Setelah berjalan kaki hampir satu jam akhirnya Nurmala sampai di depan pintu rumah Alfian. Ia sangat kelelahan, kakinya terasa lemas dan pegal. Nurmala berdiri dengan posisi ruku', tak lama kemudian kembali berdiri tegak memandangi pintu rumah Alfian dengan bingung.Nurmala menggigit jari telunjuknya, ia sangat ragu untuk mengetuk pintu itu. Bayangan Alfian akan memarahinya membuat nyalinya ciut. Rasa takut, cemas dan malu bercampur menjadi satu. Akhirnya Nurmala hanya bisa mondar-mandir di depan pintu.Nurmala menghela nafas panjang. Sejahat apapun Alfian, dia sangat menyayangi anaknya, jadi tidak mungkin Alfian akan membuang Nurmala jika masih ada anak Alfian di perutnya.Setelah meyakinkan diri sendiri, Nurmala pun mengetuk pintu. Sudah beberapa kali pintu diketuk, tapi tidak ada sahutan dari dalam rumah."Kemana semua orang pergi?" Nurmala mengintip isi rumah dari jendela, tapi sayangnya ia tak dapat melihat apa pun karena jendela tertutup tirai.Nurmala pun duduk di kursi teras k
Nurmala mengerjapkan mata, bau obat menusuk di indra penciumannya. Perlahan matanya mulai terbuka, kepingan-kepingan ingatan semalam mulai bermunculan. Ia memindai seluruh isi ruangan sampai akhirnya mata Nurmala melihat sosok pria yang sangat dirindukannya, yaitu Alfian. Alfian tidur dengan posisi duduk di kursi samping ranjang Nurmala, kepalanya berpangku di atas ranjang. Meski tertidur, tangan Alfian masih setia menggenggam tangan Nurmala, satu tangannya yang lain terpasang selang infus. Perlakuan lembut Alfian selalu berhasil menghangatkan hati Nurmala.Nurmala ingin buang air kecil, ini adalah aktivitas rutin yang selalu ia lakukan di pagi hari tiap bangun tidur. Dengan perlahan Nurmala menarik tangannya dari genggaman Alfian, tapi pergerakan kecil yang dilakukannya malah membangunkan suaminya dari tidur lelapnya."Mmmmm." Alfian menghela napas, dengan perlahan mata tajamnya mulai terbuka. Alfian menegakkan punggungnya, lalu menatap Nurmala sembari tersenyum hangat dengan wajah b
"Sudah pergi sana. Belikan kami makanan." Alfian mengusir Roy.Roy berjalan menuju kamar mandi dengan langkah gusar. "Dasar kampret." Roy masih sempat memaki Alfian sebelum hilang dibalik pintu."Mau lanjut lagi?" Alfian tersenyum jenaka."Nggak ah, lanjut di rumah aja. Malu! Kan, di sini masih ada Roy." Nurmala masih malu, berbeda dengan Alfian yang santai dan biasa saja setelah dipergogi bermesraan di hadapan Roy."Mau makan apa?" Roy baru saja keluar dari kamar mandi dengan wajah yang lebih segar setelah mencuci muka, lalu mengambil hp dan dompetnya yang tergeletak di atas meja, tepat di sisi ranjang Nurmala. Roy beranjak duduk di sofa, lalu memasang sepatunya."Kamu mau makan apa, Nur?" Alfian membelai wajah Nurmala."Apa aja yang penting halal," jawab Nurmala."Udah, deh. Nggak usah mesra-mesraan di depanku." Roy mengeluh sembari mengikat tali sepatunya. “Hargai perasaanku yang jomblo ini.”"Makanya nikah," Alfian berusaha menahan tawa. Roy mendengus kesal karena Alfian selalu me
Dada Nurmala kembang kempis, napasnya masih memburu. Meskipun ia sudah membalas perbuatan Vanessa lebih kejam, tapi emosi masih mengungkung hatinya. Seumur hidup tidak pernah ada orang yang berlaku kasar padanya kecuali Vanessa dan Alfian.Nurmala dan Alfian duduk di dalam mobil. Dengan telaten Alfian mengeringkan wajah Nurmala dengan tissue, dari mulai kening, mata, pipi dan hidung. Alfian mengambil tissue baru setelah membuang tissue yang sudah kotor. Dia beralih mengusap pakaian Nurmala yang basah di bagian dada."Kenapa tidak kamu siram dengan sambal saja wajahnya biar jera, kan di meja tadi ada semangkok sambal.""Harga cabai mahal, 120. 000 perkilo," jawabnya asal.Alfian malah tersenyum lalu menarik hidung Nurmala, di saat seperti ini bisa-bisanya Nurmala melawak. "Kamu sangat menggemaskan.""Iih, nyebelin. Aku tidak sekejam itu." Nurmala menepuk paha Alfian dengan gemas.Menurut Nurmala, terlalu ekstrim menyiram Vanessa dengan sambal. Bagaimana jika ia di laporkan ke kantor po
Alfian menggenggam tangan Nurmala. Mereka saling pandang, kemudian melempar senyum saling menguatkan. Alfian menarik Nurmala menghampiri Risma yang menatapnya dengan tatapan tajam."Assalamu'alaikum," Nurmala dan Alfian serempak mengucap salam."Wa'alaikumsalam." jawab Azizah lalu masuk ke dalam rumah tanpa mau melihat Nurmala.Nurmala meraih tangan Risma ingin mencium tangan wanita yang sudah melahirkannya, tapi langsung ditepis. Risma bergegas masuk ke dalam rumah dengan hati yang diliputi emosi. Alfian menghela nafas berat melihat istrinya diperlakukan seperti itu. Ia semakin merasa bersalah, karena dirinyalah kehadiran Nurmala ditolak oleh keluarganya."Maafin aku, ya!" Alfian mengecup kening Nurmala, lalu memeluknya berharap pelukan yang ia berikan bisa mengurangi keresahan yang melanda hati istrinya."Nggak apa-apa, kok. Ibuku baik orangnya. Marah paling cuma sebentar." Nurmala memaksakan senyumnya supaya Alfian tak terlalu merasa bersalah.Nurmala menarik diri mundur, lalu mem
Alfian langsung berlutut di hadapan Risma. Keningnya bertumpu di lutut ibu mertuanya dengan ta'dzim."Saya minta maaf, saya mohon maafkan saya. Saya sangat mencintai Nurmala, Bu. Saya akan menerima apapun hukuman yang ibu berikan, asal jangan pisahkan kami. Saya tidak mau kehilangan istri dan anak saya, Bu." Alfian berharap ibu mertuanya mau memaafkan segala kesalahan yang pernah diperbuatnya pada Nurmala."Bu, Nur nggak mau pisah dari Alfian, Nur sayang Alfian. Kasihan bayi di perut Nur kalau tidak punya Ayah." Nurmala berucap disela tangisnya. "Bu, dosa besar menyuruh anak bercerai. Terlebih Mbak Nur sedang hamil. Jangan lupa, jodoh dan maut, Allah yang menentukan. Jangan menentang apa yang sudah ditakdirkan Allah. Kita hanya bisa menjalani." Nurmala menoleh ke belakang. Dia berpikir sejak kapan Azizah berdiri di bingkai pintu.Sejak tadi Azizah menguping pembicaraan Nurmala dan ibunya. Hanya saja rasa kecewa terhadap Nurmala lebih dominan daripada rasa kasihan, hingga membuatnya b
"Kamu bisa tidak sih, tidak ceroboh? Kalau jatuh bagaimana!" sentak Alfian sembari menatap Nurmala yang berada di gendongannya. Jantungnya hampir copot keluar saat melihat Nurmala terlempar dari kursi. Beruntung Alfian masuk kamar tepat waktu karena rasa penasaran melihat sikap aneh Nurmala. Alfian berlari menangkap Nurmala yang hampir terjatuh."Maaf," cuma kata itu yang bisa keluar dari mulut Nurmala, dia terlalu shock. Ibu hamil yang masih ketakutan itu melingkarkan tangannya di leher Alfian, hidungnya menyusup di ceruk leher suaminya, mencoba mencari ketenangan di sana."Lain kali jangan melakukan hal yang membahayakan dirimu dan anak kita," kata Alfian dengan nada tegas, ia berusaha meredam emosinya karena kecerobohan Nurmala."Eh." Nurmala menegakkan kepalanya, dia teringat sesuatu. Matanya melebar saat melihat foto Firman berserakan memenuhi lantai kamar. Alfian ikut menunduk mengikuti arah mata Nurmala."Jangan dilihat." Nurmala langsung menutup seluruh wajah Alfian dengan ked
"Iya, kamu yang jadi Setan!" ujar Alfian yang tiba-tiba muncul di sisi Nurmala. Bukannya marah di sebut 'Setan', mata Santi dan Bu Nanik malah berbinar melihat Alfian.Parasnya yang rupawan mampu menghipnotis mata ibu dan anak itu untuk tertarik pada pesona yang Alfian tonjolkan. Padahal bangun tidur tanpa cuci muka, wajah Alfian tetap menawan."Welah dalah, Bu. Gantenge." Santi mengguncang lengan ibunya, kemudian berlari kecil menghampiri Nurmala. "Nur, itu siapa? Kenalin, dong," bisik Santi di telinga Nurmala. Matanya sesekali curi pandang memperhatikan Alfian."Nur, itu siapa? Kok, baru lihat!" tanya Bu Nanik sembari tersenyum pada Alfian."Eh," Nurmala terkejut saat tangan Alfian menarik pinggangnya, Hingga tubuh mereka menempel erat. Santi dan Bu Nanik terbelalak melihat kedekatan Alfian dan Nurmala yang begitu mesra."Namaku adalah Alfian Laksmana. Putra sulung dari Lukman Laksmana, pemilik perusahaan Media entertainment. Jika tidak percaya, kalian bisa browsing di internet. Aku