"Kalau kalian nggak percaya, coba cubit pipiku," sahut Janice sambil mengunyah daging.Salah satu teman hendak mencubit, tetapi teman lainnya segera menahannya."Janice, terima kasih sudah datang. Dulu kamar kita sangat sempit. Kita sampai iri dengan kamar mahasiswi lain.""Ya. Kamu juga terus bersama Malia. Padahal, Malia itu ... hais ....""Lupakan saja. Ayo, kita makan," sela teman yang satu lagi.Janice menatap mereka, lalu tersenyum sambil berkata, "Aku tahu kalian mau bilang apa. Aku seharusnya berterima kasih pada kalian.""Eh? Kenapa?" Teman-teman Janice kebingungan mendengarnya."Aku memercayai orang yang salah, tapi kalian masih mau mengajakku makan. Terima kasih," ucap Janice. 'Terima kasih juga karena kalian membantuku di kehidupan lampau.'"Baguslah kalau kamu sadar. Malia membuat kunci duplikat kamar kita. Dia sering datang saat kamu nggak ada. Dia bilang kamu mengizinkannya, jadi kami nggak berani melarangnya.""Selain itu, dia selalu pura-pura menyedihkan dan miskin. Du
Janice menatap teman terakhir. Teman itu panik dan bertanya, "Gimana denganku?""Kamu ... terserah kamu." Janice merasa pusing. Kepalanya sontak membentur meja karena sudah mabuk. Ketika melihat ini, ketiga teman itu pun tergelak."Aku baru tahu Janice bukan cuma cantik, tapi juga lucu.""Kalau bukan karena Malia, mana mungkin Vania jadi primadona kampus?""Eh, sudah jam 8.30 malam. Cepat balik ke asrama."Ketiga teman itu memapah Janice pulang. Janice bersandar di tubuh mereka. Dia tidak kehilangan kesadaran. Dia merasa sangat nyaman bersama mereka.Mereka mengobrol dan bercanda dengan bahagia. Angin musim gugur yang seharusnya dingin menjadi hangat.Tiba-tiba, salah satu teman mendongak dan berseru, "Wah! Bintang malam ini indah sekali!"Janice dan lainnya pun ikut mendongak. Langit malam ini terlihat sangat terang karena bulan dan bintang. Jika dilihat dari dahan pohon, bulan dan bintang seolah-olah tergantung di dahan. Sepasang mata bintang dan mulut bulan sabit, dedaunan terlihat
Janice buru-buru menggenggam tangan Malia, lalu berucap, "Tentu saja aku memaafkanmu. Aku tahu kamu juga terpaksa. Aku percaya padamu."Wajah Janice memerah karena pengaruh alkohol. Akan tetapi, senyumannya tetap terasa hangat dan tulus.Malia mengangguk sekuat tenaga, tetapi dalam hatinya dia mendengus dingin sambil mengejek, 'Dasar bodoh, cuma hal kecil begitu diingat-ingat sampai sekarang. Pantas saja kamu ditipu!'Kemudian, Malia menunjukkan sikap perhatian dengan berujar, "Janice, aku dengar kamu mau mundur dari kompetisi? Sebenarnya nggak apa-apa. Kita bisa cari pekerjaan dengan tenang. Kamu nggak perlu terlalu ambisius.""Malia, sebagai sahabatku, bukannya seharusnya kamu mendukungku?" tanya Janice."Aku ... aku cuma takut kamu terlalu terbebani. Nggak ada maksud lain kok," ucap Malia yang berusaha mencari alasan.Janice mencoba menggali informasi dengan bertanya, "Omong-omong soal kompetisi, aku baru sadar desainku diutak-atik orang. Kamu punya kunci kamar asramaku, 'kan?"Mali
Ivy dan Zachary bukan tipe orang yang suka menyembunyikan sesuatu. Janice khawatir mereka akan bertindak berlebihan, jadi sengaja tidak memberi tahu tanggal kompetisi.Itu artinya, tinggal satu orang lagi, yaitu Yoshua. Kemarin, pria itu bahkan menelepon untuk mendoakan agar semuanya berjalan lancar. Siapa sangka, hari ini dia langsung memberinya kejutan.Teman-teman sekamarnya tidak sabar membuka kotak itu. Di dalamnya, terdapat gaun panjang berbahan sutra dan berwarna ungu keabu-abuan.Bagian dada gaun tersebut dihiasi manik-manik yang dijahit dengan tangan. Manik-manik yang bervariasi ukurannya memancarkan cahaya lembut di bawah lampu.Dari pinggang ke bawah, terdapat dua lapisan sutra tipis. Satu warna gelap dan satu warna terang. Itu menghasilkan gradasi warna yang terlihat sangat indah."Wah, gaun ini berkilau di bawah lampu biasa asrama. Bayangkan kalau di panggung nanti, pasti ... berkilau banget!" Suara yang ditirukan teman sekamarnya berhasil membuat Janice tertawa"Kamu masi
Begitu melihat Janice menerima susunya, Malia segera bersulang dengannya."Bersulang," ucap Malia.Ketika Malia bersiap untuk minum, Janice merebut susu dari tangannya saat dia tidak memperhatikan."Susu merek ini ada banyak rasa. Coba aku lihat rasa apa yang aku suka. Yah! Malia, kamu beli rasa yang sama?" tanya Janice.Malia seketika panik. Dia terus menatap tangan Janice dan berkata sambil tersenyum terpaksa, "Selera kita mirip. Jadi, aku beli yang sama."Selesai berbicara, Malia merebut kembali susu yang ada di tangan kiri Janice dan meminumnya. Dia takut Janice mau menukarnya.Janice juga meminumnya, lalu berkata, "Terima kasih atas susunya."Setelah melihat cairan yang mengalir dari sedotan ke dalam mulut Janice, Malia tersenyum dengan sangat senang. Dia menimpali, "Jangan sungkan. Yang penting kamu suka.""Kalau begitu, aku masuk dulu," ucap Janice. Dia masuk ke ruang tunggu tanpa mengubah ekspresinya.Malia melihat pintu yang perlahan-lahan menutup. Dia tidak bisa menahan tawan
Semua orang langsung melihat ke arah cincin berbentuk bunga itu. Kelihatannya desain cincin itu agak berlebihan demi menonjolkan batu rubi yang besar di tengah kelopak. Tidak terlihat kesan alami seperti yang terlihat pada kalung dan anting.Raut wajah Vania berubah. Dia menggenggam mikrofon dengan erat, berusaha untuk mempertahankan ekspresi anggun dan berkelas. Katanya, "Terima kasih atas komentarnya. Aku akan terus berusaha."Amanda sangat senang dengan sikap Vania. Jadi, dia memberikan penilaian ekstra. Dia bertutur, "Vania, dengan desainmu saat ini, menurutku sudah jauh melebihi ekspektasiku pada kompetisi kali ini. Jadi, aku mau bertanya apa ada peserta yang mau kamu ajak bersaing?"Begitu mendengar ini, para penonton tiba-tiba merasa tertarik. Ini jauh lebih menarik dibandingkan melihat satu per satu.Vania berpikir sejenak, lalu tersenyum sambil menjawab, "Sebenarnya ... aku punya seorang teman yang juga berpartisipasi dalam kompetisi ini. Aku selalu mengagumi karyanya. Aku ngg
Janice menyapu pandangannya ke arah penonton. Tatapannya tertuju pada pria yang ada di kursi VIP. Panitia acara yang ada di sampingnya menunduk dan mengatakan sesuatu dengan hati-hati.Ekspresi pria itu tampak cuek, sama sekali tidak peduli dengan ucapan orang itu. Dia mengambil cangkir teh sambil memandang Janice dari balik uap panas.Rasa intimidasi yang kuat membuat Janice merasa takut. Janice pun langsung mengalihkan pandangannya.Di bawah panggung, sebagian besar orang menatap Janice tanpa ekspektasi. Bagaimanapun, tidak banyak orang seperti Vania yang membawa permata senilai miliaran untuk mengikuti kompetisi, apalagi desainnya yang sempurna dan inovatif.Bahkan panitia acara juga berpikir seperti itu. Dia berucap, "Pak Jason tenang saja. Tadi aku sudah tanya Bu Amanda. Dia sangat puas dengan Bu Vania. Kali ini, dia pasti dapat juara pertama."Jason menyesap teh, lalu membalas, "Belum tentu."Panitia tertegun karena tidak bisa memahami pemikiran Jason. Dia menengadah perlahan dan
Janice meliriknya dengan sinis, lalu maju dua langkah. Dia berucap, "Kita memang teman satu kampus, tapi apa kita sangat akrab? Kalaupun harus memohon, nggak perlu sampai seorang lawan yang memohon, 'kan?""Kamu ...," kata Vania dengan terkejut. Dia menunjukkan ekspresi sedih.Salah satu juri mengetahui bahwa identitas Vania tidak biasa. Dia juga berpikir bahwa Vania didukung Jason. Jadi, dia segera berdiri dan menegur, "Janice, karyamu sudah hancur. Vania berbaik hati mau membantumu. Kamu malah bersikap seperti ini."Juri itu berseru, "Keamanan! Bawa dia pergi! Tanpa karya, kamu nggak berhak ikut kompetisi. Jangan buang-buang waktu semua orang."Vania menyeka sudut matanya dan memandang Janice. Tatapannya penuh kebanggaan.Janice justru menimpali dengan sangat tenang, "Siapa bilang aku nggak punya karya?"Janice menoleh melihat Vania, lalu melanjutkan, "Segala sesuatu di dunia ini nggak bisa diprediksi. Aku khawatir terjadi hal di luar dugaan, jadi aku khusus menyiapkan dua sampel."E
Jason tidak lagi mengirim pesan, sehingga Arya berpikir percakapan sudah selesai. Saat dia hendak meletakkan ponsel, tiba-tiba muncul sebuah gambar.[ Gimana kalau ini? ]Arya tidak tahu apa yang dilakukan Jason tengah malam begini, sampai-sampai meminta seseorang melukis potret. Namun, dia tetap membuka gambar itu dengan sabar.Hanya dengan sekali lihat, Arya langsung terpaku di tempat dan ketakutan. Terlebih lagi, dia sedang sendirian di lorong rumah sakit yang sunyi. Punggungnya sampai terasa dingin.Sambil mempercepat langkahnya, Arya membalas pesan.[ Persis. Awalnya aku kira itu Janice waktu kecil, tapi sekarang aku akhirnya melihat perbedaannya. Mata ini persis dengan matamu! ]Arya masuk ke kantor, lalu menutup pintu dan meneguk air untuk menenangkan diri. Dia selalu berpikir bahwa mimpi hanyalah sesuatu yang tidak nyata. Namun, sekarang dia mulai merasa ragu.[ Oke, aku sudah paham. ]Jason tidak lagi mengirim pesan setelah itu. Arya sampai tidak bisa tidur sepanjang malam kar
Arya sontak berdiri. "Nggak boleh! Lukamu baru saja sembuh. Sejak kembali dari Kota Gunang, kamu hampir nggak pernah istirahat. Tubuhmu nggak bakal tahan!""Kamu pulang saja. Malam ini aku sudah tukar jadwal malam dengan dokter lain. Aku yang akan membantumu berjaga. Lagi pula, bukankah orang-orangmu juga mengawasi secara diam-diam?" Sambil berbicara, Arya mendorong Jason dengan pelan.Jason mengusap pelipisnya sambil mengangguk pelan. Pada akhirnya, dia berbalik dan keluar dari kantor.....Larut malam, Jason duduk di ruang kerjanya. Kedua tangannya menopang dagunya. Rokok di jarinya perlahan-lahan habis terbakar, sementara asap yang membubung menyembunyikan ekspresinya.Di meja, ponselnya terus memutar ulang rekaman yang didapat dari Malia."Jadi, kamu diam-diam ingin menikah dengan Jason! Bahkan ingin punya anak dengannya! Kamu ingin anak perempuan atau laki-laki?""Anak perempuan.""Anak perempuan ....""Anak ...."Ketika pertama kali mendengar rekaman ini, Jason merasakan perasaan
Saat cairan dalam jarum suntik sepenuhnya masuk ke selang infus, dokter itu menunjukkan senyuman puas di matanya.Namun, detik berikutnya, matanya terbelalak tak percaya. Dia bahkan tidak sempat menoleh, tubuhnya seperti robot yang kehilangan daya dan langsung terjatuh ke lantai.Setelah dokter itu terjatuh, sosok pria di belakangnya pun terlihat. Wajahnya tampan, tetapi memancarkan aura membunuh yang samar.Jason mengelap tangannya. "Bawa dia pergi."Norman melangkah maju, lalu menyeret pria itu keluar dengan mudah.Akhirnya, ruangan itu kembali sunyi. Jason duduk di tepi ranjang. Dengan hati-hati, dia membuka selotip di punggung tangan Janice. Jarum infus itu ternyata tidak benar-benar menembus kulitnya, hanya trik untuk mengelabui.Jason mengusap punggung tangan Janice perlahan, menatap wajahnya yang pucat dan tenang saat tidur. Matanya yang dalam menyimpan emosi yang sulit dibaca. Pada akhirnya, dia menunduk untuk menyembunyikan emosinya. Namun, dia menggenggam tangan Janice semaki
Sosok Jason menyihir perhatian orang, tetapi sekaligus membuat mereka takut. Jason telah datang.Dia mendekati Janice, tetapi Vania tiba-tiba memutar kursi rodanya dan memeluk Jason. "Jason, aku baik-baik saja. Jangan salahkan Janice. Aku cuma ingin berbicara dengannya. Lagi pula, sebulan lagi kita akan menikah.""Nggak ada yang perlu dibicarakan dengannya." Jason berbicara dengan dingin sambil membantu Vania duduk dengan baik di kursi roda.Vania mengerutkan alisnya, bersandar pada Jason. "Jason, jangan begini. Bagaimanapun, dia juga keluarga.""Bukan," jawab Jason dengan tatapan tanpa emosi sedikit pun."Bukan keluarga? Jadi, dia orang luar?" tanya Vania sambil menatap Janice dengan wajah bingung yang dibuat-buat.Sekujur tubuh Janice terasa dingin. Suara yang datang dari kehidupan lain tiba-tiba terngiang di pikirannya."Janice, kamu bersama Jason 8 tahun, tapi nggak bisa menandingiku. Begitu aku kembali, dia langsung ingin kamu menyerahkan tempatmu untukku dan anakku. Dia bahkan bi
Ketika Janice kembali sadar, dia sudah mengenakan pakaian bersih dengan bantuan Ivy dan suster, bahkan darah di kepalanya sudah dicuci bersih.Rambutnya yang setengah kering terurai di pipinya, memberikan kesan indah yang rapuh. Namun, matanya benar-benar hampa, membuatnya seperti boneka kayu yang digerakkan dengan tali.Arya menunduk sambil memotong kulit mati di jarinya dengan hati-hati. Saat melihat jari Janice bergerak sedikit, dia segera menenangkan, "Sebentar lagi selesai, tahan sedikit."Janice mengangguk dengan bengong, lalu bertanya, "Gimana dengan Vania?""Keguguran, pendarahan hebat, tapi sekarang sudah stabil," jawab Arya dengan nada canggung.Mendengar itu, Janice menggertakkan giginya dan mencengkeram tepi ranjang. Dia mengangguk, lalu menggeleng. "Aku nggak mendorongnya."Arya mendongak dengan kaget. Dia menatap mata suram itu dan merasa kasihan. "Sebenarnya ...."Sebelum dia selesai bicara, pintu bangsal dibuka. Vania masuk dengan kursi roda, didorong oleh Risma. Dia me
Segera, Jason melangkah perlahan ke arah Malia. "Setelah ini, kirimkan rekaman itu padaku.""Baik." Malia menjawab dengan mata merah, wajahnya tampak penuh kepedihan. "Pak Jason, aku benaran nggak nyangka Janice bisa sekejam ini. Semua ini salahku.""Aku nggak tahan lagi dengan cara dia diam-diam bersekongkol dengan orang lain untuk menindasku. Makanya, hari ini aku datang untuk memohon agar dia melepaskanku. Aku nggak nyangka dia malah memanfaatkan kesempatan ini untuk mencelakai Vania.""Siapa?" Mata Jason yang tajam menatap Malia."Maksudmu?" Malia terkejut."Dia bekerja sama dengan siapa? Sebutkan namanya.""Eee ...." Bahu Malia mulai bergetar.Tepat pada saat itu, pintu ruang operasi terbuka. Seorang dokter keluar dengan ekspresi panik. "Maaf, Pak Jason. Kami nggak bisa menyelamatkan bayinya. Sekarang pasien juga mengalami pendarahan hebat dan membutuhkan transfusi darah."Sebelum dokter selesai bicara, perawat sudah berlari masuk dengan kantong darah di tangan.Anwar yang mendeng
"Apa buktinya?" tanya Risma dengan tidak sabar.Malia langsung membuka rekaman suara di ponselnya. Layar menunjukkan tanggal rekaman itu diambil pada malam Natal tahun lalu. Saat itu, hubungan Janice dan Malia sangat baik. Tidak ada rahasia di antara mereka.Janice sontak teringat pada sesuatu. Wajahnya menjadi pucat pasi, bahkan tangan yang terkepal erat gemetaran. Di kehidupan sebelumnya, Malia bisa terus berada di sisi Vania tentu karena punya kemampuan. Wanita ini diam-diam mengumpulkan aib orang lain.Rekaman mulai diputar."Janice, kenapa melamun melihat kembang api? Kamu diam-diam membuat permohonan ya?""Nggak." Suara Janice terdengar sengau, ada rasa malu seolah-olah rahasianya terungkap."Jangan bohong, wajahmu sampai merah. Kamu memikirkan Jason lagi?""Sstt! Jangan sampai ada yang dengar! Dia sudah bersama orang lain.""Tenang saja, cuma kita yang tahu. Ayo, katakan. Barusan kamu pikirin apa?"Malia terus bertanya dengan penasaran. Setelah ragu sejenak, Janice akhirnya ters
Setelah bersumpah, Malia segera bersujud. Suara yang timbul akibat kepalanya yang menyentuh lantai menggema di sepanjang koridor. Siapa pun yang melihatnya akan merasa bahwa dia tidak berbohong.Ivy yang biasanya tidak pernah marah, sampai terengah-engah sambil memegang dadanya. Dia memelototi Malia dengan murka. "Kamu bohong! Kapan aku pernah mengancammu?"Ketika mendengar suara itu, Malia seketika merangkak mundur dengan ketakutan dan bersembunyi di balik kaki Anwar. "Bu, tadi kamu bahkan memukulku dengan tasmu. Kamu masih berani bilang nggak ada yang terjadi? Semua orang di studio melihatnya!""Kamu ...." Ivy terdiam, tidak bisa berkata-kata lagi.Saat ini, tangisan Risma semakin menjadi-jadi. Dia menghampiri Anwar sambil menunjuk darah di bajunya. "Pak, kamu harus memberi Vania keadilan. Setelah tahu dia mengandung anak Jason, dia sangat bahagia. Setiap hari dia mengajak anaknya mengobrol. Tapi sekarang, karena Janice, nyawanya dan anak itu terancam! Padahal, itu anak pertamanya!"
Di tengah keributan, Janice melihat Vania tiba-tiba mendekatinya. Dia langsung merasa ada yang tidak beres dan segera melepaskan tangan Malia.Namun, Janice tetap terlambat selangkah. Malia yang terlihat seperti sedang memohon ampun dan kehilangan akal sehat, diam-diam mendorong Janice ke arah Vania.Terdengar jeritan tajam, lalu Vania jatuh terguling dari tiga anak tangga. Dia meringis kesakitan sambil memegangi perutnya dan berkata dengan wajah penuh penderitaan, "Perutku ... sakit sekali ...."Seorang rekan kerja langsung memarahi, "Janice! Vania bermaksud baik karena khawatir padamu, tapi kamu malah memperlakukannya seperti ini?"Rekan lainnya yang membantu menopang Vania, melihat ke arah rok Vania dan berseru ketakutan, "Darah! Banyak sekali darah!"Vania mengerang kesakitan. "Anakku ...."Mendengar itu, reaksi pertama Janice adalah segera menolongnya. Dia ingin mengulurkan tangan untuk membantu Vania, tetapi tiba-tiba seseorang muncul dan menabraknya ke sisi tangga. Lengan Janic