Janice bercucuran keringat dingin. Tiba-tiba, dia berujar dengan terbata-bata, "Ta ... tanganku ...."Jason sontak berhenti. Napasnya terengah-engah. Dia bangkit dan meraih tangan Janice. Kemudian, Janice langsung berbalik dan membungkus tubuhnya dengan selimut.Ternyata wanita ini mencari celah untuk menghindar. Jason tidak marah. Dia berbaring di samping Janice, lalu memeluknya sekaligus dengan selimut. Jason memegang kepala Janice, lalu berbisik, "Kamu kira bisa terus menghindar?"Janice ingin mendorong Jason, tetapi tubuhnya terlalu lemas. Tenaga terakhirnya sudah habis untuk melawan Jason. Saat ini, dia merasa suara Jason makin jauh, lalu dia jatuh dalam kegelapan.Larut malam, suhu tubuh Janice naik lagi, padahal sempat mereda sesaat. Kepalanya makin pusing. Kesadarannya melemah. Jika Jason melakukan sesuatu padanya, dia tidak akan bisa melawan.Namun, Jason tidak melakukan apa-apa. Sepanjang malam, Jason terus menaruh tangannya di dahi Janice untuk memastikan suhu tubuhnya.Jani
"Jason? Jason?" Di luar sana, suara Vania makin dekat.Sekujur tubuh Janice menegang. Keringat terus bercucuran. Dia sangat panik memikirkan Vania akan memergoki mereka seperti ini.Vania adalah wanita yang sangat licik dan pintar bersandiwara. Janice yakin Vania tidak mungkin melepaskannya begitu saja. Sementara itu, Jason selalu membela Vania. Dia tidak bisa menang dari mereka!Janice menahan lengan Jason yang menjamah tubuhnya, lalu memohon, "Jangan begini. Yang kamu cintai adalah Vania."Janice sedang memperingatkan Jason, berharap bisa membuat pria ini sadar. Siapa sangka, Jason bukan hanya tidak berhenti, tetapi memasukkan tangannya ke pakaian Janice. Sentuhannya sontak membuat Janice merinding.Jason mendekati wajah Janice, lalu berbisik, "Panggilanmu itu terdengar sangat menggoda."Janice merasa sangat malu. Di situasi terdesak ini, dia akhirnya menendang pintu. Suara benturan bergema di seluruh ruangan.Vania pun berdiri di depan pintu. Dia mengetuk pintu dan bertanya, "Jason,
Janice menggigit bibirnya. Sebelum ciuman Jason mendarat, dia sontak berjinjit dan menggigit bekas gigitan itu.Jason sama sekali tidak merasa sakit. Dia hanya berdecak kesal karena terganggu. Meskipun lukanya berdarah lagi, Jason sama sekali tidak keberatan. Namun, saat berikutnya, Janice tidak menggigit lagi, melainkan mengisap darahnya.Mata Jason sontak terbelalak. Rupanya begitu. Janice melepaskan leher Jason, lalu berucap dengan marah, "Sebaiknya kamu pikirkan cara untuk menjelaskan kepada Vania."Jason menatap dirinya di depan cermin. Ketika melihat bekas gigitan itu, dia mengangkat alis dan bertanya, "Kamu manusia atau anjing?"Janice memalingkan wajahnya. Wajahnya tampak agak basah. Tatapannya dipenuhi tekad. Jason yang melihatnya merasa sangat tergoda. Dia menyeka lehernya, lalu memperingatkan dengan suara rendah, "Jauhi Yoshua."Janice tidak berbicara. Jason mengelus dada Janice dan hampir tidak bisa mengendalikan diri."Ya, aku sudah tahu." Janice memang tidak ingin melibat
Vania tidak bisa menahan diri untuk bertanya, "Jason, lehermu kenapa?"Begitu mendengarnya, Janice langsung bersemangat. Dia ingin melihat bagaimana Jason akan menghadapi pertanyaan wanita yang dicintainya itu.Janice diam-diam memandang ke depan, lalu melihat sepasang mata yang suram. Seketika, dia merasa terancam.Jason menatap Vania, lalu mengusap lehernya dengan santai sambil menyahut, "Nggak sengaja kebentur."Punggung Janice sontak terasa dingin. Pintu akhirnya ditutup. Dia bersandar dengan napas tak beraturan.Di luar kamar mandi, Vania tampak terkejut. Ini pertama kalinya Jason tidak menjawab pertanyaannya dengan serius."Ada masalah?" tanya Jason sambil menunduk. Rambutnya yang berantakan mengenai dahinya, membuatnya terlihat agak nakal."Nggak ada." Vania tersenyum patuh, lalu berbalik dan keluar.Suara langkah kaki yang tergesa-gesa menunjukkan betapa gusarnya dia. Dia yakin suara yang didengarnya tadi bukan ditimbulkan oleh Jason. Ada seseorang di dalam kamar mandi dan Jaso
Janice kembali ke kampus. Dia menerima pesan dari Hamdan yang menyuruhnya untuk mengumpul draf desain. Janice pun segera menuju ke ruang kantor.Selain peserta dari tingkatan lain, ternyata ada Vania juga di sini. Sebenarnya setiap tingkatan hanya boleh diwakili satu kontestan. Namun, tingkatan mereka yang sudah hampir lulus ini justru mendapat dua kuota. Ini karena Jason punya kuasa besar.Janice maju. Sebelum dia berbicara, Hamdan sudah menegur, "Janice, cuma kamu yang belum kumpul drafnya. Jangan membuatku repot. Asal kamu tahu, Vania orang pertama yang kumpul.Vania tersenyum rendah hati mendengarnya. Janice tahu kelicikan Vania. Jika mereka berdebat, Vania akan mulai bersandiwara. Dia tidak ingin orang-orang melihat drama Vania.Janice berujar dengan tenang, "Maaf. Pak. Aku akan menunjukkannya sekarang."Janice membuka tasnya, lalu mengeluarkan buku gambarnya. Begitu dibuka, isinya kosong! Draf yang diselipnya di dalam hilang!Ketika Janice termangu, Vania sontak merebut buku gamb
Ketika Janice hendak kembali ke asrama, tiba-tiba Norman menghalanginya dan berkata dengan sopan, "Nona, Pak Jason menunggumu di mobil. Tanganmu harus diperiksa."Janice tersenyum sinis. "Bukannya dia senang kalau tanganku lumpuh? Dia nggak perlu repot-repot membuatku didiskualifikasi dari kompetisi lagi, 'kan?"Norman tidak memahami maksud Janice. Dia hendak membujuk, "Nona, Pak Jason ....""Kalau dia senggang, suruh dia temani pacarnya saja. Jangan sampai hubungan mereka retak nanti. Aku masih punya urusan. Dah!" Janice langsung berjalan melewati Norman.Namun, Norman buru-buru mengadang lagi. "Pak Jason menunggumu di mobil." Hanya perkataan singkat, tetapi mengandung ancaman.Janice tahu Norman akan terus mengganggunya jika dirinya menolak. Dia menarik napas sebelum berucap, "Ya sudah."Norman mengangguk, memberi isyarat tangan mempersilakan. Janice mengikutinya naik ke mobil. Ketika naik, dia tidak memperhatikan ada sosok yang menghampiri dengan senang di sekitar sana. Namun, begit
Jason berdiri di pinggir jendela dan membuka jendela. Dia menyodorkan sebatang rokok kepada temannya, lalu menyalakan rokoknya.Dokter itu menerima, tetapi tidak merokok. Dia menatap Jason sambil bertanya, "Siapa sebenarnya wanita itu? Kenapa kamu sampai menemaninya? Kamu saja nggak menemani Vania saat dia terluka. Aku pernah melihatmu keluar dari bangsal lain pagi-pagi. Kamu menemani wanita itu?""Ya." Jason mengiakan.Dokter itu terkesiap. Dia buru-buru mendekat, lalu melihat bekas merah di leher Jason. Awalnya dia tidak percaya, tetapi sekarang dia melongo. Jason? Cupang? Mustahil!Jason dan Vania berpacaran tiga tahun. Jangankan cupang, dokter itu bahkan tidak pernah melihat mereka bergandengan tangan.Jason dan dokter ini adalah teman SMA. Karena kurang pintar dalam jurusan keuangan, dia memilih jurusan kedokteran. Alhasil, dia mendapati jurusan kedokteran jauh lebih mengerikan. Kini, selain menjadi dokter rumah sakit, dia juga dokter pribadi Jason. Dia tahu betul kondisi fisik Ja
Vania memandang Janice dengan mata berkaca-kaca sambil berkata, "Maaf, Janice. Kamu duluan saja. Aku bisa tahan kok."Vania menggigit bibir. Air mata terus berlinang. Tatapannya terus melirik ke arah Jason. Janice pun maju. Tiba-tiba, sebuah tangan menahan bahunya. Terlihat cincin merah yang berbahaya itu."Biarkan Vania masuk dulu," ucap Jason dengan dingin. Janice pun menoleh menatapnya.Vania menatap Jason dengan tatapan penuh kasih sayang, lalu berujar, "Terima kasih, Jason. Aku ... agak lemas. Apa kamu bisa bantu aku?"Jason maju dan menggendong Vania ke ruang pemeriksaan. Janice hanya bisa melihat pintu pelan-pelan tertutup. Sementara itu, Vania menoleh dan tersenyum kepada Janice.Jason tidak pernah berubah. Pria ini selalu memprioritaskan Vania. Janice sontak membuang daftar pemeriksaan itu ke tong sampah, lalu berjalan pergi.Tangannya sudah sembuh sejak awal. Janice membalut perban hanya untuk menipu Malia dan Vania. Dia melakukan pemeriksaan juga untuk mengelabui Jason. Namu