Share

Pembalasan Wanita Terhina
Pembalasan Wanita Terhina
Author: Henny_Hutabarat

Part 1

"Kamu tuh ga cocok sama Riki, kalau kalian jalan, bagai majikan dan pembantu," ucap Fitri dengan entengnya, selalu saja begitu, setiap kali aku dekat dengan pria, dia selalu mematahkan dan membuat aku down. 

"Kenapa sih Fit, setiap kali aku dekat sama cowok, kamu sepertinya tidak suka, dulu aku berfikir jika kamu menyukai setiap cowok yang dekat denganku, tetapi sekarang kamu sudah menikah, kamu beruntung mendapatkan Bang Raihan yang sempurna dalam segala hal, sekarang biarkan aku mencari kebahagiaanku, aku juga pengen menikah Fit."

"Hahaha, kamu salah Nur, Bang Raihan lah yang beruntung mendapatkan aku,  lihatlah aku, cantik, menarik, bodyku padet dan kencang, siapa sih yang tidak suka dengan Fitri Amelia sang primadona, sebenarnya aku muak dengan Bang Raihan, dia itu kuno, kolot, masa aku disuruh pakai hijab seperti kamu, hahaha, ntar aku dikira pembantu rumah tangga, ga banget deh, ga stylish." 

Aku menelan saliva kering mendengar ucapan Fitri, merasa tersindir, iya, tapi ga boleh baper karena memang selalu seperti itu, Fitri selalu berucap terlalu pedas dan perih di hati. 

"Kamu tidak menyindirku kan, Fit?" 

"Hah! Ya ga lah Nur, kalau sama kamu kenapa harus pakai sindiran segala, kamu sih memang norak, kolot, lihat wajahmu kusam seperti masa depanmu, kamu tuh cocoknya sama Pak Udin, tukang sayur itu, hei Pak Udin! Dapat salam dari Nuri, katanya jadikan dia istri kedua, dia udah capek jadi perawan tua!"

"Ya Allah Fitri, mulutmu," ucapku sambil menunduk malu, Pak Udin yang diteriaki cuma terkekeh begitu juga ibu-ibu yang sedang belanja sayur pada pagi hari itu. 

"Kenapa harus malu sih Nur, Pak Udin itu ga tua-tua amat, istrinya sedang sakit-sakitan, umurmu sudah tiga puluh tahun Nur, jangan memaksakan diri cari yang sempurna, kamu dan Pak Udin cocok, sama-sama udik, hehehe, maaf Nur, bercanda." 

Betina satu ini memang menyebalkan, tidak cukupkah ia membullyku semasa sekolah hingga sampai sekarang, aku tidak bisa menghindar darinya, rumahnya pas di depan rumahku, aku sekolah dimana dia selalu ikut dimana aku mendaftar, begitu juga saat kuliah, pun, saat bekerja.

"Kamu fikir pindah dan menjual rumah itu segampang membalikkan telapak tangan." Mamak berkata seperti itu saat dulu aku mengusulkan agar kami pindah rumah, setelah lulus kuliah aku mengira aku akan bebas dari Fitri dengan cara cari kerja yang jauh dan ngekost, agar terhindar dari bayang-bayang Fitri. Tapi, ternyata ayahku meninggal dan ibuku sakit-sakitan, mana tega aku meninggalkan ibu seorang diri. 

Ojek online yang kami order sudah datang, kami naik setelah memakai helm yang diberikan abang ojek, Fitri melambaikan tangan padaku, ojek online pun melaju, aku teringat kembali akan ajakan Riki untuk makan siang di kantin dekat kantor, berharap Riki menjadi penantian terakhirku, saat lampu merah,  ojek online tersebut berhenti di samping mobil, tanpa sengaja aku melihat pantulan wajahku dari samping mobil, kucel dan pucat, mungkin aku harus memoles sedikit wajahku, kulirik jam masih ada waktu setengah jam lagi, aku mengatakan pada driver untuk berhenti sebentar di pasar kranggan, sedikit berlari aku memasuki area pasar lantai dua yang aku ketahui tempat jual alat make up, karena suasana masih pagi, para Beauty Advisor bisa memenuhi permintaanku dengan cepat, bedak padat dan lipstik sudah masuk ke dalam tasku, segera beranjak setelah membayar semua. 

"Pak, saya sudah bayar pake OVO, ya! " Aku berteriak sambil berlari ke dalam kantor, driver mengacungkan jempolnya, aku tidak langsung masuk ke dalam ruangan melainkan ke toilet, nanti siang merupakan kencan pertamaku dengan Riki, aku berusaha agar terlihat enak dipandang oleh Riki, sudah capek dikatain perawan tua, dalam hati berdoa semoga Riki pelabuhan terakhirku. 

Tap.

Tap.

Tap. 

Aku mengaplikasikan bedak yang tadi aku beli di pasar, lipstik warna nude dipoles di bibir tipis ini, aku hanya ingin terlihat segar dan tidak kucel seperti yang Fitri katakan padaku, setelah dirasa cukup aku memasukkan kembali bedak dan lipstik ke dalam tas lalu masuk ke ruangan kerjaku. 

"Ya ampun Nur, wajahmu kok jadi abu-abu monyet begitu!" Tadinya tingkat kepercayaan diriku naik setingkat karena aku merasa penampilan sudah cukup sempurna, tapi lagi dan lagi Fitri menjatuhkan mentalku, apalagi semua rekan kantor menatapku dan ada yang tertawa geli seperti Fitri, sejurus kemudian Riki masuk dan melihat aku dipermalukan. 

"Riki, lihat tuh, karena mau kencan sama kamu jadinya Nuri berdandan menor seperti itu, bukanya cantik malah kayak ondel-ondel hahaha." Riki membuang muka lalu balik badan, aku hanya menatapnya nanar yang hanya menyisakan punggungnya lalu menatap Fitri yang sedang tertawa geli bersama karyawan lain, sudah tidak tahan rasanya, berlari ke arah toilet. 

"Nur, Nuri, buka Nur," Terdengar suara  Maya memanggil, aku membuka pintu dengan air mata yang sudah mengalir, sedih sekali rasa hati ini, aku ingin Fitri mati, astaghfirullah. 

"Jangan nangis Nur, nanti sepulang kerja aku temenin ke toko kosmetik, seharusnya sebelum beli kamu cocokkan lagi dengan warna kulit kamu, warna kulit kamu sama sepertiku, cenderung gelap jadi cocoknya warna natural beige, coba hapus dan coba bedakku ini," ucap Maya lembut sembari menghapus bedak yang tadi aku aplikasikan ke wajahku lalu memakaikan bedak miliknya, dengan telaten ia menghias diriku, dalam sekejap terlihat Nuri Safrida yang tampak berbeda bukan abu-abu monyet seperti yang Fitri katakan tadi, tapi Nuri yang lebih fresh. 

"Terima-kasih May, kamu orang yang baik, diantara yang lain, cuma kamu yang peduli padaku, padahal Fitri teman kecilku dan tetanggaku, tetapi, tidak hentinya ia memperolok dan mempermalukan."

"Aku juga dulu korban bully, orang seperti kita ini harus kuat, harus bangkit menjadi lebih baik lagi, yang membully biarkan saja, yang penting kita buktikan kalau kita lebih baik dari mereka." 

Aku tertegun mendengar perkataan Maya, selama ini aku lemah, ya terlalu lemah untuk melawan Fitri yang selalu menghancurkan mentalku. 

Dengan riasan terbaruku ini aku berharap Riki menyukainya saat bertemu jam makan siang nanti, Fitri sempat menoleh sebentar, ia menutup mulutnya seperti menahan ketawa atau entahlah tapi yang pasti seperti yang sudah-sudah ada makna mengejek dan merendahkan, aku tidak boleh lemah, ku angkat wajahku dan mencoba untuk tersenyum. 

Tepat jam dua belas siang, aku melihat ke arah ponsel, adakah Riki menghubungiku tapi ternyata tidak ada, mungkin Riki langsung ke kantin samping kantor yang sudah ia janjikan semalam, sebelum beranjak kembali aku bercermin untuk memastikan penampilanku, Bismillah, melangkah dengan pasti berharap Riki menyukai dan melamarku, wanita tiga puluh tahun ini hanya ingin menikah agar julukan perawan tua segera pudar. 

"Terima-kasih ya Abwang Riki udah mau traktir Fitri, jujur Fitri tidak pernah mendapatkan perhatian seperti ini dar suami." Terdengar suara manja Fitri nan mendayu. 

Tungkai kaki melemah saat melihat pemandangan di depan mataku, Riki dan Fitri sedang duduk berdua begitu mesra sambil menikmati hidangan makan siang, aku melihat layar ponsel, masih jelas tadi malam Riki berkirim pesan, katanya ingin mengenalku lebih jauh dan mengajak makan siang bersama, ya Allah … kenapa bisa sesakit ini, teringat kembali perkataan Maya, harus kuat dan bangkit, cepat aku menyeka air mata yang sempat jatuh. 

"Bang Riki," ucapku pelan, dua orang itu langsung menoleh ke arahku. 

"Nuri, ayo sini gabung makan siang."

"Ishh–hilang selera makan Fitri Bang, lagian banyak yang hendak Fitri ceritakan pada Abang tentang sedihnya rumah tangga Fitri, cuma kita berdua," ucap Fitri sambil ngelendot manja pada Riki. 

"Emm … anu Nuri, maa–"

"Tidak apa Bang, lanjutkan saja makan siangnya bersama Firri," ucapku memotong ucapan Riki lalu dengan cepat melangkah keluar dari kantin tersebut. 

Ya Allah, apa aku salah jika aku menginginkan kalau Fitri itu mati saja, batinku sambil terus menyeka butiran demi butiran air mata yang sudah jatuh ke pipi. 

Saat pulang kantor, kulihat Fitri masuk mobil Riki, sekilas ia melihatku lalu tersenyum penuh kemenangan, ah sudahlah, aku juga tidak ada minat lagi pada Riki, lelaki tidak punya pendirian, digoda sama wanita berpenampilan terbuka sudah goyang imannya padahal istri orang.

"Assalamualaikum Nuri," ucap seseorang dengan santun. 

"Waalaikumsalam Bang," balasku, ternyata Bang Raihan, suaminya Fitri. 

"Meetingnya udah selesai? Kok ga pulang bareng Fitri?" 

"Meeting?" 

"Iya, tadi Fitri bilang kalau tadi divisinya meeting, bukankah Nuri satu divisi sama Fitri, kenapa kok ga bareng."

"Oh, i–iya Bang, saya ga ikut karena ga enak badan." Padahal di kantorku tidak ada meeting, itu cuma akal-akalan Fitri saja agar bisa jalan sama Riki. 

"Oh, ya sudah, selamat istirahat Fit," ucap Bang Raihan lalu masuk ke dalam rumah, aku tidak langsung beranjak, kuperhatikan sebentar Bang Raihan, dia lelaki yang santun, baik dan sopan, dan sudah memiliki usaha sendiri walaupun masih kecil-kecilan, jujur, Bang Raihan lelaki idamanku, kenapa tidak Bang Raihan saja kucoba rebut dari Fitri, astaghfirullah, aku benci pikiranku. 

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Bunda Wina
gk apa apa rebut aja tuh suami Fitri biar tau rasa Nuri
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status