Sehari sebelum lamaran, Nirmala dan ibunya sudah kembali ke rumah mereka, jangan ditanya rasa hati Bu Herlina, doa yang ia langitkan di sepertiga malam untuk anaknya, diijabah sama Allah, kini, Roni sudah kembali ke jalan yang benar, bukan lagi secara membabi buta marah-marah tidak jelas tanpa mencari tahu masalahnya dari dua belah pihak, padahal selama ini Bu Herlina selalu berkata pada Roni agar bertabayyun dalam menyikapi masalah, mencari kejelasan tentang sesuatu masalah hingga jelas dan benar keadaannya, karena selama ini, Roni hanya mendengar kata istrinya. Bu Herlina senang jika rumah tangga anaknya akur dan Roni begitu menyayangi istrinya tapi lihat dulu istri yang bagaimana, jika mempunyai istri seperti Melda yang banyak mudharatnya dan yang lebih parahnya tega berselingkuh, memfitnah dan ingin menghabisi nyawa Nirmala, jadi lebih baik dilepas/dicerai."Nirmala, kalau bisa nanti setelah lamaran, jangan terlalu lama jaraknya ke acara pernikahan, kalau bisa lebih cepat lebih b
"Kamu tuh ga cocok sama Riki, kalau kalian jalan, bagai majikan dan pembantu," ucap Fitri dengan entengnya, selalu saja begitu, setiap kali aku dekat dengan pria, dia selalu mematahkan dan membuat aku down. "Kenapa sih Fit, setiap kali aku dekat sama cowok, kamu sepertinya tidak suka, dulu aku berfikir jika kamu menyukai setiap cowok yang dekat denganku, tetapi sekarang kamu sudah menikah, kamu beruntung mendapatkan Bang Raihan yang sempurna dalam segala hal, sekarang biarkan aku mencari kebahagiaanku, aku juga pengen menikah Fit.""Hahaha, kamu salah Nur, Bang Raihan lah yang beruntung mendapatkan aku, lihatlah aku, cantik, menarik, bodyku padet dan kencang, siapa sih yang tidak suka dengan Fitri Amelia sang primadona, sebenarnya aku muak dengan Bang Raihan, dia itu kuno, kolot, masa aku disuruh pakai hijab seperti kamu, hahaha, ntar aku dikira pembantu rumah tangga, ga banget deh, ga stylish." Aku menelan saliva kering mendengar ucapan Fitri, merasa tersindir, iya, tapi ga boleh
"Nur, sudah pulang Nak," ucap Mamak saat mendengarku membuka pintu depan rumah, segera kusalim tangan wanita yang sangat aku sayangi itu. "Sudahlah Mak, ini Mamak lihat anak gadis cantik Mamak sudah berdiri disini.""Cantik tapi kok masih sendiri sih Nur," ucap Mamak. "Sabar Mak, doakan Nur terus.""Coba minta carikan sama Fitri, dia pintar cari suami, Raihan anaknya alim, santun dan pekerja keras."Oalah Mak, kenapa harus minta carikan Fitri, kenapa ga suaminya saja kuambil, batinku tapi cepat aku istighfar, ah, kenapa pikiranku jadi error begini. "Kok bengong Nur, ayo mandi, sebentar lagi magrib setelah itu makan, Mamak masak gulai ayam kampung tadi.""Ya Allah Mak, sudah Nur bilang Mamak jangan capek-capek masak, kenapa ga beli di warung Kak Biah saja, dokter bilang Mamak harus banyak istirahat.""Malah tambah sakit badan Mamak kalau kebanyakan diam, lagian kalau keseringan beli makan, malah tambah boros, Mamak ga tega sama mu Nur, kerja banting tulang buat membiayai Mamak.""Do
"Astaghfirullah Fit, ga malu kau berkata seperti itu, sudahlah berzinah malah memperolok, kita ini sudah tua Fit, bukan anak kecil lagi, setidaknya jaga lisanmu itu.""Jaga lisan, jaga lisan, ah sudahlah, males berdebat sama orang oon!"KlikSambungan telepon dimatikan oleh betina bermulut dajjal itu, sampai kapan aku bisa sabar menghadapinya, apa aku pindah kerja saja, tapi, mencari kerja saat zaman sekarang bukan semudah membalikkan telapak tangan, apalagi untuk usia yang sudah tidak muda lagi dan untuk aku yang bisa dikatakan tulang punggung, tanpa terasa menik mata ini berkaca, jika aku mengatakan Allah tidak adil, sungguh sangat tidak pantas karena Allah tau mana yang terbaik untuk hambanya, tetapi kenapa Fitri yang sosor sana sosor sini mendapatkan suami yang alim dan bertanggung jawab, apa salah dan dosa ini hingga sampai sekarang Allah belum mengirim satu saja hambanya untuk menjadi jodohku, sebagai seorang wanita kadang aku lelah dan butuh tempat untuk bersandar. Waktu suda
Ada perasaan takut dan puas saat menggertak Fitri seperti itu, perasaan takut akankah ia nanti bertindak lebih menyakitkan terhadapku, perasaan puas saat batin ini sudah begitu tersiksa dan terluka dan ada keinginan untuk membalasnya. Aku mengira setelah ia menikah dan bertambahnya usia kami ia tidak membayangiku lagi dengan lisannya yang pedih perih itu, tetapi ternyata tidak, ia bak anak baru gede yang kalau bicara tanpa disaring terlebih dahulu, aku bagaikan seonggok daging yang bisa ia perlakukan seenaknya, jika penampilanku kolot, ya memang seperti ini penampilan yang diajarkan keluarga, menutup aurat, untuk bersolek? Aku bukan tipe wanita yang suka menebar pesona, mungkin bisa dikatakan aku ini introvert. Tanpa terasa tergenang lagi air mata ini, pandanganku mengabur seiring jatuhnya air mata membasahi pipi. BrughTanpa sengaja tubuh ini menabrak seseorang."Kamu menangis Nur?""Eh, Bang Riki," ucapku sambil mengapus air mata dengan ujung jilbabku. "Bedakmu luntur, Nur." "Ma
"Menjauh Bang, jangan sampai aku teriak!""Tenang Nur, tenang, oke, Abang mundur, baik, Abang keluar ruangan ya, tapi ingat Nur, Bang Riki tidak main-main, Abang serius mau melamar Nur." Setelah berkata seperti itu, Bang Riki segera keluar ruangan, aku memastikan lelaki aneh itu telah keluar ruangan lalu meneguk air yang ada di atas meja kerjaku, deru jantung ini sudah tidak beraturan, apakah memang benar bang Riki ingin melamarku, bekal makanan yang baru beberapa sendok aku makan masih tersisa banyak, hilang sudah selera makanku, satu persatu karyawan sudah mulai kembali ke ruangan, tepat sepuluh menit lagi jam makan siang berakhir, Bang Riki kembali datang. "Makan Nur, ini masih anget, kasihan calon istrimu makan makanan yang sudah dingin, ini juga ada milo hangat," ujarnya lalu balik ke ruangan kerjanya, beberapa karyawan yang sudah kembali sempat melirik, aku hanya menunduk, apakah Bang Riki menunjukkan keseriusannya, kalau diperlakukan romantis seperti ini, lama-lama aku bisa m
Sakit, perih dan luka yang kucoba untuk kututup selama ini, menganga kembali, rasanya air mata ini sudah cukup deras mengalir karena lisan dari Fitri, semakin aku diam, dia semakin merajalela ingin menyakiti bahkan sekarang ingin menghancurkanku, aku Nuri Afrida, terlalu berharga untuk disakiti dan dihancurkan seperti itu, kali ini aku tidak akan tinggal diam, perlakuan Fitri terhadapku sungguh di luar batas kesabaran, aku ingin rasa sakit yang selama ini ia berikan kepadaku, ia juga merasakan, sudah cukup air mata ini mengalir akibat perlakuannya, aku menyeka kembali air mata ini dan menguatkan hatiku agar tidak menangis lagi dan berusaha untuk tegar dan kuat untuk membalaskan setiap detail perbuatan Fitri terhadap diriku. "Kamu kenapa menangis lagi Nur, katakan pada abang, siapa yang menyakitimu, abang tidak rela jika calon istri abang sedih." Bang Riki ternyata sudah berdiri di depanku, ingin rasanya aku tendang saja lelaki ini. "Pergilah dari hadapan Nur, Bang." "Kenapa Nur, ap
Cepat aku kembali mengenakan jilbab yang jatuh begitu saja di lantai teras rumahku. Fitri mencoba menarik kembali. "Astaghfirullah, lepaskan Fit," ucapku sambil memegangi jilbabku karena takut lepas kembali, rambut bagian depanku sudah terlihat.""Makanya balikkan! Kau ga tau itu khusus dibelikan Bang Riki untukku." Kakiku sudah siap untuk menendang Fitri, tapi kulihat Bang Raihan sudah pulang dari Masjid, aku urung menendang betina di depanku ini, ada rencana lain yang ingin kujalankan. "Lepaskan Fitri, ya Allah! Jangan tarik jilbabku!" Sengaja aku berteriak dengan kencang agar Bang Raihan tau kelakuan istri dajalnya. " Apanya kau Nur, teriak kayak orang gila!"Astaghfirullah Fitri, auratku terlihat gara-gara kau menarik jilbabku, ya Allah ... lepaskan Fit." Kembali aku berteriak. "Fitri! Lepaskan!" Fitri kaget karena suaminya sudah berdiri di depannya. "Ba–Bang, sudah pulang dari mesjid Bang," ucapnya gagap. "Ada apa ini, kenapa kalian berantem." " Untung Abang datang cepat