Selena duduk di meja makan yang besar dan mewah, menatap piring yang berisi makanan di depannya. Meskipun perutnya keroncongan karena sudah lama tidak makan, setiap suapan terasa seperti beban yang berat. Tangan-tangannya gemetar saat mencoba membawa garpu ke mulutnya, dan setiap gigitan terasa seolah-olah ingin dimuntahkan kembali. Namun, dia tahu dia tidak punya pilihan lain. Bayi dalam kandungannya membutuhkan nutrisi, dan dia harus bertahan demi kehidupan yang tumbuh di dalam dirinya. Christopher berdiri beberapa meter dari meja, bersandar pada dinding dengan tangan terlipat di depan dadanya. Matanya yang tajam mengamati setiap gerakan Selena, bibirnya menyunggingkan senyum sinis. Tatapannya dingin dan penuh dengan penghinaan, seolah-olah dia sedang menikmati pemandangan penderitaan Selena. Christopher merasa puas melihat bagaimana Selena terpaksa tunduk pada keinginannya, bahkan jika itu hanya untuk memaksa wanita itu makan. Selena bisa merasakan tatapan dingin itu menusuk pun
Malam di Sisilia tampak suram dan mencekam, dengan bayangan gelap yang menyelimuti jalanan sempit dan bangunan-bangunan kuno. Angin laut yang dingin membawa aroma asin yang memotong tulang, namun di balik keheningan malam itu, ada satu suara yang menggema-derap kaki yang berat dan tegas. Jarlath, dengan tekad membara dan darah yang mendidih, menelusuri setiap sudut kota dalam pengejarannya terhadap Frederic. Matanya yang tajam dan penuh dendam mengamati setiap gerak-gerik yang mencurigakan, dan tubuhnya yang tegap bergerak dengan kecepatan seorang pemburu yang tidak akan berhenti sampai mangsanya jatuh. Frederic telah berlari cukup lama, tetapi Jarlath tidak memberinya ruang untuk bersembunyi. Kecepatan dan ketangguhan Jarlath yang legendaris membuat setiap pengejaran menjadi permainan yang singkat dan mematikan. Malam ini, Sisilia menjadi medan perang di mana dua jiwa penuh kebencian bertemu. Di sebuah gudang tua di tepi pantai yang sepi, Frederic akhirnya terpojok. Nafasnya teren
Christopher menatap Selena yang terbaring di ranjang, tubuhnya masih terguncang oleh kenangan yang akhirnya kembali mengalir deras ke dalam pikirannya. Kenangan tentang saat-saat ia bersama Selena-tentang bagaimana ia selalu mendikte, menuntut, dan memaksa kepatuhan dari wanita itu. Bagian dirinya yang kejam dan dingin terpuaskan oleh kepatuhan Selena, sesuatu yang dahulu ia anggap sebagai kelemahan wanita itu. Namun, ada bagian lain yang terabaikan-rasa sakit, ketakutan, dan cinta yang terbungkus dalan semua kekerasan itu. Selena membuka matanya perlahan, bertemu dengan tatapan dingin Christopher. la menegakkan tubuhnya, meski rasa sakit di seluruh badannya membuatnya gemetar. Christopher memandangnya tanpa belas kasihan, dan Selena merasa marah. Amarah yang selama ini ia tahan akhirnya memuncak. "Kenapa?" suaranya serak, menahan tangis yang tertahan. "Kenapa Anda melakukan ini padaku? Apa yang sebenarnya Anda inginkan, Tuan Christopher? Ibuku sedang sakit, dan Anda malah menyeret
Selena masih terbaring di ranjang, napasnya lemah dan tak beraturan. Waktu seolah berhenti, hanya bunyi mesin monitor jantung yang monoton menjadi satu-satunya suara di dalam kamar itu. Tangannya yang kurus menggenggam selimut dengan erat, tubuhnya yang lemah tampak lebih rapuh dari biasanya. Di balik kelopak matanya yang tertutup, air mata mengalir perlahan, mengkhianati perasaan sakit yang tak tertahankan di hatinya—rasa sakit yang lebih mendalam dibandingkan luka fisik yang merobek tubuhnya. Setiap ingatan tentang Christopher membawa luka yang semakin menganga, luka yang mungkin tidak akan pernah sembuh.Di sudut ruangan, Christopher berdiri dengan gelisah, memandangi Selena dengan campuran perasaan marah, frustasi, dan penyesalan. Dalam benaknya, ia memutar kembali setiap kata kasar yang keluar dari mulutnya, setiap ejekan yang ia lontarkan, dan setiap perlakuan buruk yang ia berikan. Selama ini, dia mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa semua itu dilakukan demi cinta, tapi kin
Cahaya redup dari lampu rumah sakit memantulkan bayangan yang panjang di koridor, menciptakan suasana yang suram. Di dalam kamar, suara detak jantung di monitor semakin lemah, menunjukkan kondisi Selena yang kian memburuk. Tubuhnya yang dulu penuh kehidupan kini hanya tinggal bayangan dari apa yang pernah ada, kurus, dan hampir tak berdaya. Para dokter bekerja dengan cepat, namun setiap usaha yang mereka lakukan terasa sia-sia. Di sisi tempat tidur, Selena terus menangis dan mengigau dalam tidur yang terganggu."Christopher...," gumam Selena dengan suara yang serak dan lemah. "Kau... kau menghancurkan hidupku... Kau pria jahat... Kau merenggut semuanya dariku..."Di sudut ruangan, Christopher berdiri dengan wajah pucat, perasaan bersalah yang terus menggerogoti jiwanya. Setiap malam, dia datang ke kamar ini, berharap bisa menemukan sedikit kedamaian di tengah rasa sakit yang semakin menghantui dirinya. Namun, yang dia temukan hanyalah penderitaan yang semakin dalam.Christopher menutu
Christopher memasuki ruang perawatan rumah sakit di Roma dengan hati yang penuh keraguan. Wajah Selena terlihat pucat dan lelah, terbaring di ranjang dengan infus dan alat medis di sekelilingnya. Hanya ada beberapa lampu yang menerangi ruangan itu, menciptakan suasana suram yang menambah kesan kesedihan dan ketegangan. Selena masih dalam keadaan lemah, menganggap setiap suara sebagai ancaman. Christopher berdiri di samping ranjangnya, matanya penuh dengan tekad dan kemauan, meskipun hatinya bergejolak. "Selena," katanya dengan suara lembut, tetapi penuh dengan kepura-puraan yang terampil. "Aku kembali untukmu. Aku tahu aku telah melakukan banyak kesalahan, tetapi aku ingin mencoba memperbaikinya. Aku ingin menunjukkan bahwa aku bisa berubah." Selena, terbaring dengan tatapan kosong, mengerjap beberapa kali sebelum matanya bertemu dengan mata Christopher. "Mengubah apa? Setelah semua yang Anda lakukan, Anda datang ke sini dan berharap semuanya akan kembali seperti semula?" Christ
Di dalam ruangan rahasia di sebuah mansion tua di luar Paris, suasana dipenuhi oleh aroma cerutu dan asap yang melingkar di udara. Di dalam ruangan itu, Jenderal Pierre Alexandre duduk dengan wajah penuh pertimbangan, sementara Christopher berdiri di dekat jendela yang tertutup tirai tebal. Lampu temaram menerangi ruangan, menciptakan bayangan yang tampak seperti perangkap dari sebuah rencana yang akan segera dilancarkan.Christopher tahu, meski mereka saat ini berada di ruangan yang sama, dia dan Pierre Alexandre bermain di dua sisi yang berbeda. Pierre membutuhkan kekacauan untuk melambungkan karier politiknya, dan Christopher membutuhkan Pierre untuk memperluas kekuasaannya secara global.Pierre mengisap cerutunya, menatap Christopher dengan tajam. “Kau tahu apa yang harus kau lakukan, Christopher. Kekacauan adalah kuncinya. Masyarakat harus merasa terancam, dan hanya aku yang bisa membawa ketenangan kembali. Dengan cara itu, posisi Menteri di tanganku akan menjadi kenyataan.”Chri
Christopher melangkah keluar dari jet pribadinya yang baru saja mendarat di Roma. Angin malam yang dingin menerpa wajahnya, tetapi pikiran Christopher jauh lebih kacau daripada cuaca yang menusuk. Matanya menatap lurus, pandangannya tajam dan berbahaya, tetapi di dalam hatinya ada gejolak besar. Selena. Wanita yang mencintainya—dan sekarang membencinya. Dengan langkah berat namun tegas, dia menuju mobil yang sudah menunggunya di landasan. Ketika supir membuka pintu belakang, Christopher segera masuk, tenggelam dalam keheningan. Pikirannya terus terngiang-ngiang pada kata-kata Selena sebelum dia meninggalkannya di rumah sakit. “Berhenti menjadi penjahat, Christopher. Aku sudah cukup menderita karena semua ini... dan aku tak sendirian lagi. Aku mengandung anakmu.” Pernyataan itu seperti bom yang meledak di telinganya, menghancurkan setiap lapisan pertahanan yang dia bangun selama bertahun-tahun. Christopher, sang Ketua Kartel yang ditakuti di seluruh Eropa, yang memutar balikan kead