"Sudah pulang, Mas?" tanya Flora kepada Arifin.
Ia menyambut suaminya di ambang pintu. Namun, bukannya tersenyum ketika mendapatkan sambutan dari sang istri, Arifin malah melengos menatap wajah istrinya.
"Bisa gak sih pas aku pulang, kamu tuh dandan gitu? Pake make up kayak wanita kebanyakan. Ini suami pulang, wajah kusut mana badan bau bawang gini!" celetuk Arifin dengan sinis. Setelahnya, dia pun pergi ke kamar sambil membanting pintu kamar dengan keras. "Ada apa sih?" Winda keluar dari kamarnya ketika mendengar suara pintu yang dibanting keras. "Biasa, pasti Arifin marah tuh." Santi tahu-tahu sudah bergabung dengan saudaranya. "Ya gimana gak marah, nyambut suami dengan wajah kayak gitu. Gimana gak muak coba?"Flora menundukkan kepalanya. Bagaimana dia bisa punya waktu untuk membersihkan badan dan berdandan, kalau sedari tadi terus disuruh ini-itu oleh mertua dan iparnya. Belum lagi, kosmetik yang dimiliki Flora tidak lebih dari sebatang lipstik, handbody, dan bedak padat yang sudah retak. Bahkan uang belanja dari Arifin tidak cukup untuk dibelikan baju baru.
"Lain kali, kalau mau nyambut suami pulang tuh dandan kek, biar suamimu seneng. Ini wajah kek gitu, yang ada suami tuh marah. Mbak juga gitu dulu, selalu nyambut suami tuh wangi, cantik," ucap Winda nyinyir. "Bagaimana aku bisa pakai make up, uang buat beli make up nya aja gak ada. Kan, habis sama Mbak," ucap Flora lirih."Hah, apa kamu bilang? Uang habis sama Mbak? Denger ya, Flora. Wajar saja kalau suamimu ngasih uang sama Mbaknya sendiri! Kamu tuh makin lama, kok makin gak tau diri heh!" Winda marah menunjukkan sifat aslinya jika dia merasa tersinggung.
Flora tidak menjawab lagi, karena dibantah pun kakak iparnya pasti tidak akan terima. Dibanding dirinya sebagai istri Arifin, justru kakak-kakak iparnya yang paling sering minta uang kepada Arifin.
"Ada apa sih ini ribut-ribut?" tanya Ranti. "Tuh si Flora, pake bilang uangnya Arifin habis sama aku." "Bener kamu bilang kayak gitu. Flora? Beneran gak tahu diri ya kamu!" Ucap Ranti, membuat Flora menundukkan kepalanya. "Maaf, Bu...." "Ingat kamu di sini itu numpang! Wajar aja kalau Arifin ngasih uang sama Mbak nya, dia keluarganya! Sedangkan kamu? Cuma orang asing di sini." "Tapi, Bu...." "Kalian ini kenapa sih? Berisik tau gak? Mau istirahat aja gak tenang!" Abian keluar dari kamarnya, dengan wajah kusut. Dia lelah, karena baru saja pulang dari perjalanan jauh, tapi tidak bisa beristirahat dengan tenang. "Ini nih si Flora, gak tahu diri!" ucap Winda. "Masa dia bilang kalau uang dari Arifin habis sama Mbak." "Padahal kan iya?" tanya Abian membuat Winda terdiam. "Mana ada! Mbak cuma minta secukupnya sama Arifin. Wajar kalau Mbak minta sama adik Mbak sendiri," jawab Winda seolah tak terima dengan ucapan Abian. "Wajar? Mbak bilang wajar? Mbak ini perempuan lho, gimana kalau Mbak punya suami terus si suaminya lebih mementingkan kebutuhan kakaknya dibandingkan kebutuhan istrinya sendiri? Jangan egois, Mbak! Arifin sudah menikah, dia wajib memberikan nafkah pada istrinya bukan pada mbaknya." Ucap Abian membuat Winda menatap tajam adiknya itu. "Kamu ini kenapa malah belain Flora? Ingat, aku ini Mbak mu sedangkan dia hanya orang asing. Abian!" "Justru karena dia orang asing, maka kita harus memperlakukan dia dengan baik, Mbak," sahut Abian. "Mulai sekarang, esok dan seterusnya aku takkan diam saja jika kalian melakukan hal ini pada Flora. Mulai besok, tugas bersih-bersih, memasak, dibagi rata!" "Tapi bersih-bersih itu sudah tugas menantu, Abian," ucap Ranti, membuat putranya itu menatap wajah ibunya. "Dia menantu di keluarga ini, bukan pembantu. Aku tidak mau tahu, mulai besok kalian harus saling bahu membahu mengerjakan semua pekerjaan rumah disini. Kalau tidak, aku akan berhenti mengirimkan uang bulanan pada kalian semua!" tegasnya membuat semua orang terdiam. Benar, kekuatan uang memang bisa mengubah segalanya. Bahkan, mereka langsung terdiam ketika mendengar ucapan Abian. "Satu lagi, kalian tidak perlu meminta uang dari Arifin. Biarkan gaji pria itu diberikan sepenuhnya pada Flora sebagai istri. Kalian mengata-ngatai Flora tidak bisa menjaga tubuh dan wajahnya, tapi uang Arifin kalian habiskan. Otak kalian di mana hah?!" "Jangan karena kamu memiliki uang, jadi kau bisa semena-mena pada kami, Abian!" ucap Santi. "Oke, Mbak Santi takkan mendapatkan uang bulanan dariku mulai bulan ini. Ingat itu!" tegas Abian, membuat Santi gelagapan. "Tapi...." "Kenapa? Kau masih membutuhkan uangku bukan? Jadi jangan membantah perintahku!" "Sebegitunya kau membela orang asing ini ketimbang keluargamu sendiri, Abian? Mbak mu ini janda, kalau dia tidak mendapatkan uang darimu, lalu dari siapa?" tanya Ranti. "Mereka hanya janda, bukan tunawisma. Jangan terlalu memanjakan anak-anakmu ini, Bu. Justru mereka yang akan terlihat gak tahu diri, bukan Flora. Menyalahkan wanita lain, padahal akar permasalahan ada pada diri mereka." "Cukup, Abian! Kami berdua saudaramu, kenapa kau menghina kami sebegininya hanya karena orang asing?" "Flora? Dia bukan orang asing di rumah ini, dia menantu di keluarga ini. Lalu kau? Kau memang putri di rumah ini tapi bukan berarti kau bisa berbuat seenaknya. Selama ini Flora diam karena dia menghormati kalian, tapi ternyata kediaman Flora malah membuat kalian semakin tidak tahu diri." Ucap Abian lagi membuat keduanya kompak menatap tajam adik mereka. Abian. Pria itu benar-benar sudah keterlaluan, bahkan mereka tidak bisa berkata-kata lagi sekarang. "Aku harap kalian segera menikah dan pergi dari rumah ini. Jujur, aku sumpek melihat wajah kedua perempuan munafik ini. Tapi tunggu, apa masih ada pria yang mau dengan wanita semacam kalian? Sudah bulat, ditambah egois dan matre. Ck!." Abian berdecak, lalu tersenyum meremehkan dan meninggalkan ruang tamu dengan langkah tegapnya. "Sialan kau, Abian!" Teriak Winda namun segera di bungkam oleh Ranti. "Sudah-sudah, malu sudah malam. Sana masuk ke kamar masing-masing dan tidurlah." "Ini semua gara-gara kamu. Flora! Kalau saja dulu Arifin tidak menikahimu, mungkin sekarang kejadian nya tidak akan seperti ini!" ucap Santi lalu pergi ke kamarnya bersama Winda.Begitu juga dengan Ranti. Dia juga masuk ke kamarnya tanpa sepatah katapun.
Flora mendongakkan wajahnya yang sembab. Sedari tadi, dia menangis dalam diam. Dia tidak bisa menunjukkan kesedihannya pada siapapun. Percuma saja jika dia menunjukkannya, mereka pasti akan mengatakan kalau dia sedang berdrama untuk mendapatkan simpati dari Abian."Terima kasih. Mas. Andai saja yang bisa membelaku seperti ini adalah suamiku, aku pasti akan sangat bahagia," lirih Flora dalam hati, sambil berjalan pelan ke kamarnya. Ia pikir, setelah ini ia bisa beristirahat dengan tenang. Tapi ternyata semuanya belum selesai. Di dalam kamar rupanya Arifin sudah menunggunya dengan tatapan tak bersahabat."B-belum tidur. Mas?" Flora terbata."Bagaimana bisa aku tidur dengan semua kebisingan yang kau perbuat, Flora?! Kemari kau!" bentak Arifin. Flora beringsut mundur, tapi tangan besar itu dengan cepat meraih kepala Flora dan menjambak rambut panjang istrinya."Kau pikir, dengan Abian membelamu, kau bisa berbuat dan mengatakan hal itu pada kedua saudariku hah?! Tidak! kau salah!""M-mas
Abian duduk di sofa ruang tamu, dia menatap tajam kedatangan tiga wanita yang baru selesai belanja itu. Konon katanya belanja bulanan untuk keperluan rumah, tapi Abian malah melihat kalau ketiga memakai barang baru."Ehemm!" Abian berdehem, membuat ketiganya seketika menoleh ke arah pria yang tengah duduk dengan memangku laptop."Abian, sudah makan?""Sudah.""Ya udah, kami juga sudah tadi makan di luar sekalian.""Ohh untung saja aku makan duluan. Kalau tidak, aku bisa mati kelaparan kalau menunggu kalian berbelanja." Abian tersenyum sinis.Winda tampak ingin marah, tapi Ranti buru-buru memperingatkannya. Semua gerak-gerik itu tertangkap oleh Abian. Bahkan ketika ibunya memamerkan kemeja baru untuknya, Abian sudah tau apa akal bulusnya."Abi. Ibu beliin kamu kemeja baru lho. Mbak mu juga beli pakaian, masing-masing Ibu belikan satu setel," ungkap Ranti untuk mengubah suasana."Ibu tidak membelikan untuk Flora juga?" tanya Abian membuat Ranti terdiam."Kenapa harus dibeliin, kan dia p
Kedua mata Abian membulat sempurna ketika melihat luka di lengan bagian atas Flora. Ini bukan luka biasa, tapi ini seperti luka karena cambukkan sesuatu."Tidak apa-apa. Mas. Ini bukan bekas apa-apa kok." Flora buru-buru menurunkan kembali lengan bajunya untuk menghindari pertanyaan Abian."Jangan berbohong, Flora. Katakan yang sejujurnya pada Mas, bagaimana pun juga Mas berhak tahu." Abian menatap Flora dengan intens."Maaf, Mas. Tapi ini masalah rumah tangga Flora.""Jadi benar dugaan Mas kalau Arifin yang melakukannya?" tanya pria itu. Flora memalingkan wajahnya ke arah lain untuk menghindari kontak mata dengan Abian. Entahlah, tapi tatapan teduh dan hangat Abian membuatnya luluh. Tatapan itu terasa begitu tulus.Namun, dia tidak boleh terlarut begitu saja, karena dia juga ingat kalau dirinya adalah wanita bersuami."T-tidak....""Tidak ada gunanya kamu berbohong, Flora. Jadi katakan sejujurnya atau Mas yang cari tahu sendiri?""I-iya, Mas," jawab Flora pada akhirnya dengan lirih,
"Mas, ini bekal buat kamu," ucap Flora sambil memberikan wadah bekal pada suaminya.Bukannya menerima dengan senang hati. Arifin malah menatap sinis ke arah sang istri yang masih mengembangkan senyumnya. "Gak usah, aku bukan anak kecil yang harus bawa bekal." Arifin meninggalkan Flora begitu saja. Flora sudah seringkali menerima penolakan seperti ini, tapi kali ini rasanya sangat menyakitkan. Padahal ia berharap, sekotak bekal ini bisa membuat sang suami memperlakukannya sedikit lebih baik.Namun, jangankan menerima, melirik saja tidak mau."Sampai kapan kamu akan memperlakukan aku seperti ini, Mas? Apa kamu masih menganggap kalau aku ini istrimu?""Kita menikah atas dasar cinta, bukan perjodohan seperti di novel-novel, tapi kenapa kamu tidak pernah memperlakukan aku dengan baik. Mas? Bolehkah aku cemburu ketika melihat wanita lain diperlakukan dengan istimewa oleh suaminya?" gumam Flora sambil menatap kepergian Arifin yang sudah mengendarai motornya menjauh dari rumah.Perempuan it
Abian meneliti kendaraan yang berada di depannya dan dia yakin kalau motor ini adalah milik Arifin. Dia hafal benar apa yang merupakan barang miliknya. Bukan miliknya, tapi dia yang membelikan motor ini untuk Arifin saat dia berulang tahun."Ini benar milik Arifin...." lirih Abian. Dia pun masuk ke penginapan dan menanyakan beberapa hal pada receptionist yang berjaga disana."Maaf. permisi. Saya ingin bertanya, apakah ada pasangan yang melakukan check in baru-baru ini? Eemm, wajahnya mirip seperti saya?""Maaf. Tuan. Tapi kami....""Saya bersedia membayar untuk informasi itu. karena saya kakaknya."Pegawai hotel itu tampak ragu pada awalnya, tapi karena wajah Abian cukup dingin dan galak, ia semakin gemetaran. Apalagi ketika Abian langsung menyodorkan beberapa lembar uang seratus ribuan ke hadapan pegawai itu.Akhirnya, pegawai itu memberitahukan nomor kamar Arifin. Ia juga setuju dengan rencana Abian yang memintanya untuk memeriksa kamera pengawas dan memfoto Arifin jika lewat nanti.
"Aku harus berubah kan? Tidak seharusnya aku sehancur ini padahal suamiku sedang bersenang-senang dengan wanita lain di luar sana." Gumam Flora. Matanya menatap lurus ke arah hamparan lautan yang luas seolah tiada memiliki ujung itu."Benar, kamu harus berubah. Jangan bodoh dengan menangisi pria murahan seperti Arifin."Flora menoleh. "Dan Mas berjanji akan membantuku membalaskan dendam, kan?"Abian tersenyum lebar, dan mengangguk. "Tentu.""Kenapa Mas seolah mendukungku untuk melakukan hal itu. sedangkan Arifin adalah saudaramu sendiri?" Tanya Flora."Aku tidak mungkin mendukung orang yang salah. Flora. Sampai kapanpun. dengan apapun alasan nya, perselingkuhan tidak pernah di benarkan. Lagipula, kamu tahu benar apa alasanku melakukan hal ini bukan?" Tanya Abian sambil tersenyum kecil."Bukankah kata Mas tadi perselingkuhan itu tidak dibenarkan? Kalau Mas mengajak aku selingkuh, bukankah artinya Mas sama murahan nya dengan suamiku?" Tanya perempuan itu membuat Abian terdiam seketika.
"Bagus ya kamu. bukan sambut suami di rumah pulang kerja, malah enak-enakan pergi sama pria lain." Arifin menatap sinis ke arah Flora dan juga Abian.Dia benar-benar tidak suka ketika melihat istrinya pergi dari rumah meskipun bersama saudaranya sendiri."T-tapi biasanya kalau aku sambut pun, k-kamu terlihat tidak peduli. Mas. Aku pikir untuk apa menyambutmu?" yanya Flora yang membuat Arifin membulatkan kedua matanya. Sejak kapan Flora bisa menjawab perkataannya seperti ini."Sudah-sudah. Flora, kamu dari mana?""Tadi habis ngikutin Mas ke kantor, sekalian mergokin orang selingkuh!" jawab Flora cukup keras hingga membuat raut wajah Arifin berubah seketika. Dia menatap wajah Flora yang terlihat tenang, begitu juga dengan Abian."Orang selingkuh di mana?""Tadi di jalan ada motor yang boncengan gitu. Lakinya bawa motor, terus ceweknya meluk kenceng banget. Eehh terus ketahuan sama istri sah nya lagi gituan di penginapan," jawab Flora membuat Ranti terkejut."Astaga. kamu ngapain sampai
Flora membuka pintu kamar dengan perlahan, kemudian masuk dan kembali menutup pintu kamar secara perlahan. Dia melihat Arifin tengah duduk di pinggir ranjang membelakanginya."mas.""Sudah selesai makan nya?" Tanya Arifin lalu berbalik dan menatap intens ke arah sang istri."Sudah. Mas. Ada apa? Apa ada hal penting yang ingin Mas bicarakan?""Kau tadi pergi kemana dengan Abian?" Pria itu beranjak dari duduknya lalu berjalan mendekat ke arah Flora, membuat perempuan itu refleks mundur. Jujur, dia takut kalau Arifin sudah seperti ini.Perempuan itu memejamkan matanya ketika tangan Arifin mulai terangkat, dia kira pria itu akan memukulnya seperti biasa. Tapi ternyata tidak, tangan itu malah terulur untuk merapikan rambut Flora ke belakang telinga nya."Katakan, kamu habis dari mana aja sama Abian?""Eeee, aku hanya ke kantor terus pulang ke rumah. Tadi ada mampir dulu sih ke warung bakso." Jawab perempuan itu."Kau tidak berbohong kan?""T-tidak. Mas." Jawab Flora. Dia tidak mungkin menga