"Mas.." Panggil Flora sambil memeluk tubuh Abian yang terbaring di sampingnya. Setelah ciuman itu, mereka memutuskan untuk tidur bersama, benar-benar hanya tidur bersama.
"Hmm, apa?" Tanya Abian dengan kedua mata yang masih terpejam, dia masih mengantuk."Aku kedinginan, Mas." Ucap Flora lirih, membuat pria itu segera membuka kedua matanya dan tersenyum. Dia merubah posisi nya dari terlentang hingga berbaring miring, keduanya saling berhadapan saat ini."Sini Mas peluk, sayang." Jawab Abian, dia memeluk pinggang Flora dan menariknya lembut, hingga posisi mereka menempel tanpa jarak. Flora mendusel di dada bidang Abian, dia sangat suka dengan aroma tubuh Abian. Tentu saja aroma nya jauh berbeda dengan suaminya."Nyaman sekali rasanya.""Apa kamu tidak pernah di peluk seperti ini oleh suami mu?" Tanya Abian sambil mengusap-usap kepala Flora."Hmm, kapan ya? Mungkin terakhir kali saat sebulan setelah menikah. Setelahnya, aku hanya t"Sayang.." Bisik Abian, membuat wanita itu membuka kedua matanya secara perlahan.Dia sedang menikmati apa yang di lakukan oleh Abian di belakang tubuhnya. Pria itu tengah mengeluar masukkan sebuah pisang gagah yang dia miliki."I-iya, kenapa Mas?""Bagaimana rasanya, sayang? Nikmat atau sakit?" Tanya pria itu dengan suara sensualnya.Dia tidak menghentikan gerakan nya sama sekali."Nikmat sekali, Mas." Jawab Flora jujur."Kalau begitu, mendesah lah sayang." Pinta Abian membuat wajah Flora memerah. Baru kali ini dia mendengar perintah seperti itu, biasanya dia di larang untuk bersuara."Ayolah, Mas ingin mendengar desahan merdu mu.""Aahhh, Mas.." Wanita itu mendesah ketika Abian mempercepat gerakan nya, pria itu tersenyum senang ketika mendengar suara sang wanita.Dia semakin bergairah untuk melanjutkan pertarungan nya, meskipun disini hanya dia yang berperan karena dia sadar benar kalau Flora masih sakit, jadi tidak mungkin dia meminta wanita itu untuk memimpin permainan."Mas, pelan
Sedangkan di tempat lain, Arifin di panggil oleh HRD karena ada urusan di sana. Tapi setelah menemui HRD, malah di alihkan ke ruangan Robi, sang pemilik perusahaan.Dengan langkah pelan, Arifin berjalan menuju ruangan Robi. Dia gugup bukan main karena selama ini dia tidak pernah melakukan kesalahan apapun, tapi kenapa di panggil oleh pemilik perusahaan?Arifin mengetuk pintu beberapa kali, setelah mendengar instruksi, dia pun masuk dengan kegugupan yang memenuhi dirinya saat ini."Selamat siang, Pak. Ada apa ya, Bapak memanggil saya?""Duduklah." Pinta Robi sambil berpura-pura membuka-buka berkas berisi CV milik Arifin, padahal tidak sama sekali. Dia hanya melakukan apa yang di perintahkan oleh Abian.Arifin duduk di kursi yang berhadapan langsung dengan Robi, hanya terhalang meja kerja saja. Robi menatap Arifin dengan tatapan yang entah apa artinya."Kau Arifin?""Benar, Pak.""Saya sudah mendengar kalau kinerja mu sangat baik belakangan ini, Arifin.""Aahhh ya, terimakasih Pak." Jawa
"Lalu, apa yang ingin kau lakukan?" Tanya Adijaya."Saya akan merebut Flora dari Arifin." Jawab Abian membuat kedua mata Adijaya terbelalak. Dia tidak percaya dengan apa yang di katakan oleh Abian, tapi pria itu terlihat serius. Artinya dia tidak main-main dengan ucapan nya kan?"Jangan bercanda, Abian!""Apa Tuan rela putri anda di siksa, di pukul, di khianati seperti itu?" Tanya Abian yang membuat Adijaya terdiam seketika."Tidak, aku tidak rela. Dia putri ku satu-satunya, dia putri kesayangan ku. Aku sangat menyayangi nya." Ucap Adijaya sambil menundukan kepala nya. Memang, dia sempat bertengkar hebat dengan putrinya karena dia kesal pada Flora yang lebih berpihak pada suaminya ketimbang dirinya yang notabene nya adalah orang tua nya sendiri.Belum sampai disana saja, kekesalan Adijaya semakin menjadi-jadi ketika Arifin sebagai menantu nya itu malah mempersulit komunikasi nya dengan Flora. Padahal dia sangat merindukan putrinya itu, tapi sampai sekarang mereka tidak berkabar. Bahkan
"Nanti malam aku keluar ya, Mas.""Ketuk dua kali pintu kamar nya ya?""Iya, Mas.""Masuklah, sayang." Flora tersenyum kecil lalu menganggukan kepala nya. Dia pun masuk ke dalam rumah dengan langkah hati-hati karena kaki nya masih terasa sakit. Dengan menggunakan tongkat, Flora berjalan tertatih. Tidak ada yang mau menolong nya sama sekali.Wanita itu pergi ke kamarnya untuk menyimpan paperbag yang di berikan Abian dan menyembunyikan nya di tempat yang cukup aman. Setelahnya, dia pergi ke dapur. Tapi ternyata disana sedang makan-makan, menu makanan nya jauh berbeda dengan apa yang Arifin berikan pada Flora.Untuk Flora, dia hanya membelikan mie ayam bakso dan ayam bakar. Tapi yang terpampang di meja sekarang bukan menu itu juga, tapi pizza dan steak. Benar-benar berbeda."Kok makanan nya beda sama yang di kasih ke aku, Mas?" Tanya Flora pelan."Kenapa? Mau juga? Gak ada, udah habis." Ketus Arifin, membuat Flora terdiam. Tapi sedetik kemudian, dia tersenyum kecil."Setidaknya, jika mau
"Ganti baju sana." Ucap Abian saat melihat Flora masih termenung di teras sambil berlinang air mata."Mau kemana memang nya, Mas?" Tanya Flora sambil mendongakkan kepala nya menatap Abian yang menjulang tinggi di depan nya."Mau makan steak dan pizza kan? Ayo. Mas anter ke restoran nya langsung. Makan disana lebih enak, sayang." Abian tersenyum kecil, lalu mengusap air mata yang masih menetes di pipi Flora."Jangan nangis, sayang. Nanti cantik nya luntur lho, aku gak suka lihat kamu nangis gini.""Sakit, Mas..""Iya, kaki nya sakit ya? Mas gendong deh kalo gitu." Abian bersiap untuk menggendong tubuh Flora namun wanita itu menolak."Mas..""Jangan terus di pikirkan, sayang. Akan semakin menyakitkan jika terus di pikirkan.""Nyeri, Mas. Rasanya sesak sekali.""Aku tahu, jadi ayo balas dendam." Ucap Abian setelah beberapa kali menghela nafasnya dengan panjang."Berhenti peduli pada orang yang tid
"Mas.." panggil Flora setelah keduanya berada di dalam private room yang di tunjukkan oleh seorang waiters tadi. Abian meletakan jaketnya di sandaran kursi lalu menatap intens ke arah sang perempuan."Iya, ada apa, sayangku?" Tanya Pria itu sambil tersenyum manis. Senyuman yang hanya di perlihatkan Abian pada Flora. Selebihnya, dia hanya menunjukkan wajah datarnya saja."Gadis tadi, aku merasa tidak asing.""Benarkah, sayang?" Tanya Abian sambil tersenyum menatap Flora. Memang jika berduaan seperti ini, Abian lebih sering menatap wajah cantik Flora dengan dalam. Terlihat jelas kalau Abian adalah pria yang sangat tulus jika sudah mencintai dan Flora adalah wanita satu-satunya yang bisa melakukan kerasnya hati seorang Abian."Iya, Mas. Aku merasa pernah melihat wajah itu, tapi dimana ya? Aku lupa." Ucap Flora membuat Abian terkekeh."Mungkin yang di bonceng suami mu lalu di bawa ke penginapan." Jawab pria itu, membuat Flora terbelalak seket
Pria berwajah datar itu berjalan memasuki kawasan bangunan megah dengan setelan jas rapih nya. Pria itu menenteng tas berisi laptop dan perangkat lainnya sebagai perantara untuk dia bekerja."Selamat pagi, Pak Abian." Sapa seorang pria sambil membungkukkan tubuhnya, menyapa dengan hormat kedatangan CEO di perusahaan."Pagi, Kala." Balas Abian. Pria yang di sapa Kala itu pun mengekor di belakang Abian. Pria itu juga menunjukkan wajah yang tak jauh berbeda dengan Abian, keduanya sama-sama memiliki wajah datar."Apa ada kelanjutan tentang perusahaan itu, Kala?""Progres nya cukup bagus, Pak. Hanya saja, apa saya pikir Tuan Robi itu tidak salah menunjuk seorang direktur?" Tanya Kala sambil mengernyitkan keningnya. Dia tidak tahu kalau semua itu adalah bagian dari rencana licik Abian."Maksudmu?""Saya pikir, keputusan Tuan Robi mengganti direktur lama dengan yang baru adalah keputusan keliru. Rasanya, tidak masuk akal saja dari hanya
"Sayang.." Panggil seorang perempuan bertubuh tinggi semampai dengan berjalan yang anggun. Dia terlihat sangat cantik dengan balutan gaun mahal yang menutupi tubuh sempurna nya."Hai, sayang." Balas nya sambil melambaikan tangannya. Tanpa ragu, perempuan itu mendekat dan langsung duduk di pangkuan sang pria yang juga dengan senang hati menyambut kedatangan perempuan cantik itu."Ada apa, sayang? Kenapa sampai datang kesini?" Tanya Arifin. Ya, pria itu adalah Arifin dan perempuan itu adalah selingkuhannya, Arina."Gapapa sih, cuman kangen aja sama kamu.""Beneran kangen, sayang?" Tanya Arifin sambil memeluk pinggang ramping perempuan itu dengan posesif. Arina menganggukan kepala nya, lalu melingkarkan kedua tangan nya di leher kokoh Arifin.Sudah satu minggu ini Arifin menjabat sebagai direktur, pria itu berada di atas awan saat ini. Biasanya dia bekerja di lantai bawah, sekarang dia bekerja di lantai atas. Dia juga mendapatkan banyak angg
Zahra masih saja setia menunduk, tidak berani menatap pria paruh baya yang sejak tadi menatapnya dengan sorot tajam. Zahra sangat takut, takut sekali, di saat seperti ini dia membutuhkan perlindungan dari papinya. Tapi, Papi sudah bahagia di sisi Tuhan sekarang. Maka itu, yang Zahra lakukan adalah saling meremas kedua tangannya satu sama lain. "Tinggalkan putraku, saya mohon padamu untuk kali ini. Biarlah kau anggap saya ini sebagai ayah yang egois. Tapi, saya melakukan ini demi kebaikan dan keselamatan putraku," ujar Abian dengan suara beratnya. Menatap Zahra yang masih menunduk. Tidak dapat melihat dengan jelas bagaimana raut wajah gadis itu. "Kalian tidak bisa bersama." Abian menahan napasnya. "Masa lalu Papi mu akan selalu menghantuimu meski dia sudah meninggal. Mereka tidak akan pernah puas sebelum membuatmu mati. Karena keturunan dari almarhum Marion harus mati ditangan mereka, demi membalaskan dendam. Musuh-musuh Papi mu terlalu banyak. Hanan akan terus terancam bila berad
Sepuluh bulan kemudian. "Dad, Hanan nggak apa-apa, kan?" Hanin yang baru saja tiba dengan mommynya di rumah sakit, langsung saja memberondong daddynya dengan pertanyaan. Hanin rasanya ingin pingsan kala mendengar apa yang menimpa kembarannya itu. Tapi, Hanin harus kuat karena ada mommynya yang lebih syok saat mendengar kembarannya di serang. Dan, itu di luar jangkauan dari daddynya. Semenjak SMA dan Hanan pandai beladiri. Kembaranya itu meminta dengan sendirinya untuk tidak ada pengawal yang lagi menjaganya dari kejauhan. Hanan merasa bisa menjaga dirinya sendiri, maka itu meminta Daddynya membayar pengawal untuk menjaganya dan Hendra saja bila di luar rumah. Namun, kembarannya itu sudah sok jagoan sekali. Tapi, ujung-ujungnya berakhir seperti ini. Abian yang ditanya putrinya itu menggeleng pelan. Wajahnya pucat pasi bak mayat sekarang. Di melihat dengan mata kepalanya sendiri, ada dua bekas tusukan yang di dapat putranya itu. Dia terus berdoa dalam hati dan terus meminta pada Tu
"Rumah lo di mana?" tanya Hanan setelah itu. "Ntar Zahra kasih tahu jalannya. Hanan lurus aja dulu, nanti ada pertigaan baru belok kiri," jawab Zahra agak kuat takut Hanan tidak mendengar bila suaranya kecil. "Ok." Hanan mengangguk pelan. Matanya kembali menatap ke arah spion. Saat tiba dipertigaan, dia langsung berbelok kiri dan benar saja mobil di belakang sana ikut belok juga. Hanan menyeringai lebar. "Kayaknya mereka mau main-main sama gue, nih," batinnya. Hanan pernah mengalami siatusi seperti ini. Saat itu ada Pak supir yang ahli mengelebui orang-orang yang menguntit mobil mereka. Maka dari itu juga Hanan belajar juga. "Zahra!" panggilnya. "Ya?" "Pegangan yang kuat!" ucap Hanan. "Eh, kenapa?" Zahra melotot kecil. Dia malah malu ketika mau memeluk Hanan. Yang tadi hanya spontan saja. Zahra tidak mau mengulangi hal seperti itu lagi. Tapi, kali ini dia langsung berpegangan pada ujung jaket Hanan tanpa memeluk Hanan. "Pokoknya pegangan yang kenceng, ya!" Hanan mewanti
Sebagai teman yang baik. Zahra membawakan buah tangan untuk menjenguk Hanin. Dia sempat mampir ke toko roti dan toko buah sebelum pergi ke rumah Hanin. Gadis itu dengan perasaan riangnya menjenguk Hanin yang sejak pagi sudah tidak dia temui. Rasanya Zahra rindu, karena saat bersama Hanin, dia merasa aman karena Hanin selalu melindunginya kapanpun. Zahra juga dapat merasakan sosok kakak bila di samping Hanin. Mobil Zahra yang baru tiba di depan gerbang rumah Hanin langsung terhenti karena pintu gerbangnya tak dibukakan sama sekali. Zahra langsung membuka kaca jendelanya untuk meminta sang satpam membuka gerbang di depan sana. Namun, satpam itu malah menolaknya. "Zahra ini teman Hanin lho, Pak." Zahra menghela napas pelan dengan bibir mengerucut. "Zahra ke sini juga mau jenguk Hanin yang lagi sakit. Zahra pun udah pernah datang ke sini. Pak satpam nggak kenal sama Zahra, ya?" todongnya dengan jari telunjuknya. "Maaf, Nona.
Meski Hanin sering berisik dan suka berteriak tidak jelas. Bila jatuh sakit seperti ini, mansion akan terasa sepi sekali. Baik Hendra dan Hanan merasakan kehilangan, Hanin yang biasanya aktif dan lincah ke sana kemari kini terbaring lemah di kasur empuknya dengan handuk kecil di dahinya. Hanin jatuh sakit setelah traumanya kembali, hal ini terjadi untuk pertama kalinya setelah Hanin melihat lelaki yang mirip Arifin itu lagi. Hanan pun menceritakan semuanya pada sang mommy, sehingga Flora menyarankan Abian untuk membawa putri mereka ke konseling psikologi. Agar trauma Hanin tidak semakin parah nantinya. Dan, pagi ini Hanan berangkat ke sekolah seorang diri. Rasanya tidak enak sekali karena tidak ada Hanin di sampingnya. Tidak ada Hanin yang merecokinya, tidak ada yang menggodanya dengan suara cempreng nan mengesalkan itu. Hanan mendesah pelan, walau dirinya terlihat cuek dari luar, tetap saja dia merasa khawatir dengan Hanin. "Lho, tumben Hanan datang se
Tanpa disadari dua gadis itu. Hanan sejak tadi memperhatikan mereka, mendesah pelan, Hanan kembali teringat dengan pembicaraan Daddy dan Mommynya kemarin malam. Saat itu Hanan tidak sengaja mendengar semuanya. Dia penasaran dengan alasan dari Daddynya itu sehingga memutuskan untuk menguping, meski itu adalah tindakan tidak sopan. Hanan pun perlahan bisa mengerti akan kecemasan Daddynya itu, sehingga memberikan ide dan jalan keluar padanya dan juga Hanin agar keduanya tetap bisa berteman dengan Zahra. "Demen lo sama Zahra?" Hanan langsung menoleh ke arah teman satu mejanya, ternyata dia ketahuan menatap kembarannya dan Zahra. Pemuda itu menyeringai lebar, menjadikan Hanan mendengkus pelan melihatnya. Raut wajahnya masih datar dan tidak niat membalas ucapan temannya tadi. "Zahra cantik kok, nggak masalah lo naksir sama dia. Artinya lo itu normal Pak ketua," seloroh pemuda di sebelah Hanan itu lagi. Hanan kembali mendengkus. T
"Tapi, nggak harus memperkekang pertemanan anak-anaknya juga, Nan," sahut Hanin cepat. "Apa salah Zahra coba? Yang ada dia sedih pas kita tiba-tiba menjauh dari dia. Kasihan tahu lho, Nan. Memang gue selalu kesal sama tingkah polosnya, tapi gue nggak tega melihatnya sendirian nanti tanpa teman-teman. Lo tahu sendiri kalau di kelas, dia cuman dekat sama kita aja." "Gue tahu." Hanan bersandar di sisi meja belajar Hanin. Lalu bersedekap dada dan menatapi kembarannya itu. "Tapi, kita tidak tahu alasan Daddy sebenarnya." "Lo kenapa selalu dipihak Daddy, sih?" sungut Hanin kesal. Larangan Daddy kali ini nggak masuk akal, lho. Bukannya selama ini Daddy memperbolehkan kita berteman dengan siapa saja?" Hanan mendengkus pelan. "Coba ambil sisi lainnya dulu, Nin. Sekarang kita pikirkan alasan Daddy yang katanya demi kebaikan kita. Itu artinya Daddy sedang menjauhkan kita dari bahaya. Meski sepenuhnya gue nggak setuju juga dengan larangan Daddy. Tapi
"Kenapa, Dad?" Hanin langsung melayangkan pertanyaan dengan nada penuh protes. Akan tetapi, Abian tetap menatap si kembar penuh ketegasan. "Turuti perkataan Daddy. Kalian akan mengalami hal buruk kalau tetap berteman dengan dia. Ini demi kebaikan kalian berdua," ujar Abian penuh penekanan. Hanin tertawa miris. "Hanin tidak menyangka kalau Daddy sampai mengekang anaknya seperti ini. Dalam pertemanan saja dibatasi!" balasnya tak suka. Dia senang berteman dengan Zahra. Zahra selalu mengasyikkan meski terkadang kesal dengan kepolosan gadis itu. "Hanin, jangan membangkang Daddy, ok?" pinta Abian dengan helaan napas pelan. "Daddy punya alasan untuk ini. Percaya sama Daddy, Daddy tidak pernah melarang satu hal kalau itu tidak merugikan kalian. Tolong pahamilah permintaan Daddy kali ini." Abian menatap si kembar lekat. Dia berharap si kembar bisa mengerti keadaan sekarang. Ketakutan Abian sejak dulu adalah sebuah
Hanan menggeleng lagi. "Gue akan bertugas mencatat pertanyaan aja. Zahra yang jadi moderator dan Hanum kebagian menjawab pertanyaan," jelasnya kemudian. "Kalau kamu udah atur tugas kita masing-masing nggak perlu nanya kayak tadi, Nan," tegur Hanum dengan gelengan kepalanya. Hanan tak menjawab. "Jadi Zahra moderator, nih?" gumam Zahra karena untuk pertama kalinya dia tunjuk seperti ini. "Iya." Ketiga temannya itu mengangguk serentak. "Tapi, Zahra nggak punya pengalaman lhooo," rengeknya. "Sebelum presentasi tiba, kamu masih bisa belajar di rumah kok, Ra," sahut Hanum, memberikan senyuman menenangkannya. "Tetap saja. Zahra takut gugup," balasnya lagi. "Nggak boleh protes. Gue udah kasih tugas masing-masing. Jadi, jangan sampai presentasi kita ini dapat nilai rendah. Paham kalian!" ujar Hanan penuh ketegasan.