidak tergoda oleh wanitamu.” Jawab Harry asal.
“Ah, Si*l kau.” Mike meninju lengan Harry, membuat Matt ikut tertawa.
Lalu, Mike berlari ke arah Lyra yang sedari tadi berdiri cukup jauh dari ketiga pria itu. Ia berdiri di hadapan Lyra dan menggenggam tangannya.
“Lyra, berjanjilah akan menungguku. Ini untuk masa depan kita.”
“Uhuk.. uhuk.” Harry pura-pura batuk dan Matt ikut tertawa. Pasalnya mereka belum pernah melihat Mike seserius ini.
“Diam kau.” Teriak Mike pada Harry, membuat kedua sahabatnya yang menyaksikan adegan romantis itu kembali tertawa.
“Bagaimana jika justru di sana kau yang tak bisa menjaga dirimu?” Tanya Lyra.
“Sungguh Lyra, aku akan menahannya sekuat tenaga.”
“Bohong.” Ucap Harry tertawa.
“Diam, Harry.” Kesal Mike, karena pria berkacamata itu tak henti-hentinya menggoda.
Matt pun hanya tertawa. “Come on, Mike. Kita akan berangkat.”
“Tunggu, Matt.” Ucap Mike.
“Lyra, kau percaya padaku?” Tanya Mike pagi yang masih menggenggam tangan wanita itu.
Lyra terdiam. “Entahlah.” Ia mengangkat bahunya. Ia pun bingung.
Mike hanya menghelakan nafasnya kasar. Ia menggaruk kepalanya yang tak gatal. Bagaimana meyakinkan wanita ini, kalau dirinya saat ini tengah bersungguh-sungguh.
“Harusnya kau nikahi dulu dia, baru kau pergi.” Teriak Matt.
“Kalau begitu, tunggu aku di sana. Setelah kuliahku selesai, aku akan menyusulmu ke sana dan akan ku kenalkan kau dengan keluargaku.” Ucap Lyra, membuat bibir Mike mengembang senyum.
“Sungguh?” Tanya Mike dan Lyra langsung mengangguk.
“Matt, dia menerimaku.” Ucap Mike.
“Harry, kau dengar. Lyra tidak akan menggodamu karena dia sudah menjawab pernyataan cintaku.”
Matt dan Harry hanya tersenyum melihat kebahagiaan sahabatnya. Mereka melipat kedua tangannya di dada.
Harry dan Matt menghampiri Lyra dan Mike.
“Kalau begitu kau bisa ikut bersamaku dengan tenang.” Kata Matt sembari menepuk punggung Mike.
“Dan, Lyra akan aku latih untuk segera lulus. Aku yang akan mengantarnya ke Bali nanti.” Kata Harry.
“Terima kasih, sobat. Kalian memang yang terbaik.”
Mike memeluk Matt dan Harry.
Lyra pun tersenyum melihat ketiga bersahabat ini. selama berteman dengan ketiga pria brengsek ini, justri Lyra merasa aman. Sering berada di sarang penyamun ternyata tidak membuatnya khawatir, karena ketiga pria itu tak pernah sekalipun melecehkan Lyra, padahal mereka pria yang berhasrat tinggi. Tetapi, mereka pria yang tahu diri, mereka tahu dengan siapa mereka harus menjaga kehormatan seorang wanita dan dengan siapa mereka harus melampiaskan hasratnya dalam semalam. Hal itu mmbuat Lyra salut dengan ketiga pria ini.
****
“Aku kira kau tidak seserius ini dengan Lyra.” Ucap Matt pada Mike, saat mereka sudah berada di dalam pesawat.
Pesawat itu sudah berada di atas awan sejak tiga jam yang lalu.
“Bukan hanya kau yang lelah dengan kebiasaan buruk itu. aku pun begitu. Sejak pertama melihat Lyra, aku rasa dia cocok untuk menjadi ibu dari anak-anakku kelak.”
Matt tertawa. “That’s right. Aku pun merasa seperti itu saat pertama kali bertemu Nina.”
“Mengapa kita tidak ke Jakarta terlebih dahulu? Paling tidak untuk melepaskan rasa rindumu pada wanita itu.” Tanya Mike.
“Inginku seperti itu. Tapi urusan kita tidak bisa di tunda bukan?” Ungkap Matt.
Matthew dengan susah payah membujuk Samuel dan George untuk mau mengurus perusahaan keluarga Osborne. Walau, semula Samuel juga menolak. Tetapi, istri Samuel yang merupakan ibu kandung David, membantu Matt untuk membujuk suaminya. Dua tahun menjadi istri Samuel dan tinggal di kediaman utama Osborne membuatnya banyak mengenal Matt, karena Matt memang sering menginap di rumah itu. Matt sering kali bertukar pikiran dengan Elvira, ia menganggap Elvira seperti ibunya sendiri, hingga ia pun heran mengapa dulu sang ayah bisa mencampakkan wanita sebaik Elvira.
Mike mengangguk.
Setelah menempuh perjalanan selama enam belas jam. Akhirnya Matt dan Mike tiba di Bandara I Gusti Ngurah Rai Denpasar, Bali. Cuaca yang kebetulan berawan itu, membuat udara di sana tidak sepanas biasanya. Matt berjalan gagah dengan kacamata hitam yang bertengger di hidung mancungnya.
Matt berjalan lebih dulu dari Mike, karena Mike tengah menelepon seseorang untuk memastikan orang yang akan menjemputnya di sini. Mereka membawa koper kecilnya masing-masing. Matt melambaikan tangannya pada Mike, untuk mengisyaratkan bahwa ia akan ke toilet sebentar. Lalu, ia meletakkan koper kecil yang berwarna hitam itu di luar toilet.
Bruk
Sesaat sebelum Matt masuk ke toilet pria. Dadanya tersenggol keras oleh seorang gadis dengan menggunakan kemeja biru garis-garis yang di masukkan ke dalam celana jeans biru langit tengah berjalan cepat, setelah keluar dari toilet wanita. Kebetulan posisi toilet wanita melewati toilet pria. Matt menoleh ke gadis sombong itu. Namun, gadis itu tak menoleh ke arahnya, apalagi untuk meminta maaf padahal gadis itu yang berjalan semaunya dan menyonggal dada Matt seolah ingin mengajaknya ribut.
“Hei.” Panggil Matt dan menarik tangan gadis itu dari belakang.
“Apa?”
Gadis itu menatang dan membuka kaca matanya.
“Apa kau tidak bisa bersikap sopan?” Tanya Matt.
“Apa?” Gadis itu bertanya menantang ke arah Matt.
Ia tak mengerti maksud pertanyaan Matt, karena ia tak merasa ada yang salah.
“Bisa kah kau meminta maaf karena telah menyenggolku dengan sengaja?”
“Oh, itu. ya maaf aku tidak sengaja, karena aku sedang terburu-buru.” Jawab gadis itu santai. Sikapnya yang cuek membuat Matt merasa terhina.
Lalu dengan cepat Matt meraih pinggang mungil gadis itu dan menekan tengkuk lehernya. Matt melumat bibir ranum gadis itu.
“Mmpphh..”
Gadis itu memukul dada Matt bertubi-tubi.
“Si*alan kau. Pria brengsek. kurang ajar!” Ia mengumpat Matt dengan mata melotot, sembari menghapus jejak saliva yang menempel pada bibirnya.
Hal itu cukup membuat Matt bergairah pagi ini. Ia tersenyum ke arah gadis yang sedang meraung dan memakinya. Makian gadis itu jusru terdengar alunan merdu yang indah di telinga Matt.
Gadis itu terus memukul Matt.
“Hei, Din. Ada apa?” Teman wanita dari gadis yang tengah memukuli dada Matt itu mencoba melerai.
“Siapa namamu?” Tanya Matt.
“Apa pedulimu, b*jing*n.”
Gadis itu terus meronta dan ingin memukul Matt lagi, padahal tubuhnya tengah di halau oleh temannya.
“Sudahlah, Din. Jangan ngamuk di sini! malu di liatin orang.”
Gadis cantik yang bernama Dinda itu pun menoleh ke sekeliling mereka yang mulai menoleh ke arahnya.
“Oke, Din. Terima kasih ciumannya.”
Matt menyebut nama gadis itu seperti yang di sebut temannya, sembari melempar kecupan ke arah Dinda dan kembali membalikkan diri menuju toilet.
“Lu di cium cowok bule itu?” Tanya teman Dinda yang bernama Tasya.
Lalu, Dinda menceritakan kronologis kejadian tadi.
“Dia nyebelin banget, Sya. Gue harus beri pelajaran sama dia. Kalau perlu gue tonjok idungnya sampe berdarah dan patah sekalian.” Ungkap Dinda dengan amarah yang sudah di ubun-ubun.
“Terus lu mau tungguin dia keluar dari toilet?” Tanya Tasya.
“Iya.”
“Dinda, ini udah jam berapa? Perjalanan kita masih jauh. Kita tuh di tugasin di pedalaman cin. Sampe kapan kita mau sampe, di sana kita tuh udah di tunggu kepala desa tau.” Ujar Tasya.
“Tapi gue ga rela, ciuman pertama gue di ambil tuh bule.” Dinda masih merengek.
“Jadi selama ini, lu ga pernah di cium Ardi? Gila, padahal lu udah pacaran empat tahun dan belum pernah sekalipun di cium?” Tanya Tasya. Lalu, ia menggelengkan kepalanya.
“Tau ah.”
Dinda mengambil asal koper kecil yang berwarna hitam persis di tempat Matt menaruh kopernya.
Setelah selesai membuang hajat kecilnya, Matt keluar dari toilet dan menghampiri koper kecil yang berwarna hitam. Ia pun membawa koper itu.
“Matt, sepertinya tadi kau bertengkar dengan seorang gadis? Sorry aku masih menerima telepon tadi.” Tanya Mike.
Matt mengangguk. “Ya, hanya gadis aneh.”
“Tapi dia cukup cantik.” Ucap Mike yang memang melihat ke arah Dinda dan Tasya pada saat ia menerima telepon di seberang sana.
“Ah, semua gadis kau bilang cantik.” Jawab matt santai sembari melanjutkan langkahnya.
“Tapi memang dia cantik, Matt.”
Matt kembali mengingat wajah gadis itu dan bibirnya yang manis. Ia tersenyum, memang ia akui gadis itu cantik walau gayanya tidak feminim dan galak. Namun, kepalanya kembali mengingat Nina, asisten rumah tangga sang kakak yang sangat lembut dan memiliki senyum yang manis.
Ini koper siapa, Matt?” Tanya Mike, saat mereka berada di kamar Matt.Mike dan Matt tinggal di hotel yang telah mereka akuisisi. Setelah sampai di bandara tadi pagi, Matt langsung bertemu dengan bagian legal dan hotel ini resmi menjadi milik Matt karena ia sudah membeli lagi tiga puluh persennya. Sehingga saham hotel ini delapan puluh persen adalah miliknya.“Eumm..”Matt menopangkan kedua tangannya di dada sambil mengelus dagunya. Ia mencoba mengingat insiden itu.“Matt, lihatlah!"Mike tertawa saat ia menarik bra pink yang ada di dalam koper itu.“Sepertinya, koper ini milik wanita.” Ucap Mike lagi.Mike sangat antusias mengacak-acak pakaian yang tersusun rapih di dalam koper itu.“Apa ini miliknya?” Matt dan Mike bertanyaan bersamaan.“Aku rasa begitu.” Jawab Mike.“Bagaimana aku bisa bertemu lagi dengan gadis itu?” Tanya Matt.
Din, kita jadi ke Mall?” tanya Tasya.“Iya, jadi.” Dinda merapihkan peralatan medisnya, karena waktu bertugas mereka telah selesai.“Bokap lu udah transfer?” tanya Tasya.Lama berteman dengan Tasya membuat logat Jawa Dinda memudar, karena walau mereka tinggal di Surabaya, tetapi mahasiswa yang berasal dari jakarta sangat banyak.“Udah.”Dinda dan Tasya langsung menuju kota sebelum matahari tenggelam. Mereka menaiki taksi setelah berada di jalan raya.“Stop.” Tasya melambaikan tangannya pada mobil berwarna biru itu.Mereka pun membuka pintu mobil dan masuk.“Ke Mall xxx ya pak,” kata Dinda.“Itu di mana ya, Mba? Maaf saya baru ada di Bali, jadi masih belum tau jalan.”Dinda dan Tasya menghelakan nafasnya.“Ya udah, gue buka google map dulu,” kata Dinda. Lalu, mereka jalan.Di dalam mobil, Dinda dan Tasya merasa k
Keeseokan harinya, Matt sudah siap untuk berangkat ke Bandara. Ia di antar oleh Mike. Kali ini, ia tak di temani oleh sahabatnya, karena Mike menggantikan dirinya untuk menghandle pekerjaan selama ia pergi ke Jakarta.“Kau langsung akan menikahinya?” tanya Mike.“Kalau itu tidak mungkin Mike. Aku saja tidak tahu apa dia menyukaiku atau tidak,” jawab Matt saat mereka berjalan beriringan dan memasuki bandara I Gusti Ngurah Rai.“Hei tidak biasanya kau pesimis seperti ini. Mana Matthew si penakluk wanita yang aku kenal,” ledek Mike, membuat Matt tertawa.“Mungkin itu berlaku di tempatku.”Mike tertawa. “Jago kandang.”Matt ikut tertawa.“Tapi ku lihat, kau sekarang terlalu pemilih, Bro.” Mike menghentikan kakinya, karena ia hanya bisa mengantar sahabatnya sampai di sini.“Mungkin ini karena aku terlalu terobsesi untuk menggapai cintaku, sehingga aku tida
"Matt.” David memeluk tubuh sang adik, saat Matt sudah berada di depan rumah minimalis itu.“Hai, Matt.” Sapa Sari, istri David.“Hai.” Matt memeluk sang kakak dan menyalami istrinya.“Mana keponakanku.”“Uncle.” Melvin dan Quinza berlari ke arah pamannya.Matt langsung membentangkan kedua tangannya dan berjongkok untuk memeluk kedua keponakannya yang ganteng dan cantik itu.Matt mencium Melvin dan bergantian pada Quinza. Matt menggendong anak perempuan sang kakak.“Quinza, makin cantik saja kamu,” kata Matt sembari menciumi wajah anak perempuan David dan Sari.“Stop, jangan kau ciumi terus anak perempuanku. Nanti kau menyukainya,” kata David.“Apa aku gila? Menyukai keponakan sendiri.” Jawab Matt sambil berjalan ke dalam rumah minimalis tapi tetap mewah itu.“Zaman sekarang memang sudah gila, Matt. Bahkan ada ayah yang
Dinda bersama kedua orang tua dan Kakek Neneknya sedang menikmati makan malam.“Berapa lama kamu di Bali, Din?” tanya Baskoro, Kakek Dinda.“Kalau cepat dua tahun, Opa,” jawab Dinda.“Semoga cepat selesai ya, sayang. Terus kamu visa praktek di sini,” imbuh Risma, Nenek Dinda.“Belum, Oma. Perjalanan Dinda masih jauh kalau ingin praktek. Dinda belum ikut tes Ujian Kompetensi Dokter Indonesia. Setelah mendapatkan itu, baru Dinda bisa praktek dan benar-benar menjadi dokter,” jawab Dinda.“Memang untuk meraih cita-cita itu harus sabar dan penuh perjuangan, Din,” kata Wisnu, Ayah Dinda.Sejak kecil, ia memang ingin sekali menjadi seorang dokter. Dulu, ia sering main dokter-dokteran dengan sang paman dan beberapa kali Tristan meminta di periksa alat vitalnya kala itu. Dinda yang masih kecil pun hanya memegang dan memijat seperti arahan sang paman tanpa mengerti maksudnya.Tak lama
David beserta istri dan anaknya melajukan mobil menuju Panti asuhan milik ibu David yang kini di kelola oleh orang tua Sari. sedangkan Matt, mengikuti mobil sang kakak bersama Nina.“Rumahmu di mana Nin?” tanya Matt pada Nina, kerena di mobil ini hanya ada mereka berdua.“Di Bandung. Tapi di Desanya.”“Bandung itu di mana?” tanya Matt lagi.“Di Jawa Barat, tempatnya sejuk. Nanti akan aku ajak kamu ke sana.”“Boleh, kapan?”“Apanya?” Nina tadi yang mengajak Matt ke kampungnya, tapi dia juga yang bingung jika ternyata Matt benar-benar akan datang ke sana. Pasalnya tadi, Nina hanya sekedar berbasa basi.“Ke rumahmu.”“Untuk apa?” tanya Nina.“Bertemu keluargamu.”“Untuk apa?” tanya Nina lagi.“Kamu maunya untuk apa? Melamar?” Matt tersenyum jahil.Sontak Nina terkejut. Seda
Dinda masih belum pulang ke Bali. Ia meminta izin pada Tasya dan rekan-rekannya yang ada di sana untuk bermalam dua hari lagi di Jakarta, karena hari ini ia mengantarkan Ardi untuk berangkat ke Florida.“Matt, Supir Mas David tidak bisa ke sini karena sedang mengantarkan klien. Bisakah kau mengantarku untuk mengantarkan Ardi ke bandara?” tanya kakak iparnya.Matt mengangguk. “Apa Nina juga ikut?”Sari menggeleng. “Dia menjaga anak-anak saja di rumah, sekalian memberi arahan pada pengasuh baru yang akan menggantinya nanti.”Matt kembali menganggukkan kepalanya.Tak lama kemudian, Matt mengganti baju dan bersiap untuk mengantarkan Sari menjemput keluarganya di Panti asuhan, lalu mengantar Ardi ke Bandara. Sementara di tempat yang berbeda, Dinda pun bersiap ke Bandara untuk melepas kekasihnya di sana.“Din, Mama tidak bisa menemanimu ke Bandara, karena mendadak mama harus menemani papa, saudara jauh pap
Matt mengendarai mobilnya hingga sampai di halaman rumah sang kakak. Di sana, sudah terlihat mobil David yang terparkir. Matt masih tersenyum mengingat betapa anehnya wanita yang baru saja ia antar pulang dari bandara.Setelah mematikan mesin mobil, Matt keluar dan mendapati Nina tengah bermain bersama Melvin dan Quinza di halaman rumah itu.“Melvin mana ya.. Quinza cantik.” Nina di tutup kedua matanya dengan kain dan berusaha menangkap Melvin dan Quinza yang sedang berlarian mengelilinginya.Matt tersenyum ke arah gadis lembut itu.“Ssstt.” Matt menutup bibirnya dengan jari telunjuk ke arah Melvin dan Quinza.Melvin dan Quinza hanya tertawa cekikikan tanpa suara, pasalnya Matt sengaja berjongkok agar Nina mengira bahwa dirinya adalah Melvin.“Nah, ya. Melvin ke tangkepetangkep.” Nina memeluk kepala Matt yang ia kira adalah Melvin.Matt merasa di atas angin, karena Nina memeluknya kepalanya erat sam
Matt dan Nina berada di dalam mobil. Mereka hendak pergi ke Bandung untuk menemui orang tua dan keluarga Nina yag berada di desa itu.Sesekali Nina melirik ke arah Matt yang serius menyetir. Matt pun ikut melirik ke arah Nina, sesaat mereka saling berpandangan dan tersenyum.“Kenapa?” tanya Matt.Nina menggeleng. “Ngga apa-apa.”Matt mengeryitkan dahinya.“Aku tuh suka takut sama pria yang bertato.” Ucap Nina yang memang selalu melihat ke arah leher Matt yang terdapat garis berbentuk Z.“Keluargamu juga takut dengan pria bertato sepertiku?” tanya Matt.Nina mengangguk, tapi tetap tersenyum.“Tidak semua pria bertato itu jahat, Sayang,” ucap Matt.“Iya, tapi di tempatku itu desa banget. Tidak modern dan pastinya kamu adalah orang asing yang baru datang di desaku.”“Oh ya? Pasti seru,” ucap Matt santai.“Bye the way, kit
Pagi ini Dinda bersiap untuk kembali ke Bali. Ia tak melihat Tristan sejak semalam. Entah pamannya itu marah atau tidak padany, ia tak peduli. Untung, hari ini ia akan kembali ke Bali dan tak melihat pamannya lagi.“Ma, Tristan sudah berangkat?” tanya Melati pada ibunya saat di meja makan.“Sudah, dia berangkat dengan penerbangan paling pagi,” jawab Nenek Dinda.“Oh.”“Memang Om Trsitan kemana, Ma?” tanya Dinda ingin tahu..“Om mu sudah berangkat lagi ke Australia. Ternyata kantor pusatnya di sana, menarik dia kembali ke sana, karena teman yang menggantikan posisinya di sana kecelakaan,” jawab Kakek Dinda.Tristan memang berkuliah di Australia dan mendapatkan pekerjaan di sana. Sudah cukup lama Tristan bekerja di negara itu, hingga mendapatkan posisi yang bagus. Pernah ia mencoba untuk berhenti dari pekerjaannya dan ingin menetap di Malang saat Dinda lulus SMA, tapi akhirnya Tristan
Matt mengendarai mobilnya hingga sampai di halaman rumah sang kakak. Di sana, sudah terlihat mobil David yang terparkir. Matt masih tersenyum mengingat betapa anehnya wanita yang baru saja ia antar pulang dari bandara.Setelah mematikan mesin mobil, Matt keluar dan mendapati Nina tengah bermain bersama Melvin dan Quinza di halaman rumah itu.“Melvin mana ya.. Quinza cantik.” Nina di tutup kedua matanya dengan kain dan berusaha menangkap Melvin dan Quinza yang sedang berlarian mengelilinginya.Matt tersenyum ke arah gadis lembut itu.“Ssstt.” Matt menutup bibirnya dengan jari telunjuk ke arah Melvin dan Quinza.Melvin dan Quinza hanya tertawa cekikikan tanpa suara, pasalnya Matt sengaja berjongkok agar Nina mengira bahwa dirinya adalah Melvin.“Nah, ya. Melvin ke tangkepetangkep.” Nina memeluk kepala Matt yang ia kira adalah Melvin.Matt merasa di atas angin, karena Nina memeluknya kepalanya erat sam
Dinda masih belum pulang ke Bali. Ia meminta izin pada Tasya dan rekan-rekannya yang ada di sana untuk bermalam dua hari lagi di Jakarta, karena hari ini ia mengantarkan Ardi untuk berangkat ke Florida.“Matt, Supir Mas David tidak bisa ke sini karena sedang mengantarkan klien. Bisakah kau mengantarku untuk mengantarkan Ardi ke bandara?” tanya kakak iparnya.Matt mengangguk. “Apa Nina juga ikut?”Sari menggeleng. “Dia menjaga anak-anak saja di rumah, sekalian memberi arahan pada pengasuh baru yang akan menggantinya nanti.”Matt kembali menganggukkan kepalanya.Tak lama kemudian, Matt mengganti baju dan bersiap untuk mengantarkan Sari menjemput keluarganya di Panti asuhan, lalu mengantar Ardi ke Bandara. Sementara di tempat yang berbeda, Dinda pun bersiap ke Bandara untuk melepas kekasihnya di sana.“Din, Mama tidak bisa menemanimu ke Bandara, karena mendadak mama harus menemani papa, saudara jauh pap
David beserta istri dan anaknya melajukan mobil menuju Panti asuhan milik ibu David yang kini di kelola oleh orang tua Sari. sedangkan Matt, mengikuti mobil sang kakak bersama Nina.“Rumahmu di mana Nin?” tanya Matt pada Nina, kerena di mobil ini hanya ada mereka berdua.“Di Bandung. Tapi di Desanya.”“Bandung itu di mana?” tanya Matt lagi.“Di Jawa Barat, tempatnya sejuk. Nanti akan aku ajak kamu ke sana.”“Boleh, kapan?”“Apanya?” Nina tadi yang mengajak Matt ke kampungnya, tapi dia juga yang bingung jika ternyata Matt benar-benar akan datang ke sana. Pasalnya tadi, Nina hanya sekedar berbasa basi.“Ke rumahmu.”“Untuk apa?” tanya Nina.“Bertemu keluargamu.”“Untuk apa?” tanya Nina lagi.“Kamu maunya untuk apa? Melamar?” Matt tersenyum jahil.Sontak Nina terkejut. Seda
Dinda bersama kedua orang tua dan Kakek Neneknya sedang menikmati makan malam.“Berapa lama kamu di Bali, Din?” tanya Baskoro, Kakek Dinda.“Kalau cepat dua tahun, Opa,” jawab Dinda.“Semoga cepat selesai ya, sayang. Terus kamu visa praktek di sini,” imbuh Risma, Nenek Dinda.“Belum, Oma. Perjalanan Dinda masih jauh kalau ingin praktek. Dinda belum ikut tes Ujian Kompetensi Dokter Indonesia. Setelah mendapatkan itu, baru Dinda bisa praktek dan benar-benar menjadi dokter,” jawab Dinda.“Memang untuk meraih cita-cita itu harus sabar dan penuh perjuangan, Din,” kata Wisnu, Ayah Dinda.Sejak kecil, ia memang ingin sekali menjadi seorang dokter. Dulu, ia sering main dokter-dokteran dengan sang paman dan beberapa kali Tristan meminta di periksa alat vitalnya kala itu. Dinda yang masih kecil pun hanya memegang dan memijat seperti arahan sang paman tanpa mengerti maksudnya.Tak lama
"Matt.” David memeluk tubuh sang adik, saat Matt sudah berada di depan rumah minimalis itu.“Hai, Matt.” Sapa Sari, istri David.“Hai.” Matt memeluk sang kakak dan menyalami istrinya.“Mana keponakanku.”“Uncle.” Melvin dan Quinza berlari ke arah pamannya.Matt langsung membentangkan kedua tangannya dan berjongkok untuk memeluk kedua keponakannya yang ganteng dan cantik itu.Matt mencium Melvin dan bergantian pada Quinza. Matt menggendong anak perempuan sang kakak.“Quinza, makin cantik saja kamu,” kata Matt sembari menciumi wajah anak perempuan David dan Sari.“Stop, jangan kau ciumi terus anak perempuanku. Nanti kau menyukainya,” kata David.“Apa aku gila? Menyukai keponakan sendiri.” Jawab Matt sambil berjalan ke dalam rumah minimalis tapi tetap mewah itu.“Zaman sekarang memang sudah gila, Matt. Bahkan ada ayah yang
Keeseokan harinya, Matt sudah siap untuk berangkat ke Bandara. Ia di antar oleh Mike. Kali ini, ia tak di temani oleh sahabatnya, karena Mike menggantikan dirinya untuk menghandle pekerjaan selama ia pergi ke Jakarta.“Kau langsung akan menikahinya?” tanya Mike.“Kalau itu tidak mungkin Mike. Aku saja tidak tahu apa dia menyukaiku atau tidak,” jawab Matt saat mereka berjalan beriringan dan memasuki bandara I Gusti Ngurah Rai.“Hei tidak biasanya kau pesimis seperti ini. Mana Matthew si penakluk wanita yang aku kenal,” ledek Mike, membuat Matt tertawa.“Mungkin itu berlaku di tempatku.”Mike tertawa. “Jago kandang.”Matt ikut tertawa.“Tapi ku lihat, kau sekarang terlalu pemilih, Bro.” Mike menghentikan kakinya, karena ia hanya bisa mengantar sahabatnya sampai di sini.“Mungkin ini karena aku terlalu terobsesi untuk menggapai cintaku, sehingga aku tida
Din, kita jadi ke Mall?” tanya Tasya.“Iya, jadi.” Dinda merapihkan peralatan medisnya, karena waktu bertugas mereka telah selesai.“Bokap lu udah transfer?” tanya Tasya.Lama berteman dengan Tasya membuat logat Jawa Dinda memudar, karena walau mereka tinggal di Surabaya, tetapi mahasiswa yang berasal dari jakarta sangat banyak.“Udah.”Dinda dan Tasya langsung menuju kota sebelum matahari tenggelam. Mereka menaiki taksi setelah berada di jalan raya.“Stop.” Tasya melambaikan tangannya pada mobil berwarna biru itu.Mereka pun membuka pintu mobil dan masuk.“Ke Mall xxx ya pak,” kata Dinda.“Itu di mana ya, Mba? Maaf saya baru ada di Bali, jadi masih belum tau jalan.”Dinda dan Tasya menghelakan nafasnya.“Ya udah, gue buka google map dulu,” kata Dinda. Lalu, mereka jalan.Di dalam mobil, Dinda dan Tasya merasa k