Flora mendongakkan wajahnya yang sembab. Sedari tadi, dia menangis dalam diam. Dia tidak bisa menunjukkan kesedihannya pada siapapun. Percuma saja jika dia menunjukkannya, mereka pasti akan mengatakan kalau dia sedang berdrama untuk mendapatkan simpati dari Abian.
"Terima kasih. Mas. Andai saja yang bisa membelaku seperti ini adalah suamiku, aku pasti akan sangat bahagia," lirih Flora dalam hati, sambil berjalan pelan ke kamarnya.
Ia pikir, setelah ini ia bisa beristirahat dengan tenang. Tapi ternyata semuanya belum selesai. Di dalam kamar rupanya Arifin sudah menunggunya dengan tatapan tak bersahabat.
"B-belum tidur. Mas?" Flora terbata. "Bagaimana bisa aku tidur dengan semua kebisingan yang kau perbuat, Flora?! Kemari kau!" bentak Arifin.Flora beringsut mundur, tapi tangan besar itu dengan cepat meraih kepala Flora dan menjambak rambut panjang istrinya.
"Kau pikir, dengan Abian membelamu, kau bisa berbuat dan mengatakan hal itu pada kedua saudariku hah?! Tidak! kau salah!" "M-mas. sakit...."Namun bukan nya mendengarkan ucapan sang istri, Arifin malah terlihat seperti kesetanan. Dia mendorong tubuh Flora hingga membentur dinding, lalu membenturkan kepalanya ke tembok, membuat perempuan itu meringis.
"Mas, sakit...."
"Ini belum seberapa, Flora. Kau benar-benar tidak tahu diri ya!" Tidak puas dengan membenturkan kepala Flora ke dinding, Arifin pun melempar tubuh Flora ke atas ranjang. Ia langsung merobek semua pakaiannya dengan kasar. "Mas, jangan...." pinta Flora lirih. Namun Arifin tidak menghiraukannya, dia tetap melucuti semua pakaian Flora, hingga tubuhnya polos. Setelah polos, pria itu membuka ikat pinggang yang melingkar di pinggangnya, lalu memecutkannya ke tubuh Flora. Perempuan itu terus menjerit, seiring dengan banyak bekas luka yang mengeluarkan darah. Perempuan itu terus berteriak kesakitan, tetapi mulutnya langsung disumpal oleh celana dalam miliknya sendiri oleh Arifin."DIAM! ISTRI KURANG AJAR!"
Siksaan itu terus berlangsung, sampai Flora tidak punya kekuatan lagi untuk berteriak. Ia hanya menangis. Rasa sakit di hatinya jauh lebih perih daripada luka sabetan ini.
Setelah puas menyiksa istrinya, Arifin mencengkeram dagu Flora dengan keras. Matanya menyalak tajam ke arah sang istri yang terlihat sudah tidak berdaya. Bahkan di sudut bibirnya sudah mengeluarkan darah.
"Ini peringatan untukmu, jangan pernah berani mengatakan hal itu lagi pada saudariku atau kau akan mendapatkan hukuman yang lebih parah dari ini. Paham?"Namun, Flora hanya menangis. Tidak punya kekuatan untuk menjawab bentakan itu.
"Jawab. Flora!" Tegas Arifin, membuat Flora memejamkan matanya, lalu menganggukan kepalanya dengan perlahan. "l-iya. Mas.... Aku paham...." "Bagus. Sekarang puaskan aku." Arifin mulai membuka celananya dan kembali memaksakan kehendaknya pada tubuh lemah Flora.Flora hanya bisa pasrah menerima perlakuan buruk dari sang suami. Mau mengadu pun mengadu pada siapa? Orang tua nya sudah terlanjur sangat percaya pada Arifin, lalu mertuanya?
Flora memejamkan matanya ketika merasakan hujaman yang dilakukan oleh Arifin di area sensitifnya. Meskipun ukuran milik suaminya tidak terlalu besar, tapi tetap saja jika melakukan nya dengan kasar seperti ini, tanpa pemanasan sama sekali, rasanya sangat menyakitkan. Tak jarang, Flora akan kesulitan berjalan karena miliknya akan terasa perih. Arifin melakukannya selama berjam-jam, hingga akhirnya Flora tak sadarkan diri karena miliknya sakit sekali. Belum lagi luka di sekujur tubuh akibat pecutan ikat pinggang sang suami. Keesokan harinya, Flora terbangun dengan tubuh yang terasa sangat nyeri. Perempuan itu pun beranjak dari tidurnya, lalu membasuh tubuhnya. Dia meringis karena luka-luka yang ditinggalkan Arifin di tubuhnya benar-benar berbekas. Setelah selesai membersihkan tubuhnya, Flora pun membereskan tempat tidurnya seperti biasa. Jangan tanyakan ke mana Arifin sepagi ini, jawabannya sudah jelas dia pergi bekerja tanpa menunggu dirinya bangun.Selama ini, Arifin tidak pernah sarapan. Dia hanya akan makan di rumah saat malam hari, itu pun kadang-kadang. Alasannya dia seringkali makan di luar bersama klien katanya.
Perempuan itu keluar dari kamar dengan langkah tertatih. Dia menatap sekitaran rumah yang sudah terlihat bersih, rapi, dan wangi. Ternyata, kedua kakak iparnya itu benar-benar melakukan tugas yang diberikan Abian pada mereka.Saat Flora berbelok ke dapur, ia sudah melihat mertua dan ipar-iparnya di sana, duduk sambil menikmati sarapan.
"Makan sana," celetuk Winda dengan jutek.Flor tidak menjawab, ia hanya mengambil segelas air putih.
"Flora, duduk dan makanlah." Ucap Abian sambil tersenyum ketika Flora berbalik. Senyum manis yang dia tebar untuk Flora di pagi hari yang agak terasa berbeda ini. "Terima kasih, Mas," kawab Flora sambil tersenyum kecil. "Abi, Ibu sama Mbak mu mau belanja bulanan," ucap Ranti. Pantas saja mereka makan lebih awal dan berpakaian rapi, ternyata inilah jawabannya."Ya," jawab pria itu.
Tapi Ranti tidak kunjung beranjak, seolah tengah menunggu sesuatu.
"Kenapa masih di sini. Bu?" "Anu.... itu uangnya kurang."Abian berdecak. "Tanggal berapa aku mengirimi Ibu uang?" Tanya Abian.
"Tanggal lima, Abi." "Sekarang?" "Tanggal sepuluh." "Apa iya, uang sepuluh juta habis dalam waktu lima hari, Bu? Tak mungkin kalian menghabiskan uang sepuluh juta sehari, kan?" Tanya Abian membuat Ranti terdiam.Abian memang selalu memberikan uang bulanan sebesar itu pada sang ibu. Memang biasanya, belum ada satu bulan Ibunya sudah meminta lagi. Tapi kali ini sangat keterlaluan. Baru lima hari uang segitu banyak sudah habis.
"Apa susahnya sih. Bi. Tinggal kasih lagi aja! Uang kamu kan banyak."
"Uang aku banyak juga akan ada habisnya jika kalian terus berfoya-foya seperti ini. Gak usah sok-sokan belanja bulanan kalau tidak punya uang, beli di abang-abang sayuran saja setiap pagi, lebih hemat!" jawab Abian, membuat Ranti mendelik.Sedangkan Flora hanya diam saja. Dia hanya makan dengan perlahan sambil menunduk, malas jika harus berurusan dengan ibu mertuanya sepagi ini.
Mungkin karena kesal apa yang diinginkan tidak didapat, Ranti langsung saja pergi dari meja makan. Dua anak perempuannya mengikuti. Tidak lama kemudian, terdengar suara pintu depan yang dibanting dengan keras.
"Flora," panggil Abian ketika suasana rumah kembali tenang. "I-iya, Mas." "Lain kali, jika ditindas, melawan. Jangan hanya diam saja. Kamu berhak menyuarakan isi hatimu ketika mendapatkan ketidakadilan." Flora menunduk sambil memainkan jari-jarinya. "A-aku takut. Mas. Aku sadar benar posisi aku di sini hanya sebagai menantu, entah diakui sebagai menantu atau tidak. Aku tidak tahu hal itu." "Apa Arifin menjagamu dengan baik?" "I-iya, Mas," jawab Flora dengan terbata, dia berbohong untuk melindungi nama baik suaminya. "Jangan berbohong. Lalu, luka apa di sudut bibirmu? Tidak mungkin jika itu bukan bentuk kekerasan, Flora." "Tidak apa-apa. ini hanya luka biasa." Perempuan itu sambil mengusap sudut bibirnya yang terluka. Abian beranjak dari duduknya, lalu menarik dagu Flora, dan menatap wajah cantik perempuan itu. "Ini luka tamparan, Flora. Katakan dengan jujur, Arifin yang melakukannya?"Abian menatap Flora dengan tajam, membuat nyali Flora menciut seketika. Dengan perlahan, perempuan itu menganggukan kepalanya.
"Brengsek!"Flora tersentak, tapi tidak bisa mengucapkan apapun. Ia semakin meremas kedua tangannya sendiri. Apa Flora sudah membuat Abian marah?
"Aku menyesal, kenapa bukan aku yang pertama bertemu denganmu, Flora! Kalau saja aku tahu adikku akan sebejat ini, aku pasti takkan membiarkanmu menikah dengan pria brengsek itu!" "M-mas...." "Aku mencintaimu. Flora. Aku menyukaimu saat kita bertemu untuk pertama kalinya. Jika dia tidak bisa menjagamu, maka izinkan aku menjagamu. Aku akan merebutmu dari Arifin. Apapun caranya."Abian duduk di sofa ruang tamu, dia menatap tajam kedatangan tiga wanita yang baru selesai belanja itu. Konon katanya belanja bulanan untuk keperluan rumah, tapi Abian malah melihat kalau ketiga memakai barang baru."Ehemm!" Abian berdehem, membuat ketiganya seketika menoleh ke arah pria yang tengah duduk dengan memangku laptop."Abian, sudah makan?""Sudah.""Ya udah, kami juga sudah tadi makan di luar sekalian.""Ohh untung saja aku makan duluan. Kalau tidak, aku bisa mati kelaparan kalau menunggu kalian berbelanja." Abian tersenyum sinis.Winda tampak ingin marah, tapi Ranti buru-buru memperingatkannya. Semua gerak-gerik itu tertangkap oleh Abian. Bahkan ketika ibunya memamerkan kemeja baru untuknya, Abian sudah tau apa akal bulusnya."Abi. Ibu beliin kamu kemeja baru lho. Mbak mu juga beli pakaian, masing-masing Ibu belikan satu setel," ungkap Ranti untuk mengubah suasana."Ibu tidak membelikan untuk Flora juga?" tanya Abian membuat Ranti terdiam."Kenapa harus dibeliin, kan dia p
Kedua mata Abian membulat sempurna ketika melihat luka di lengan bagian atas Flora. Ini bukan luka biasa, tapi ini seperti luka karena cambukkan sesuatu."Tidak apa-apa. Mas. Ini bukan bekas apa-apa kok." Flora buru-buru menurunkan kembali lengan bajunya untuk menghindari pertanyaan Abian."Jangan berbohong, Flora. Katakan yang sejujurnya pada Mas, bagaimana pun juga Mas berhak tahu." Abian menatap Flora dengan intens."Maaf, Mas. Tapi ini masalah rumah tangga Flora.""Jadi benar dugaan Mas kalau Arifin yang melakukannya?" tanya pria itu. Flora memalingkan wajahnya ke arah lain untuk menghindari kontak mata dengan Abian. Entahlah, tapi tatapan teduh dan hangat Abian membuatnya luluh. Tatapan itu terasa begitu tulus.Namun, dia tidak boleh terlarut begitu saja, karena dia juga ingat kalau dirinya adalah wanita bersuami."T-tidak....""Tidak ada gunanya kamu berbohong, Flora. Jadi katakan sejujurnya atau Mas yang cari tahu sendiri?""I-iya, Mas," jawab Flora pada akhirnya dengan lirih,
"Mas, ini bekal buat kamu," ucap Flora sambil memberikan wadah bekal pada suaminya.Bukannya menerima dengan senang hati. Arifin malah menatap sinis ke arah sang istri yang masih mengembangkan senyumnya. "Gak usah, aku bukan anak kecil yang harus bawa bekal." Arifin meninggalkan Flora begitu saja. Flora sudah seringkali menerima penolakan seperti ini, tapi kali ini rasanya sangat menyakitkan. Padahal ia berharap, sekotak bekal ini bisa membuat sang suami memperlakukannya sedikit lebih baik.Namun, jangankan menerima, melirik saja tidak mau."Sampai kapan kamu akan memperlakukan aku seperti ini, Mas? Apa kamu masih menganggap kalau aku ini istrimu?""Kita menikah atas dasar cinta, bukan perjodohan seperti di novel-novel, tapi kenapa kamu tidak pernah memperlakukan aku dengan baik. Mas? Bolehkah aku cemburu ketika melihat wanita lain diperlakukan dengan istimewa oleh suaminya?" gumam Flora sambil menatap kepergian Arifin yang sudah mengendarai motornya menjauh dari rumah.Perempuan it
Abian meneliti kendaraan yang berada di depannya dan dia yakin kalau motor ini adalah milik Arifin. Dia hafal benar apa yang merupakan barang miliknya. Bukan miliknya, tapi dia yang membelikan motor ini untuk Arifin saat dia berulang tahun."Ini benar milik Arifin...." lirih Abian. Dia pun masuk ke penginapan dan menanyakan beberapa hal pada receptionist yang berjaga disana."Maaf. permisi. Saya ingin bertanya, apakah ada pasangan yang melakukan check in baru-baru ini? Eemm, wajahnya mirip seperti saya?""Maaf. Tuan. Tapi kami....""Saya bersedia membayar untuk informasi itu. karena saya kakaknya."Pegawai hotel itu tampak ragu pada awalnya, tapi karena wajah Abian cukup dingin dan galak, ia semakin gemetaran. Apalagi ketika Abian langsung menyodorkan beberapa lembar uang seratus ribuan ke hadapan pegawai itu.Akhirnya, pegawai itu memberitahukan nomor kamar Arifin. Ia juga setuju dengan rencana Abian yang memintanya untuk memeriksa kamera pengawas dan memfoto Arifin jika lewat nanti.
"Aku harus berubah kan? Tidak seharusnya aku sehancur ini padahal suamiku sedang bersenang-senang dengan wanita lain di luar sana." Gumam Flora. Matanya menatap lurus ke arah hamparan lautan yang luas seolah tiada memiliki ujung itu."Benar, kamu harus berubah. Jangan bodoh dengan menangisi pria murahan seperti Arifin."Flora menoleh. "Dan Mas berjanji akan membantuku membalaskan dendam, kan?"Abian tersenyum lebar, dan mengangguk. "Tentu.""Kenapa Mas seolah mendukungku untuk melakukan hal itu. sedangkan Arifin adalah saudaramu sendiri?" Tanya Flora."Aku tidak mungkin mendukung orang yang salah. Flora. Sampai kapanpun. dengan apapun alasan nya, perselingkuhan tidak pernah di benarkan. Lagipula, kamu tahu benar apa alasanku melakukan hal ini bukan?" Tanya Abian sambil tersenyum kecil."Bukankah kata Mas tadi perselingkuhan itu tidak dibenarkan? Kalau Mas mengajak aku selingkuh, bukankah artinya Mas sama murahan nya dengan suamiku?" Tanya perempuan itu membuat Abian terdiam seketika.
"Bagus ya kamu. bukan sambut suami di rumah pulang kerja, malah enak-enakan pergi sama pria lain." Arifin menatap sinis ke arah Flora dan juga Abian.Dia benar-benar tidak suka ketika melihat istrinya pergi dari rumah meskipun bersama saudaranya sendiri."T-tapi biasanya kalau aku sambut pun, k-kamu terlihat tidak peduli. Mas. Aku pikir untuk apa menyambutmu?" yanya Flora yang membuat Arifin membulatkan kedua matanya. Sejak kapan Flora bisa menjawab perkataannya seperti ini."Sudah-sudah. Flora, kamu dari mana?""Tadi habis ngikutin Mas ke kantor, sekalian mergokin orang selingkuh!" jawab Flora cukup keras hingga membuat raut wajah Arifin berubah seketika. Dia menatap wajah Flora yang terlihat tenang, begitu juga dengan Abian."Orang selingkuh di mana?""Tadi di jalan ada motor yang boncengan gitu. Lakinya bawa motor, terus ceweknya meluk kenceng banget. Eehh terus ketahuan sama istri sah nya lagi gituan di penginapan," jawab Flora membuat Ranti terkejut."Astaga. kamu ngapain sampai
Flora membuka pintu kamar dengan perlahan, kemudian masuk dan kembali menutup pintu kamar secara perlahan. Dia melihat Arifin tengah duduk di pinggir ranjang membelakanginya."mas.""Sudah selesai makan nya?" Tanya Arifin lalu berbalik dan menatap intens ke arah sang istri."Sudah. Mas. Ada apa? Apa ada hal penting yang ingin Mas bicarakan?""Kau tadi pergi kemana dengan Abian?" Pria itu beranjak dari duduknya lalu berjalan mendekat ke arah Flora, membuat perempuan itu refleks mundur. Jujur, dia takut kalau Arifin sudah seperti ini.Perempuan itu memejamkan matanya ketika tangan Arifin mulai terangkat, dia kira pria itu akan memukulnya seperti biasa. Tapi ternyata tidak, tangan itu malah terulur untuk merapikan rambut Flora ke belakang telinga nya."Katakan, kamu habis dari mana aja sama Abian?""Eeee, aku hanya ke kantor terus pulang ke rumah. Tadi ada mampir dulu sih ke warung bakso." Jawab perempuan itu."Kau tidak berbohong kan?""T-tidak. Mas." Jawab Flora. Dia tidak mungkin menga
"Flora.." panggil Abian membuat perempuan itu menoleh. Seperti biasa, jantungnya berdetak tak karuan ketika pria itu memanggil dirinya. Jujur, dia takut kalau Abian melakukan hal yang tidak-tidak padanya. Apalagi di rumah hanya ada dirinya dan Juga Abian."I-iya, Mas.""Bagaimana tawaran ku hari itu? Kamu sudah memikirkan nya dengan baik?" Tanya pria itu membuat sekujur tubuh perempuan itu merinding seketika."M-mas. tolong jangan mendekat." Pinto Flora. Dia refleks mundur ketika Abian semakin mendekat ke arahnya, dia mematikan kran air dan mengunci pergerakan perempuan itu.Pria itu menunduk dan mendekatkan wajahnya pada Flora, dia tersenyum manis lalu mengangkat dagu perempuan itu."Kamu cantik, hanya saja kamu kurang beruntung karena mendapatkan suami brengsek seperti Arifin.""Mas, tolong menjauhlah.""Tidak. Mas suka berdekatan denganmu." Jawab Abian sambil tersenyum, dia menarik tubuh Flora hingga posisi mereka sangat berdekatan saat ini bahkan nyaris menempel. Flora menahan perg
Zahra masih saja setia menunduk, tidak berani menatap pria paruh baya yang sejak tadi menatapnya dengan sorot tajam. Zahra sangat takut, takut sekali, di saat seperti ini dia membutuhkan perlindungan dari papinya. Tapi, Papi sudah bahagia di sisi Tuhan sekarang. Maka itu, yang Zahra lakukan adalah saling meremas kedua tangannya satu sama lain. "Tinggalkan putraku, saya mohon padamu untuk kali ini. Biarlah kau anggap saya ini sebagai ayah yang egois. Tapi, saya melakukan ini demi kebaikan dan keselamatan putraku," ujar Abian dengan suara beratnya. Menatap Zahra yang masih menunduk. Tidak dapat melihat dengan jelas bagaimana raut wajah gadis itu. "Kalian tidak bisa bersama." Abian menahan napasnya. "Masa lalu Papi mu akan selalu menghantuimu meski dia sudah meninggal. Mereka tidak akan pernah puas sebelum membuatmu mati. Karena keturunan dari almarhum Marion harus mati ditangan mereka, demi membalaskan dendam. Musuh-musuh Papi mu terlalu banyak. Hanan akan terus terancam bila berad
Sepuluh bulan kemudian. "Dad, Hanan nggak apa-apa, kan?" Hanin yang baru saja tiba dengan mommynya di rumah sakit, langsung saja memberondong daddynya dengan pertanyaan. Hanin rasanya ingin pingsan kala mendengar apa yang menimpa kembarannya itu. Tapi, Hanin harus kuat karena ada mommynya yang lebih syok saat mendengar kembarannya di serang. Dan, itu di luar jangkauan dari daddynya. Semenjak SMA dan Hanan pandai beladiri. Kembaranya itu meminta dengan sendirinya untuk tidak ada pengawal yang lagi menjaganya dari kejauhan. Hanan merasa bisa menjaga dirinya sendiri, maka itu meminta Daddynya membayar pengawal untuk menjaganya dan Hendra saja bila di luar rumah. Namun, kembarannya itu sudah sok jagoan sekali. Tapi, ujung-ujungnya berakhir seperti ini. Abian yang ditanya putrinya itu menggeleng pelan. Wajahnya pucat pasi bak mayat sekarang. Di melihat dengan mata kepalanya sendiri, ada dua bekas tusukan yang di dapat putranya itu. Dia terus berdoa dalam hati dan terus meminta pada Tu
"Rumah lo di mana?" tanya Hanan setelah itu. "Ntar Zahra kasih tahu jalannya. Hanan lurus aja dulu, nanti ada pertigaan baru belok kiri," jawab Zahra agak kuat takut Hanan tidak mendengar bila suaranya kecil. "Ok." Hanan mengangguk pelan. Matanya kembali menatap ke arah spion. Saat tiba dipertigaan, dia langsung berbelok kiri dan benar saja mobil di belakang sana ikut belok juga. Hanan menyeringai lebar. "Kayaknya mereka mau main-main sama gue, nih," batinnya. Hanan pernah mengalami siatusi seperti ini. Saat itu ada Pak supir yang ahli mengelebui orang-orang yang menguntit mobil mereka. Maka dari itu juga Hanan belajar juga. "Zahra!" panggilnya. "Ya?" "Pegangan yang kuat!" ucap Hanan. "Eh, kenapa?" Zahra melotot kecil. Dia malah malu ketika mau memeluk Hanan. Yang tadi hanya spontan saja. Zahra tidak mau mengulangi hal seperti itu lagi. Tapi, kali ini dia langsung berpegangan pada ujung jaket Hanan tanpa memeluk Hanan. "Pokoknya pegangan yang kenceng, ya!" Hanan mewanti
Sebagai teman yang baik. Zahra membawakan buah tangan untuk menjenguk Hanin. Dia sempat mampir ke toko roti dan toko buah sebelum pergi ke rumah Hanin. Gadis itu dengan perasaan riangnya menjenguk Hanin yang sejak pagi sudah tidak dia temui. Rasanya Zahra rindu, karena saat bersama Hanin, dia merasa aman karena Hanin selalu melindunginya kapanpun. Zahra juga dapat merasakan sosok kakak bila di samping Hanin. Mobil Zahra yang baru tiba di depan gerbang rumah Hanin langsung terhenti karena pintu gerbangnya tak dibukakan sama sekali. Zahra langsung membuka kaca jendelanya untuk meminta sang satpam membuka gerbang di depan sana. Namun, satpam itu malah menolaknya. "Zahra ini teman Hanin lho, Pak." Zahra menghela napas pelan dengan bibir mengerucut. "Zahra ke sini juga mau jenguk Hanin yang lagi sakit. Zahra pun udah pernah datang ke sini. Pak satpam nggak kenal sama Zahra, ya?" todongnya dengan jari telunjuknya. "Maaf, Nona.
Meski Hanin sering berisik dan suka berteriak tidak jelas. Bila jatuh sakit seperti ini, mansion akan terasa sepi sekali. Baik Hendra dan Hanan merasakan kehilangan, Hanin yang biasanya aktif dan lincah ke sana kemari kini terbaring lemah di kasur empuknya dengan handuk kecil di dahinya. Hanin jatuh sakit setelah traumanya kembali, hal ini terjadi untuk pertama kalinya setelah Hanin melihat lelaki yang mirip Arifin itu lagi. Hanan pun menceritakan semuanya pada sang mommy, sehingga Flora menyarankan Abian untuk membawa putri mereka ke konseling psikologi. Agar trauma Hanin tidak semakin parah nantinya. Dan, pagi ini Hanan berangkat ke sekolah seorang diri. Rasanya tidak enak sekali karena tidak ada Hanin di sampingnya. Tidak ada Hanin yang merecokinya, tidak ada yang menggodanya dengan suara cempreng nan mengesalkan itu. Hanan mendesah pelan, walau dirinya terlihat cuek dari luar, tetap saja dia merasa khawatir dengan Hanin. "Lho, tumben Hanan datang se
Tanpa disadari dua gadis itu. Hanan sejak tadi memperhatikan mereka, mendesah pelan, Hanan kembali teringat dengan pembicaraan Daddy dan Mommynya kemarin malam. Saat itu Hanan tidak sengaja mendengar semuanya. Dia penasaran dengan alasan dari Daddynya itu sehingga memutuskan untuk menguping, meski itu adalah tindakan tidak sopan. Hanan pun perlahan bisa mengerti akan kecemasan Daddynya itu, sehingga memberikan ide dan jalan keluar padanya dan juga Hanin agar keduanya tetap bisa berteman dengan Zahra. "Demen lo sama Zahra?" Hanan langsung menoleh ke arah teman satu mejanya, ternyata dia ketahuan menatap kembarannya dan Zahra. Pemuda itu menyeringai lebar, menjadikan Hanan mendengkus pelan melihatnya. Raut wajahnya masih datar dan tidak niat membalas ucapan temannya tadi. "Zahra cantik kok, nggak masalah lo naksir sama dia. Artinya lo itu normal Pak ketua," seloroh pemuda di sebelah Hanan itu lagi. Hanan kembali mendengkus. T
"Tapi, nggak harus memperkekang pertemanan anak-anaknya juga, Nan," sahut Hanin cepat. "Apa salah Zahra coba? Yang ada dia sedih pas kita tiba-tiba menjauh dari dia. Kasihan tahu lho, Nan. Memang gue selalu kesal sama tingkah polosnya, tapi gue nggak tega melihatnya sendirian nanti tanpa teman-teman. Lo tahu sendiri kalau di kelas, dia cuman dekat sama kita aja." "Gue tahu." Hanan bersandar di sisi meja belajar Hanin. Lalu bersedekap dada dan menatapi kembarannya itu. "Tapi, kita tidak tahu alasan Daddy sebenarnya." "Lo kenapa selalu dipihak Daddy, sih?" sungut Hanin kesal. Larangan Daddy kali ini nggak masuk akal, lho. Bukannya selama ini Daddy memperbolehkan kita berteman dengan siapa saja?" Hanan mendengkus pelan. "Coba ambil sisi lainnya dulu, Nin. Sekarang kita pikirkan alasan Daddy yang katanya demi kebaikan kita. Itu artinya Daddy sedang menjauhkan kita dari bahaya. Meski sepenuhnya gue nggak setuju juga dengan larangan Daddy. Tapi
"Kenapa, Dad?" Hanin langsung melayangkan pertanyaan dengan nada penuh protes. Akan tetapi, Abian tetap menatap si kembar penuh ketegasan. "Turuti perkataan Daddy. Kalian akan mengalami hal buruk kalau tetap berteman dengan dia. Ini demi kebaikan kalian berdua," ujar Abian penuh penekanan. Hanin tertawa miris. "Hanin tidak menyangka kalau Daddy sampai mengekang anaknya seperti ini. Dalam pertemanan saja dibatasi!" balasnya tak suka. Dia senang berteman dengan Zahra. Zahra selalu mengasyikkan meski terkadang kesal dengan kepolosan gadis itu. "Hanin, jangan membangkang Daddy, ok?" pinta Abian dengan helaan napas pelan. "Daddy punya alasan untuk ini. Percaya sama Daddy, Daddy tidak pernah melarang satu hal kalau itu tidak merugikan kalian. Tolong pahamilah permintaan Daddy kali ini." Abian menatap si kembar lekat. Dia berharap si kembar bisa mengerti keadaan sekarang. Ketakutan Abian sejak dulu adalah sebuah
Hanan menggeleng lagi. "Gue akan bertugas mencatat pertanyaan aja. Zahra yang jadi moderator dan Hanum kebagian menjawab pertanyaan," jelasnya kemudian. "Kalau kamu udah atur tugas kita masing-masing nggak perlu nanya kayak tadi, Nan," tegur Hanum dengan gelengan kepalanya. Hanan tak menjawab. "Jadi Zahra moderator, nih?" gumam Zahra karena untuk pertama kalinya dia tunjuk seperti ini. "Iya." Ketiga temannya itu mengangguk serentak. "Tapi, Zahra nggak punya pengalaman lhooo," rengeknya. "Sebelum presentasi tiba, kamu masih bisa belajar di rumah kok, Ra," sahut Hanum, memberikan senyuman menenangkannya. "Tetap saja. Zahra takut gugup," balasnya lagi. "Nggak boleh protes. Gue udah kasih tugas masing-masing. Jadi, jangan sampai presentasi kita ini dapat nilai rendah. Paham kalian!" ujar Hanan penuh ketegasan.