“Hai, Matt.” Sapa Harry yang langsung duduk di sebelah Matt.
“Musim panas nanti, kau akan kemana?” Tanya Harry.
Matt menggeleng. “Belum terpikir.”
“Bagaimana jika kita berkeliling Asia.” Ucap Mike sembari merangkul kedua sahabatnya yang tengah duduk di meja bar.
“Setuju.” Ucap Harry.
“Bagaimana denganmu?” Tanya Mike pada Matt.
“Ide bagus.”
“Aku penasaran dengan wanita Asia.” Kata Mike.
“Thailand.” Kata Mike lagi. “Wanita di sana berkulit eksotik dan berbadan sekal.”
“Korea.” Sahut Harry. “Aku suka mereka yang berkulit putih bersih.”
“Kau Matt?” Tanya Mike dan Harry sembari menggoyangkan tubuh sahabatnya itu.
Seketika Matt terbayang wajah Nina, membuatnya terdiam sesaat sambil tetap memutar ujung gelas yang ada di depannya.
“Matt.”
Mike dan Harry kembali mengguncangkan tubuh Matt.
“Hmm.. Nina, Indonesia.”
“What? Siapa Nina?" Sontak Mike dan Harry antusias menatap sahabatnya yang terkenal paling brengsek.
“Sepertinya dia masih perawan. Hmm, tapi dia sangat sulit untuk di dekati. Senyumnya. Hmm.” Matt tersenyum membayangkan senyum manis Nina.
“Matt, Are you okey?” Tanya Harry yang bingung dengan sahabatnya yang tengah tersenyum dan berkata sendiri.
“Kau tidak sedang sakit kan, Matt?” Tanya Harry sambil menempelkan tangannya ke kening Matt.
“Tidak. I’m Ok.” Matt dengan cepat menepis tangan Mike dari keningnya.
“Siapa dia Matt?” Tanya Harry lagi.
“Asisten rumah tangga Dav.” Jawab Matt.
“Apa? Seorang Nany?’
“Are you sure?”
Kedua teman Matt bertanya tak percaya, karena biasanya Matt bermain dengan wanita kelas atas atau model dan selebriti yang tengah naik daun. Sementara saat ini dia malah mengagungkan seorang asisten rumah tangga.
“Dia bukan asisten rumah tangga biasa. Senyumnya, hmm.. sungguh manis.” Jawab Matt.
“Kau sudah gila.” Ucap Harry tersenyum, melihat Matt yang benar-benar gila karena selalu tersenyum sendiri saat menceritakan tentang gadis yang bernama Nina.
“Hah, lama-lama aku juga bisa gila jika melihatnya seperti ini.” Ucap Mike yang berlalu pergi dan berkumpul ke depan bersama orang-orang yang menari di sana.
Tiba-tiba, di samping Harry duduk seorang wanita berparas Asia.
“Apa wanita Asia yang kau maksud sama dengannya.” Bisik Harry pada Matt dengan menunjuk wanita yang baru saja duduk di sampingnya dan memesan minuman.
Matt sedikit menoleh ke arah wanita itu. Ya, wanita itu memang memiliki sedikit kesamaan wajah dan postur tubuh, tapi yang pasti bukan asisten rumah tangga sang kakak, karena gadis yang ada di rumah Osborne, tidak berpakaian minim seperti ini.
“Hmm, sedikit banyak.” Jawab Matt ragu.
“Kalau begitu..”
Harry menaik turunkan alisnya, menantang Matt untuk bisa mendapatkan wanita itu malam ini.
“Let’s game!” Ucap Matt yang langsung berdiri dan segera menghampiri wanita Asia itu. Walau belum bisa mendapatkan gadis yang saat ini masih di berada di kediaman Osborne, setidaknya ia pernah merasakan gadis yang mirip dengannya.
“Hai.” Matt menyapa wanita itu.
“Hai.” Wanita itu pun menjawab dan menoleh ke arah Matt.
Pesona Matt mampu membuat wanita mengalihkan pandangannya. Matt duduk di samping wanita itu. sementara Harry sedikit menjauh. Harry hanya tersenyum melihat kelakuan sahabatnya yang memang sudah seperti itu sejak dulu.
“Sendiri?” Tanya Matt yang hanya di angguki wanita itu.
Tak lama kemudian, wanita yang tadinya terlihat sedih itu mulai tertawa. Matt selalu bisa membuat wanita terlena dengan bualannya. Matt mengajak wanita itu berbincang dan bersenda gurau.
Kemudian, wanita itu meneguk habis minumannya dengan sekali teguk.
“Waw, kau jago minum?” Tanya Matt.
“Tidak begitu.”
“Hmm.. Aku juga tidak jago minum.” Sahut Matt, berbohong.
“Oh ya? Sepertinya tidak terlihat seperti itu.” Ucap wanita itu dengan senyum yang manis.
“Kau orang Asia?” Tanya Matt dan wanita itu langsung mengangguk.
“Ya, Aku dari Indonesia.”
“Oh.”
Matt membulatkan bibirnya. Pucuk di cinta ulam pun tiba. Akhirnya Matt bisa merasakan tubuh wanita Indonesia, walau itu bukan Nina, gadis yang tengah mengusik pikirannya beberapa hari terakhir ini.
“Well, Bagaimana jika kita taruhan?”
“Hmm.” Wanita itu mengangkat bahunya.
“Malam ini siapa yang paling banyak minum. Jika kau menang, aku akan mentraktir semuanya, bahkan kau bisa ke tempat ini gratis selama satu bulan.”
“Oke.” Ucap wanita itu antusias.
“Dan, jika aku yang menang--."
Matt belum melanjutkan bicaranya. Namun, wanita itu menatap Matt dengan seksama.
“Kau akan menemaniku tidur selama satu bulan. Deal.”
Matt mengulurkan tangannya untuk bersalaman.
Wanita itu pun mengangkat tangannya dan menerima uluran tangan Matt. “Deal.”
Matt tersenyum menyeringai. Akhirnya, ia akan mencicipi tubuh wanita Asia, walau itu bukan orang Indonesia seperti Nina, tapi sedikit mirip dengan kulit Nina yang juga putih bersih dan bertubuh kecil imut.
Matt dan wanita itu berlomba-lomba menghabiskan minuman yang di sediakan bartender itu. Harry dan Mike yang sudah menggandeng wanita di sampingnya pun ikut menonton.
“Come on, Matt.” Ucap Mike di dukung oleh wanita di sampingnya.
Matt hanya menyeringai licik, saat melihat wanita itu sudah mulai terkapar.
“Kau kalah, Matt.” Ucap wanita itu, mata sayu dan tidak lagi duduk sempurna.
Matt menggeleng.
“Belum. Aku masih bisa meminum satu botol ini.” Jawab matt dengan anda bicara berpura-pura mabuk, padahal sebenarnya ia masih sangat sadar.
Matt berpura-ura dengan susah payah menghabiskan satu botol yang ada di tangannya, sementara wanita itu sudah tak sanggup lagi. Ia meletakkan botol yang masih berisi setengah lebih itu di meja bar.
“Oke, aku kalah. Aku sudah tida sanggup lagi.” Kata wanita itu, sambil menjatuhkan wajahnya di meja bar iu.
“Aku juga. tapi botol terakhir ini sudah aku habiskan.” Ucap Matt tersenyum.
Mike dan Harry ikut tersenyum. Mereka tahu apa yang akan Matt lakukan setelah ini.
“Matt, kalau kau sidah bosan. berikan padaku.” Ledek Mike sambil menepuk pundak Matt dan pergi bersama wanitanya.
Harry pun ikut pergi. Ia memang sedang tidak ingin berada di sini hingga larut malam. Semua orang yang menonton aksi mereka pun bubar. Mat sengaja membiarkan wanita itu tertidur di meja bar. Setelah itu, Matt baru menggendongnya dan membawanya ke apartemen.
Sesampainya di apartemen, Matt meletakkan wanita itu di ranjang. Ia membiarkan wanita itu tertidur, karena pantang untuknya having s*x dengan wanita yang sedang mabuk berat dan kehilangan kesadaran. Lalu, Matt masuk ke kamar mandi dan membersihkan diri. Setelah itu, ia pun ikut terlelap bersama wanita Asia yang sedang mabuk itu.
Perlaha Matt meneliti wajahnya. “Apa setiap wanita Indonesia memiliki wajah yang sama seperti ini?” Gumam Matt.
Wanita yang ada di hadapan Matt memang sangat mirip dengan Nina, hanya saja wanita ini bisa berdandan. Sementara Nina hanya memoleskan sedikit bibirnya dengan lipglos tipis, tanpa perona pipi apalagi eyeliner yang menghiasih matanya.
Perlahan, wanita itu terbangun. Kepalanya sangat berat. Ia terkejut dan mengecek dirinya.“Ah, pakaianku masih utuh.” Gumamnya.‘Aku bukan pria yang memanfaatkan wanita yang sedang mabuk berat.” Suara itu muncul di hadapannya.“Kau.” Wanita itu mencoba mengingat apa yang terjadi semalam.“Kau berhutang padaku. Kau kalah dan harus menemaniku tidur selama satu bulan.” Ucap Matt sembari mendaratkan dirinya di samping wanita itu.Wanita itu masih diam.“Mattew, biasa di panggil Matt.” Matt mengulurkan tangannya di hadapan wanita itu.“Lyra.” Wanita itu membalas uluran tangan Matt.Matt tersenyum. “Well, apa aktifitasmu?”“Aku mahasiswa di Universitas XX.”Matt terus memperhatikan wajah wanita itu. Mat, hidung, dan bibirnya sama persis dengan yang di miliki Nina.“Sorenya, aku bekerja part time di sebuah cafe.&r
Keesokan harinya, sepulang dari kantor, Matt sengaja mampir ke kediaman Osborne. Entah mengapa ia pun merasakan kehangatan keluarga itu.“Hai, ada perayaan tak mengundangku. Kejam sekali kau, Kak.” Ucap Mat yang tiba-tiba datang.“Aku ingin mengundangmu, tapi sepertinya kau sibuk.” Jawab David santai.“Aku tidak sibuk, jika untuk urusan keluarga. Keluarga nomor satu, bukan begitu?”Sejak kepergian ibunya, Matt merasa sangat kesepian. Walau sebelumnya pun, ia sudah merasa kesepian. Ia ingin seperti kakaknya dan memiliki keluarga.Matt menghampiri Nina yang berada di dapur. Ia pun melihat seorang pria yang menemani gadis itu di sini. Dia adalah Ardi, Ardiansyah Nugroho, adik dari Sari yang sedang menempuh pendidikan militer, tapi kali ini ia sedang libur sehingga bisa bersama keluarganya berlibur.“Hai cantik. Ini kamu yang membuat? Hmm.. manis, sama sepertimu.” Matt meneguk minuman dingin berwar
Matt sudah memulai belajar bahasa Indonesia dengan Lyra. Di setiap weekend Matt tidak lagi pergi ke club dan bermain wanita. Ia lebih memilih di apartemen bersama Lyra seharian. Lyra wanita yang cukup menyenangkan, tapi entah mengapa Matt tidak memiliki perasaan apapun padanya, justru perasaan ingin menjaga wanita itu lebih besar. Mungkin insting Matt yang sejak dulu ingin sekali memiliki adik perempuan pun timbul.“Apa Ini? Jawab aku dengan bahasa Indonesia.” Kata Lyra menggunakan bahasa Inggris.“Kursi.” Jawab Matt.“Ini?” Tanya Lyra menunjuk benda yang ada di sekitarnya.“Lemari.”“Bola.”“Gelas.”“Sendok.”“Garpu.”“Pisau.”Lyra terus menunjuk beberapa benda di sana dan Matt dengan cepat menjawab semua benda yang Lyra tunjuk dengan menggunakan bahasa Indonesia.“That’s good.” Lyr
Satu tahun kemudian, Matt dan Mike akan terbang ke Bali, semula ia ingin terbang ke jakarta untuk menemui sang kakak, keponakan dan yang utama adalah Nina, asisten kakak iparnya yang sangat ia rindukan. Entah mengapa Matt sangat terobsesi oleh gadis Indonesia itu.Matt dan Mike berangkat dengan menggunakan jet pribadi milik keluarga Osborne. Sedangkan, Harry hanya mengantarkan kedua sahabatnya dan di temani oleh Lyra.“Harry, jaga Lyra untukku.” Ucap Mike berbisik pada pria berkacamata itu.Mike memang telah menyatakan cintanya pada Lyra, tetapi wanita itu. Namun, hingga saat ini Lyra belum menjawab pernyataan cinta Mike. Bukan karena Lyra tidak menyukai Mike. Namun, Lyra tahu betul bagaimana Mike, ia hanya takut. Mengingat Mike adalah pria yang sering melakukan one night stand. Ia hanya mencoba membentengi hatinya agar tidak sakit untuk kedua kalinya.“Hmm.. oke, Tapi kau tetap harus banyak berdoa, semoga aku tidak tergoda oleh wa
Ini koper siapa, Matt?” Tanya Mike, saat mereka berada di kamar Matt.Mike dan Matt tinggal di hotel yang telah mereka akuisisi. Setelah sampai di bandara tadi pagi, Matt langsung bertemu dengan bagian legal dan hotel ini resmi menjadi milik Matt karena ia sudah membeli lagi tiga puluh persennya. Sehingga saham hotel ini delapan puluh persen adalah miliknya.“Eumm..”Matt menopangkan kedua tangannya di dada sambil mengelus dagunya. Ia mencoba mengingat insiden itu.“Matt, lihatlah!"Mike tertawa saat ia menarik bra pink yang ada di dalam koper itu.“Sepertinya, koper ini milik wanita.” Ucap Mike lagi.Mike sangat antusias mengacak-acak pakaian yang tersusun rapih di dalam koper itu.“Apa ini miliknya?” Matt dan Mike bertanyaan bersamaan.“Aku rasa begitu.” Jawab Mike.“Bagaimana aku bisa bertemu lagi dengan gadis itu?” Tanya Matt.
Din, kita jadi ke Mall?” tanya Tasya.“Iya, jadi.” Dinda merapihkan peralatan medisnya, karena waktu bertugas mereka telah selesai.“Bokap lu udah transfer?” tanya Tasya.Lama berteman dengan Tasya membuat logat Jawa Dinda memudar, karena walau mereka tinggal di Surabaya, tetapi mahasiswa yang berasal dari jakarta sangat banyak.“Udah.”Dinda dan Tasya langsung menuju kota sebelum matahari tenggelam. Mereka menaiki taksi setelah berada di jalan raya.“Stop.” Tasya melambaikan tangannya pada mobil berwarna biru itu.Mereka pun membuka pintu mobil dan masuk.“Ke Mall xxx ya pak,” kata Dinda.“Itu di mana ya, Mba? Maaf saya baru ada di Bali, jadi masih belum tau jalan.”Dinda dan Tasya menghelakan nafasnya.“Ya udah, gue buka google map dulu,” kata Dinda. Lalu, mereka jalan.Di dalam mobil, Dinda dan Tasya merasa k
Keeseokan harinya, Matt sudah siap untuk berangkat ke Bandara. Ia di antar oleh Mike. Kali ini, ia tak di temani oleh sahabatnya, karena Mike menggantikan dirinya untuk menghandle pekerjaan selama ia pergi ke Jakarta.“Kau langsung akan menikahinya?” tanya Mike.“Kalau itu tidak mungkin Mike. Aku saja tidak tahu apa dia menyukaiku atau tidak,” jawab Matt saat mereka berjalan beriringan dan memasuki bandara I Gusti Ngurah Rai.“Hei tidak biasanya kau pesimis seperti ini. Mana Matthew si penakluk wanita yang aku kenal,” ledek Mike, membuat Matt tertawa.“Mungkin itu berlaku di tempatku.”Mike tertawa. “Jago kandang.”Matt ikut tertawa.“Tapi ku lihat, kau sekarang terlalu pemilih, Bro.” Mike menghentikan kakinya, karena ia hanya bisa mengantar sahabatnya sampai di sini.“Mungkin ini karena aku terlalu terobsesi untuk menggapai cintaku, sehingga aku tida
"Matt.” David memeluk tubuh sang adik, saat Matt sudah berada di depan rumah minimalis itu.“Hai, Matt.” Sapa Sari, istri David.“Hai.” Matt memeluk sang kakak dan menyalami istrinya.“Mana keponakanku.”“Uncle.” Melvin dan Quinza berlari ke arah pamannya.Matt langsung membentangkan kedua tangannya dan berjongkok untuk memeluk kedua keponakannya yang ganteng dan cantik itu.Matt mencium Melvin dan bergantian pada Quinza. Matt menggendong anak perempuan sang kakak.“Quinza, makin cantik saja kamu,” kata Matt sembari menciumi wajah anak perempuan David dan Sari.“Stop, jangan kau ciumi terus anak perempuanku. Nanti kau menyukainya,” kata David.“Apa aku gila? Menyukai keponakan sendiri.” Jawab Matt sambil berjalan ke dalam rumah minimalis tapi tetap mewah itu.“Zaman sekarang memang sudah gila, Matt. Bahkan ada ayah yang
Matt dan Nina berada di dalam mobil. Mereka hendak pergi ke Bandung untuk menemui orang tua dan keluarga Nina yag berada di desa itu.Sesekali Nina melirik ke arah Matt yang serius menyetir. Matt pun ikut melirik ke arah Nina, sesaat mereka saling berpandangan dan tersenyum.“Kenapa?” tanya Matt.Nina menggeleng. “Ngga apa-apa.”Matt mengeryitkan dahinya.“Aku tuh suka takut sama pria yang bertato.” Ucap Nina yang memang selalu melihat ke arah leher Matt yang terdapat garis berbentuk Z.“Keluargamu juga takut dengan pria bertato sepertiku?” tanya Matt.Nina mengangguk, tapi tetap tersenyum.“Tidak semua pria bertato itu jahat, Sayang,” ucap Matt.“Iya, tapi di tempatku itu desa banget. Tidak modern dan pastinya kamu adalah orang asing yang baru datang di desaku.”“Oh ya? Pasti seru,” ucap Matt santai.“Bye the way, kit
Pagi ini Dinda bersiap untuk kembali ke Bali. Ia tak melihat Tristan sejak semalam. Entah pamannya itu marah atau tidak padany, ia tak peduli. Untung, hari ini ia akan kembali ke Bali dan tak melihat pamannya lagi.“Ma, Tristan sudah berangkat?” tanya Melati pada ibunya saat di meja makan.“Sudah, dia berangkat dengan penerbangan paling pagi,” jawab Nenek Dinda.“Oh.”“Memang Om Trsitan kemana, Ma?” tanya Dinda ingin tahu..“Om mu sudah berangkat lagi ke Australia. Ternyata kantor pusatnya di sana, menarik dia kembali ke sana, karena teman yang menggantikan posisinya di sana kecelakaan,” jawab Kakek Dinda.Tristan memang berkuliah di Australia dan mendapatkan pekerjaan di sana. Sudah cukup lama Tristan bekerja di negara itu, hingga mendapatkan posisi yang bagus. Pernah ia mencoba untuk berhenti dari pekerjaannya dan ingin menetap di Malang saat Dinda lulus SMA, tapi akhirnya Tristan
Matt mengendarai mobilnya hingga sampai di halaman rumah sang kakak. Di sana, sudah terlihat mobil David yang terparkir. Matt masih tersenyum mengingat betapa anehnya wanita yang baru saja ia antar pulang dari bandara.Setelah mematikan mesin mobil, Matt keluar dan mendapati Nina tengah bermain bersama Melvin dan Quinza di halaman rumah itu.“Melvin mana ya.. Quinza cantik.” Nina di tutup kedua matanya dengan kain dan berusaha menangkap Melvin dan Quinza yang sedang berlarian mengelilinginya.Matt tersenyum ke arah gadis lembut itu.“Ssstt.” Matt menutup bibirnya dengan jari telunjuk ke arah Melvin dan Quinza.Melvin dan Quinza hanya tertawa cekikikan tanpa suara, pasalnya Matt sengaja berjongkok agar Nina mengira bahwa dirinya adalah Melvin.“Nah, ya. Melvin ke tangkepetangkep.” Nina memeluk kepala Matt yang ia kira adalah Melvin.Matt merasa di atas angin, karena Nina memeluknya kepalanya erat sam
Dinda masih belum pulang ke Bali. Ia meminta izin pada Tasya dan rekan-rekannya yang ada di sana untuk bermalam dua hari lagi di Jakarta, karena hari ini ia mengantarkan Ardi untuk berangkat ke Florida.“Matt, Supir Mas David tidak bisa ke sini karena sedang mengantarkan klien. Bisakah kau mengantarku untuk mengantarkan Ardi ke bandara?” tanya kakak iparnya.Matt mengangguk. “Apa Nina juga ikut?”Sari menggeleng. “Dia menjaga anak-anak saja di rumah, sekalian memberi arahan pada pengasuh baru yang akan menggantinya nanti.”Matt kembali menganggukkan kepalanya.Tak lama kemudian, Matt mengganti baju dan bersiap untuk mengantarkan Sari menjemput keluarganya di Panti asuhan, lalu mengantar Ardi ke Bandara. Sementara di tempat yang berbeda, Dinda pun bersiap ke Bandara untuk melepas kekasihnya di sana.“Din, Mama tidak bisa menemanimu ke Bandara, karena mendadak mama harus menemani papa, saudara jauh pap
David beserta istri dan anaknya melajukan mobil menuju Panti asuhan milik ibu David yang kini di kelola oleh orang tua Sari. sedangkan Matt, mengikuti mobil sang kakak bersama Nina.“Rumahmu di mana Nin?” tanya Matt pada Nina, kerena di mobil ini hanya ada mereka berdua.“Di Bandung. Tapi di Desanya.”“Bandung itu di mana?” tanya Matt lagi.“Di Jawa Barat, tempatnya sejuk. Nanti akan aku ajak kamu ke sana.”“Boleh, kapan?”“Apanya?” Nina tadi yang mengajak Matt ke kampungnya, tapi dia juga yang bingung jika ternyata Matt benar-benar akan datang ke sana. Pasalnya tadi, Nina hanya sekedar berbasa basi.“Ke rumahmu.”“Untuk apa?” tanya Nina.“Bertemu keluargamu.”“Untuk apa?” tanya Nina lagi.“Kamu maunya untuk apa? Melamar?” Matt tersenyum jahil.Sontak Nina terkejut. Seda
Dinda bersama kedua orang tua dan Kakek Neneknya sedang menikmati makan malam.“Berapa lama kamu di Bali, Din?” tanya Baskoro, Kakek Dinda.“Kalau cepat dua tahun, Opa,” jawab Dinda.“Semoga cepat selesai ya, sayang. Terus kamu visa praktek di sini,” imbuh Risma, Nenek Dinda.“Belum, Oma. Perjalanan Dinda masih jauh kalau ingin praktek. Dinda belum ikut tes Ujian Kompetensi Dokter Indonesia. Setelah mendapatkan itu, baru Dinda bisa praktek dan benar-benar menjadi dokter,” jawab Dinda.“Memang untuk meraih cita-cita itu harus sabar dan penuh perjuangan, Din,” kata Wisnu, Ayah Dinda.Sejak kecil, ia memang ingin sekali menjadi seorang dokter. Dulu, ia sering main dokter-dokteran dengan sang paman dan beberapa kali Tristan meminta di periksa alat vitalnya kala itu. Dinda yang masih kecil pun hanya memegang dan memijat seperti arahan sang paman tanpa mengerti maksudnya.Tak lama
"Matt.” David memeluk tubuh sang adik, saat Matt sudah berada di depan rumah minimalis itu.“Hai, Matt.” Sapa Sari, istri David.“Hai.” Matt memeluk sang kakak dan menyalami istrinya.“Mana keponakanku.”“Uncle.” Melvin dan Quinza berlari ke arah pamannya.Matt langsung membentangkan kedua tangannya dan berjongkok untuk memeluk kedua keponakannya yang ganteng dan cantik itu.Matt mencium Melvin dan bergantian pada Quinza. Matt menggendong anak perempuan sang kakak.“Quinza, makin cantik saja kamu,” kata Matt sembari menciumi wajah anak perempuan David dan Sari.“Stop, jangan kau ciumi terus anak perempuanku. Nanti kau menyukainya,” kata David.“Apa aku gila? Menyukai keponakan sendiri.” Jawab Matt sambil berjalan ke dalam rumah minimalis tapi tetap mewah itu.“Zaman sekarang memang sudah gila, Matt. Bahkan ada ayah yang
Keeseokan harinya, Matt sudah siap untuk berangkat ke Bandara. Ia di antar oleh Mike. Kali ini, ia tak di temani oleh sahabatnya, karena Mike menggantikan dirinya untuk menghandle pekerjaan selama ia pergi ke Jakarta.“Kau langsung akan menikahinya?” tanya Mike.“Kalau itu tidak mungkin Mike. Aku saja tidak tahu apa dia menyukaiku atau tidak,” jawab Matt saat mereka berjalan beriringan dan memasuki bandara I Gusti Ngurah Rai.“Hei tidak biasanya kau pesimis seperti ini. Mana Matthew si penakluk wanita yang aku kenal,” ledek Mike, membuat Matt tertawa.“Mungkin itu berlaku di tempatku.”Mike tertawa. “Jago kandang.”Matt ikut tertawa.“Tapi ku lihat, kau sekarang terlalu pemilih, Bro.” Mike menghentikan kakinya, karena ia hanya bisa mengantar sahabatnya sampai di sini.“Mungkin ini karena aku terlalu terobsesi untuk menggapai cintaku, sehingga aku tida
Din, kita jadi ke Mall?” tanya Tasya.“Iya, jadi.” Dinda merapihkan peralatan medisnya, karena waktu bertugas mereka telah selesai.“Bokap lu udah transfer?” tanya Tasya.Lama berteman dengan Tasya membuat logat Jawa Dinda memudar, karena walau mereka tinggal di Surabaya, tetapi mahasiswa yang berasal dari jakarta sangat banyak.“Udah.”Dinda dan Tasya langsung menuju kota sebelum matahari tenggelam. Mereka menaiki taksi setelah berada di jalan raya.“Stop.” Tasya melambaikan tangannya pada mobil berwarna biru itu.Mereka pun membuka pintu mobil dan masuk.“Ke Mall xxx ya pak,” kata Dinda.“Itu di mana ya, Mba? Maaf saya baru ada di Bali, jadi masih belum tau jalan.”Dinda dan Tasya menghelakan nafasnya.“Ya udah, gue buka google map dulu,” kata Dinda. Lalu, mereka jalan.Di dalam mobil, Dinda dan Tasya merasa k