"Flora, bangun!" Ucap seseorang sambil menggedor-geder pintu kamar.
Perempuan yang sedang membereskan tempat tidur itu berbalik dan membuka pintu kamarnya. Rupanya, ibu mertuanyalah pelaku dari keributan pagi-pagi ini.
"Iya, Bu. Kenapa? Kan bisa langsung masuk aja gak usah gedor-gedor." Flora tersenyum ramah, namun berbeda dengan wajah yang ditunjukkan oleh Ranti, sang ibu mertua.Dia menatap sinis menantunya itu. "Kamu ini baru juga bangun udah berani ya bilang gitu sama Ibu. Sana tuh bantuin mbakmu masak!"
"Masak?" "Iya, masak. Mbakmu udah masak dari tadi. Kamu belum juga keluar dari kamar, sana bantuin!" ketusnya sambil menyedekapkan kedua tangan di dada.Flora yang mendapatkan perintah seperti itu pun memilih untuk segera pergi ke dapur tanpa banyak bicara lagi. Dari pada sang ibu yang murka nanti.
"Mau ada acara apa, Bu?" "Gak ada acara apa-apa, cuman Abian mau pulang dari dinasnya." "Abian, Bu?" "Iya, Mas-mu. Dia kembaran suamimu, kau lupa? Dia hadir di pernikahan kalian," jawab Ranti Ketus.Dia melupakan wajah pria yang katanya kembaran suaminya itu. Apa dia seasing ini dirinya di keluarga suaminya? Setelah menikah hampir dua tahun lamanya, dia baru tahu kalau ternyata suaminya memiliki kembaran.
"Udah, gak usah bengong kamu! Cepetan sana bantuin mbakmu di dapur," ulang Ranti, membuat Flora pun langsung pergi. Flora Fernandez, seorang perempuan cantik berusia 25 tahun. Perempuan yang ceria, ramah, baik hati dan selalu bertutur kata lembut. Arifin Wijaya adalah nama suami Flora, mereka sudah menikah selama hampir dua tahun. Flora adalah putri bungsu di keluarganya, hidupnya selalu dilimpahi kasih sayang dari kedua orang tuanya. Perempuan cantik itu rela meninggalkan semuanya dan mengikuti sang suami setelah menikah.Namun sayang sekali, selama dua tahun menikah dengan pria yang dia cintai, nyatanya hanya rasa sakit yang sering dia terima. Arifin, suaminya, ternyata pria yang tempramen, dia tidak segan-segan untuk memukul Flora jika dia melakukan kesalahan, tidak peduli sekecil apapun itu.
"Wahh, anak emas sudah bangun rupanya...." celetuk Winda sambil menatap sinis kedatangan Flora dengan langkah pincangnya.
Kenapa pincang? Jawabannya, karena Arif menendang paha Flora ketika dia tidak sengaja membuat kemeja kerjanya bolong karena setrika terlalu panas kemarin.
"Maaf, aku kesiangan, Mbak," ucap Flora lirih. "Udah, gak usah banyak alasan! Sana masak, tuh bahan-bahannya udah disiapin. Udah dibersihin sama dipotongin, kamu yang masak!" ucap Santi lalu beranjak dari duduknya dan pergi dari dapur bersama Winda.Ternyata yang dikatakan 'memasak' oleh ibu mertuanya, hanya mengupas wortel dan memotong bawang.
Flora menatap kepergian Winda dan Santi, kakak perempuan Arif. Keduanya berstatus Janda tanpa anak.Winda bercerai sebulan setelah Arif dan Flora menikah, alasannya sang pria tidak sanggup lagi menafkahi Winda yang hidupnya suka berfoya-foya. Lalu Santi sendiri, dia cerai mati. Suaminya meninggal setahun sebelum Arif dan Flora menikah.
Flora sudah terbiasa diperlakukan seperti itu. Ia pun mengambil wajan besar yang tergantung di atas paku dan mulai memasak. "Flo, masaknya cepetan ya. Soalnya Abian bakalan sampai malam hari nanti," ucap Ranti.Flora Kkra, ibu mertuanya itu datang ke dapur untuk membantu . Tapi ternyata wanita paruh baya itu hanya memberikan bumbu dapur dan setelahnya dia pergi.
Selama dua tahun menikah pun, Flora dan Arif belum dikaruniai anak. Awal-awal menikah, perempuan itu pernah hamil, namun Arif tidak tahu dan dia memukul istrinya hingga keguguran.Tapi, dia tidak merasa bersalah dan malah menyalahkan Flora. Bagi pria itu, Flora lah yang ceroboh hingga membuat janin yang dia kandung tidak bisa bertahan. Tapi sampai saat ini, Flora belum kembali mengandung, padahal dia tidak menggunakan kontrasepsi apapun.
Flora menyeka keringat yang timbul di keningnya. Dia kembali mengaduk-aduk masakan di atas wajan, tak lupa menambahkan bumbu-bumbu. Setelah rasanya cocok, barulah dia menyendok sedikit makanan itu ke dalam piring kecil dan membawanya ke depan, "Mbak, cobain dulu. Barangkali ada yang kurang bumbunya." ucap Flora pada Winda dan Santi. Entah ke mana Ibu mertuanya pergi, dia tidak ada di ruang tengah bersama kedua anaknya ini. Winda dan Santi mengambil piring yang di ulurkan oleh Flora dan mencobanya. Mereka terlihat lahap sekali memakan masakan buatan Flora. "Enak, udah pas." "Ya udah, tinggal masak ikannya." "Masak yang bener, ikannya! Udah dibersihin tadi sama aku. Tuh sampe ketusuk-tusuk gini sama duri ikan. Jadi kamu tinggal masak doang." celetuk Winda sambil menunjukkan jemarinya yang dibalut plester. "Iya, Mbak. Tapi dimasak apa ya? Ada saran?" tanya Flora, membuat Winda dan Santi saling menatap satu sama lain. "Selera makan Abian sama aja kayak suami mu, dia suka ikan diacar gitu." usul Santi. "Oh acar ikan. Ya udah, masak itu saja ya." Akhirnya, saat-saat yang ditunggu pun datang. Tepat pukul delapan malam, sebuah mobil parkir di depan rumah yang terlihat sederhana itu. Abian memang memiliki perusahaan sendiri yang bergerak di bidang furniture. Maka dari itu meskipun rumah ini terlihat sederhana, tapi furniture yang di dalamnya selalu kekinian. Abian selalu mengirimkan furniture terbaru ke rumah sang ibu. Pria jangkung dengan perawakan tak berbeda jauh dengan Arifin keluar dari mobil itu. Dengan setelan jas mahalnya, dia berjalan dengan langkah tegapnya. Pria itu langsung disambut oleh Ranti, Winda dan juga Santi. Jangan tanyakan Arifin, dia sedang lembur hari ini katanya."Sudah sampai. Bi?" sapa Ranti sambil tersenyum.
Tapi Abian hanya menunjukkan wajah datarnya. Dia terlihat mencari sesuatu. Bukan Winda dan Santi yang dia cari, tapi yang lain.
"Cari apa sih?" tanya Winda sambil menggelayut di lengan adiknya itu. Sudah biasa bagi Winda untuk melakukan itu pada adiknya. "Lepaskan tanganmu, Mbak.""Lho kenapa? Biasanya kamu gak keberatan kalau Mbak gelendotan," ycap Winda keheranan.
"Udahlah, Win. Mungkin Abi capek, kamu juga langsung aja gelendotan gitu. ltu adeknya disuruh duduk dulu," ucap Ranti, lalu meneriakan nama seseorang dari ruang tamu. "Flora, bikinin Mas mu kopi!"
Tak lama berselang. Flora keluar dari dapur dengan membawa secangkir kopi hitam yang masih mengepul. Ia lalu meletakan kopinya ke atas meja.
Abian menatap penampilan Flora dari atas hingga ke bawah.Perempuan itu hanya memakai pakaian rumahan. Wajahnya terlihat sayu seperti kelelahan dan kurang istirahat. Tubuhnya kurus dengan rambut yang terlihat tidak terawat. Penampilan Flora benar-benar berubah.
Namun ada satu yang tidak berubah di diri perempuan itu, kecantikannya.
'Dari dulu kamu tidak berubah. Flora. Kau masih cantik, sama seperti saat pertama kali aku melihatmu di aula pernikahan,' batin Abian."Silahkan di minum kopinya. Mas. Maaf, salam kenal. Sebelumnya kita tidak pernah bertemu," lirih Flora yang langsung mendapatkan tatapan tajam dari Ranti dan juga kedua kakak iparnya. "Udah, kamu gak usah cari perhatian sama Mas mu! Sana ke dapur, siapin makan malem!" perintah Ranti yang langsung diangguki oleh Flora. Dia pun pergi ke dapur dengan langkah pincang karena kakinya masih sakit akibat perlakuan Arifin."Gak boleh gitu sama Flora, Bu. Mau bagaimana pun dia menantu di rumah ini. Tidak seharusnya dia disuruh-suruh seperti itu, dia bukan pembantu," ucap Abian yang membuat Ranti berdecak kesal."Ckkk, gak usah kamu belain perempuan itu. Nanti, kalau gak disuruh-suruh, yang ada dia jadi perempuan pemalas.""Aku rasa Flora bukan perempuan seperti itu, dia terlihat seperti perempuan baik-baik dan tahu bagaimana caranya mengabdikan diri di rumah suaminya. Justru. perempuan pemalas itu adalah anak-anak ibu sendiri. Lihat mereka? Bisa apa mereka selain makan?" tanya Abian sambil me
"Sudah pulang, Mas?" tanya Flora kepada Arifin.Ia menyambut suaminya di ambang pintu. Namun, bukannya tersenyum ketika mendapatkan sambutan dari sang istri, Arifin malah melengos menatap wajah istrinya."Bisa gak sih pas aku pulang, kamu tuh dandan gitu? Pake make up kayak wanita kebanyakan. Ini suami pulang, wajah kusut mana badan bau bawang gini!" celetuk Arifin dengan sinis. Setelahnya, dia pun pergi ke kamar sambil membanting pintu kamar dengan keras."Ada apa sih?" Winda keluar dari kamarnya ketika mendengar suara pintu yang dibanting keras."Biasa, pasti Arifin marah tuh." Santi tahu-tahu sudah bergabung dengan saudaranya. "Ya gimana gak marah, nyambut suami dengan wajah kayak gitu. Gimana gak muak coba?"Flora menundukkan kepalanya. Bagaimana dia bisa punya waktu untuk membersihkan badan dan berdandan, kalau sedari tadi terus disuruh ini-itu oleh mertua dan iparnya. Belum lagi, kosmetik yang dimiliki Flora tidak lebih dari sebatang lipstik, handbody, dan bedak padat yang suda
Flora mendongakkan wajahnya yang sembab. Sedari tadi, dia menangis dalam diam. Dia tidak bisa menunjukkan kesedihannya pada siapapun. Percuma saja jika dia menunjukkannya, mereka pasti akan mengatakan kalau dia sedang berdrama untuk mendapatkan simpati dari Abian."Terima kasih. Mas. Andai saja yang bisa membelaku seperti ini adalah suamiku, aku pasti akan sangat bahagia," lirih Flora dalam hati, sambil berjalan pelan ke kamarnya. Ia pikir, setelah ini ia bisa beristirahat dengan tenang. Tapi ternyata semuanya belum selesai. Di dalam kamar rupanya Arifin sudah menunggunya dengan tatapan tak bersahabat."B-belum tidur. Mas?" Flora terbata."Bagaimana bisa aku tidur dengan semua kebisingan yang kau perbuat, Flora?! Kemari kau!" bentak Arifin. Flora beringsut mundur, tapi tangan besar itu dengan cepat meraih kepala Flora dan menjambak rambut panjang istrinya."Kau pikir, dengan Abian membelamu, kau bisa berbuat dan mengatakan hal itu pada kedua saudariku hah?! Tidak! kau salah!""M-mas
Abian duduk di sofa ruang tamu, dia menatap tajam kedatangan tiga wanita yang baru selesai belanja itu. Konon katanya belanja bulanan untuk keperluan rumah, tapi Abian malah melihat kalau ketiga memakai barang baru."Ehemm!" Abian berdehem, membuat ketiganya seketika menoleh ke arah pria yang tengah duduk dengan memangku laptop."Abian, sudah makan?""Sudah.""Ya udah, kami juga sudah tadi makan di luar sekalian.""Ohh untung saja aku makan duluan. Kalau tidak, aku bisa mati kelaparan kalau menunggu kalian berbelanja." Abian tersenyum sinis.Winda tampak ingin marah, tapi Ranti buru-buru memperingatkannya. Semua gerak-gerik itu tertangkap oleh Abian. Bahkan ketika ibunya memamerkan kemeja baru untuknya, Abian sudah tau apa akal bulusnya."Abi. Ibu beliin kamu kemeja baru lho. Mbak mu juga beli pakaian, masing-masing Ibu belikan satu setel," ungkap Ranti untuk mengubah suasana."Ibu tidak membelikan untuk Flora juga?" tanya Abian membuat Ranti terdiam."Kenapa harus dibeliin, kan dia p
Kedua mata Abian membulat sempurna ketika melihat luka di lengan bagian atas Flora. Ini bukan luka biasa, tapi ini seperti luka karena cambukkan sesuatu."Tidak apa-apa. Mas. Ini bukan bekas apa-apa kok." Flora buru-buru menurunkan kembali lengan bajunya untuk menghindari pertanyaan Abian."Jangan berbohong, Flora. Katakan yang sejujurnya pada Mas, bagaimana pun juga Mas berhak tahu." Abian menatap Flora dengan intens."Maaf, Mas. Tapi ini masalah rumah tangga Flora.""Jadi benar dugaan Mas kalau Arifin yang melakukannya?" tanya pria itu. Flora memalingkan wajahnya ke arah lain untuk menghindari kontak mata dengan Abian. Entahlah, tapi tatapan teduh dan hangat Abian membuatnya luluh. Tatapan itu terasa begitu tulus.Namun, dia tidak boleh terlarut begitu saja, karena dia juga ingat kalau dirinya adalah wanita bersuami."T-tidak....""Tidak ada gunanya kamu berbohong, Flora. Jadi katakan sejujurnya atau Mas yang cari tahu sendiri?""I-iya, Mas," jawab Flora pada akhirnya dengan lirih,
"Mas, ini bekal buat kamu," ucap Flora sambil memberikan wadah bekal pada suaminya.Bukannya menerima dengan senang hati. Arifin malah menatap sinis ke arah sang istri yang masih mengembangkan senyumnya. "Gak usah, aku bukan anak kecil yang harus bawa bekal." Arifin meninggalkan Flora begitu saja. Flora sudah seringkali menerima penolakan seperti ini, tapi kali ini rasanya sangat menyakitkan. Padahal ia berharap, sekotak bekal ini bisa membuat sang suami memperlakukannya sedikit lebih baik.Namun, jangankan menerima, melirik saja tidak mau."Sampai kapan kamu akan memperlakukan aku seperti ini, Mas? Apa kamu masih menganggap kalau aku ini istrimu?""Kita menikah atas dasar cinta, bukan perjodohan seperti di novel-novel, tapi kenapa kamu tidak pernah memperlakukan aku dengan baik. Mas? Bolehkah aku cemburu ketika melihat wanita lain diperlakukan dengan istimewa oleh suaminya?" gumam Flora sambil menatap kepergian Arifin yang sudah mengendarai motornya menjauh dari rumah.Perempuan it
Abian meneliti kendaraan yang berada di depannya dan dia yakin kalau motor ini adalah milik Arifin. Dia hafal benar apa yang merupakan barang miliknya. Bukan miliknya, tapi dia yang membelikan motor ini untuk Arifin saat dia berulang tahun."Ini benar milik Arifin...." lirih Abian. Dia pun masuk ke penginapan dan menanyakan beberapa hal pada receptionist yang berjaga disana."Maaf. permisi. Saya ingin bertanya, apakah ada pasangan yang melakukan check in baru-baru ini? Eemm, wajahnya mirip seperti saya?""Maaf. Tuan. Tapi kami....""Saya bersedia membayar untuk informasi itu. karena saya kakaknya."Pegawai hotel itu tampak ragu pada awalnya, tapi karena wajah Abian cukup dingin dan galak, ia semakin gemetaran. Apalagi ketika Abian langsung menyodorkan beberapa lembar uang seratus ribuan ke hadapan pegawai itu.Akhirnya, pegawai itu memberitahukan nomor kamar Arifin. Ia juga setuju dengan rencana Abian yang memintanya untuk memeriksa kamera pengawas dan memfoto Arifin jika lewat nanti.
"Aku harus berubah kan? Tidak seharusnya aku sehancur ini padahal suamiku sedang bersenang-senang dengan wanita lain di luar sana." Gumam Flora. Matanya menatap lurus ke arah hamparan lautan yang luas seolah tiada memiliki ujung itu."Benar, kamu harus berubah. Jangan bodoh dengan menangisi pria murahan seperti Arifin."Flora menoleh. "Dan Mas berjanji akan membantuku membalaskan dendam, kan?"Abian tersenyum lebar, dan mengangguk. "Tentu.""Kenapa Mas seolah mendukungku untuk melakukan hal itu. sedangkan Arifin adalah saudaramu sendiri?" Tanya Flora."Aku tidak mungkin mendukung orang yang salah. Flora. Sampai kapanpun. dengan apapun alasan nya, perselingkuhan tidak pernah di benarkan. Lagipula, kamu tahu benar apa alasanku melakukan hal ini bukan?" Tanya Abian sambil tersenyum kecil."Bukankah kata Mas tadi perselingkuhan itu tidak dibenarkan? Kalau Mas mengajak aku selingkuh, bukankah artinya Mas sama murahan nya dengan suamiku?" Tanya perempuan itu membuat Abian terdiam seketika.