"Selena," kata Frederic dengan suara datar namun penuh tekanan, "Apakah kau melihat seseorang yang mencurigakan sebelum kau pulang tadi malam?" Selena menatapnya dengan tatapan tenang, seolah-olah pertanyaan itu hanyalah angin lalu. "Aku tidak melihat apa-apa, Frederic. Hanya siaran televisi yang membosankan." Frederic tidak menyerah. Dia mendekatkan wajahnya, menatap dalam-dalam ke mata Selena. "Hanya siaran televisi? Kau yakin tidak ada sesuatu yang menarik perhatianmu, bahkan sedikit saja?" Selena mengangkat alisnya, tetap tenang. "Ya, hanya televisi. Apa kau berharap aku melihat sesuatu yang lain?" Frederic mencondongkan tubuhnya ke depan, nadanya semakin mendesak. "Aku berharap kau tidak menyembunyikan sesuatu, Selena. Ada terlalu banyak yang dipertaruhkan di sini. Jika ada sesuatu yang kau lihat, sekecil apa pun, aku butuh kau memberitahuku sekarang." Selena tersenyum tipis, hampir seperti mengejek. "Frederic, aku mengerti kau khawatir. Tapi sungguh, aku tidak melihat apa-a
Setelah rasa sakit akibat luka di pundaknya mulai sedikit mereda, Christopher dengan susah payah mengeluarkan ponsel dari saku jaketnya. Jemarinya gemetar saat dia menekan nomor yang hanya dia gunakan dalam keadaan darurat. Suara berdering beberapa kali sebelum terdengar suara dari seberang. “Christopher di sini,” suaranya terdengar parau. "Posisi saya terungkap. Aktifkan pasukan cadangan sekarang. Lokasi: sudut kota, dekat jalan Mason, rumah tanpa tetangga.” Di seberang sana, suara yang tegas segera menjawab. “Siap, Tuan. Pasukan akan segera dikerahkan. Siapkan diri Anda.” Christopher mematikan panggilan dan menoleh pada Selena, yang masih terisak di sampingnya. Dengan suara yang lebih keras daripada sebelumnya, dia berkata, “Kita harus pergi sekarang. Pasukan akan tiba dalam beberapa menit. Kau ikut denganku.” Selena, yang masih diliputi rasa bersalah dan kebingungan, menatap Christopher dengan tatapan penuh ketakutan. "Bagaimana dengan Maya? Dia ibuku, Christopher…" Chris
Christopher duduk di ruang kerjanya yang megah, memandangi tumpukan dokumen yang harusnya ia periksa. Namun, pikirannya melayang jauh, kembali ke sosok Selena yang kini menjadi pusat kegelisahannya. Sudah beberapa minggu berlalu sejak mereka tiba di Roma, dan Selena tidak menunjukkan tanda-tanda mau bekerjasama. Dia hanya duduk di kamarnya, menangis tanpa henti, menolak makan, dan terus mengabaikan semua upaya Christopher untuk berbicara dengannya.Christopher merasa frustasi, tidak pernah sebelumnya ia menghadapi situasi seperti ini. Selena, wanita yang dulu pernah ia cintai; meskipun ingatannya tentang itu sekarang sangat kabur, kini terlihat seperti bayangan dari dirinya yang dulu. Tubuhnya yang dulu penuh vitalitas, kini tampak kurus kering. Wajahnya yang cantik kini pucat dan lemah, sementara perutnya terlihat semakin membesar seiring waktu berjalan. Dia tahu bahwa sesuatu harus dilakukan. Setiap kali makanan diantarkan ke kamarnya, Selena hanya menatapnya kosong, dan tidak meny
Selena duduk di meja makan yang besar dan mewah, menatap piring yang berisi makanan di depannya. Meskipun perutnya keroncongan karena sudah lama tidak makan, setiap suapan terasa seperti beban yang berat. Tangan-tangannya gemetar saat mencoba membawa garpu ke mulutnya, dan setiap gigitan terasa seolah-olah ingin dimuntahkan kembali. Namun, dia tahu dia tidak punya pilihan lain. Bayi dalam kandungannya membutuhkan nutrisi, dan dia harus bertahan demi kehidupan yang tumbuh di dalam dirinya. Christopher berdiri beberapa meter dari meja, bersandar pada dinding dengan tangan terlipat di depan dadanya. Matanya yang tajam mengamati setiap gerakan Selena, bibirnya menyunggingkan senyum sinis. Tatapannya dingin dan penuh dengan penghinaan, seolah-olah dia sedang menikmati pemandangan penderitaan Selena. Christopher merasa puas melihat bagaimana Selena terpaksa tunduk pada keinginannya, bahkan jika itu hanya untuk memaksa wanita itu makan. Selena bisa merasakan tatapan dingin itu menusuk pun
Malam di Sisilia tampak suram dan mencekam, dengan bayangan gelap yang menyelimuti jalanan sempit dan bangunan-bangunan kuno. Angin laut yang dingin membawa aroma asin yang memotong tulang, namun di balik keheningan malam itu, ada satu suara yang menggema-derap kaki yang berat dan tegas. Jarlath, dengan tekad membara dan darah yang mendidih, menelusuri setiap sudut kota dalam pengejarannya terhadap Frederic. Matanya yang tajam dan penuh dendam mengamati setiap gerak-gerik yang mencurigakan, dan tubuhnya yang tegap bergerak dengan kecepatan seorang pemburu yang tidak akan berhenti sampai mangsanya jatuh. Frederic telah berlari cukup lama, tetapi Jarlath tidak memberinya ruang untuk bersembunyi. Kecepatan dan ketangguhan Jarlath yang legendaris membuat setiap pengejaran menjadi permainan yang singkat dan mematikan. Malam ini, Sisilia menjadi medan perang di mana dua jiwa penuh kebencian bertemu. Di sebuah gudang tua di tepi pantai yang sepi, Frederic akhirnya terpojok. Nafasnya teren
Christopher menatap Selena yang terbaring di ranjang, tubuhnya masih terguncang oleh kenangan yang akhirnya kembali mengalir deras ke dalam pikirannya. Kenangan tentang saat-saat ia bersama Selena-tentang bagaimana ia selalu mendikte, menuntut, dan memaksa kepatuhan dari wanita itu. Bagian dirinya yang kejam dan dingin terpuaskan oleh kepatuhan Selena, sesuatu yang dahulu ia anggap sebagai kelemahan wanita itu. Namun, ada bagian lain yang terabaikan-rasa sakit, ketakutan, dan cinta yang terbungkus dalan semua kekerasan itu. Selena membuka matanya perlahan, bertemu dengan tatapan dingin Christopher. la menegakkan tubuhnya, meski rasa sakit di seluruh badannya membuatnya gemetar. Christopher memandangnya tanpa belas kasihan, dan Selena merasa marah. Amarah yang selama ini ia tahan akhirnya memuncak. "Kenapa?" suaranya serak, menahan tangis yang tertahan. "Kenapa Anda melakukan ini padaku? Apa yang sebenarnya Anda inginkan, Tuan Christopher? Ibuku sedang sakit, dan Anda malah menyeret
Selena masih terbaring di ranjang, napasnya lemah dan tak beraturan. Waktu seolah berhenti, hanya bunyi mesin monitor jantung yang monoton menjadi satu-satunya suara di dalam kamar itu. Tangannya yang kurus menggenggam selimut dengan erat, tubuhnya yang lemah tampak lebih rapuh dari biasanya. Di balik kelopak matanya yang tertutup, air mata mengalir perlahan, mengkhianati perasaan sakit yang tak tertahankan di hatinya—rasa sakit yang lebih mendalam dibandingkan luka fisik yang merobek tubuhnya. Setiap ingatan tentang Christopher membawa luka yang semakin menganga, luka yang mungkin tidak akan pernah sembuh.Di sudut ruangan, Christopher berdiri dengan gelisah, memandangi Selena dengan campuran perasaan marah, frustasi, dan penyesalan. Dalam benaknya, ia memutar kembali setiap kata kasar yang keluar dari mulutnya, setiap ejekan yang ia lontarkan, dan setiap perlakuan buruk yang ia berikan. Selama ini, dia mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa semua itu dilakukan demi cinta, tapi kin
Cahaya redup dari lampu rumah sakit memantulkan bayangan yang panjang di koridor, menciptakan suasana yang suram. Di dalam kamar, suara detak jantung di monitor semakin lemah, menunjukkan kondisi Selena yang kian memburuk. Tubuhnya yang dulu penuh kehidupan kini hanya tinggal bayangan dari apa yang pernah ada, kurus, dan hampir tak berdaya. Para dokter bekerja dengan cepat, namun setiap usaha yang mereka lakukan terasa sia-sia. Di sisi tempat tidur, Selena terus menangis dan mengigau dalam tidur yang terganggu."Christopher...," gumam Selena dengan suara yang serak dan lemah. "Kau... kau menghancurkan hidupku... Kau pria jahat... Kau merenggut semuanya dariku..."Di sudut ruangan, Christopher berdiri dengan wajah pucat, perasaan bersalah yang terus menggerogoti jiwanya. Setiap malam, dia datang ke kamar ini, berharap bisa menemukan sedikit kedamaian di tengah rasa sakit yang semakin menghantui dirinya. Namun, yang dia temukan hanyalah penderitaan yang semakin dalam.Christopher menutu