"Sepertinya aku pernah melihatnya, tapi di mana, ya?" Vanessa mengemudikan mobilnya sembari berpikir dengan keras berusaha mengingat siapa Nurmala yang sebenarnya, tapi setelah berpikir cukup lama, ia tetap tidak menemukan jawaban.Setelah menempuh waktu selama hampir 1 jam di tengah kemacetan lalu lintas, mobil Vanessa sudah tiba di kantor Alfian. Sepatu hak tinggi yang ia kenakan turun dari mobil. Ia menutup pintu mobil dengan gaya congkak. Kakinya melangkah meliuk-liuk sembari membuka kaca mata dan mendorongnya naik ke atas kepala.Hampir semua mata karyawan yang melihatnya takjub dengan kecantikan yang dimiliki oleh Vanessa, wajar jika Alfian sangat tergila-gila dengannya, tapi beberapa dari mereka terutama kaum hawa mencibir melihat kesombongan yang di tonjolkan Vanessa, tapi Vanessa tak peduli, ia berpikir jika mereka semua iri dengan kesempurnaan yang dimilikinya. Vanessa berjalan melewati ruang demi ruang tak peduli dengan tatapan aneh semua orang yang terarah padanya."Dasar
FLASH BACK ONSaat pertama kali Alfian mengetahui bahwa Nurmala hamil dan ingin menggugurkan kandungannya, dia marah. Dia tak rela jika darah dagingnya akan dibunuh, tapi ketika melihat air mata dan kesedihan yang terpampang jelas di wajah Nurmala, Alfian merasa iba, rasa bersalah menggerogoti hatinya.Dia mencoba memahami apa yang dirasakan dan dialami oleh Nurmala, kenapa berniat menggugurkan kandungan? Dia korban pemerkosaan, tanpa suami dan memiliki tunangan, pasti berat bagi Nurmala menjalani hari-harinya.Alfian berniat untuk melindungi dan menebus kesalahannya pada Nurmala. Dia akan berusaha semaksimal mungkin untuk membahagiakan Nurmala hingga anaknya lahir. Hal yang Alfian syukuri adalah Nurmala tak menginginkan anaknya dan tak ingin menjadi istri dari Alfian. Tentu hal ini mempermudah tujuan Alfian untuk mendapatkan hak asuh anaknya secara utuh.Namun, seiring dengan berjalannya waktu, segalanya berubah. Ketika lelaki lain mendekati Nurmala, hatinya merasa terusik. Awalnya A
Pagi-pagi sekali, Alfian pergi ke kantor tanpa berpamitan pada Nurmala.Sekarang tak ada lagi kecupan di kening Nurmala sebelum Alfian pergi bekerja. Dengan dada yang terasa sesak, Alfian pergi bekerja.Alfian memasuki kantor dengan langkah lunglai. Hidupnya tak lagi bergairah, semua terasa hambar karena penolakan Nurmala. Tekadnya untuk jujur kini sirna setelah melihat sikap Nurmala. Kini hatinya meradang sakit.Roy masuk ke dalam ruangan Alfian sembari menenteng kantong yang berisi kotak makanan. Dia melihat Alfian berdiri di menghadap dinding kaca transparan, satu tangannya masuk ke saku celananya sedangkan telapak tangannya yang lain bersandar di bingkai dinding kaca. Alfian memandangi pemandangan ibu kota dari ketinggian gedung. Tatapannya kosong, pikirannya melayang-layang pada Nurmala.Kata-kata Nurmala yang sangat menyakitkan masih terngiang-ngiang di benak Alfian. Dia merindukan senyuman manis dan wajah Nurmala yang menggemaskan.Roy meletakkan satu kotak makan dan minuman d
Alfian meremas surat di tangannya, lalu membuangnya ke lantai. Ia menyesal kenapa tidak menyelidiki dulu perubahan sikap Nurmala yang mendadak berubah. Bi Puput memberi segelas air putih. Beliau pasti tahu bahwa hati majikannya saat ini sedang kacau balau.Hati Alfian terasa diremas, baru berpisah saja berpisah dengan Nurmala sudah membuatnya sesakit ini. Mengingat video kemesraan Firman dan Nurmala, entah kenapa naluri Alfian mengatakan jika saat ini Nurmala sedang kabur bersama Firman. Kalau itu benar terjadi, maka akan ia takkan segan-segan untuk memb*n*h bajingan itu.Alfian menepis segala prasangka buruk tentang Nurmala, tidak mungkin Nurmala bisa melakukan hal itu. Roy sekarang sedang mencari tahu keberadaan istrinya, sedangkan Alfian segera memantau rekaman CCTV rumahnya.Alfian memutar rekaman CCTV saat dirinya pulang dalam keadaan on akibat obat perangsang. Di ruang tengah, ia melihat Nurmala sedang berdebat dengan Roy. “Sial, lancang sekali Roy menyentuh istrinya,” gerutu A
Satu bulan sudah Nurmala melarikan diri, hidup di perkampungan kecil padat penduduk. Dia menyewa kontrakan kecil selama 2 bulan, jika betah maka akan menambah 1 tahun masa sewanya, itu rencana yang Nurmala pikirkan.Lokasinya tak terlalu jauh dari rumah Alfian, hanya saja kalau mau masuk ke kontrakan, Nurmala harus melewati jalan tikus yang tak bisa dilewati motor. Ini adalah kontrakan Ratna dulu waktu pertama kali pindah ke Jakarta.Nurmala berusaha happy tanpa sosok suami di sampingnya. Sebenarnya Nurmala bingung, setelah ia melahirkan nanti harus bagaimana. Dia harus ada pemasukan untuk membesarkan anaknya nanti. Namun, tidak terlalu memikirkannya. Yang penting tabungan Nurmala masih banyak. Toh, hasil dari membuat novel juga lumayan.Nurmala melangkahkan kaki dengan riang gembira, menuju pasar malam. Sudah 4 hari ada pasar malam dadakan di dekat kontrakan Nurmala. Dia menyembunyikan wajahnya menggunakan masker dan menutup kepalanya dengan jaket hoodie.Nurmala berkeliling menikmat
Setelah berjalan kaki hampir satu jam akhirnya Nurmala sampai di depan pintu rumah Alfian. Ia sangat kelelahan, kakinya terasa lemas dan pegal. Nurmala berdiri dengan posisi ruku', tak lama kemudian kembali berdiri tegak memandangi pintu rumah Alfian dengan bingung.Nurmala menggigit jari telunjuknya, ia sangat ragu untuk mengetuk pintu itu. Bayangan Alfian akan memarahinya membuat nyalinya ciut. Rasa takut, cemas dan malu bercampur menjadi satu. Akhirnya Nurmala hanya bisa mondar-mandir di depan pintu.Nurmala menghela nafas panjang. Sejahat apapun Alfian, dia sangat menyayangi anaknya, jadi tidak mungkin Alfian akan membuang Nurmala jika masih ada anak Alfian di perutnya.Setelah meyakinkan diri sendiri, Nurmala pun mengetuk pintu. Sudah beberapa kali pintu diketuk, tapi tidak ada sahutan dari dalam rumah."Kemana semua orang pergi?" Nurmala mengintip isi rumah dari jendela, tapi sayangnya ia tak dapat melihat apa pun karena jendela tertutup tirai.Nurmala pun duduk di kursi teras k
Nurmala mengerjapkan mata, bau obat menusuk di indra penciumannya. Perlahan matanya mulai terbuka, kepingan-kepingan ingatan semalam mulai bermunculan. Ia memindai seluruh isi ruangan sampai akhirnya mata Nurmala melihat sosok pria yang sangat dirindukannya, yaitu Alfian. Alfian tidur dengan posisi duduk di kursi samping ranjang Nurmala, kepalanya berpangku di atas ranjang. Meski tertidur, tangan Alfian masih setia menggenggam tangan Nurmala, satu tangannya yang lain terpasang selang infus. Perlakuan lembut Alfian selalu berhasil menghangatkan hati Nurmala.Nurmala ingin buang air kecil, ini adalah aktivitas rutin yang selalu ia lakukan di pagi hari tiap bangun tidur. Dengan perlahan Nurmala menarik tangannya dari genggaman Alfian, tapi pergerakan kecil yang dilakukannya malah membangunkan suaminya dari tidur lelapnya."Mmmmm." Alfian menghela napas, dengan perlahan mata tajamnya mulai terbuka. Alfian menegakkan punggungnya, lalu menatap Nurmala sembari tersenyum hangat dengan wajah b
"Sudah pergi sana. Belikan kami makanan." Alfian mengusir Roy.Roy berjalan menuju kamar mandi dengan langkah gusar. "Dasar kampret." Roy masih sempat memaki Alfian sebelum hilang dibalik pintu."Mau lanjut lagi?" Alfian tersenyum jenaka."Nggak ah, lanjut di rumah aja. Malu! Kan, di sini masih ada Roy." Nurmala masih malu, berbeda dengan Alfian yang santai dan biasa saja setelah dipergogi bermesraan di hadapan Roy."Mau makan apa?" Roy baru saja keluar dari kamar mandi dengan wajah yang lebih segar setelah mencuci muka, lalu mengambil hp dan dompetnya yang tergeletak di atas meja, tepat di sisi ranjang Nurmala. Roy beranjak duduk di sofa, lalu memasang sepatunya."Kamu mau makan apa, Nur?" Alfian membelai wajah Nurmala."Apa aja yang penting halal," jawab Nurmala."Udah, deh. Nggak usah mesra-mesraan di depanku." Roy mengeluh sembari mengikat tali sepatunya. “Hargai perasaanku yang jomblo ini.”"Makanya nikah," Alfian berusaha menahan tawa. Roy mendengus kesal karena Alfian selalu me
“Nay,” Ardi memanggil Kanaya yang baru saja turun dari mobil yang terparkir di parkiran kampus. “Ada apa, Pak?” tanya Kanaya. Kanaya berpikir jika Ardi akan menanyakan alasan kenapa Kanaya pergi dari rumahnya.“Apa kamu udah tahu masalah Dimas?” tanya Ardi.Ardi ragu dengan kejujuran Lilis yang mengatakan jika dia sudah memberitahu Alfian tentang Dimas. “Masalah apa?” tanya Kanaya dengan kening berkerut. Apakah Dimas masih menyimpan banyak rahasia kelam.Ardi melangkah mendekati Kanaya untuk memberitahu Kanaya dengan suara pelan takut ada orang lain yang mendengar, tapi Kanaya malah mundur menjaga jarak dengan waspada sembari memalingkan wajah. “Dimas masuk penjara, Nay.”“Apa?” pekik Kanaya dengan mata terbelalak karena shock. Matanya langsung berkaca-kaca dengan perasaan tak karuan. Sebesar apa pun kebencian Kanaya terhadap Dimas, Kanaya tetap mengkhawatirkannya. “Kok, bisa?” tanya Kanaya dengan suara bergetar.“Dia kena kasus penyalahgunaan narkoba.”“Terus gimana keadaan dia
Dimas mulai membuka mata saat hari sudah gelap, entah sudah berapa lama Dimas tertidur. Yang pertama kali terbesit di kepala Dimas adalah Kanaya.“Kanaya” Dimas tersentak kaget ketika teringat kata-kata terakhir Kanaya yang ingin menggugat cerai dirinya, Dimas tak ingin kehilangan Kanaya. Ternyata kebersamaannya bersama Kanaya hanya angan-angan semata. Dimas buru-buru menyalakan mesin mobil, kemudian melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh saat keluar dari area gedung kosong, berharap cepat sampai tujuan dengan selamat dan menjelaskan segalanya pada Kanaya.Dalam waktu kurang dari 30 menit, mobil Dimas sudah memasuki halaman rumahnya. Dimas memarkir mobilnya sembarangan, kemudian berlari ke dalam rumah menuju kamarnya dengan was-was. “Kanaya.” Dimas memanggil istrinya sembari membuka pintu. Kamarnya kosong, ranjang pun masih tertata rapi. Dimas melangkahkan kakinya menuju kamar mandi, tapi juga tidak menemukan Kanaya di sana.“Kanaya, di mana kamu?” Dimas berteriak dengan frustasi
Dimas pulang ke rumahnya dengan keadaan berantakan, sakau membuat tubuhnya sakit seperti dikuliti hidup-hidup. Dimas sangat marah saat melihat pintu ruang kerjanya tidak terkunci apalagi obat-obatan miliknya sudah tidak ada lagi di atas mejanya. Dimas pergi ke kamarnya dan mendapati Kanaya yang menatapnya dengan dingin.“Kamu yang membuka ruang kerjaku?” tanya Dimas sambil menatap Kanaya dengan matanya yang merah.“Ya,” jawab Kanaya singkat.“Di mana obatku?” Dimas segera menghampiri Kanaya dengan hembusan napas yang terengah-engah.“Sudah kubuang.”“Apa?” Dimas menatap Kanaya dengan tatapan dingin, ia berusaha menahan diri agar tidak mengamuk pada wanita yang sangat dicintainya. “Kenapa kau buang?”“Punya hubungan apa kamu dengan Sonya?” tanya Kanaya dengan nada tegas.“Nggak ada,” jawab Dimas dengan nada ketus.“Jangan bohong kamu, Dimas. Aku sudah baca wa kamu.”Dimas mengambil hp-nya yang ada di atas meja, kemudian menghubungi seseorang tanpa mempedulikan tuduhan Kanaya. Saat ini
Pagi hari pun tiba, Kanaya mencemaskan Dimas yang meringkuk di ranjang. Akhir-akhir ini Dimas berubah aneh, pria itu sangat pucat dengan tubuh menggigil seperti orang kedinginan.“Kamu kenapa?” tanya Kanaya dengan khawatir sembari memeriksa kening Dimas.“Nggak apa-apa,” jawab Dimas dengan suara parau.“Nggak apa-apa gimana, wajah kamu pucat begini. Aku panggilin Dokter, ya!”“Nggak usah, aku nggak sakit.”“Badan kamu dingin banget, aku panggilin Dokter, ya! Kalau dibiarin takut tambah parah.”“Kamu nggak ngerti, Nay. Aku nggak sakit!” bentak Dimas karena merasa sakit oleh sentuhan ringan Kanaya.Kanaya terkejut sekaligus kecewa dengan perubahan sikap Dimas yang kasar. “Bisa nggak ngomongnya biasa aja, nggak usah kasar gitu,” keluh Kanaya dengan nada pelan berusaha menahan segala emosi di hatinya.“Mau kamu apa, Nay! Aku udah mau berubah, tapi nggak bisa, sulit.”“Maksud kamu apa? Aku nggak ngerti.” tanya Kanaya dengan bingung. Bukannya menjawab pertanyaan Kanaya, Dimas malah turun d
Dimas menjadi imam dalam sholat, sedangkan Kanaya yang menjadi makmumnya. Selesai sholat, Dimas dan Kanaya sama-sama berdzikir meminta kebaikan dunia akhirat dan pengampunan dosa.Kanaya terkesima dan tidak percaya Dimas begitu fasih melantunkan bacaan sholat dan dzikir. Waktu kecil Dimas pernah mengaji dan ketika tumbuh dewasa, Andra memasukkan Dimas ke pesantren meski hanya 3 bulan, setelah itu Dimas kabur. Setidaknya, Dimas masih memiliki bekal ilmu agama.Dimas merasa terharu melihat Kanaya tiba-tiba mencium tangannya, ia pun menghadiahi kening Kanaya dengan kecupan yang cukup lama, kemudian memeluk Kanaya dengan erat hingga Kanaya merasa sesak.“Jangan pernah tinggalin aku, Nay!”“Asal kamu baik, aku nggak akan ninggalin kamu. Sekarang bisa lepasin aku, kamu meluknya kekencengan bikin aku susah napas!” Keluh Kanaya sembari menepuk-nepuk punggung Dimas.Dimas terkekeh, kemudian merebahkan kepalanya di pangkuan Kanaya. Ia masih ingin bermanja-manja dengan istrinya untuk mengalihkan
Kanaya tidur dengan nyenyak sambil memeluk guling yang terasa hangat. Guling yang ia peluk terasa sangat nyaman membuat Kanaya enggan untuk bangun dari tidurnya. Kanaya masih ingin bermalas-malasan di ranjangnya.Namun ada yang aneh, guling yang Kanaya peluk tiba-tiba bergerak. Sontak saja Kanaya membuka mata dan mendapati wajahnya bergumul di dada suaminya. Rupanya Kanaya sedang memeluk Dimas, bukan memeluk guling.Kanaya beringsut mundur, dilihatnya jarum jam beker di atas meja menunjuk pada angka 04.00 WIB. Kanaya teringat dengan nasehat Rindu, seperti apa pun sifat Dimas, Kanaya tetap harus menjalankan tugasnya sebagai seorang istri."Mas, bangun, bangun, bangun." Kanaya menusuk-nusuk lengan Dimas dengan jari telunjuknya.Dimas menggeliat, kemudian menyipitkan matanya memandang wanita yang sudah mengganggu tidurnya."Ada apa?" tanya Dimas dengan suara parau."Sebentar lagi adzan subuh, kamu nggak mau sholat?""Nggak," tolak Dimas."Kenapa nggak mau sholat?" tanya Kanaya dengan ken
Rindu membuka dari mobil karena tidak nyaman menunggu di dalam mobil yang terparkir di depan rumah sakit. Ia dan keluarganya menunggu jenazah Andra dikeluarkan dari ruang jenazah."Mau kemana kamu?" tanya Ashraf ketika melihat Rindu keluar dari mobil."Nggak enak di mobil, aku nunggu di luar aja pengen hirup udara luar." Rindu turun dari mobil, kemudian duduk di bawah pohon rindang. Ashraf pun turut keluar dari mobil menemani istrinya.“Masih lama nggak ‘sih?”“Nggak tahu, mungkin sebentar lagi jenazahnya udah bisa keluar.”“Nggak nyangka ya, Kak. Rasanya baru kemarin ketemu sama Om Andra, eh sekarang dia udah nggak ada.”“Umur manusia nggak ada yang tahu, Sayang. Makanya, kita jangan terlena dengan nikmatnya dunia karena hanya amal kita yang akan dibawa sampai ke alam kubur.”“He’em.” Rindu menyandarkan kepalanya ke bahu kokoh sang suami yang terasa sangat nyaman.***Kanaya memperhatikan Alfian yang duduk bersandar di sandaran mobil. Gurat kesedihan tergambar jelas di wajah Alfian.
Dimas mengambil kontak mobil dan Hp-nya di atas meja dan segera pergi dengan langkah tergesa-gesa tanpa melihat ke arah Kanaya yang sangat terluka dan terpukul karena perbuatannya. Kanaya meringkuk di sudut ranjang sambil menangis mengamati punggung Dimas yang kian menjauh.Setelah meniduri Kanaya, Dimas mencampakkannya begitu saja seperti malam itu. Kanaya merasa jika Dimas hanya mempermainkannya saja dan memperlakukan dirinya bagai wanita penghibur yang setelah dipakai dicampakkan begitu saja.*** “Dimas mana?” tanya Andra pada Kanaya ketika tidak melihat Dimas ikut sarapan di meja makan.“Nggak tahu, Pa.” Jawab Kanaya dengan lesu, ia bersyukur tidak melihat wajah Dimas lagi setelah pria itu berhasil menidurinya semalam. Dimas benar-benar menguras tenaga dan emosi Kanaya, hingga paginya Kanaya merasa sangat lapar dan tidak bersemangat.“Anak itu tetap saja nggak berubah.” Andra menghela napas berat melihat kelakuan Dimas yang tidak berubah meski sudah menikah. “Papa harap kamu mau
Kanaya duduk di kursi dekat kolam renang untuk menenangkan t, sebab berada di dalam kamar hanya membuat Kanaya semakin larut dalam kesedihan. Ia ingin menghapus nama Ardi yang masih melekat di hatinya dan membuatnya merasa nelangsa. Kanaya ingin memberi Dimas kesempatan untuk membuka lembaran baru dalam rumah tangganya, karena sadar menyesali pernikahan tidak akan ada gunanya. Kanaya merasa Dimas tidak seburuk yang dia pikirkan, mungkin jika Kanaya bersikap baik, Dimas akan berubah menjadi suami yang baik juga.“Aku biasa duduk di sini setiap punya banyak masalah.”Kanaya mendongak saat mendengar suara yang tidak asing di telinga menyapanya. Manik matanya langsung beradu dengan tatapan mata Ardi yang sendu. Kanaya langsung bangkit dari kursinya hendak pergi dari tempatnya duduknya, tapi Ardi malah menghadang jalannya.“Pak, jangan halangi jalanku. Aku takut ada yang salah paham kalau kita berduaan di sini.” Kanaya semakin gelisah melihat sikap Ardi yang mulai berani.“Di sudut sana