Satu bulan sudah Nurmala melarikan diri, hidup di perkampungan kecil padat penduduk. Dia menyewa kontrakan kecil selama 2 bulan, jika betah maka akan menambah 1 tahun masa sewanya, itu rencana yang Nurmala pikirkan.Lokasinya tak terlalu jauh dari rumah Alfian, hanya saja kalau mau masuk ke kontrakan, Nurmala harus melewati jalan tikus yang tak bisa dilewati motor. Ini adalah kontrakan Ratna dulu waktu pertama kali pindah ke Jakarta.Nurmala berusaha happy tanpa sosok suami di sampingnya. Sebenarnya Nurmala bingung, setelah ia melahirkan nanti harus bagaimana. Dia harus ada pemasukan untuk membesarkan anaknya nanti. Namun, tidak terlalu memikirkannya. Yang penting tabungan Nurmala masih banyak. Toh, hasil dari membuat novel juga lumayan.Nurmala melangkahkan kaki dengan riang gembira, menuju pasar malam. Sudah 4 hari ada pasar malam dadakan di dekat kontrakan Nurmala. Dia menyembunyikan wajahnya menggunakan masker dan menutup kepalanya dengan jaket hoodie.Nurmala berkeliling menikmat
Setelah berjalan kaki hampir satu jam akhirnya Nurmala sampai di depan pintu rumah Alfian. Ia sangat kelelahan, kakinya terasa lemas dan pegal. Nurmala berdiri dengan posisi ruku', tak lama kemudian kembali berdiri tegak memandangi pintu rumah Alfian dengan bingung.Nurmala menggigit jari telunjuknya, ia sangat ragu untuk mengetuk pintu itu. Bayangan Alfian akan memarahinya membuat nyalinya ciut. Rasa takut, cemas dan malu bercampur menjadi satu. Akhirnya Nurmala hanya bisa mondar-mandir di depan pintu.Nurmala menghela nafas panjang. Sejahat apapun Alfian, dia sangat menyayangi anaknya, jadi tidak mungkin Alfian akan membuang Nurmala jika masih ada anak Alfian di perutnya.Setelah meyakinkan diri sendiri, Nurmala pun mengetuk pintu. Sudah beberapa kali pintu diketuk, tapi tidak ada sahutan dari dalam rumah."Kemana semua orang pergi?" Nurmala mengintip isi rumah dari jendela, tapi sayangnya ia tak dapat melihat apa pun karena jendela tertutup tirai.Nurmala pun duduk di kursi teras k
Nurmala mengerjapkan mata, bau obat menusuk di indra penciumannya. Perlahan matanya mulai terbuka, kepingan-kepingan ingatan semalam mulai bermunculan. Ia memindai seluruh isi ruangan sampai akhirnya mata Nurmala melihat sosok pria yang sangat dirindukannya, yaitu Alfian. Alfian tidur dengan posisi duduk di kursi samping ranjang Nurmala, kepalanya berpangku di atas ranjang. Meski tertidur, tangan Alfian masih setia menggenggam tangan Nurmala, satu tangannya yang lain terpasang selang infus. Perlakuan lembut Alfian selalu berhasil menghangatkan hati Nurmala.Nurmala ingin buang air kecil, ini adalah aktivitas rutin yang selalu ia lakukan di pagi hari tiap bangun tidur. Dengan perlahan Nurmala menarik tangannya dari genggaman Alfian, tapi pergerakan kecil yang dilakukannya malah membangunkan suaminya dari tidur lelapnya."Mmmmm." Alfian menghela napas, dengan perlahan mata tajamnya mulai terbuka. Alfian menegakkan punggungnya, lalu menatap Nurmala sembari tersenyum hangat dengan wajah b
"Sudah pergi sana. Belikan kami makanan." Alfian mengusir Roy.Roy berjalan menuju kamar mandi dengan langkah gusar. "Dasar kampret." Roy masih sempat memaki Alfian sebelum hilang dibalik pintu."Mau lanjut lagi?" Alfian tersenyum jenaka."Nggak ah, lanjut di rumah aja. Malu! Kan, di sini masih ada Roy." Nurmala masih malu, berbeda dengan Alfian yang santai dan biasa saja setelah dipergogi bermesraan di hadapan Roy."Mau makan apa?" Roy baru saja keluar dari kamar mandi dengan wajah yang lebih segar setelah mencuci muka, lalu mengambil hp dan dompetnya yang tergeletak di atas meja, tepat di sisi ranjang Nurmala. Roy beranjak duduk di sofa, lalu memasang sepatunya."Kamu mau makan apa, Nur?" Alfian membelai wajah Nurmala."Apa aja yang penting halal," jawab Nurmala."Udah, deh. Nggak usah mesra-mesraan di depanku." Roy mengeluh sembari mengikat tali sepatunya. “Hargai perasaanku yang jomblo ini.”"Makanya nikah," Alfian berusaha menahan tawa. Roy mendengus kesal karena Alfian selalu me
Dada Nurmala kembang kempis, napasnya masih memburu. Meskipun ia sudah membalas perbuatan Vanessa lebih kejam, tapi emosi masih mengungkung hatinya. Seumur hidup tidak pernah ada orang yang berlaku kasar padanya kecuali Vanessa dan Alfian.Nurmala dan Alfian duduk di dalam mobil. Dengan telaten Alfian mengeringkan wajah Nurmala dengan tissue, dari mulai kening, mata, pipi dan hidung. Alfian mengambil tissue baru setelah membuang tissue yang sudah kotor. Dia beralih mengusap pakaian Nurmala yang basah di bagian dada."Kenapa tidak kamu siram dengan sambal saja wajahnya biar jera, kan di meja tadi ada semangkok sambal.""Harga cabai mahal, 120. 000 perkilo," jawabnya asal.Alfian malah tersenyum lalu menarik hidung Nurmala, di saat seperti ini bisa-bisanya Nurmala melawak. "Kamu sangat menggemaskan.""Iih, nyebelin. Aku tidak sekejam itu." Nurmala menepuk paha Alfian dengan gemas.Menurut Nurmala, terlalu ekstrim menyiram Vanessa dengan sambal. Bagaimana jika ia di laporkan ke kantor po
Alfian menggenggam tangan Nurmala. Mereka saling pandang, kemudian melempar senyum saling menguatkan. Alfian menarik Nurmala menghampiri Risma yang menatapnya dengan tatapan tajam."Assalamu'alaikum," Nurmala dan Alfian serempak mengucap salam."Wa'alaikumsalam." jawab Azizah lalu masuk ke dalam rumah tanpa mau melihat Nurmala.Nurmala meraih tangan Risma ingin mencium tangan wanita yang sudah melahirkannya, tapi langsung ditepis. Risma bergegas masuk ke dalam rumah dengan hati yang diliputi emosi. Alfian menghela nafas berat melihat istrinya diperlakukan seperti itu. Ia semakin merasa bersalah, karena dirinyalah kehadiran Nurmala ditolak oleh keluarganya."Maafin aku, ya!" Alfian mengecup kening Nurmala, lalu memeluknya berharap pelukan yang ia berikan bisa mengurangi keresahan yang melanda hati istrinya."Nggak apa-apa, kok. Ibuku baik orangnya. Marah paling cuma sebentar." Nurmala memaksakan senyumnya supaya Alfian tak terlalu merasa bersalah.Nurmala menarik diri mundur, lalu mem
Alfian langsung berlutut di hadapan Risma. Keningnya bertumpu di lutut ibu mertuanya dengan ta'dzim."Saya minta maaf, saya mohon maafkan saya. Saya sangat mencintai Nurmala, Bu. Saya akan menerima apapun hukuman yang ibu berikan, asal jangan pisahkan kami. Saya tidak mau kehilangan istri dan anak saya, Bu." Alfian berharap ibu mertuanya mau memaafkan segala kesalahan yang pernah diperbuatnya pada Nurmala."Bu, Nur nggak mau pisah dari Alfian, Nur sayang Alfian. Kasihan bayi di perut Nur kalau tidak punya Ayah." Nurmala berucap disela tangisnya. "Bu, dosa besar menyuruh anak bercerai. Terlebih Mbak Nur sedang hamil. Jangan lupa, jodoh dan maut, Allah yang menentukan. Jangan menentang apa yang sudah ditakdirkan Allah. Kita hanya bisa menjalani." Nurmala menoleh ke belakang. Dia berpikir sejak kapan Azizah berdiri di bingkai pintu.Sejak tadi Azizah menguping pembicaraan Nurmala dan ibunya. Hanya saja rasa kecewa terhadap Nurmala lebih dominan daripada rasa kasihan, hingga membuatnya b
"Kamu bisa tidak sih, tidak ceroboh? Kalau jatuh bagaimana!" sentak Alfian sembari menatap Nurmala yang berada di gendongannya. Jantungnya hampir copot keluar saat melihat Nurmala terlempar dari kursi. Beruntung Alfian masuk kamar tepat waktu karena rasa penasaran melihat sikap aneh Nurmala. Alfian berlari menangkap Nurmala yang hampir terjatuh."Maaf," cuma kata itu yang bisa keluar dari mulut Nurmala, dia terlalu shock. Ibu hamil yang masih ketakutan itu melingkarkan tangannya di leher Alfian, hidungnya menyusup di ceruk leher suaminya, mencoba mencari ketenangan di sana."Lain kali jangan melakukan hal yang membahayakan dirimu dan anak kita," kata Alfian dengan nada tegas, ia berusaha meredam emosinya karena kecerobohan Nurmala."Eh." Nurmala menegakkan kepalanya, dia teringat sesuatu. Matanya melebar saat melihat foto Firman berserakan memenuhi lantai kamar. Alfian ikut menunduk mengikuti arah mata Nurmala."Jangan dilihat." Nurmala langsung menutup seluruh wajah Alfian dengan ked
“Nay,” Ardi memanggil Kanaya yang baru saja turun dari mobil yang terparkir di parkiran kampus. “Ada apa, Pak?” tanya Kanaya. Kanaya berpikir jika Ardi akan menanyakan alasan kenapa Kanaya pergi dari rumahnya.“Apa kamu udah tahu masalah Dimas?” tanya Ardi.Ardi ragu dengan kejujuran Lilis yang mengatakan jika dia sudah memberitahu Alfian tentang Dimas. “Masalah apa?” tanya Kanaya dengan kening berkerut. Apakah Dimas masih menyimpan banyak rahasia kelam.Ardi melangkah mendekati Kanaya untuk memberitahu Kanaya dengan suara pelan takut ada orang lain yang mendengar, tapi Kanaya malah mundur menjaga jarak dengan waspada sembari memalingkan wajah. “Dimas masuk penjara, Nay.”“Apa?” pekik Kanaya dengan mata terbelalak karena shock. Matanya langsung berkaca-kaca dengan perasaan tak karuan. Sebesar apa pun kebencian Kanaya terhadap Dimas, Kanaya tetap mengkhawatirkannya. “Kok, bisa?” tanya Kanaya dengan suara bergetar.“Dia kena kasus penyalahgunaan narkoba.”“Terus gimana keadaan dia
Dimas mulai membuka mata saat hari sudah gelap, entah sudah berapa lama Dimas tertidur. Yang pertama kali terbesit di kepala Dimas adalah Kanaya.“Kanaya” Dimas tersentak kaget ketika teringat kata-kata terakhir Kanaya yang ingin menggugat cerai dirinya, Dimas tak ingin kehilangan Kanaya. Ternyata kebersamaannya bersama Kanaya hanya angan-angan semata. Dimas buru-buru menyalakan mesin mobil, kemudian melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh saat keluar dari area gedung kosong, berharap cepat sampai tujuan dengan selamat dan menjelaskan segalanya pada Kanaya.Dalam waktu kurang dari 30 menit, mobil Dimas sudah memasuki halaman rumahnya. Dimas memarkir mobilnya sembarangan, kemudian berlari ke dalam rumah menuju kamarnya dengan was-was. “Kanaya.” Dimas memanggil istrinya sembari membuka pintu. Kamarnya kosong, ranjang pun masih tertata rapi. Dimas melangkahkan kakinya menuju kamar mandi, tapi juga tidak menemukan Kanaya di sana.“Kanaya, di mana kamu?” Dimas berteriak dengan frustasi
Dimas pulang ke rumahnya dengan keadaan berantakan, sakau membuat tubuhnya sakit seperti dikuliti hidup-hidup. Dimas sangat marah saat melihat pintu ruang kerjanya tidak terkunci apalagi obat-obatan miliknya sudah tidak ada lagi di atas mejanya. Dimas pergi ke kamarnya dan mendapati Kanaya yang menatapnya dengan dingin.“Kamu yang membuka ruang kerjaku?” tanya Dimas sambil menatap Kanaya dengan matanya yang merah.“Ya,” jawab Kanaya singkat.“Di mana obatku?” Dimas segera menghampiri Kanaya dengan hembusan napas yang terengah-engah.“Sudah kubuang.”“Apa?” Dimas menatap Kanaya dengan tatapan dingin, ia berusaha menahan diri agar tidak mengamuk pada wanita yang sangat dicintainya. “Kenapa kau buang?”“Punya hubungan apa kamu dengan Sonya?” tanya Kanaya dengan nada tegas.“Nggak ada,” jawab Dimas dengan nada ketus.“Jangan bohong kamu, Dimas. Aku sudah baca wa kamu.”Dimas mengambil hp-nya yang ada di atas meja, kemudian menghubungi seseorang tanpa mempedulikan tuduhan Kanaya. Saat ini
Pagi hari pun tiba, Kanaya mencemaskan Dimas yang meringkuk di ranjang. Akhir-akhir ini Dimas berubah aneh, pria itu sangat pucat dengan tubuh menggigil seperti orang kedinginan.“Kamu kenapa?” tanya Kanaya dengan khawatir sembari memeriksa kening Dimas.“Nggak apa-apa,” jawab Dimas dengan suara parau.“Nggak apa-apa gimana, wajah kamu pucat begini. Aku panggilin Dokter, ya!”“Nggak usah, aku nggak sakit.”“Badan kamu dingin banget, aku panggilin Dokter, ya! Kalau dibiarin takut tambah parah.”“Kamu nggak ngerti, Nay. Aku nggak sakit!” bentak Dimas karena merasa sakit oleh sentuhan ringan Kanaya.Kanaya terkejut sekaligus kecewa dengan perubahan sikap Dimas yang kasar. “Bisa nggak ngomongnya biasa aja, nggak usah kasar gitu,” keluh Kanaya dengan nada pelan berusaha menahan segala emosi di hatinya.“Mau kamu apa, Nay! Aku udah mau berubah, tapi nggak bisa, sulit.”“Maksud kamu apa? Aku nggak ngerti.” tanya Kanaya dengan bingung. Bukannya menjawab pertanyaan Kanaya, Dimas malah turun d
Dimas menjadi imam dalam sholat, sedangkan Kanaya yang menjadi makmumnya. Selesai sholat, Dimas dan Kanaya sama-sama berdzikir meminta kebaikan dunia akhirat dan pengampunan dosa.Kanaya terkesima dan tidak percaya Dimas begitu fasih melantunkan bacaan sholat dan dzikir. Waktu kecil Dimas pernah mengaji dan ketika tumbuh dewasa, Andra memasukkan Dimas ke pesantren meski hanya 3 bulan, setelah itu Dimas kabur. Setidaknya, Dimas masih memiliki bekal ilmu agama.Dimas merasa terharu melihat Kanaya tiba-tiba mencium tangannya, ia pun menghadiahi kening Kanaya dengan kecupan yang cukup lama, kemudian memeluk Kanaya dengan erat hingga Kanaya merasa sesak.“Jangan pernah tinggalin aku, Nay!”“Asal kamu baik, aku nggak akan ninggalin kamu. Sekarang bisa lepasin aku, kamu meluknya kekencengan bikin aku susah napas!” Keluh Kanaya sembari menepuk-nepuk punggung Dimas.Dimas terkekeh, kemudian merebahkan kepalanya di pangkuan Kanaya. Ia masih ingin bermanja-manja dengan istrinya untuk mengalihkan
Kanaya tidur dengan nyenyak sambil memeluk guling yang terasa hangat. Guling yang ia peluk terasa sangat nyaman membuat Kanaya enggan untuk bangun dari tidurnya. Kanaya masih ingin bermalas-malasan di ranjangnya.Namun ada yang aneh, guling yang Kanaya peluk tiba-tiba bergerak. Sontak saja Kanaya membuka mata dan mendapati wajahnya bergumul di dada suaminya. Rupanya Kanaya sedang memeluk Dimas, bukan memeluk guling.Kanaya beringsut mundur, dilihatnya jarum jam beker di atas meja menunjuk pada angka 04.00 WIB. Kanaya teringat dengan nasehat Rindu, seperti apa pun sifat Dimas, Kanaya tetap harus menjalankan tugasnya sebagai seorang istri."Mas, bangun, bangun, bangun." Kanaya menusuk-nusuk lengan Dimas dengan jari telunjuknya.Dimas menggeliat, kemudian menyipitkan matanya memandang wanita yang sudah mengganggu tidurnya."Ada apa?" tanya Dimas dengan suara parau."Sebentar lagi adzan subuh, kamu nggak mau sholat?""Nggak," tolak Dimas."Kenapa nggak mau sholat?" tanya Kanaya dengan ken
Rindu membuka dari mobil karena tidak nyaman menunggu di dalam mobil yang terparkir di depan rumah sakit. Ia dan keluarganya menunggu jenazah Andra dikeluarkan dari ruang jenazah."Mau kemana kamu?" tanya Ashraf ketika melihat Rindu keluar dari mobil."Nggak enak di mobil, aku nunggu di luar aja pengen hirup udara luar." Rindu turun dari mobil, kemudian duduk di bawah pohon rindang. Ashraf pun turut keluar dari mobil menemani istrinya.“Masih lama nggak ‘sih?”“Nggak tahu, mungkin sebentar lagi jenazahnya udah bisa keluar.”“Nggak nyangka ya, Kak. Rasanya baru kemarin ketemu sama Om Andra, eh sekarang dia udah nggak ada.”“Umur manusia nggak ada yang tahu, Sayang. Makanya, kita jangan terlena dengan nikmatnya dunia karena hanya amal kita yang akan dibawa sampai ke alam kubur.”“He’em.” Rindu menyandarkan kepalanya ke bahu kokoh sang suami yang terasa sangat nyaman.***Kanaya memperhatikan Alfian yang duduk bersandar di sandaran mobil. Gurat kesedihan tergambar jelas di wajah Alfian.
Dimas mengambil kontak mobil dan Hp-nya di atas meja dan segera pergi dengan langkah tergesa-gesa tanpa melihat ke arah Kanaya yang sangat terluka dan terpukul karena perbuatannya. Kanaya meringkuk di sudut ranjang sambil menangis mengamati punggung Dimas yang kian menjauh.Setelah meniduri Kanaya, Dimas mencampakkannya begitu saja seperti malam itu. Kanaya merasa jika Dimas hanya mempermainkannya saja dan memperlakukan dirinya bagai wanita penghibur yang setelah dipakai dicampakkan begitu saja.*** “Dimas mana?” tanya Andra pada Kanaya ketika tidak melihat Dimas ikut sarapan di meja makan.“Nggak tahu, Pa.” Jawab Kanaya dengan lesu, ia bersyukur tidak melihat wajah Dimas lagi setelah pria itu berhasil menidurinya semalam. Dimas benar-benar menguras tenaga dan emosi Kanaya, hingga paginya Kanaya merasa sangat lapar dan tidak bersemangat.“Anak itu tetap saja nggak berubah.” Andra menghela napas berat melihat kelakuan Dimas yang tidak berubah meski sudah menikah. “Papa harap kamu mau
Kanaya duduk di kursi dekat kolam renang untuk menenangkan t, sebab berada di dalam kamar hanya membuat Kanaya semakin larut dalam kesedihan. Ia ingin menghapus nama Ardi yang masih melekat di hatinya dan membuatnya merasa nelangsa. Kanaya ingin memberi Dimas kesempatan untuk membuka lembaran baru dalam rumah tangganya, karena sadar menyesali pernikahan tidak akan ada gunanya. Kanaya merasa Dimas tidak seburuk yang dia pikirkan, mungkin jika Kanaya bersikap baik, Dimas akan berubah menjadi suami yang baik juga.“Aku biasa duduk di sini setiap punya banyak masalah.”Kanaya mendongak saat mendengar suara yang tidak asing di telinga menyapanya. Manik matanya langsung beradu dengan tatapan mata Ardi yang sendu. Kanaya langsung bangkit dari kursinya hendak pergi dari tempatnya duduknya, tapi Ardi malah menghadang jalannya.“Pak, jangan halangi jalanku. Aku takut ada yang salah paham kalau kita berduaan di sini.” Kanaya semakin gelisah melihat sikap Ardi yang mulai berani.“Di sudut sana