Dor Dor Dor
Matt sedang berlatih menembak di pekarangan rumahnya. Sudah dua hari, ia pulng ke Villa untuk menemani sang ibu.
“Hai, Matt, kau di sini?” Tanya Mike yang langsung menghampiri sahabatya, setelah memarkirkan mobilnya asal.
Mike cuek dan tetap memfokuskan diri dengan terus menembakkan peluru ke arah target. Kali ini targetnya adalah botol-botol kaleng yang di letakkannya cukup jauh darinya.
Dor
Matt menumbangkan satu botol kaleng yang tersisa.
Prok.. Prok..
“Luar biasa, bidikanmu semakin oke.” Kata Mike.
Kemudian, Matt melepaskan semua atribut menebaknya dan meminum botol bir yang tersedia di meja santai.
“Aku membawa kabar, kakakmu akan datang ke sini minggu depan.” Ucap Mike yang kini menjadi asisten pribadi Matt di perusahaan ayahnya.
Hari ini, Matt memang tidak ke kantor. Ia ingin menemani sang ibu yang terus merengek minta untuk tidak di tinggalkan. Oleh karenanya, Mike mengurus semua urusan Matt hari ini.
“Dari mana kau tau informasi itu?” Tanya Matt sembari menyesap minumannya.
“Aku tak sengaja mendengar percakapan Paman Sam dan George saat di lift.”
Matt terdiam.
“Kau tahu, David akan datang bersama keluarganya, bahkan keluarga istrinya.”
Matt tersenyum.
“Hei apa kau iri dengan kakakmu?” Tanya Mike.
“Tidak. Aku tidak iri, hanya saja mungkin aku akan mengikuti jejaknya.”
“Well, memang katanya wanita asia itu menarik, kulitnya mulus dan eksotik. Dan satu lagi yang paling penting.” Kata Mike.
“Apa?” Tanya Matt.
“Miliknya sangat sempit dan menjepit.” Jawab Mike dengan nada sensual.
“Ah, sial.” Matt menggelengkan kepalanya, sambil kembali meneguk minumannya dengan tubuh berdiri tegap dan hanya mengenakan celana jeans pendek bertelanjang dada.
Mike tertawa.
“Next, kita akan menikmati itu.”
“Kapan?” Tanya Matt.
“Pastinya setelah semua urusan di sini bisa di tinggalkan.”
“Oke.”
Matt mengangguk.
Setelah berbincang dengan Mike sebentar, Mike pun pamit. Matt kembali memasuki rumahnya.
“Mom, kau tak boleh lagi meminum ini.” Matt mengambil botol alkohol yang ada di hadapan sang ibu dan membuangnya.
Kini Caroline di vonis mengidap kerusakan hati akut. Ia tak di perbolehkan lagi untuk meminum minuman beralkohol, tapi Caroline bandel dan selalu mencuri-curi minuman itu.
“Aku tidak akan mati, hanya dengan meminum minuman itu sedikit.” Ucap Caroline.
“Sedikit atau banyak, tetap tidak boleh, Mom.” Matt lebih perhatian pada sang ibu, mengingat menurut dokter sakit yang di derita sang ibu cukup serius.
Walau Matt tidak suka dengan sikap sang ibu sebelumnya, tapi kini wanita itu sudah jauh lebih baik. Sudah lebih dari lima tahun, ia tak lagi membawa pria ke rumah ini. Namun, kebiasaannya meminum minuman beralkohol tinggi, tidak bisa di hindari.
“Matt, tinggallah di sini bersama ibumu. Aku kesepian.” Kata Caroline lagi, sesaat sebelum Matt melaju menuju kamarnya di lantai dua.
Matt menatap sang ibu yang tengah menatapnya. Ia mengangguk, membuat sang ibu tersenyum gembira.
****
Mattew berangkat ke kantor hari ini. ia tidak bisa lagi tidak ke kantor, karena kemarin banyak urusan yang tertunda karena ketidak hadirannya, hingga Paman Sam pun murka dan memarahinya dengan keras.
“Matt, kau pergi?”
“Sebentar, Mom. Aku harus kerja. Kalau tidak urusan di kantor akan berantakan. Lagi pula aku malas mendengar ocehan pria tua itu.” Pria tua yang Matt maksud adalah Paman Sam.
“Dia itu pamanmu. Walau dia tak pernah menyukai Mommy, tapi dia tetap baik pada kita.” Ucap Caroline.
“Ya, ya.” Jawab Matt malas.
Memang, Matt akui, Paman Sam adalah orang baik. Pria itu selalu mamarahi Matt karena memang sikapnya yang membuat kepala Sam pusing. Terkadang Matt mengeluarkan uang perusahaan hanya untuk hal yang tidak perlu sama sekali. Ya, Mat sering membelika rumah mewah untuk wanita yang menjadi pacarnya. Walau pacaran mereka pun paling lama hanya bertahan dua tahun.
Lalu, Matt mencium kening sang ibu sebelum pergi.
“Matt.” Panggil Caroline.
“Mommy mencintaimu.” Ucap Caroline lagi dengan senyum yang manis. Senyum yang tak pernah Matt lihat sejak sang ayah meninggal.
Mat kembali menghampiri sang ibu. “Aku juga mencintaimu, Mom.”
“Ingat, jangan kau sentuh minuman minuman itu. aku sudah membuangnya semua.” Ujar Mat sebelum benar-benar meninggalkan sang ibu.
“Apa? Yang di sana kau buang semua. Matt, Mommy baru membelinya.” Teriak Caroline, yang hanya di balsa dengan senyum menyeringai dari sang putra.
Padahal Caroline mati-matian menyisihkan uang yang piutranya berikan hanya untuk membeli vo*ka termahal di negeri ini.
“Bye, Mom.”
Matt melambaikan tangannya sesaat sebelum memasuki mobil.
Caroline mengantar putranya hingga pekarangan. Ia tersenyum melihat putranya yang semakin dewasa. Walau Matt terlihat cuek dan semaunya, tapi ia beruntung karena putranya sangat perhatian.
Di kantor, hari ini pekerjaan sangat banyak. Mungkin karena kemarin ia mendadak tidak masuk, membuat semua pekerjaannya menumpuk hari ini.
“Mike, kapan aku bisa pulang? Aku meninggalkan ibuku sendiri di rumah.” Kata Matt.
“Satu lagi.” Mike kembali menyerahkan dokumen penting pada Matt untuk di tandatangani.
“Aku juga ingin segera pulang, Matt.”
Matt menyipitkan matanya. “Pulang ke rumah wanita mana lagi kau?”
Mike tersenyum menyeringai. “Kapan-kapan akan aku kenali.”
Matt menggeleng.
“Bagaimana wanita itu? wanita yang kau tolong saat mabuk di club xx.” Tanya Mike.
“Entahlah, dia pergi tanpa kabar.”
“Kau yang tidak pernah mengabarinya. Oleh karena itu dia pergi.”
Matt menghelakan anfasnya kasar. “Entahlah, aku sedang tidak memikirkan wanita. Hari ini justru aku mengkhawatirkan mommy.” Jawab Matt lirih.
“Setelah ini, kita bisa pulang.” Ucap Mike.
****
“Mom.” Panggil Matt saat ia tiba di rumahnya.
Perlahan Matt menyalakan semua lampu. Semua ruangan terlihat gelap.
“Mom.” Panggil Matt lagi, saat ia sudah memasuki kamar sang ibu.
Terdengar guyuran air di kaamr mandi. Lampu itu pun tengah menyala dengan terang di sana.
“Mom.”
Matt kembali memanggil sang ibu dan mengetukkan pintu kaamr mandi.
“Aku membawakan pizza, makanan kesukaanmu.”
Caroline tetap tak menjawab atau pun membuka pintu itu.
“Mom.”
Matt kembali mengetuk pintu itu. Ia mencoba meraih gagang pintu dan membukanya.
“Mom.” Teriak Matt saat mendapati sang ibu terbujur kaku di atas bath up.
Ia berlari menghampiri sang ibu dan berusaha mengambil tubuh sang ibu yang tengah berendam tanpa sehelai benangpun.
“Mom, mengapa kau meninggalkanku. Mom.” Teriak Matt dengan deraian air mata.
Ternyata percakapan mereka tadi pagi, adalah percakapan terakhir. Mata Matt berkelana ke sekeliling kamar mandi itu. benar saja, di sana banyak botol minuman berserakan. Di duga Caroline tengah menghabiskan banyak minuman beralkohol itu dan akhirnya tubuhnya tidak kuat untuk menerima itu. Suhu tubuh Caroline tiba-tiba panas dan ia berendam. Nyawanya tidak tertolong saat ia merendamkan tubuhnya di sana.
Beberapa menit kemudian, ambulans dan mobil polisi datang. Tidak ada bekas-bekas kekerasan dalam tubuh Caroline. Menurut, forensik yang langsung mengecek tubuh sang ibu. Kuat dugaan Caroline meninggal karena kebanyakan mminum.
“Mom.” Teriak Matt lirih saat ambulans membawa jasad sang ibu untuk di bawa ke rumah duka.
Sam dan George pun sudah tiba di rumah itu. Sam dan George yang mengurus semua pemakaman nanti. Mike pun sudah ada di tempat itu. Mike selalu mendampingi sahabatnya.
“Mike, Bagaimana keadaan Matt?" Tanya Harry, sambil berlari memasuki rumah Matt saat semua kembali sepi.
“Ibunya sudah meninggal.” Jawab Mike
“Ya Tuhan.”
Harry langsung menghampiri sahabatnya yang terduduk lemas di sofa.
“Kertas-kertas sialan itu, yang membuatku tertahan, Mike. Aku terlambat pulang.” Teriak Matt tiba-tiba.
“Tidak Matt, ini semua takdir. Ibumu memang sudah sakit parah tapi tetap melanggar pantangannya.” Jawab Mike.
“Aku kehilangan lagi orang yang aku cintai.” Matt meremas rambutnya sendiri. Ia menangis.
“Semua datang dan pergi, Matt. Tidak selamanya orang yang kita sayangi akan selalu ada menemani kita.” Ucap Harry.
Matt berdiri dan menatap keluar jendela. Ia menatap bunga bunga yang sering di sirami oleh sang ibu. “Goodbye, Mom.”
"Matt.” Panggil Mike yang melihat sahabatnya terus menegukkan minuman ke tenggorokan.“Jangan mabuk, Matt!”Harry pun memperingatkan sahabatnya itu. Pasalnya Matt pria paling ribet jika mabuk, ia akan banyak bicara dan sangat menyusahkan.“No, aku tidak mabuk.” Ucap Matt.“Kau memang tidak boleh mabuk. Bukankah malam ini, kau ingin ke rumah besar keluarga Osborne?” Tanya Mike.Mereka berbicara dalam bahasa Inggris.“Hmm.” Jawab Matt singkat.Ia memang belum mabuk sepenuhnya, hanya sedikit berat di bagian kepala.“Sepertinya, kau mabuk Matt. Lebih baik kau ke apartemenku.” Kata Harry yang kini sudah menjadi dosen di sebuah universitas ternama di London.Pria berkacamata itu hendak membantu Matt untuk berdiri.“Come on, Harry. Aku tidak mabuk.” Kata Matt yang berdiri sendiri saja sampai terjatuh-jatuh.“Seperti ini kau bilang
Sejak semalam, kedua mata Matt tak bisa di pejamkan. Sosok wajah Nina selalu membayangi pikirannya. Entah mengapa, gadis itu mampu mmbuatnya tertarik, padahal perawakan Nina sangat jauh wanita-wanita yang selama ini mengisi waktu luang Matt.Matthew menginap di rumah besar keluarga Osborne bersama David dan keluarganya. Ia bangun, lalu membuka jendela kamar. Matanya berkeliling menikmati matahari yang bersinar dan hamparan bunga serta rumput yang tertata rapih di halaman belakang rumah itu. Halaman belakang yang luas seperti sebuah taman.Kemudian, mata Matt terdiam lama pada sosok wanita yang dari semalam wajahnya berseliweran dalam pikiran. Gadis itu terlihat sedang menyuapi bayi berusia sembilan bulan. Matt tersenyum sambil bersidekap memegang dagunya. Ia melihat senyum yang tulus dari seorang pengasuh. Melvin yang tengah duduk di stroler itu pun tertawa bersama pengasuhnya sambil menikmati sarapan pagi.Matt bergegas memakai pakaiannya. Ia turun dan menghamp
“Hai, Matt.” Sapa Harry yang langsung duduk di sebelah Matt.“Musim panas nanti, kau akan kemana?” Tanya Harry.Matt menggeleng. “Belum terpikir.”“Bagaimana jika kita berkeliling Asia.” Ucap Mike sembari merangkul kedua sahabatnya yang tengah duduk di meja bar.“Setuju.” Ucap Harry.“Bagaimana denganmu?” Tanya Mike pada Matt.“Ide bagus.”“Aku penasaran dengan wanita Asia.” Kata Mike.“Thailand.” Kata Mike lagi. “Wanita di sana berkulit eksotik dan berbadan sekal.”“Korea.” Sahut Harry. “Aku suka mereka yang berkulit putih bersih.”“Kau Matt?” Tanya Mike dan Harry sembari menggoyangkan tubuh sahabatnya itu.Seketika Matt terbayang wajah Nina, membuatnya terdiam sesaat sambil tetap memutar ujung gelas yang ada di depannya.“Matt.”
Perlahan, wanita itu terbangun. Kepalanya sangat berat. Ia terkejut dan mengecek dirinya.“Ah, pakaianku masih utuh.” Gumamnya.‘Aku bukan pria yang memanfaatkan wanita yang sedang mabuk berat.” Suara itu muncul di hadapannya.“Kau.” Wanita itu mencoba mengingat apa yang terjadi semalam.“Kau berhutang padaku. Kau kalah dan harus menemaniku tidur selama satu bulan.” Ucap Matt sembari mendaratkan dirinya di samping wanita itu.Wanita itu masih diam.“Mattew, biasa di panggil Matt.” Matt mengulurkan tangannya di hadapan wanita itu.“Lyra.” Wanita itu membalas uluran tangan Matt.Matt tersenyum. “Well, apa aktifitasmu?”“Aku mahasiswa di Universitas XX.”Matt terus memperhatikan wajah wanita itu. Mat, hidung, dan bibirnya sama persis dengan yang di miliki Nina.“Sorenya, aku bekerja part time di sebuah cafe.&r
Keesokan harinya, sepulang dari kantor, Matt sengaja mampir ke kediaman Osborne. Entah mengapa ia pun merasakan kehangatan keluarga itu.“Hai, ada perayaan tak mengundangku. Kejam sekali kau, Kak.” Ucap Mat yang tiba-tiba datang.“Aku ingin mengundangmu, tapi sepertinya kau sibuk.” Jawab David santai.“Aku tidak sibuk, jika untuk urusan keluarga. Keluarga nomor satu, bukan begitu?”Sejak kepergian ibunya, Matt merasa sangat kesepian. Walau sebelumnya pun, ia sudah merasa kesepian. Ia ingin seperti kakaknya dan memiliki keluarga.Matt menghampiri Nina yang berada di dapur. Ia pun melihat seorang pria yang menemani gadis itu di sini. Dia adalah Ardi, Ardiansyah Nugroho, adik dari Sari yang sedang menempuh pendidikan militer, tapi kali ini ia sedang libur sehingga bisa bersama keluarganya berlibur.“Hai cantik. Ini kamu yang membuat? Hmm.. manis, sama sepertimu.” Matt meneguk minuman dingin berwar
Matt sudah memulai belajar bahasa Indonesia dengan Lyra. Di setiap weekend Matt tidak lagi pergi ke club dan bermain wanita. Ia lebih memilih di apartemen bersama Lyra seharian. Lyra wanita yang cukup menyenangkan, tapi entah mengapa Matt tidak memiliki perasaan apapun padanya, justru perasaan ingin menjaga wanita itu lebih besar. Mungkin insting Matt yang sejak dulu ingin sekali memiliki adik perempuan pun timbul.“Apa Ini? Jawab aku dengan bahasa Indonesia.” Kata Lyra menggunakan bahasa Inggris.“Kursi.” Jawab Matt.“Ini?” Tanya Lyra menunjuk benda yang ada di sekitarnya.“Lemari.”“Bola.”“Gelas.”“Sendok.”“Garpu.”“Pisau.”Lyra terus menunjuk beberapa benda di sana dan Matt dengan cepat menjawab semua benda yang Lyra tunjuk dengan menggunakan bahasa Indonesia.“That’s good.” Lyr
Satu tahun kemudian, Matt dan Mike akan terbang ke Bali, semula ia ingin terbang ke jakarta untuk menemui sang kakak, keponakan dan yang utama adalah Nina, asisten kakak iparnya yang sangat ia rindukan. Entah mengapa Matt sangat terobsesi oleh gadis Indonesia itu.Matt dan Mike berangkat dengan menggunakan jet pribadi milik keluarga Osborne. Sedangkan, Harry hanya mengantarkan kedua sahabatnya dan di temani oleh Lyra.“Harry, jaga Lyra untukku.” Ucap Mike berbisik pada pria berkacamata itu.Mike memang telah menyatakan cintanya pada Lyra, tetapi wanita itu. Namun, hingga saat ini Lyra belum menjawab pernyataan cinta Mike. Bukan karena Lyra tidak menyukai Mike. Namun, Lyra tahu betul bagaimana Mike, ia hanya takut. Mengingat Mike adalah pria yang sering melakukan one night stand. Ia hanya mencoba membentengi hatinya agar tidak sakit untuk kedua kalinya.“Hmm.. oke, Tapi kau tetap harus banyak berdoa, semoga aku tidak tergoda oleh wa
Ini koper siapa, Matt?” Tanya Mike, saat mereka berada di kamar Matt.Mike dan Matt tinggal di hotel yang telah mereka akuisisi. Setelah sampai di bandara tadi pagi, Matt langsung bertemu dengan bagian legal dan hotel ini resmi menjadi milik Matt karena ia sudah membeli lagi tiga puluh persennya. Sehingga saham hotel ini delapan puluh persen adalah miliknya.“Eumm..”Matt menopangkan kedua tangannya di dada sambil mengelus dagunya. Ia mencoba mengingat insiden itu.“Matt, lihatlah!"Mike tertawa saat ia menarik bra pink yang ada di dalam koper itu.“Sepertinya, koper ini milik wanita.” Ucap Mike lagi.Mike sangat antusias mengacak-acak pakaian yang tersusun rapih di dalam koper itu.“Apa ini miliknya?” Matt dan Mike bertanyaan bersamaan.“Aku rasa begitu.” Jawab Mike.“Bagaimana aku bisa bertemu lagi dengan gadis itu?” Tanya Matt.
Matt dan Nina berada di dalam mobil. Mereka hendak pergi ke Bandung untuk menemui orang tua dan keluarga Nina yag berada di desa itu.Sesekali Nina melirik ke arah Matt yang serius menyetir. Matt pun ikut melirik ke arah Nina, sesaat mereka saling berpandangan dan tersenyum.“Kenapa?” tanya Matt.Nina menggeleng. “Ngga apa-apa.”Matt mengeryitkan dahinya.“Aku tuh suka takut sama pria yang bertato.” Ucap Nina yang memang selalu melihat ke arah leher Matt yang terdapat garis berbentuk Z.“Keluargamu juga takut dengan pria bertato sepertiku?” tanya Matt.Nina mengangguk, tapi tetap tersenyum.“Tidak semua pria bertato itu jahat, Sayang,” ucap Matt.“Iya, tapi di tempatku itu desa banget. Tidak modern dan pastinya kamu adalah orang asing yang baru datang di desaku.”“Oh ya? Pasti seru,” ucap Matt santai.“Bye the way, kit
Pagi ini Dinda bersiap untuk kembali ke Bali. Ia tak melihat Tristan sejak semalam. Entah pamannya itu marah atau tidak padany, ia tak peduli. Untung, hari ini ia akan kembali ke Bali dan tak melihat pamannya lagi.“Ma, Tristan sudah berangkat?” tanya Melati pada ibunya saat di meja makan.“Sudah, dia berangkat dengan penerbangan paling pagi,” jawab Nenek Dinda.“Oh.”“Memang Om Trsitan kemana, Ma?” tanya Dinda ingin tahu..“Om mu sudah berangkat lagi ke Australia. Ternyata kantor pusatnya di sana, menarik dia kembali ke sana, karena teman yang menggantikan posisinya di sana kecelakaan,” jawab Kakek Dinda.Tristan memang berkuliah di Australia dan mendapatkan pekerjaan di sana. Sudah cukup lama Tristan bekerja di negara itu, hingga mendapatkan posisi yang bagus. Pernah ia mencoba untuk berhenti dari pekerjaannya dan ingin menetap di Malang saat Dinda lulus SMA, tapi akhirnya Tristan
Matt mengendarai mobilnya hingga sampai di halaman rumah sang kakak. Di sana, sudah terlihat mobil David yang terparkir. Matt masih tersenyum mengingat betapa anehnya wanita yang baru saja ia antar pulang dari bandara.Setelah mematikan mesin mobil, Matt keluar dan mendapati Nina tengah bermain bersama Melvin dan Quinza di halaman rumah itu.“Melvin mana ya.. Quinza cantik.” Nina di tutup kedua matanya dengan kain dan berusaha menangkap Melvin dan Quinza yang sedang berlarian mengelilinginya.Matt tersenyum ke arah gadis lembut itu.“Ssstt.” Matt menutup bibirnya dengan jari telunjuk ke arah Melvin dan Quinza.Melvin dan Quinza hanya tertawa cekikikan tanpa suara, pasalnya Matt sengaja berjongkok agar Nina mengira bahwa dirinya adalah Melvin.“Nah, ya. Melvin ke tangkepetangkep.” Nina memeluk kepala Matt yang ia kira adalah Melvin.Matt merasa di atas angin, karena Nina memeluknya kepalanya erat sam
Dinda masih belum pulang ke Bali. Ia meminta izin pada Tasya dan rekan-rekannya yang ada di sana untuk bermalam dua hari lagi di Jakarta, karena hari ini ia mengantarkan Ardi untuk berangkat ke Florida.“Matt, Supir Mas David tidak bisa ke sini karena sedang mengantarkan klien. Bisakah kau mengantarku untuk mengantarkan Ardi ke bandara?” tanya kakak iparnya.Matt mengangguk. “Apa Nina juga ikut?”Sari menggeleng. “Dia menjaga anak-anak saja di rumah, sekalian memberi arahan pada pengasuh baru yang akan menggantinya nanti.”Matt kembali menganggukkan kepalanya.Tak lama kemudian, Matt mengganti baju dan bersiap untuk mengantarkan Sari menjemput keluarganya di Panti asuhan, lalu mengantar Ardi ke Bandara. Sementara di tempat yang berbeda, Dinda pun bersiap ke Bandara untuk melepas kekasihnya di sana.“Din, Mama tidak bisa menemanimu ke Bandara, karena mendadak mama harus menemani papa, saudara jauh pap
David beserta istri dan anaknya melajukan mobil menuju Panti asuhan milik ibu David yang kini di kelola oleh orang tua Sari. sedangkan Matt, mengikuti mobil sang kakak bersama Nina.“Rumahmu di mana Nin?” tanya Matt pada Nina, kerena di mobil ini hanya ada mereka berdua.“Di Bandung. Tapi di Desanya.”“Bandung itu di mana?” tanya Matt lagi.“Di Jawa Barat, tempatnya sejuk. Nanti akan aku ajak kamu ke sana.”“Boleh, kapan?”“Apanya?” Nina tadi yang mengajak Matt ke kampungnya, tapi dia juga yang bingung jika ternyata Matt benar-benar akan datang ke sana. Pasalnya tadi, Nina hanya sekedar berbasa basi.“Ke rumahmu.”“Untuk apa?” tanya Nina.“Bertemu keluargamu.”“Untuk apa?” tanya Nina lagi.“Kamu maunya untuk apa? Melamar?” Matt tersenyum jahil.Sontak Nina terkejut. Seda
Dinda bersama kedua orang tua dan Kakek Neneknya sedang menikmati makan malam.“Berapa lama kamu di Bali, Din?” tanya Baskoro, Kakek Dinda.“Kalau cepat dua tahun, Opa,” jawab Dinda.“Semoga cepat selesai ya, sayang. Terus kamu visa praktek di sini,” imbuh Risma, Nenek Dinda.“Belum, Oma. Perjalanan Dinda masih jauh kalau ingin praktek. Dinda belum ikut tes Ujian Kompetensi Dokter Indonesia. Setelah mendapatkan itu, baru Dinda bisa praktek dan benar-benar menjadi dokter,” jawab Dinda.“Memang untuk meraih cita-cita itu harus sabar dan penuh perjuangan, Din,” kata Wisnu, Ayah Dinda.Sejak kecil, ia memang ingin sekali menjadi seorang dokter. Dulu, ia sering main dokter-dokteran dengan sang paman dan beberapa kali Tristan meminta di periksa alat vitalnya kala itu. Dinda yang masih kecil pun hanya memegang dan memijat seperti arahan sang paman tanpa mengerti maksudnya.Tak lama
"Matt.” David memeluk tubuh sang adik, saat Matt sudah berada di depan rumah minimalis itu.“Hai, Matt.” Sapa Sari, istri David.“Hai.” Matt memeluk sang kakak dan menyalami istrinya.“Mana keponakanku.”“Uncle.” Melvin dan Quinza berlari ke arah pamannya.Matt langsung membentangkan kedua tangannya dan berjongkok untuk memeluk kedua keponakannya yang ganteng dan cantik itu.Matt mencium Melvin dan bergantian pada Quinza. Matt menggendong anak perempuan sang kakak.“Quinza, makin cantik saja kamu,” kata Matt sembari menciumi wajah anak perempuan David dan Sari.“Stop, jangan kau ciumi terus anak perempuanku. Nanti kau menyukainya,” kata David.“Apa aku gila? Menyukai keponakan sendiri.” Jawab Matt sambil berjalan ke dalam rumah minimalis tapi tetap mewah itu.“Zaman sekarang memang sudah gila, Matt. Bahkan ada ayah yang
Keeseokan harinya, Matt sudah siap untuk berangkat ke Bandara. Ia di antar oleh Mike. Kali ini, ia tak di temani oleh sahabatnya, karena Mike menggantikan dirinya untuk menghandle pekerjaan selama ia pergi ke Jakarta.“Kau langsung akan menikahinya?” tanya Mike.“Kalau itu tidak mungkin Mike. Aku saja tidak tahu apa dia menyukaiku atau tidak,” jawab Matt saat mereka berjalan beriringan dan memasuki bandara I Gusti Ngurah Rai.“Hei tidak biasanya kau pesimis seperti ini. Mana Matthew si penakluk wanita yang aku kenal,” ledek Mike, membuat Matt tertawa.“Mungkin itu berlaku di tempatku.”Mike tertawa. “Jago kandang.”Matt ikut tertawa.“Tapi ku lihat, kau sekarang terlalu pemilih, Bro.” Mike menghentikan kakinya, karena ia hanya bisa mengantar sahabatnya sampai di sini.“Mungkin ini karena aku terlalu terobsesi untuk menggapai cintaku, sehingga aku tida
Din, kita jadi ke Mall?” tanya Tasya.“Iya, jadi.” Dinda merapihkan peralatan medisnya, karena waktu bertugas mereka telah selesai.“Bokap lu udah transfer?” tanya Tasya.Lama berteman dengan Tasya membuat logat Jawa Dinda memudar, karena walau mereka tinggal di Surabaya, tetapi mahasiswa yang berasal dari jakarta sangat banyak.“Udah.”Dinda dan Tasya langsung menuju kota sebelum matahari tenggelam. Mereka menaiki taksi setelah berada di jalan raya.“Stop.” Tasya melambaikan tangannya pada mobil berwarna biru itu.Mereka pun membuka pintu mobil dan masuk.“Ke Mall xxx ya pak,” kata Dinda.“Itu di mana ya, Mba? Maaf saya baru ada di Bali, jadi masih belum tau jalan.”Dinda dan Tasya menghelakan nafasnya.“Ya udah, gue buka google map dulu,” kata Dinda. Lalu, mereka jalan.Di dalam mobil, Dinda dan Tasya merasa k